Malam pun tiba. Aku berdandan wah, untuk membuat terpukau teman-teman nggak ada akhlakku itu. Sebenarnya sih bukan untuk mereka. Teman-teman nakalku itu berhasil membuatku mati kutu dengan mengundang alumni yang lain. Yang pastinya melenceng dari acara awal. Bukan masalah biaya sih, secara aku kan kaya. Seberapa sih buat bayar acara begituan aja. Masalahnya banyak orang-orang yang seharusnya aku hindari, bakalan hadir dan menggangguku lagi. Aku bahkan sudah memperingatkan Zein tadi tentang perubahan acara ini. "Ingat ya, Zein. Nanti nggak usah nunjukin sikap berlebihan kalau kamu lagi cemburu. Secara, aku tuh dulu populer banget dan punya banyak penggemar. Jadi jangan salahin aku kalo fans-fans lama ku itu bakalan godain aku lagi. Aku juga nggak tertarik kok sama mereka.""Iya, Tyas. Aku ngerti.""Sebenarnya aku maklum sih kalo kamu cemburu atau sakit hati. Tapi kamu juga harus tau diri, kita itu cuman nikah bohongan. Jadi jangan dibawa pakek hati, ya. Gini-gini aku juga punya pera
Tiba-tiba aja jantungku jadi berdebar-debar tak menentu. Zein melepaskan bibir seksinya dari pipi mulusku. Dia tersenyum puas, kemudian melingkarkan tangan kirinya ke pinggangku. "Kita pulang jam berapa, Sayang, hemmm?" lirihnya di telingaku, namun tetap terdengar oleh mereka. Sandiwara ini belum juga selesai.Nafasku terasa sesak atas tingkah liarnya. Si kucing garong ini nggak mau menyia-nyiakan kesempatan rupanya. Aku terpaksa ikut tersenyum, sembari mencubit pinggangnya dengan diam-diam agar tak diketahui oleh trio ember. Namun sepertinya cubitanku tidak berefek ke kulitnya. Atau, jangan-jangan dia sengaja menahan rasa sakit agar masih bisa terus memelukku. Awas kamu ya, Zein. Tunggu aja pembalasanku. "Duh, Mas ganteng ini bikin ngiri aja deh.""Iya, nih. Kok tiba-tiba aku jadi gerah ya.""Aku cari suamiku aja deh.""Iya, nih. Suamiku juga ngilang kemana lagi.""Aku ajak suamiku pulang aja deh. Pengen cepat-cepat ehem.""Ya udah, yuk, yuk!"Huft... Akhirnya trio ember pun meng
Tiba-tiba ada yang terasa hangat di dada ini, melihat tangan wanita itu sesekali memukul lengannya Zein. Dasar ganjen tingkat dewa. Calon-calon pelakor juga kayaknya nih. Cewek gatel. Sukanya godain suami orang. Tak tinggal diam, aku pun menyusul ke tempat mereka. "Lagi ngobrolin apa, nih?" sinisku, sambil membusungkan dada dan menenggerkan kedua tangan di pinggang rampingku. Wanita itu tampak kebingungan. Mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa tiba-tiba muncul dan melabraknya. "Siapa, ya?" tanyanya dengan gaya sok menawan. Najis!"Oh, iya. Ini....""Aku istrinya Zein. Kamu siapa?" Aku memotong ucapan Zein yang baru ingin menjawab pertanyaan wanita itu. Wanita berambut panjang dan berbulu mata hasil cangkokan itu menatap ke arah Zein. Dengan senyum menawan Zein membalas tatapannya. "Iya, Mbak. Ini Tyas, istri saya," jawabnya dengan sopan. Huh, sebel. "Oh, kirain masih perjaka," wanita itu memutar bola mata, malas. "Emang masih, Mbak.""Zeinn!" hardikku. Aku spontan merangkul l
Kuk kuruyuuuk....kuk kuruyuuuk.... Alarm dari gawai mahalku berbunyi. Membuatku terpaksa bangun untuk mematikannya, kemudian tidur lagi. Satu jam kemudian bangun lagi, setelah cahaya sinar matahari mengintip dari celah jendela yang membuat mataku menjadi silau. Salah pilih kamar rupanya. "Zein... Dah bikin sarapan belum?" teriakku, saat membuka pintu kamar. Tak ada jawaban. Duh, kemana itu cowok. Nggak nyahut lagi. Jangan-jangan masih tidur. Dasar pemalas. Enak aja mau santai-santai. Mentang-mentang punya istri sultan, mo ikut-ikutan jadi sultan. Dengan tergesa aku menuju ke kamarnya. Menggedor pintu sambil teriak-teriak. Tak ada sahutan. Mo langsung ngedobrak, takut dianya lagi polosan. Bisa-bisa mataku ternoda. Walaupun sebenarnya udah pernah ternoda sama yang lain. "Zein....aku masuk nih." Aku pun membuka pintu kamarnya. Dan taraaa.... kosong. Eh, kemana itu orang? Mana tempat tidur udah rapi lagi. Aku pun kembali menarik rapat pintu, dan melanjutkan pencarian. Ke kamar mandi
