“Dok, Anda dicari – “
Raiga sedang membaca rekam medis salah satu pasien siang itu, saat seorang perawat masuk ke ruangannya. Pria itu melepas kacamata dan bertanya siapa yang mencari dirinya sampai ke rumah sakit.
Namun, belum juga si perawat menjawab, dua orang berbadan tegap dengan kemeja warna gelap masuk ke dalam.
“Dokter, kami butuh bantuan Anda,” ucap salah satunya
“Bantuan, apa masalah yang sama lagi? klinik aborsi?”
Tebakan Raiga diamini dengan anggukan kepala dua orang itu.
_
_
Sementara di tempat lain, Zie tengah harap-harap cemas. Menggunakan baju kasual, topi dan masker. Wanita itu benar-benar mendatangi klinik yang dia temukan di internet kemarin. Ia duduk di selasar menunggu antrian seperti beberapa pengunjung yang lain.
Zie menoleh ke kanan dan kiri, setan sudah merasuki nuraninya hingga bertindak sampai sejauh ini. Ia merasa tidak bisa mempertahankan bayinya, tidak. Ini terlalu sulit untuk dihadapi seorang diri. Zie mencoba bersikap tenang, meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan yang paling baik. Perbuatannya malam itu bersama Sean adalah sebuah kesalahan. Ia tidak mau menanggung akibatnya sendiri. Zie berjanji setelah ini dia akan bertaubat. Ia tidak akan mengulangi kesalahan lagi.
Namun, baru saja pasien ke dua keluar dari ruang praktik dokter. Seorang pria berlari menerobos masuk ke sana.
“Pak, ada petugas!”
Ucapan pria yang masuk terdengar oleh semua orang. Zie pun terkejut bukan kepalang, mereka seketika panik karena tempat itu digerebek polisi.
“Diam di tempat!” suara petugas terdengar sangat lantang.
Zie benar-benar syok, dia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tangannya gemetar, dia merasa limbung, sampai terduduk lagi di kursi. Ia semakin tak bisa berkata-kata karena melihat Raiga di sana.
“Ra-Ra-Rai,” ucapnya terbata-bata.
Mereka semua dikumpulkan dalam satu ruangan, Zie bahkan diminta untuk melepas masker dan topi, membuat orang-orang kaget karena calon wali kota mereka ada di sana juga.
“Nona Zie!”
Seorang polisi wanita menyebut namanya dengan bola mata nyaris keluar. Begitu juga dengan Raiga yang menoleh saat mendengar nama yang tak asing di telinganya disebut. Putra bungsu Daniel Tyaga itu kaget mendapati teman SMA sekaligus sahabat baik sang sepupu berada di sana.
Namun, karena tahu siapa Zie. Mereka tidak curiga dengan niat asli gadis itu mendatangi klinik aborsi tersebut. Hal ini pun dimanfaatkan oleh Zie untuk berbohong.
“Aku ke sini karena adanya laporan ke LPA, aku sedang menyelidiki satu kasus.”
Alasan Zie terdengar sangat masuk akal, tapi nahas ini tetap tak bisa membuatnya lolos dari pemeriksaan. Zie diminta melakukan uji kehamilan untu membuktikan kebenaran atas ucapannya barusan. Beruntung, tidak ada media yang meliput penggerebekan itu, sehingga Zie masih bisa sedikit tenang.
_
Satu persatu wanita yang sudah selesai melakukan uji urine masuk ke ruangan, di mana Raiga sudah menunggu untuk melihat hasilnya. Hingga tiba giliran Zie, dia berjalan pelan lalu duduk di depan dokter tampan itu.
“Kamu benar-benar, kalau ingin melakukan misi ajak staff atau minta saja staffmu, kenapa menyulitkan diri seperti ini?” cerocos Raiga.
Ia dan Zie memang kenal dekat. Gadis itu dan Marsha sering meminjam pekerjaan rumah miliknya saat masih sekolah dulu. Raiga yang sangat pintar terkadang sampai harus mengajari mereka layaknya guru pribadi.
