Share

3. The New Self

Happy Reading . . .

~Jangan lupa tinggalkan support kalian dengan komentar.. XoXo~

***

Dua Puluh Tahun Kemudian . . .

~

Suara tembakan senjata api yang sedang ditembakkan berkali-kali itu terdengar begitu memekakan telinga. Beberapa peluru yang berjatuhan dan membentur lantai menjadikan suara yang sangat disukai wanita itu. Melihat kertas yang menjadi target tembakannya sudah penuh bekas peluru yang menembus di sana, wanita itu menaruh pistol yang ia pegang lalu membuka penutup telinga yang dikenakannya.

"Sudah cukup rupanya latihan hari ini?" Tanya seorang pria yang baru saja datang dan langsung mengangkat tubuh wanita itu ke gendongannya.

Senyuman pun terbit di wajah wanita itu sambil mengeratkan kedua kakinya yang memeluk erat pinggang sang suami.

"Aku lelah, tetapi aku masih merasa belum puas dengan kemampuanku." Balasnya sambil membelai lengan pria itu yang keras dan berotot.

"Jangan memaksakan dirimu."

"Aku harus bisa mengalahkanmu yang begitu hebat ini."

"Kau ingin mengalahkanku?"

"Tentu saja. Karena kau tidak pernah terkalahkan, maka dari itu biar aku saja yang akan mengalahkanmu."

"Kau yakin bisa mengalahkanku?"

"Benjamin Preston, aku akan mengalahkanmu. Kau tahu?"

"Aku menyukaimu yang seperti ini, Sayang." Ucap Sebastian yang membuat sang istri tertawa.

Dan sang istri itu adalah Nalla Aideen Hollie, anak perempuan yang dua puluh tahun lalu pernah ditolong dan kini pria itu telah menikahinya juga. Perbedaan usia yang mencapai tujuh belas tahun itu tidak membuat pernikahan yang sudah berjalan sejak lima tahun yang lalu, tidak menjadikannya hambatan.

Justru Nalla merasa begitu beruntung bisa memiliki seorang pemimpin The Rotter, kelompok pembunuh bayaran yang memiliki nama besar dan begitu dicari oleh orang-orang yang tidak ingin mengotori tangannya sendiri dengan hal keji. Dan hal tersebut menjadikan Nalla begitu bahagia karena ia bisa menikah dengan pria yang sudah membuat wanita itu terpukau saat pertama kali melihatnya.

Selain dengan keterpukauannya, Nalla juga merasa Benjamin benar-benar menjadi pelindung untuknya. Setelah dirinya yang dibawa bersama pria itu, banyak hal yang terjadi. Nalla tumbuh menjadi seorang wanita yang begitu memukau dengan kecantikan alaminya, dan ia juga memiliki pribadi yang berbeda. Karena kini ia sudah menjadi wanita dewasa berusia dua puluh delapan tahun yang tidak mengenal rasa takut apalagi trauma.

"Bagaimana bisa dengan kau yang sudah berkeringat seperti ini, tetapi tubuhmu masih memberikan wangi kesukaanku?"

"Kau menyukai wangi tubuhku?"

"Aku merindukannya," balas Benjamin sambil mendudukkan tubuh Nalla di atas meja dan mulai mencumbu sang istri.

Tidak lama saat kedua insan itu sedang saling bercumbu, pintu ruangan latihan tembak itu terbuka namun tetap tidak menghentikan kegiatan mereka.

"Target anda sudah berada di basement, Queen."

Laporan yang diberikan oleh salah satu anak buah Benjamin itu, membuat Nalla dengan cepat sedikit mendorong tubuh sang suami menjauhi dirinya.

"Ingin aku bantu?" Tawar Benjamin dengan seringaian kecil yang terbit di sudut bibirnya itu.

"Aku mohon. Hari ini aku sudah merasa cukup lelah setelah latihan."

"Tentu, Sayang. Ayo kita habisi nyawa mereka."

Sebastian menggenggam tangan Ravena untuk mengajaknya menuju basement, tempat yang selalu dijadikan lokasi eksekusi sekaligus menjadi saksi bisu dimana nyawa seseorang yang selalu berakhir di sana. Dan ya, sudah selama beberapa bulan belakangan ini Ravena membalaskan dendamnya.

