Pintu di hadapan Rachel terbuka lebar-lebar, jika halaman tadi ia ibaratkan pintu surga ini adalah salah satu “brankas”-nya surga. Bagaimana tidak, bahkan tempat abu rokok yang ada di ruangan ini jika ditimbang dan dijual, sudah bisa mendapatkan satu rumah. Belum lagi lemari buku yang nampak klasik itu, mungkin ini adalah salah satu warisan turun temurun dari nenek moyang, nenek, dari neneknya, entah sudah berapa generasi.
Buku-buku berjajar rapi membentuk sebuah garis lurus, sebuah chandelier menggantung pasti di langit-langitnya yang tak kalah mewah. Seorang pria sudah menunggunya di ujung meja, badan lelaki itu membelakangi Rachel, dan seklias cahaya lampu mengungkapkan rahasia di balik rambut yang hitam legam tersebut. Sekretaris pribadinya membisikan beberapa hal sampai akhirnya beliau membalikkan badannya. Ia tersenyum sekilas, dan menimbulkan garis-garis halus di tepian mata, namun itu semua tak mengurangi betapa tegas tulang wajahnya.
“Selamat pagi, Bapak Abimayu,” sapa Rachel dengan menunduk sesopan mungkin.
“Pagi, santai saja. Silakan duduk dulu.” Ia menunjuk kursi yang tepat ada di sisi depannya.
Seorang wanita masuk sambil membawa dua cangkir yang nampak sangat elegan, bahkan membuat Rachel takut terkena bala sangat menyentuhnya. Pak Abimanyu memberikannya isyarat untuk meminum apa yang disajikan wanita tadi.
“Perkenalkan Pak, saya Rachel Mondy selaku customer advisor yang baru,” kata Rachel membuka percakapan dengannya.
“Iya, saya sudah dikabari terlebih dulu tadi. Senang rasanya punya CA baru, saya kurang cocok dengan yang sebelumnya,” jawabnya sambil menyesap teh. Bahkan cara bicaranya pun sangat melambangkan sebuah kasta yang tinggi, dan pastinya tidak bisa Rachel gapai.
“Mohon beri tahu saya Pak, kalau misalkan ada perilaku saya yang kurang pantas,” katanya yang lumayan panik mendengar pernyataan pria itu tadi.
“Saya sudah hidup lumayan lama di duna ini. Bertemu banyak orang, dan kadang bisa menebak sifat seseorang hanya dengan melihat caranya duduk.” Pria itu mengatakannya sambil menatap Rachel lamat-lamat.
Dengan respon secepat kilat, Rachel segera memperbaiki caranya duduknya. Menegakkan punggung, dan menaruh tangannya di atas pangkuan. Memastikan bahwa kepalanya tidak miring, dan pandangannya fokus ke depan. Sudah seperti saat foto KTP.
“Tidak usah seperti itu, kan ini bukan interview kerja,” katanya sambil tertawa lebar, dan hanya dibalas dengan senyuman manis oleh Rachel yang di dalam hatinya sudah merapalkan doa-doa keselamatan.
“Memang tampak depannya CA, tapi pasti dari keluarga mengajarkan attitude yang luar biasa, hal seperti itu tidak bisa ditutupi.” Pak Abimanyu memperbaiki posisi duduknya tanpa menjelaskan apa yang Ia katakan.
“Oke, kita balik ke masalah bisnis, selain yang kalian bawa hari ini, sebenarnya saya juga mau bertanya beberapa hal,” lanjutnya.
“Baik Pak, untuk uang tunainya sudah kami serahkan pada sekretaris bapak, dan ini bukti terimanya,” kata Rachel sambil mengeluarkan secarik kertas berisi berbagai pernyataan.
“Wah, saya suka kerja kamu, cepat walaupun masih anak baru,” katanya.
“Terima kasih, Bapak,” jawab Rachel singkat.
“Next, saya mau tanya kalau semisal saya membuka rekening untuk cucu yang masih berusia enam tahun, bisa?” Pak Abimanyu kini menegakkan punggung, dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.
“Tentu saja bisa, Pak. Ingin dibukakan rekening untuk diambil masa depan, atau untuk kebutuhan lain, Bapak? Jadi bisa saya sarankan pembukaan rekening terbaik. Kebetulan saya dulunya ada di posisi customer service,” jawab Rachel yang kini mulai percaya diri karena ini adalah makanannya sehari-hari.