Zie hanya tesenyum tipis menanggapi, kemudian mengulurkan alat uji kehamilan yang baru saja digunakannya ke Raiga, hidup dan matinya kini berada di tangan pria ini.
Raiga terdiam, nampak jelas pria itu menelan saliva saat melihat hasil uji kehamilan milik Zie. Ia buru-buru menindih hasil tes dengan kertas, saat polisi yang berdiri tepat di sebelahnya menoleh.
“Sebaiknya jangan melakukan hal seperti ini lagi, bahaya! Kamu tidak tahu orang bisa berpikir buruk tentangmu.” Raiga mengucapkan kalimat itu dengan tegas, lalu mendongak menatap polisi yang ada di sebelahnya. “Hasilnya negatif.”
Zie tersentak, dia tak menyangka Raiga akan berbohong demi dirinya. Pria itu kini menatapnya dengan kening berkerut. Zie jelas melihat dua garis merah tercetak tebal di sana. Ia bingung, kenapa Raiga melakukan ini. Padahal dia sudah siap untuk menerima semua konsekuensi.
“Apa sudah selesai, Pak?” tanya Raiga ke polisi. Sedangkan Zie, nampak berjalan di belakangnya dan terus menundukkan kepala.
“Sepertinya sudah, Dok. Terima kasih atas bantuan Anda.”
Polisi itu menjabat tangan Raiga, lalu menunduk memberikan salam ke Zie yang berdiri di dekat dokter kandungan itu. Raiga menoleh, banyak pertanyaan yang berputar di kepala. Meski tak seharusnya mencecar Zie, tapi gadis itu seharusnya sadar bahwa dia baru saja berhutang budi.
“Kamu naik apa ke sini?”
“Taksi,” jawab Zie sambil terus menunduk, dia tidak berani menatap wajah adik kandung pria yang sangat disukainya itu.
“Ayo pulang bersamaku!” ajak Raiga.
“Tidak perlu! aku …. “
“Aku ingin bicara banyak denganmu!” potong Raiga cepat. Hal ini membuat Zie kembali menunduk karena takut.
***
Zie mimilih diam dan terus menekuri jemari sepanjang perjalanan pulang bersama Raiga. Ia berdoa semoga pria di sebelahnya tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Namun, harapan Zie jelas mustahil untuk dipenuhi, karena saat mobil berhenti di lampu merah, Raiga menoleh dan mulai bertanya.
“Kamu sudah hamil berapa bulan?”
DEG
Meski seharusnya tak lagi terkejut, tapi Zie merasa jantungnya hampir melompat keluar. Dia menggeleng pelan karena memang tidak tahu berapa usia kandungannya.
“Apa? tidak tahu?”
Raiga membentak dan sebuah pukulan melayang dari Zie ke lengannya. Gadis itu memegangi dadanya sendiri.
“Bisa tidak jangan membuatku kaget? Aku sudah takut setengah mati sejak kemarin Rai. Apa kamu tahu apa yang aku pikirkan dan rasakan? Aku takut orangtuaku kecewa, karirku hancur, aku dibenci semua orang dan harus membesarkan anak ini sendirian.”
Raiga hanya bisa mengedipkan mata, kini giliran dia yang terkejut karena Zie bersikap sangat emosional. Raiga semakin bingung karena Zie menangis, yang bisa dia lakukan hanya menyambar kotak tisu lalu memberikannya ke gadis itu.
“Kamu pasti ingin tahu alasanku sampai datang ke sana,” lirih Zie setelah bisa meredam emosi. Ia merasa sedikit lega karena akhirnya bisa menumpahkan tangis dan perasaan di depan orang lain.
“Ayah bayi ini tidak menginginkannya, dia bahkan tidak tahu bahwa aku sedang nengandung anaknya. Semua ini kesalahanku. Aku dengan sadar membiarkan dia melakukan perbuatan itu, bahkan aku menikmatinya,” ucap Zie, setelah itu meraung sambil menghapus lelehan air mata di pipi.