Ia mencari orang-orang yang dulu terlibat dalam pembunuhan kedua orangtuanya. Sudah sebagian besar ia menghabiskan nyawa orang-orang malang itu. Dan malam ini, ia akan kembali menyaksikan sendiri bagaimana nyawa seseorang akan menghilang tepat di hadapannya langsung.

Lampu sorot yang sangat terang langsung menerangi seluruh ruang tersebut setelah Ravena memasukinya. Tidak jauh di depan sana, seseorang sudah diikat dengan kursi yang diduduki dan sebuah kain yang menutupi kepalanya.

Dengan menampilkan senyuman arogannya, Nalla membuka kain penutup kepala dan ia langsung menarik lakban di mulut pria itu hingga membuatnya berteriak kesakitan. Tidak sampai disitu saja, Nalla semakin memberikan kesakitan di wajah targetnya yang sudah penuh darah akan luka itu dengan menekannya.

"Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah kau menyaksikan sendiri bagaimana dua orang yang tidak bersalah itu dihabisi nyawanya dengan keji dan tanpa rasa belas kasihan, bukan? Apakah sekiranya kau masih mengingat teriakan memohon yang mereka berikan pada malam hari itu?”

“K-kau.., kau siapa?” Tanya sang korban dengan tergugup karena menahan rasa sakit dan takut disaat yang bersamaan.

"Kau tidak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau tahu, kau harus mengingat perbuatan kejimu itu harus dibalas dengan nyawa juga."

"Ja-jacob ak... akan membalas... pe-perbuatanmu."

"Jacob akan menyusulmu, beserta anak-anak buahnya yang sudah terlebih dahulu pergi menjemput kematiannya. Jadi, kau tidak perlu memikirkan balas dendam untukku, okay?"

"Be-benjamin?" Ucap pria itu dengan terkejut setelah melihat keberadaan Benjamin yang baru saja melangkah memunculkan dirinya tepat di samping Nalla.

"Kau bisa melakukannya. Aku sudah muak melihat wajahnya, Sayang."

Ucap Nalla yang langsung melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, dan bersamaan dengan itu suara tembakan pun juga langsung terdengar beberapa kali. Suara yang selalu membuat Nalla tersenyum disetiap mendengarnya, karena bagi wanita itu hal tersebut adalah sebuah kepuasan tersendiri.

"Kita hampir menyelesaikan misi ini. Dan esok, aku ingin target terakhir dilumpuhkan," ucap Nalla kepada Ivy, sang asisten sekaligus tangan kanan yang selalu mengikuti kemana bosnya itu pergi.

"Jacob, Queen?"

"Hampir. Karena pria itu adalah target utama."

"Megan?"

"Esok hari persiapkan semuanya, karena aku sendiri yang akan turun tangan untuk target."

"Keinginan anda adalah perintah saya, Queen."

Tidak lama setelah wanita itu menyampaikan keinginannya, pintu lift yang akan mengantar menuju lantai kamarnya pun tertutup meninggalkan sang asisten di luar sana. Setelah sampai di kamarnya, Nalla memilih untuk pergi mandi dan berharap bisa mengendurkan syaraf otot-otot tubuhnya yang sedang tegang.

Nalla pun memasukkan diri lalu mesandarkan tubuh di kepala bath tub setelah ia mengisinya dengan air hangat dan bubble bath hingga busa sudah memenuhi bath tub tersebut. Wanita itu menutup mata untuk menikmati busa-busa yang seakan memijat sekaligus menutupi seluruh tubuh polosnya itu.

"Kenapa kau tidak mengajakku, Sayang?"

Nalla langsung membuka matanya dan melihat Benjamin yang sedang membuka seluruh pakaiannya. Hal yang selalu membuat wanita itu terpaku dibuatnya. Selain karena bentuk tubuh sang suami yang begitu sempurna dengan otot-otot kerasnya, pesona pria itu benar-benar selalu membuat Nalla meleleh akannya.

"Kau membuatku terkejut, kau tahu?" Ucap Nalla dengan senyuman yang terbit di bibirnya itu.

