“Mas Adiitt!” pekiknya sambil berdiri menghalangi jalan. Dr.Radit langsung menghentikan mobilnya. Untung saja dia menjalankan mobilnya pelan-pelan, kalau tidak, mungkin perempuan itu sudah tertabrak.“Lilis. Bahaya itu,” ujar dr.Radit sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela.“Ah, biarin. Lilis seneng banget bisa ketemu Mas Adit lagi,” katanya sambil mendekati jendela mobil. Dr.Radit hanya geleng-geleng kepala.“Lilis ikut, ya?” tanyanya sambil melihat-lihat ke area aku dan Bu Wati duduk.Terdengar dr.Radit mengembus napas kasar. Dia menatap bingung pada wanita yang disebut Lilis itu, yang tanpa malu langsung berputar ke sebelah kiri mobil.“Bukaaa,” katanya dengan nada yang manja sambil menarik-narik handle pintu. Dr.Radit memutar bola mata lalu menekan tombol di sebelahnya hingga pintu itu bisa dibuka.“Yeeaa!” Dia bersorak ketika sudah duduk di sebelah dr.Radit. Lalu mobil kembali melaju, sementara Lilis dengan hebohnya menyapa setiap orang yang ada di jalan.Mataku melebar saat
POV Maemunah“Pak, minta duit dong. Gas abis nih. Mana beras juga tinggal sedikit,” cerocosku pada bapaknya anak-anak. Dia lagi asik mandiin burung di halaman.“Duit Bapak tinggal 50 ribu, nih,” katanya sambil merogoh saku celana. “Berapa emang gas?”“Dua puluh lima ribu. Kagak cukup ini mah. Cuman bisa beli gas sama beras dual liter juga abis.” Aku menggerutu.“Ya gimana, duitnya tinggal segitu. Cukup-cukupin aja dulu,” katanya sambil terus aja ngurusin ntu burung. Kesel. Bukannya pergi nyari duit.“Jual aja burungnya, buat makan.” Aku memberengut sambil menyambar lembaran warna biru itu.“Huush! Enak aja. Ini burung mahal. Kalo dijual bisa jutaan ini.”“Makanya jual aja, biar dapet duit buat makan.” AKu semakin kesal.“Langkahi dulu mayatku! Ini burung udah kurawat seperti anak sendiri.” Suamiku menghalangi sangkar burung yang mau kuambil.“Kalo gitu, cari duit sana! Masa iya mau makan angin?” Aku berjingkat dari sana. kesal juga punya suami kagak mau cari duit.Pergi ke warung Bu I
“Iya, Bu Badru. Ini saya, Bu Mae. Ada gamis yang bagus, ga?” tanyaku.“Gamis? Oh, ada. Kebetulan saya baru pulang dari Pasar Baru ini. Stok masih baru semua belum ada yang nyentuh. Bu Mae mau?” tawarnya.Iyes! Bagus.“Ya sudah, saya ke sana sekarang ya, Bu.”Klik. Aku menutup telepon tanpa menunggu dia menjawab.Sambil mengendap-endap, aku ke rumahnya Bu Badru yang tak begitu jauh dari rumahku. Hanya 100 meter. Demi gamis baru, harus berjuang walaupun hari lagi panas-panasnya.“Samlikum, Bu Badru.” AKu mengetuk pintunya sambil larak-lirik ke kiri dan ke kanan takut ada yang melihat. Tak lama pintu terbuka dan menunjukan wajah Bu Badru yang masih keringetan.“Ayo masuk Bu Mae. Saya baru aja pulang belanja stok,” katanya. Aku mengangguk dan segera masuk.“Pintunya tutup aja Bu Badru, biar gak silau.” AKu beralasan, paadahal takut ada yang mergoki. Wanita bertubuh gempal itu menuruti keinginanku.Wah, ternyata memang benar. Ada banyak baju baru di tas besar dagangannya Bu BAdru. Aku lang
“Eh, Bu Badru, enak aja kalau ngomong. Kamu salah lihat, kali, atau lupa. Kapan aku ambil baju dari kamu?” ibunya Mas Agus langsung marah saat ditegur oleh ibu-ibu yang disebut Bu Badru. Namun, Bu Badru tak mau kalah. Dia semakin berani menarik baju yang sedang dikenakan oleh mantan ibu mertuaku.“Salah lihat? Lupa? Apanya yang lupa? Bu Mae, kan, baru tadi siang datang ke rumah saya buat ngambil baju. Nggak mau pake DP. Mana langsung dipake segala. Nggak malu apa? Bilangnya aja banyak duit, buat uang DP aja kagak sanggup.” Bu Badru mendongak dengan wajah menantang.Aku dan dr.Radit salling melempar pandang. Aneh rasanya di hajatan orang mereka malah bertengkar. Dan kini mereka malah saling menarik jilbab masing-masing. Bu Mae mendorong kuat tubuh Bu Badru yang gempal hingga mau terjengkang. Namun, Bu Badru mempertahankan keseimbangannya dengan memegang pada baju Bu Mae. Kain brokat itu rupanya tidak kuat menahan beban tubuh Bu Badru yang besar hingga ….Sreettt.Baju yang sedang mer