Raiga melongo, dia tak paham dengan maksud ucapan Zie. Bagaimana dia tahu kalau pria itu tidak menginginkan bayinya, sedangkan dia saja tidak memberitahu tentang kehamilannya.
“Zie, kamu itu lucu,” kata Raiga.
“Apa? apa sekarang kamu menganggapku dakocan?”
“Hei, kamu bilang tidak memberitahu pria itu kalau kamu hamil, lalu kenapa memutuskan dia tidak menginginkan anak itu?” tanya Raiga dengan alis tertarik ke atas.
“Karena dia manusia gelato,” jawab Zie dengan suara tercekat karena sesenggukan.
“Sean?”
Tangisan Zie seketika berhenti, dia menoleh Raiga yang juga sedang menatapnya. Zie mengangguk sekali, kemudian menggeleng berkali-kali.
“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?” Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan
"Iya bayi, Zie dia … “Marsha menjeda lisan. Belum juga rasa keterkejutan Sean terjawab. Daniel dan Ghea nampak berjalan ke arah mereka. Terang saja baik Marsha, Sean dan Raiga memilih untuk diam. Pasangan suami istri itu heran melihat ke tiganya berkumpul, hingga bertanya apa yang sedang mereka bahas.“Tidak ada, kami hanya rindu Omano,” ucap Raiga. Ia memilih berbicara lebih dulu dari pada menunggu Marsha atau Sean, dan malah membuat orangtuanya semakin curiga.“Ayo kita tunggu pak Rudi di ruang tengah,” ucap Daniel. Pria itu masih terlihat sangat tampan meski usianya sudah tak lagi muda. “Sampai mana papimu, Sya?” tanyanya ke sang keponakan.“Papi bilang sebentar lagi akan sampai,” jawab Marsha. Matanya terus tertuju pada Sean yang menatapnya datar.🍀Semua orang akhirnya berkumpul mendengarkan surat wasiat Nova yang akan dibacakan oleh Rudi. Pengacara yang sudah renta itu terlihat membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung, sebelum memandangi satu persatu anggota keluar
❤ Selamat Membaca ❤Pagi itu Zie dibuat khawatir karena ratusan pendukungnya berdemo di depan LPA. Mereka menyayangkan keputusan Zie mundur dari pemilihan wali kota dengan alasan yang kurang bisa diterima. Padahal, dirinya sudah digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, banyak pendukung Zie yang merasa kecewa. Mereka menuntut penjelasan dan berusaha menahan Zie untuk tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon wali kota ke badan yang menangani pemungutan suara.Zie bingung bahkan mondar-mandir di ruang kerja, dia memilih untuk tidak menemui para pendukung di luar. Ia menghubungi Surya – pria yang merupakan ketua tim pemenangannya dalam pemilihan nanti. Zie meminta Surya untuk mengendalikan masa di luar kantor, dia berjanji akan menemui perwakilan pendukungnya untuk diajak berdiskusi bersama.Sementara itu di ruangan lain di LPA, dua orang pria dan satu wanita sedang berbincang membicarakan keputusan Zie yang tak lain adalah direktur
❤Selamat Membaca❤ Marsha terdiam beberapa menit, hingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya heran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan olehnya ke Zie dengan tatapan serius seperti ini. Namun, pada akhirnya ibunda bocah bernama Serafina itu merasa tak tega membongkar aib sahabatnya sendiri. “Kenapa kamu mundur mencalonkan diri sebagai wali kota? Padahal aku yakin kamu pasti akan terpilih.” “Hah … apa?” Zie kaget, dia tak menyangka bahwa pertanyaan Marsha adalah masalah pencalonan dirinya dan bukan kehamilannya. Gadis itu nampak lega, meski agak canggung juga saat keputusan yang dibuat dipertanyakan alasannya. “Aku masih memikirkan itu, aku bahkan belum mendatangi kantor badan pemungutan suara untuk mengundurkan diri secara resmi,” jawab Zie. Marsha menganggukkan kepala lalu memilih membahas hal lain. Salah satunya tingkah Serafina yang semakin menggemaskan. Bocah yang sebentar lagi masuk SD itu memiliki bakat di bidang marketing. Setiap kali ada kegiatan market day di TK nya