"Benarkah? Maka dari itu biasakanlah untuk dirimu bisa selalu mengunci pintu, Nona." Balas Jacob sambil melangkah memasuki bath tub, lalu sedikit menindih tubuh Nalla hingga tubuh mereka yang saling melekat dan wajah yang juga saling berhadapan.

"Jika aku kunci, nanti kau akan protes denganku."

"Kau sudah sangat begitu mengenalku rupanya."

"Tentu saja. Kau adalah idolaku. Kau itu pahlawan sekaligus pelindungku, Benjamin. Dan tahukah kau? Aku ini sangat mencintaimu."

"Sangat?"

"Sangat."

"Sayangku ini benar-benar sangat mencintaiku?"

"Ya, Sayang."

"Aku juga mencintaimu, Sayang." Ucap Benjamin sambil membelai lembut wajah Nalla, dimana hal kecil seperti itu saja selalu membuat darah di dalam tubuh wanita itu terasa berdesir dengan begitu hebatnya.

"Besok pagi, aku ingin melakukan hal yang sudah hampir selesai ini. Apakah kau bisa menemaniku?"

"Siapa targetmu kali ini, Sayang?"

"Aku pikir, Megan sudah waktunya."

Mendengar nama yang baru saja Nalla ucapkan, membuat tubuh Benjamin seakan langsung menegang dibuatnya. Nama yang tidak asing di telinganya itu merupakan salah satu dari bagian di masa lalunya. Tetapi sebisa mungkin Benjamin menutupi ketegangan yang dirasakannya itu, sebelum Nalla menjadi merasa curiga terhadap dirinya.

"Aku akan selalu berada di sisimu, Sayang. Dan tentu aku akan menemanimu. Tetapi, setelah aku menyelesaikan misiku nanti malam."

"Nanti kau ada misi?"

"Ya. Mereka ingin aku sendiri yang mengatasinya."

"Kenapa harus kau? Mereka tidak ingin memakai anak buahmu?"

"Bayarannya setimpal, Sayang. Jadi aku ingin kau mengerti, okay?"

"Tetapi di sini nyawamu lah yang selalu menjadi taruhannya. Perasaanku langsung mengatakan tidak. Kau tidak boleh menerima misi itu, atau biarkan saja anak buahmu yang melakukannya."

"Kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur dalam pekerjaanku, bukan?"

Mendengar ucapan yang cukup menusuk ke hatinya itu hanya bisa membuat Nalla langsung tersenyum getir di dalam hati saja. Wanita itu memang mengetahui pekerjaan sang suami yang berada di kelompok pembunuh bayaran, namun hanya sebatas mengetahui saja.

Dan Benjamin pun sudah selalu memperingati Nalla untuk tidak perlu ikut mencampuri urusan pekerjaannya dengan alasan yang tidak pernah wanita itu ketahui. Dengan nada bicara yang cukup tajam dan juga kalimat yang sudah sering Nalla dengar hanya bisa membuatnya terdiam dan menerima hal seperti itu terus menerus.

"Maafkan aku."

"Pelajari kedudukanmu di sini."

"Aku mengerti," balas Nalla dengan tersenyum kecut.

"Senang bisa melihat kau yang selalu mengerti di setiap perintahku. Dan hei, berhenti menggigit bibirmu seperti itu. Okay?"

"Memangnya kenapa, kau ingin menggantikannya?" Tantang Nalla yang langsung mengerti jika ia harus mengganti topik pembicaraan di antara mereka.

Benjamin memang pria yang sangat sulit untuk ditebak keinginannya. Namun selama dua puluh tahun ia hidup bersama, membuat Nalla lama kelamaan menjadi semakin tahu akan setiap keinginan sang suami yang pasti akan selalu berubah-ubah setiap detiknya.

"Kau sedang memberikan penawaran atau pertanyaan?"

"Apapun itu, jawabannya akan tetap sama saja, bukan?"

"Berbaliklah. Aku membutuhkan suasana hati yang baik sebelum pergi menjalankan misi nanti," perintah Benjamin sambil membantu Nalla yang sedang membalikkan tubuhnya dengan sedikit kasar, hingga wanita itu kini bertumpu pada kedua lutut dan tangannya.