“Oh, pantas saja auranya beda. Sebenarnya saya butuh rekening yang biasa saja, untuk mengenalkan dia acara menabung, dan ya hitung-hitung mulai melatihnya mengelola keuangan,” katanya menjelaskan.
Seketika Rachel baru sadar bahwa ada satu anak di foto yang ia lihat sebelumnya, bayi laki-laki yang tampan dan dipangku oleh pria angkuh tersebut. Tapi tidak mungkin itu anaknya kan, mungkin ayah, dan ibu dari anak itu sibuk, jadi tidak ikut berfoto.
“Benar-benar pendidikan sejak dini ya, Pak.” Jujur saja Rachel memang kagum dengan pola pikir beliau. Hingga hari ini Rachel masih merenungi hidupnya karena dulu ia selalu bergantung pada Mama, Papa, dan asisten rumah tangganya sehingga ia susah menyesuaikan diri dengan banyak hal.
“Jadi kalau untuk pembukaan rekening bagi anak di bawah umur, bisa menggunakan data diri walinya, dan juga akta kelahiran dari anak tersebut, Pak,” jelas Rachel.
“Begitu ya, oke kalau begitu besok biar dia ke sana langsung sepulang sekolah. Terima kasih atas bantuannya,” katanya.
“Suatu kehormatan, Pak. Saya akan sampaikan ke pihak CS yang baru, agar langsung dilayani secepat mungkin,” kata Rachel meyakinkan.
“Jangan, biarkan dia melakukan semua itu seperti yang lain, agar dia tidak terbiasa manja,” jawabnya.
Mereka pun membincangkan beberapa hal, hingga memakan waktu yang lumayan lama. Sebenarnya masih banyak perbincangan yang belum usai, namun sekretarisnya menyela perbincangan mereka untuk mengingatkan jadwal beliau selanjutnya yang sudah tidak bisa ditunda.
“Terima kasih atas waktunya hari ini, Bapak. Mohon maaf apa bila saya ada salah perilaku, dan mengganggu waktunya,” kata Rachel menutup pertemuan mereka.
“Tentu saja, saya sangat senang kalau bisa bertemu seseorang yang enak diajak berbincang. Mungkin lain kali di luar jadwal, silakan kemari dan hanya sekedar minum teh,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya, dan Rachel membalas tangan tersebut dengan secepat kilat.
Rachel mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruangan yang berkilau tersebut. Masih sama sebelumnya, Rachel diantarkan oleh salah satu asisten yang bertugas menangani tamu, dan itu membuatnya sedikit tidak enak karena semasa hidupnya ia tak pernah diperlakukan begini.
Lorong di rumah ini pun sangat menarik, beberapa jendela tinggi sangat indah membingkai pemandangan taman yang ada di depannya. Namun, nampaknya ketenangan Rachel tidak bertahan lama, saat pria itu datang dan melihat wajahnya. Langkah kakinya terhenti, pria dengan setelan jas hitam tersebut berbalik ke arah Rachel yang masih terus menunduk di belakang asisten Pak Abimanyu.
“Hey, You!” sapanya dengan suara tegas.
“Saya, Pak?” tanya Rachel yang langsung segera berbalik ke arah pria tersebut.
Mereka berhenti di tengah lorong yang menghubungkan bangunan utama, dengan bangunan yang tadi ia sebut “brankas”. Pria angkuh itu memandang Rachel mulai dari atas hingga ujung kakinya. Jujur saja hal tersebut juga sekaligus membuatnya risih, dan tak nyaman.
“Ada perlu apa di rumah saya?” tanya pria itu masih dengan nada beratnya.
“Saya CA baru untuk Bapak Abimanyu, jadi saya ada urusan penting dengan beliau,” jawab Rachel yang masih menjaga kesopanannya. Tentu saja di dalam hati Rachel ia sudah mengutuk pria tersebut, dengan kata-kata yang tidak bisa diterjemahkan dalam KBBI.
“Kerja yang becus. Jangan malas-malasan kalau kerja sama beliau,” kata pria tersebut.
“Pak Royan, Bapak sudah menunggu di ruangan,” ujar asisten yang ada di sampingnya.
Sambil melanjutkan langkahnya, Royan kembali berbalik ke arah Rachel dan menunjuk ke arah bibirnya.
