Share

BAB 4

Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Membiarkan embusan angin menyapa seluruh tubuh, berharap sedikit mampu mengurangi beban di hati. Namun, nyatanya beban itu masih sama mengimpit perasaan. 

Berhenti di jalanan yang cukup sepi, aku turun kemudian berteriak sepuasnya melampiaskan kecewa di dalam dada tanpa memedulikan orang lewat yang menatap aneh ke arahku.

“Mereka semua kejam. Egois. Tak pernah mengerti sedikit pun tentang perasaanku. Semua sama. Hanya memanfaatkan tenagaku saja.” Aku meracau tak karuan.

Puas, aku kembali melajukan motor masih tanpa tujuan yang pasti. Entah pada siapa akan kuadukan semua perih selain pada sepi yang semakin merambat sunyi. 

Pada akhirnya aku memutuskan ke rumah Linda sahabatku. Mungkin dia bisa membantu menyelesaikan masalah yang tengah kuhadapi. 

“Assalamu alaikum, Lin.” Aku mengetuk pintu sembari mengucap salam. 

“Waalaikum salam,” sahut suara perempuan dari arah dalam. 

Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Sosok perempuan berwajah keibuan menyembul dari balik pintu. Dia melempar senyum menatapku. 

“Nak, Ve..., kapan pulang? Masuk sini,” ajak Ibunya Linda. 

“Tadi siang, Bu. Lindanya ada? “ tanyaku balik.

“Ada. Ayo masuk dulu. Biar Ibu panggil Linda,” ajaknya lagi. 

Aku menurut. Mengekori langkahnya masuk lalu duduk di sofa ruang tamu sementara dia masuk semakin ke dalam. 

Beberapa saat kemudian, Linda keluar menemuiku.

“Vera..., apa kabar? Kapan pulang?” cerocos Linda lalu menghambur memelukku. 

“Tadi siang, Lin,” jawabku setelah pelukan kami terurai. 

Dia mengernyitkan dahi menatap wajahku. “Kamu kenapa, Ve? Kok kusut begitu?” 

“Masa sih?” tanyaku balik. 

“Iya. Kamu ada masalah?” 

Selalu saja aku tak bisa menyembunyikan darinya. Kami memang sudah cukup lama berteman, jadi paham jika aku sedang dalam masalah. 

Akhirnya aku menceritakan tentang Rizal yang telah menikah dengan Ela. Juga tentang Bapak yang meminta aku membiayai resepsi pernikahan mereka. 

“Astaghfirulloh, kamu enggak bercanda kan, Ve?” Linda menggeleng pelan seolah tak percaya dengan ceritaku. 

“Beneran, Lin. Aku juga enggak nyangka mereka seperti itu,” jawabku. 

Perih itu kembali terasa setiap ingat kalau Mas Rizal telah mengkhianatiku. Tak sanggup rasanya membayangkan mereka memadu kasih. Sakit. 

“Terus sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Linda beberapa saat kemudian. 

“Enggak tahu, Lin. Mungkin aku akan merebut Mas Rizal. Aku masih mencintainya,” jawabku. 

“Astaga! Kamu waras enggak sih? Masa iya merebut suami adik. Kaya enggak ada laki-laki lain saja!” umpat Linda. 

Aku diam. Yang dikatakan Linda benar, tapi apa iya aku harus pasrah? Rasanya tak rela mereka bahagia di atas deritaku. 

“Terus aku harus bagaimana?” Aku menghela nafas berat saking bingungnya. 

“Move on dong.... buat dirimu bahagia. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa dapatkan yang lebih baik dari Rizal. Kamu pasti bisa!” saran Linda. 

Aku kembali terdiam memikirkan ucapan sahabatku. Namun, aku tak yakin akan bisa. Bagiku Mas Rizal laki-laki terbaik yang pernah kutemui. 

“Lalu bagaimana dengan uang yang diminta Bapak? Apa aku harus memberinya juga?” tanyaku lagi. 

“Jangan!” sambarnya cepat. “ Biarkan mereka yang memikirkannya. Lagian kenapa Bapak dan Ibumu malah mau menikahkan mereka sih!” 

“Ya enggak tahu, Lin,” sahutku asal. 