"Berikan aku sedikit cumbuan," pinta Nalla sambil menengokkan kepalanya dan memberikan tatapan memohon kepada pria itu.

"Tidak perlu, itu hanya membuang-buang waktu saja."

Tanpa menunggu lama, Benjamin pun langsung melakukan penetrasi tanpa memberikan kesempatan kepada Nalla untuk sekedar mempersiapkan diri ataupun menarik nafasnya walau sesaat. Sayangnya hal yang pasti akan memberikan kesakitan kepada wanita itu tidak pernah Benjamin hiraukan. Karena pria itu hanya mementingkan kepuasannya seorang diri saja tanpa memikirkan perasaan sang istri.

Sedangkan Nalla yang sudah biasa menerima rasa sakit seperti itu hanya bisa menahan teriakan sekaligus mencengkram tangannya sendiri dengan kuat-kuat. Rasa sakit yang selalu diberikan setiap percintaannya bersama sang suami seperti itu hanya bisa Nalla simpan di lubuk hati terdalamnya saja.

Bagaimana pun juga, pria itu yang dulu telah menolong dan memberikan dirinya kehidupan sampai saat ini, ditambah lagi ia begitu mencintai Benjamin. Jika hanya rasa sakit seperti itu saja, Nalla merasa hal tersebut cukup setimpal setelah banyak hal yang sudah suaminya itu lakukan untuknya.

***

"Berikan aku berita yang menyenangkan di pagi hari yang cerah ini, Ivy." Ucap Nalla sambil memperhatikan dirinya di depan cermin yang kini sudah bersiap untuk melaksanakan misinya.

"Sesuai rencana anda yang pagi ini ingin mulai misi, semalam beberapa anak buah sudah memulai rencana awal."

"Dengan apa?"

"Meledakkan gudang pembuatan dan penyimpanan yang berada di satu tempat."

"Berhasil?"

Ivy pun langsung melangkah menuju televisi yang berada tidak jauh darinya. Setelah menyalakan, layar televisi langsung menayangkan sebuah berita mengenai kebakaran besar di gudang yang dimaksudkannya tadi.

"Lebih dari delapan jam api besar itu sulit dipadamkan dan berita terbaru yang saya dapatkan semua bangunan di tempat itu sudah hangus dan rata dengan tanah, Queen."

"Aku senang mendengar berita itu, Ivy."

Setelah mematikan televisi, Ivy kembali menghampiri bosnya itu dan membantu Nalla yang sedang memakai sepatu hak tingginya.

"Tetapi..."

"Tetapi apa, Ivy?" Sela Nalla dengan penasaran setelah mendengar anak buahnya itu yang menghentikan ucapannya.

"Setelah pulang dari misi tadi pagi-pagi sekali, King mengalami luka di wajah yang cukup parah dan ia terkena tembakan di bagian perutnya."

Mendengar hal tersebut, dengan cepat Nalla langsung bergegas dengan sedikit berlari menuju ruang perawatan di lantai bawah. Rasa marah, sedih dan kesal mendera perasaan wanita itu di setiap langkahnya. Hingga pada akhirnya Nalla memasuki ruangan yang selalu digunakan untuk menangani dan memulihkan kondisi seseorang yang membutuhkan perawatan, dan ia langsung bisa melihat keadaan Benjamin yang kini terlihat sedang mencabut sendiri peluru yang bersarang di perutnya itu.

Melihat kondisi Benjamin yang sudah seperti itu namun sang suami masih terlihat baik-baik saja, membuat Nalla langsung merasa kesal sendiri. Hingga pada akhirnya wanita itu bergegas meninggalkan ruang tersebut disaat matanya sudah bertatapan dengan mata Benjamin. Nalla melangkah menuju kamarnya kembali untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti tadi, ketika ia mendengar berita tentang Benjamin yang membuatnya terkejut.

"Cepat bantu aku agar kita bisa segera bergegas, Ivy." Ucap Ravena sambil mendudukkan diri di depan meja rias.

"Anda baik-baik saja, Queen?"