“Apa sebenarnya yang kau lakukan sampai lipstikmu berantakan seperti itu. Dan juga, ganti warnanya, apa kau baru saja minum darah?” ujar Royan sambil berlalu.
Wajah mencemooh, sangat terlihat dari Royan. Ingin sekali Rachel melemparkan berkas yang ada di tangannya saat ini. Namun di sisi lain, ia merasa bahwa ini semua sangat tidak adil, mengapa pria dengan kata-kata busuk seperti dirinya harus memiliki wajah setampan malaikat - yah walaupun Rachel sendiri belum pernah betemu malaikat. Rachel tak menyadarinya saat mereka pertama kali bertemu, karena memang kondisi saat itu sangat tidak memungkinkan. Di tengah lamunannya, kini jiwa Rachel telah kembali pada raganya, dan ia memilih untuk segera pergi menjauh dari pria angkuh tersesebut.
***
Weekend kali ini sudah dipastikan Rachel tidak bisa istirahat dengan damai, karena mama dan papanya kini sudah berada di depan tv sambil mengunyah beberapa makanan kering. Jika biasanya baju, dan sepatu di taruh sembarangan seperti saat diskon 50+40% kini semuanya tertata rapi di tempatnya masing-masing. Semua anak rantau pasti tahu, betapa kerasnya kehidupan, saat orang tua tiba-tiba datang berkunjung, jika ada sebuah mantra untuk merapikan barang sudah pasti akan mereka gunakan.
“Chel, mama kok kepengen es oyen depan apart, ya?” kata mama Rachel yang masih fokus pada berita gossip di tv.
“Mau? Papa juga mau? Sekalian aja Rachel mau buang sampah ke bawah,” jawab Rachel.
“Boleh, ini panas banget ya di kota. Kamu kok bisa betah sih begini tiap hari, Nak?” tanya papa Rachel.
“Betah lah, Pa. Orang cuan nya gede, bisa pacaran bebas lagi kalo beda kota, iya kan Chel?” sahut Mama sambil memandang penuh curiga.
“Gak punya pacar, jomblo aja enak cuan abisin sendiri,” jawab Rachel asal-asalan.
Daripada ia semakin pusing berlama-lama membahas hal tidak jelas bersama mama dan papanya, Rachel memilih untuk mengangkat beban berat di tangannya sambil membuka pintu. Namun entah memang karena terlalu berat, atau cerobohnya Rachel yang tidak menaruh sampahnya dulu, kini dua bulatan keresek putih tersebut sudah lepas dari tangan mungilnya. Bahkan parahnya, salah satu keresek tersebut, tepat di depan pintu kamar yang ada di sebrang Rachel, tidak cukup sampai di situ, terlihat keresek tersebut mengenai ujung sepatu dari seseorang yang ada di depan pintu.
“Maaf, saya tidak sengaja,” kata Rachel yang masih menunduk untuk membereskan sampah yang keluar dari plastiknya.
“Kenapa harus bertemu denganmu lagi, bahkan di sini!” ujar pria yang kini sudah berada di depan Rachel.
Ia tahu suara ini, perlahan Rachel menaikkan pandangannya, dan matanya bertemu dengan mata tajam, berwarna coklat terang. Badannya yang tinggi membuat Rachel semakin susah untuk menatapnya lebih dalam. Pria yang kini memegang plastik sampah itu terus menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan nafas kencang-kencang.
Kesialan Rachel tidak hanya sampai di situ, saat ia mencoba berdiri sandalnya yang licin malah membuatnya hilang keseimbangan dan tak dapat mengendalikan dirinya. Sebuah tangan besar, nan kokoh menangkap tangan mungil Rachel dengan cepat, menggenggamnya, hingga memastikan bahwa wanita ceroboh itu baik-baik saja. Jika biasanya Rachel mencemooh Adel yang sering salah tingkah karena adegan drama Korea, kini Rachel bahkan mengalaminya.
“Siapa? Pacarnya Rachel ya!” ujar mama Rachel yang tiba-tiba sudah di ambang pintu.
“Bukan!” jawab mereka berdua serentak.
“Really?” Mama Rachel pun memandang keduanya yang kini masih bergandengan, dan tangan lainnya yang masing-masing membawa satu kantung plastik.