Tiba-tiba terdengar deru mesin motor berhenti di depan rumah. Aku melongok dari kaca jendela berusaha mencari tahu siapa yang datang. Namun, karena cahaya lampu yang temaram, aku tak bisa mengenali orang tersebut. 

“Assalamu alaikum,” 

Terdengar suara derit pintu di buka. Farhan-kakak Linda masuk, menatap heran ke arahku. 

“Kamu di sini, Ve? Apa kabar?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. 

“Baik, Mas,” jawabku. 

Meski ragu, mau tak mau aku balas menjabat tangannya. Genggamannya terasa erat, hingga jantungku berdebar kencang. 

Bagaimana tidak? Dulu, sebelum aku kenal Mas Rizal, aku pernah memiliki rasa padanya. Namun, karena dia seperti tak membalas cintaku, aku memilih melupakannya. 

Setelah jabat tangan kami terlepas, Farhan beranjak masuk ke dalam. Namun, baru dua langkah berjalan, Linda sudah memanggilnya. 

“Mas, duduk dulu.  Ada yang mau aku omongin,” perintah Linda. 

Farhan membalikkan badan. Di terlihat bingung, tapi menurut saja. Dia duduk bersebelahan dengan adiknya. 

“Ada apa?” tanyanya. 

“Begini, Mas..., kami mau minta pendapatmu.” 

Tanpa meminta izin padaku, Linda menceritakan kandasnya kisah cintaku dengan Mas Rizal. Juga tentang aku yang lagi galau antara merebut kembali atau pasrah mengikhlaskan. 

“Ya mending cari yang lain aja. Emangnya laki-laki cuma Rizal doang? Kecuali kamu mau jadi pelakor untuk adikmu!” tegas Farhan. 

Aku tersentak kaget saat dia menyebut kata ‘pelakor’. Seumur hidup tak pernah ingin menjadi seperti itu. 

“Tu kan, Ve. Mending kamu lupain saja si Rizal itu. Cari yang lebih baik darinya,” ujar Linda. 

“Kalau Rizal beneran cinta kamu, pasti tak akan menikahi adikmu, Ve,” imbuh Farhan. 

Aku menundukkan pandangan, merasa malu karena telah berniat merebut kembali Mas Rizal. Mereka benar, aku harus melupakan Rizal. Untuk apa mengharapkan sesuatu yang sudah menjadi milik yang lain?

“Itu berarti aku tak perlu membalas pengkhianatan mereka?” tanyaku seperti orang bodoh. 

“Dendam itu tak baik, Ve. Dengan kamu bahagia saja mereka sudah terbalas. Jadi tak perlu sengaja membalas. Lebih baik kamu senengin hati. Syukur-syukur kamu sudah dapat pengganti Rizal sebelum resepsi pernikahan digelar. Tunjukkan pada mereka kalau kamu juga bisa bahagia!” Panjang lebar Farhan menasihati. Aku hanya mengangguk saja tanpa berkomentar. 

Kali ini hati mulai mantap untuk melupakan Rizal. Meski terasa berat, aku harus berjuang. Namun, untuk mencari penggantinya, mungkin akan sulit. Selama ini aku cenderung menjaga jarak dengan lelaki mana pun demi menjaga perasaan Rizal. 

Untuk sesaat hening terjadi antara kami. Sampai tiba-tiba Linda menceletuk, membuat aku dan Farhan sama-sama terperangah. 

“Bagaimana kalau kalian pacaran saja! Kan sama-sama singgle!” 

“Kamu ngomong apaan sih, Lin? Bercandanya enggak lucu tahu,” protesku. 

Cinta itu bukan sekedar bersama. Buat apa pacaran kalau tak saling cinta. Ujung-ujungnya kandas dan sama-sama merasa disakiti. 

“Aku enggak bercanda, Ve. Aku tahu kok kalau dulu kamu suka sama Mas Farhan. Iya kan?” ledeknya. 

Kontan saja aku terperanjat mendengar ucapan Linda. Sampai hati dia membuka masa lalu yang menyedihkan. Cinta tak terbalas itu menyakitkan. 

“Benar begitu, Ve?” 

Mas Farhan yang sedari tadi diam kini langsung mencecar membuatku salah tingkah. Mau jujur tentu saja malu. Mau bohong, Linda sudah kadung membongkar semuanya. Bagaimana ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status