"Ya. Ivy, bisakah kau ambilkan segelas air mineral untukku?" Pinta Nalla setelah melihat keberadaan Benjamin di belakang sana memalui kaca di hadapannya.

"Baik, Queen."

Setelah kepergian asistennya, Nalla kembali menyibukkan diri akan penampilannya itu dan mencoba mengacuhkan keberadaan Sebastian di sana.

"Semalam aku dijebak oleh The Rogue's. Yang aku kira itu adalah misi, tetapi nyatanya itu adalah sebuah jebakan."

Tidak hanya keberadaannya saja, Nalla pun memilih untuk diam dan tidak menanggapi ucapan pria itu.

"Dan aku sedikit menyesal karena tidak mendengar permintaanmu."

"Setidaknya kau sudah mendengarnya dariku," balas Nalla dengan ketus.

"Kau marah karena aku tidak mendengarkanmu?"

"Aku tidak ingin ikut campur dengan pekerjaanmu. Dan aku harus belajar akan kedudukanku di sini."

"Lalu kau ingin ke mana?"

"Megan, aku ingin melakukan eksekusi hari ini. Kau tidak mengingatnya?"

"Biar aku temani."

"Terserah kau saja," balas Nalla dengan singkat sambil beranjak dari duduknya dan melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Langkah kaki Nalla menuju pintu keluar mansion itu langsung diikuti oleh Benjamin. Setelah mereka di dalam mobil dan perjalanan menuju keberadaan dimana Megan pasti berada, Nalla tetap memilih untuk mengacuhkan sang suami yang berada di sampingnya.

"Kau bisa marah denganku, tetapi jangan pernah mengacuhkanku seperti ini!" Seru Benjamin sambil merebut ponsel yang sedang menjadi pusat perhatian Nalla dari tangan wanita itu dan membuangnya ke sembarang arah.

"Aku tidak mengacuhkanmu. Aku hanya ingin membiarkanmu beristirahat sejenak setelah kau mengalami kejadian yang tidak kau inginkan itu, okay?"

Mendengar jawaban wanita itu, Benjamin pun langsung menurunkan tingkat emosi yang sudah sempat mulai naik tadi dengan mencoba menenangkan dirinya.

"Aku tidak bermaksud untuk seperti tadi. Maafkan aku, Sayang." Ucap pria itu sambil menggenggam tangan Nalla.

Melihat Nalla yang masih tetap membuang pandangan darinya, Benjamin pun menarik pinggang sang istri hingga menempel dengan tubuhnya. Lalu ia menciumi pipi wanita itu, hingga pada akhirnya Nalla menengokkan kepala dan menatap wajah Benjamin.

"Mohon sekali saja dengarkan aku. Aku hanya tidak ingin kau terluka. Aku mencintaimu, dan jika kau sampai kenapa-kenapa aku yang akan mati."

"Okay. Maafkan aku."

"Luka di perutmu sudah kau obati?"

"Aku sudah menutupnya dengan perban," balas Sebastian sambil mengangkat t-shirt bagian depannya dan memperlihatkan luka yang memang sudah terdapat perban di sana.

"Tetapi wajahmu belum diobati."

"Aku terburu-buru ingin berbicara denganmu."

"Dan dengan seperti ini kau menjadi terlihat seperti bajingan," ucap Ravena sambil mengambil selembar tisu untuk menghapus bercak darah yang masih berada di wajah sang suami.

"Dan kau pun sangat mencintai bajingan ini, bukan?"

Nalla yang baru saja mendengar ucapan Benjamin itu pun langsung tertawa kecil sambil memukul dada bidang pria itu. Sepanjang perjalanan tersebut, Nalla mengobati luka di wajah Benjamin dengan memberikan alkohol yang berasal dari minuman yang selalu berada di dalam mobil. Hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan yang wanita itu tuju, Nalla langsung bersiap-siap diri untuk melaksanakan misinya.

"Kita sampai. Kau siap?" Tanya Benjamin.

"Aku dilahirkan untuk siap membalaskan dendamku kepada jalang itu."

"Aku menyukai semangatmu ini, Sayang."

"Kita beraksi!" Seru Nalla sambil membuka pintu mobil dan keluar dari dalam sana.

***

To be continued . . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status