Aneh, tangannya yang besar dan dingin, mengapa terasa sangat hangat. Rachel masih merenungkan apa yang baru saja terjadi, semua seakan berjalan dengan cepat padahal baru saja mereka bertemu di depan pintu, kini pria tinggi tersebut sudah duduk bersama papanya di sofa. Tepat saat mamanya ‘memergoki’ mereka berdua di depan pintu dengan kondisi yang sulit dijelaskan, hal mengejutkan juga kembali terjadi, ternyata papa Rachel mengenali Royan.“Saya tidak menyangka betermu Bapak di sini,” ucap Royan dengan nada sopan membuat Rachel merinding. Apa benar ia orang yang sama dengan pria angkuh tukang bentak-bentak, batin Rachel.“Saya juga loh Pak Royan, jujur saya kaget kok bisa Pak Royan bareng istri dan anak saya,” jawab papa Rachel dengan nada santai, seperti mereka sudah sering bertemu. Mereka pun melanjutakan obrolan santai di sofa sambil sesekali tertawa renyah, membuat Rachel semakin bingung dengan kondisi saat ini, sampai ia
Sejak awal pertemuan saja nyali Rachel sudah menciut, apalagi sekarang dengan santainya pria yang ada di depan Rachel malah menawarkan tumpangan. Kini wanita berambut curly tersebut semakin memandang Rachel dengan tajam. Entah apa yang dipikirkan Royan tadi saat memilih untuk memberikan tumpangan pada Rachel padahal di sampingnya ada wanita yang ia anggap adalah pacar Royan."Yuk!" ajak Royan."Nggak usah Pak, saya naik ojek online aja, pasti ada kok," tolak Rachel."Tetep aja bakalan lama, ini daerah macet kan, dan liat di sekitar sini nggak ada ojek online yang mangkal," jawab Royan.
Brigita melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang tepat berada di ujung lorong, emosinya masih meluap-luap sejak ia menjumpai wanita asing naik ke mobil mantan tunangannya, Royan. Ia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Royan tidak memilihnya, bahkan kini perlahan pria itu malah mencampakannya. Seandainya waktu itu Gita tidak melakukan kesalahan fatal yang dibenci oleh Roy, mungkin saat ini ia masih lancar mempersiapkan pernikahan mereka sambil memandangi tempat-tempat indah untuk pergi honeymoon.Kursi empuknya tidak bisa lagi ia gunakan untuk menenangkan diri, bayangan Roy dengan wanita itu masih saja menghantui Gita setiap detiknya. Ingin sekali rasanya Gita menelpon Roy dan menanyakan siapa sebenarnya wanita itu, dan apakan dia alasan Roy meninggalkan Gita dengan dalih membenci kebiasaan yang dimilikinya. Sebagai orang yang ambisius, Gita tidak akan pernah bisa membiarkan apa yang menjadi miliknya malah direbut oleh orang lain tepat di depan mat
Suasana makan malam di keluarga Abimanyu semakin terasa dingin setelah Royan dengan santainya mendeklarasikan bahwa ia memang sudah memiliki wanita lain di hatinya. Walaupun hati Eva serasa bergemuruh, namun ia tidak bisa melakukan apapun karena suaminya nampak menyetujui hubungan tersebut. Tanpa disangka malaikat kecil yang menyayangi Oma nya juga ikut berpendapat tentang kisah cinta papanya.“Tante Rachel baik banget loh, Opa. Kemarin Rey ditolongin naik lift,” kata pria mungil tersebut.“Kok bisa ditolongin sama Tante Rachel, emang Rey mau ke mana?” tanya Abimanyu penasaran.“Mau pulang. Tante Rachel rumahnya pas ada di depan rumah kita. Iya kan, Pa?” jawab Rey dengan polos.“Ya!” sahut Royan singkat.Bagai jatuh tertimpa tangga, saat ini Eva tidak lagi memiliki kekuatan untuk berdebat, ataupun hanya sekedar menanggapi obrolan dari suami, anak, dan cucunya tersebut. Ia masih belum bisa men