“Emmh, sebenernya, sih, saya nggak berani. Tapi … buat Bu Mae saya tawar 2 juta setengah. Gimana?” tawarnya lagi.Waah, lumayan ini bisa naik 500 ribu. “Ok, lah. DP-in dulu sini, 500 ribu. Nanti saya bawa burungnya ke sini.” Aku berbisik lagi.“Ok.” Pak Didi merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet yang tebal. Wuiihh, terlihat deretan duit merah berjejal di sana. Keren juga Pak Didi, nggak kayak suamiku yang ngasih duit jarang-jarang.Aku bergegas pulang setelah mendapat lima lembar berwarna merah dari Pak Didi. Saat tiba di rumah, ternyata burung itu sedang siap-siap dimasukan ke dalam rumah oleh suamiku.“Jam segini masih saja ngurusin burung. Si Minul aja dimandiin, yang punyanya masih dekil,” sindirku. Suamiku langsung menoleh.“Kenapa bajumu sobek begitu, Bu?” tanyanya heran.“Digigit anjing gila,” jawabku ketus. “Udah sana, mandi. Kagak usah ngurusin aku.” Aku mengusirnya.“Iya, bentar, masukin dulu si Minul,” katanya.“Halah, ntar aja. Aku pengen lihat secantik apa si Min
POV Maemunah“Bu, Bu.” Terdengar suara Mas Undang sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Emangnya aku kenapa tadi?Aku mengerjapkan mata sambil mengingat-ingat kejadian sebelum pingsan.Si Minul. Astaga. Aku berasa pengen kembali pingsan tapi tidak bisa. Pokoknya aku harus ambil lagi itu burung, bagaimanapun caranya. Enak saja si Pak Didi beli burung itu dengan setengah harga. Pantesan dia ijo saat aku bilang si Minul mau dijual.“Ibu kenapa pingsan segala?” tanya Mas Undang. Harus jawab apa coba?“Aku … aku kaget waktu kamu bilang soal harganya si Minul, sementara dia sudah hilang,” jawabku setengah berbohong.Mas Undang mengambilkanku segelas air dan aku langsung menghabiskannya. Haus juga tadi abis makan Lemonilo belum minum, langsung pingsan.Pokoknya aku harus menyusun rencana agar si Minul balik lagi ke tanganku. Apapun caranya. Malam ini, aku mau ambil lagi itu si Minul. Soal uangnya, nanti saja aku balikin kalau si Minul udah beneran laku 5 juta. Atau … aku bikin aja drama seol
“Bu, usahakan biar aku secepatnya keluar dari sini. Nggak enak banget hidup di penjara,” katanya terdengar marah.“Ya, mau keluarin kamu pake apa? Ibu udah gak punya duit. Perhiasan juga habis.”“Jual apa, kek. Bapak, kan, masih ada tanah di belakang rumah. Jual aja itu,” katanya dengan enteng.“Kenapa kamu nggak jual mobil atau rumah kamu aja, Gus?”“Rumah yang mana? Selama ini, kan, aku cuman ngontrak. Mobil juga masih cicilan. Gimana mau dijual?” ungkapnya kesal.“Pokoknya, aku minta Ibu sama Bapak keluarkan aku secepatnya dari sini!” Agus berteriak sebelum sambungan telepon akhirnya ditutup.Gus … Gus, ada-ada aja hidupmu itu, Gus. Bukannya bikin bangga orangtua, ini malah bikin malu.**POV Yasmin.Aku melirik pada dr.Radit setelah wanita itu pergi. Apa benar yang dia katakan jika dr.Radit meninggalkannya dalam keadaan hamil? Sulit rasanya untuk percaya, mengingat dia begitu baik padaku selama ini.Ataukah karena ada satu hal yang membuat mereka tidak bisa menikah? Lalu, haruska
POV Vira“Bagus ya pemandangannya. Pasti cocok untuk berbulan madu nanti,” bisik Adit yang memelukku dari belakang. Aku ikut acara yang diadakan oleh teman-temannya Adit. Mereka menyewa vila di Bali. Pemandangannya indah, dengan kolam renang yang seperti berada di lereng bukit dengan pemandangan hutan yang hijau.“Nanti malam mereka mau ngadain acara api ungun di tepi pantai sambil barbeque-an,” katanya lagi. Aku menjawab dengan gumaman.“Hidup di kampung itu senyaman ini. Udaranya sejuk dan masih segar. Cocok untuk hidup di masa tua nanti dengan anak-anak kita.” Dia kembali berceloteh. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya itu. Merayuku agar mau pindah ke kampungnya.“Aku kira kamu ngajak aku pindah ke Bali,” sindirku sambil tertawa kecil. Dia pun ikut tertawa.“Aku punya sebuah mimpi di masa depan. Membuat sebuah klinik di desa, membawamu ke sana dan kita hidup dengan ibuku dan anak-anak kita.”“Tak bisakah kau tidak menyangkutpautkan ibumu dengan masa depan kita?” potongku cepat.