"Aduh, aduh sakit, Yas. Aku nggak salah," ucapnya membela diri. "Berisik! Pokoknya pulang. Masak sarapan!" bentakku lagi. "Iya, iya. Lepasin dulu. Sakit, Yas.""Bodo amat!".Aku menyantap roti bakar selai kacang yang baru di siapkan Zein. Rasa kesal masih membayangi dan membuat dada ini masih terasa panas. "Tadi aku lari paginya jam enam lho, Yas. Tapi ibu-ibu komplek pada ngajakin ngobrol. Aku jadi nggak enak kalo tiba-tiba pergi.""Halah, alasan. Emang dasar kamunya aja yang keganjenan. Sadar Zein, kamu itu punya istri. Jadi nggak usah sok tebar-tebar pesona, deh.""Dih, yang lagi cemburu...," godanya. "Heh, siapa jugak yang cemburu. Aku tuh cuman nggak mau ketahuan, kalau hubungan kita itu cuman pura-pura. Jadi kamu juga harus bisa jaga sikap.""Iya, iya. Maaf. Lain kali aku nggak akan lari pagi lagi," sesalnya."Iya, nggak usah. Nanti badan kamu tambah bagus."Eh? Keceplosan lagi. Dia kembali senyum-senyum sendiri. "Nah itu, kenapa make baju-baju seksi kek gitu. Sengaja? Mo
Aku mengucek-ngucek mata indahku, untuk memastikan bahwa penglihatanku masih baik-baik saja. Refan? Ngapain nih anak ngirim inbox ke aku. Setelah tiga tahun nggak ada komunikasi sama sekali. Sejak putus tiga tahun yang lalu, aku dan dia sudah berhenti berkomunikasi. Dia tak ingin lagi berhubungan denganku, karena ingin segera menikah dan tak mau calon istrinya jadi cemburu. Iyyuh... Kini, laki-laki yang sudah kupacari selama dua tahun itu kembali menyapa. Dih, mau apa dia. Mau balikan? Jangan harap, ya. Pria nggak bertanggung jawab kaya dia itu, nggak akan mungkin lagi bisa meluluhkan hatiku. Tapi, kenapa tiba-tiba dia ngubungi aku? Apa nggak takut istrinya marah? Secara, walaupun usia lebih tua, aku tetap lebih cantik dibanding dia. Dasar Refan nya aja yang mata keranjang, pantang liat daun muda yang lebih segar. Dasar kambing! "Kamu kenapa, Yas?" suara Zein tiba-tiba mengagetkanku. Gawai, dengan logo buah di gigit kalong itu hampir terjatuh kalau tak segera ku tangkap. "Kenapa
Bunyi notifikasi whatsapp menghampiri. Kulihat foto profil seseorang yang dulu memblokir nomorku, mengirim pesan. 'Yas,' tulisnya. Duh, mau apa lagi sih si Refan. Bukannya dia bisa lihat sendiri kalau sekarang aku udah nikah. Jangan-jangan dia iri lagi, karena suamiku tuh lebih segala-galanya dari dia. Hahay... akhirnya kalah juga kamu kan, Re. Demi harga diri yang pernah terinjak-injak olehnya, aku pun mengabaikan pesan itu tanpa membalasnya. 'Kok nggak di balas? Kan udah di baca?' Pesan baru muncul. Bodo amat! Aku kembali mengabaikannya. Tak lama terdengar suara dering panggilan. Huft... "Apa sih? Nggak ada angin nggak ada ujan tiba-tiba nelpon? Kurang kerjaan, ya?" cerocos bibir seksiku setelah menerimanya. "Nanya kabar dulu kek, Yas," sahutnya dari seberang sana."Udah deh nggak usah basa-basi, mo ngapain kamu? Mo pamer, kalo istri kamu bunting lagi, atau kamu beli rumah baru lagi, naik jabatan? Dapet bonus? Pamer aja di sosmed, Re. Selalu lewat kok di berandaku. Jadi nggak
Zein? Duh, ngapain lagi dia di sini? Apa dia nggak punya uang lagi, buat bayar makan siang sendiri? Mana muka nya garang lagi. Zein pun semakin mendekat dan menyentuh lenganku. "Makan siang di kantin aja!" Dia menarik lenganku, dan nggak tau, kenapa aku nurut. Kami jalan beriringan dengan tangannya masih menggenggam tanganku hingga keluar dari kafe. So sweet banget nggak sih. Namun sejurus kemudian dia berhenti, begitu mendengar suara Refan. Oh, no. Mau apa dia?"Sopan dong, Bro. Main bawa-bawa aja. Punya tata krama, kan?" celanya. Oh, shit. "Kayanya yang nggak punya tata krama itu kamu. Berani-beraninya ngajak ketemuan istri orang." Ouch... good people!"Oh, jadi suaminya Tyas. Biasa aja dong. Nggak usah terlalu bangga," sindirnya. Oh, shit! Apa maksud si Refan ngomong kek gitu sama Zein? Apa dia mau membeberkan apa yang pernah kami lakukan dulu? Nggak boleh! Zein nggak boleh tau tentang kebobrokan sikapku dulu. Aku nggak mau nantinya dia membenci dan jijik melihat wanita kotor