Share

Bab 4. Aroma yang berbeda

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 4

Di dalam mobil, kami duduk seperti orang asing. Mas Haris menyetir mobil tanpa mengalihkan pandangan matanya dari jalan raya. Sementara aku tak berminat sama sekali memulai pembicaraan.

Aku akhirnya memutuskan menerima permintaan rujuk Mas Haris demi Mama, yang tak mau beranjak dari tempatnya berlutut hingga Ustadz Aji datang untuk menyaksikan ijab kabul yang akan diucapkan Mas Haris. Ija kabul kedua dilakukan karena Mas Harus menalakku sebelum kami sempat melakukan hubungan suami istri. Disaksikan oleh dua orang adik Papa, aku akhirnya kembali resmi menjadi istri lelaki ini, yang telah terlanjur menumbuhkan rasa sakit di hati. Entah akan seperti apa pernikahan kami. Aku hanya berharap, seperti kata Mama, bahwa dia memang sesungguhnya lelaki yang baik. Aku hanya perlu mengerti dan beradaptasi.

"Nadya, emm… pergilah ke kamar mandi belakang. Aku sudah menyiapkan sabun yang cocok untukmu." Ujarnya begitu masuk ke dalam rumah.

Lagi? Aku menyipitkan sebelah mata.

"Memangnya sabun apa yang cocok untukku? Kau tahu? Bukan hanya dirimu saja yang suka kebersihan Mas. Tapi aku tidak berlebihan seperti dirimu."

Mas Haris menggeram. "Turuti saja perintahku. Apa kau tak tahu bahwa seorang istri wajib taat pada suami?"

Aku terkejut. Baru beberapa saat yang lalu dia bersikap baik padaku di rumah Papa, dan kini dia mulai kembali menampakkan wajah aslinya.

Melihat perubahan raut wajahku, Mas Haris melunak. Dia mendesah, lalu dengan ragu menyentuh tanganku.

"Maaf. Baiklah. Ayo kita ke kamar."

Kutatap tangannya yang kini menggandeng tanganku, membawaku menuju kamar. Keadaannya masih seperti aku meninggalkannya kemarin. Sangat rapi dan bersih. Aku sampai takut untuk duduk disana saking bersihnya.

Mas Haris meraih koperku dan mendorongnya ke pojok kamar. Lalu dia mengambil hand sanitizer dari atas nakas dan mulai membersihkan tangannya sendiri, seolah olah baru saja bersentuhan dengan benda kotor. Aku menelan ludah. Tentu saja, tak pernah ada salah paham. Inilah dia yang sesungguhnya.

Aku kembali menarik koperku dan berjalan menuju pintu. Sudah kuputuskan bahwa aku akan tidur di kamar sebelah saja sampai kami mungkin bisa saling mengenal dan beradaptasi. Mungkin, aku memang harus menerima kenyataan bahwa suamiku seorang clean freak.

"Kau mau kemana?"

Aku menoleh sejenak. "Aku tidur di kamar sebelah. Kau tentu tak suka tidur bersebelahan dengan perempuan yang sedang datang bulan."

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah mandi dan berpakaian rapi. Kupakai dress hitam selutut berpotongan dada agak rendah. Sejujurnya, aku hanya ingin tahu reaksi suamiku, apakah dia benar seperti dugaanku, atau dia hanya lelaki yang berlebihan dalam hal kebersihan.

Atau tidak keduanya.

Aku meletakkan teh melati di samping piring berisi roti bakar keju milikku, lalu duduk dan mulai makan. Suara musik lembut mengalun dari music player yang sengaja ku setel untuk mengobati suasana hatiku yang kacau. Siapa sangka pernikahan yang menjadi muara penantian bagi semua perempuan, berakhir hampa seperti ini? Aku membayangkan suami yang baik dan penyayang. Itu saja. Romantis hanyalah bonus. Tapi jangankan bersikap baik, kami seperti dua orang asing yang terpaksa hidup dalam satu rumah.

"Kau tidak membuatkan aku sarapan?"