Reyhan masih terus mengusap pipi Rachel yang sudah basah karena air matanya. Ia bahkan tak mengenal mamanya Rey, tapi entah mengapa membayangkan pria kecil, dan tampan ini harus hidup tanpa seorang ibu, membuat hati Rachel sakit.“Tenang aja, Tante. Rey masih punya Papa kok,” kata pria kecil itu menenangkan Rachel.“Papanya Rey sekarang di mana?” jawab Rachel yang sudah mulai merasa baik.“Lah, kan Tante yang tahu duluan kalo Papa lagi ke luar kota,” ujar Rey yang kembali sibuk mengunyah camilan cokelat nya.Rachel dengan susah payah memahami apa yang sedang terjadi saat ini, bahkan jiwanya yang baru saja kembali kini entah pergi kemana lagi. Secara spontan berbagai potongan kejadian memaksa masuk ke kepala kecil Rachel. Hari dimana Rey memanggil Royan dengan sebutan ‘Pa’ kembali teringat olehnya. Rachel sebenarnya bukan tipikal orang yang bodoh, namun entah mengapa akhir-akhir ini otaknya tidak bisa mencern
Beberapa hari setelah Royan menitipkan anaknya, Rachel belum lagi bertemu dengan kedua pria tampan tersebut. Entah kenapa hatinya sekarang mudah resah sejak bertemu Royan dan Rey, ibarat medapatkan promo buy 1 get 1. Rachel merasa bahwa kini ia memiliki alasan untuk pulang ke rumah, yang dulu hanya seperti tempat singgah untuknya.Dalam hatinya masih ada rasa khawatir jika Royan enggan menitipkan Rey lagi padanya karena insiden cokelat kemarin. Di sisi lain, Rachel juga merasa bersalah karena tidak menanyakan terlebih dahulu pada Roy tentang makanan yang bisa dikonsumsi anaknya. Benar juga anaknya …. Kadang Rachel masih lupa kalau Royan bukan paman Rey, tapi papanya.Saat weekend seperti ini, biasanya ia akan berbaring di kamar Adel sambil memainkan ponselnya, atau sekedar berbincang ringan dengan temannya tersebut. Benar juga, setelah dipindahkan posisi, Rachel lebih sering bekerja ke luar kantor untuk menemui pada nasabah prioritas. Ia jarang
Setelah pertemuan tak terduga dengan keluarga Abimanyu minggu kemarin, hidup Rachel kini semakin tak bisa ditebak arahnya. Akhir minggu biasanya ia habiskan dengan berbaring di atas kasur, entah sejak kapan menjadi sangat produktif. Ia sudah bersiap sejak tadi pagi, dengan dress hitam yang nampak rapi, dan di tambah tas jinjing warna rose gold membuatnya semakin nampak elegan.Di sampingnya kini ada Tuan Muda berhati dingin, yang lengan panjangnya digulung sembarang hingga menampilkan urat-urat nadi di lengannya, membuat dirinya semakin terlihat 'menggugah selera'. Atas saran papanya, atau Pak Abimanyu, kini Royan sudah mengajak Rachel ke kota sebelah untuk menemaninya menyelesaikan beberapa urusan bisnis.Pak Abimanyu merasa bahwa Royan terlalu sering menyetir sendiri, dan sangat mengkhawatirkan apabila ia mengantuk saat di jalan, dan tidak ada yang memperingatkannya. Royan membenarkan hal tersebut karena memang Rey selalu membuatnya begadang setiap malam kar
Setelah insiden berpelukan yang baru saja terjadi, Royan dan Rachel kini terdiam dan merasa canggung untuk memulai percakapan satu dengan lainnya. Beberapa kali Royan ingin membuka mulutnya untuk mencari topik bahasan yang bisa mereka gunakan berbincang saat ini."Silakan dinikmati!" ucap pelayan yang mengantarkan pesanan mereka."Terima kasih," kata Rachel.Rachel memandang makanan di hadapannya dengan bingung, karena memang ini kali pertama ia makan di tempat ini. Rachel mencari sendok dan garpu yang harusnya sudah ada lengkap bersama makanannya. Entah sejak kapan Royan juga sudah menghilang dari hadapannya, membuat Rachel semakin bingung.Dari kejauhan sosok Royan yang memang sangat menonjol dapat terjangkau dalam radar pengelihatannya. Saat seperti ini Rachel baru menyadari bahwa tampilan Royan sangat tidak sesuai dengan kedai ini. Kedai ini didominasi oleh pelajar yang masih menggunakan seragam lengkap mereka. Sedangan Royan menggunakan setelan jas h