Aku mendongak, mengalihkan tatapanku dari makanan di atas piring.

"Aku tidak tahu apa yang ingin kau makan."

"Bukankah kau bisa tanya lebih dulu?"

Aku tersenyum kecil. "Aku tidak mau mengganggumu Tuan Haris yang terhormat. Aku takut tanganku yang penuh kuman ini membuatmu sakit."

Mas Haris terbelalak sejenak. Aku melanjutkan makan dengan sikap tak peduli. Namun, tiba tiba saja aku terkejut karena dia merangkum kepalaku dalam pelukannya. Detik berikutnya, sebuah kecupan singgah di bibirku.

"Aku tidak seperti yang kau duga Nadya." Dan tanpa dicegah, dia kembali menc*umku, kali ini dengan menumpahkan seluruh hasrat yang tampak di matanya yang membara.

Aku terengah, kudorong tubuhnya menjauh.

"Berhenti Mas. Aku sedang datang bulan."

Mas Haris mendesah. Dia menghembuskan nafas dan merenggangkan pelukannya, lalu duduk di kursi makan.

"Tolong buatkan aku kopi. Pakai cangkir keramik di rak paling atas, itu sudah kusteril tadi pagi."

Aku menelan ludah, menatapnya sejenak, tak percaya pada pendengaranku sendiri. Suaranya tadi lembut dan terdengar memohon. Dia kembali bicara tentang gelas yang harus bersih, padahal dia baru saja menc*mku dengan ganas, tanpa bertanya apakah aku susah gosok gigi atau belum.

Aku menggelengkan kepala, mungkin butuh waktu cukup lama untuk mengerti lelaki ini.

"Kau wangi dan seksi sekali pagi ini Nadya. Sayang, kau sedang datang bulan, kalau tidak…" Ujarnya ketika aku meletakkan kopi di hadapannya.

Jantungku berdebar kencang mendengarnya merayuku. Kepalaku pusing oleh praduga akan dirinya. Jika dia terangs*ng oleh penampilanku pagi ini, berarti dia buka seorang gay. Mungkin saja, dia hanya seorang clean freak.

Dan mungkin saja, rumah tangga kami masih bisa diperbaiki.

"Aku ada seminar jam dua siang ini. Mungkin pulang agak malam. Emm, bisakah kau menungguku? Aku ingin minum kopi berdua denganmu."

Aku yang masih takjub dengan perubahannya hanya bisa mengangguk.

"Jangan lupa, dandan yang cantik dan seksi. Dan oh ya, aku suka aroma parfummu."

***

Jantungku langsung berdebar kencang begitu mendengar suara mobilnya memasuki halaman. Kulirik jam di layar ponsel. Baru jam sebelas malam. Masih banyak waktu bagi kami. Mungkin malam ini, kami bisa berbincang, saling mengenal dan menyelami. Dan apa katanya tadi? Dia suka aroma parfumku.

Kusemprot sedikit parfum di leher dan lengan. Aroma wanginya yang lembut menelusup. Wajahku menghangat ketika teringat sentuhan pertamanya pagi tadi. Mungkin saja,kami akhirnya bisa hidup sebagai suami istri yang sesungguhnya.

Aku membuka pintu depan sebelum bel berbunyi. Namun, aku kembali terkejut ketika dia tak menyambut uluran tanganku. Dia hanya menatapku, dan berhenti pada kimono satin yang menutupi lingerie yang kupakai. Meski aku sedang datang bulan, bukankah boleh kalau hanya bermesraan?

"Aku lelah sekali dan butuh tidur cepat Nadya. Dan bukankah kau sedang datang bulan?" Ujarnya sambil berlalu.

Aku hempas seketika. Sambil berjalan mengikutinya, kuremas ujung kimonoku, menahan dadaku yang tiba-tiba sesak. Kutatap punggung Mas Haris yang masuk ke dalam kamar. Lalu, tanpa menatapku, dia menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam.

Tiba-tiba saja, aku mencium aroma berbeda yang dia tinggalkan. Aroma parfum wanita. Dan jelas, itu bukan milikku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status