❤Selamat Membaca❤Sean meninggalkan kelab dengan perasaan campur aduk menuju rumah. Ia tidak membalas sapaan pembantu dan bergegas menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa melepaskan baju, Sean pergi ke kamar mandi lalu berdiri di bawah shower dan menghidupkannya. Pria itu sengaja menggunakan air dingin untuk menenangkan otak yang panas karena mendengar ucapan Aaera tadi.Sean menunduk dan membiarkan air menetes dari rambut juga bajunya yang kuyup. Ia mengusap muka, mengidap klaustrofobia jelas bukan keinginannya.Jika mengingat peristiwa yang dialaminya saat masih kecil. Ia benar-benar merasa menderita. Tidak ada yang ingin memiliki trauma dan ketakutan seperti apa yang Sean miliki. Disekap berhari-hari oleh orang jahat yang menculiknya lalu setelah berhasil kabur, harus terjebak di dalam lift selama berjam-jam menunggu diselamatkan.Pria itu bahkan berusaha menghilangkan fobianya dengan menjalani terapi ke psikiater. Namun, hasilnya tetap sama, Sean tidak bisa mengendal
"A-a-apa?” Zie terperangah.“Kamu pikir bisa menyembunyikan kehamilanmu itu sampai kapan? Aku menawarkan pernikahan semata-mata agar harga dirimu dan harga diriku terjaga.”“Jadi bukan hanya bentuk tanggung jawab, begitu ‘kan?” Zie bertanya dengan mimik kecewa.“Aku belum siap memiliki anak, apa lagi dari wanita yang sama sekali tidak aku cintai.”“Kamu tidak perlu memikirkan harga diriku, Sean!” jawab Zie cepat. Hatinya mencelos mendengar ucapan Sean soal tak mencintai.Diabaikan oleh Sean sudah menjadi hal yang biasa dia terima, jadi jika hanya sepenggal kalimat yang membuat dada nyeri, tentu tidak akan membuat Zie kembali menteskan air mata. Mungkin tidak untuk saat ini.“Marsha dan Rai sudah tahu masalah ini, apa yang akan kamu lakukan jika mereka bicara ke orangtuamu? Apa kamu akan bilang aku tidak mau bertanggungjawab, aku jelas menawarkan hal itu.” Sean agak ngotot juga agar gadis di depannya ini menyetujui idenya.Namun, Zie tetap pada pendirian. Ia tidak ingin menjerumuskan d
Sore harinya, Marsha nampak datang ke rumah sakit di mana Raiga bekerja. Ia mendaftar dan mengantri seperti pasien pada umumnya. Marsha tersenyum mencibir, melihat antrian yang tak begitu banyak, dia mengira bahwa sepupunya itu bukanlah dokter kandungan yang menjadi idola bumil-bumil kebanyakan. Namun, prasangkanya seketika terpatahkan saat dia menerima nomor antrian dari petugas di bagian pendaftaran.“Ti-ti-tiga puluh?”“Iya Bu, Anda masuk kuota tambahan,” jawab petugas.“Kuota tambahan? memang ada kuota ketengan di sini?”“Ibu bisa aja,” ujar petugas sambil mengulum tawa.Marsha geleng-geleng sambil memasukkan KTPnya ke dalam dompet. Pada akhirnya dia memilih duduk dan menunggu seperti pasien yang lain. Wanita itu memandangi ponsel untuk memastikan jam berapa saat dia mulai menunggu. Jika bukan karena ingin tahu perkembangan masalah Zie dan Sean secara live, dia jelas malas datang ke sana.Selama hampir satu jam, Marsha melihat lima pasien yang baru datang masuk dan keluar dari rua
Setelah menemui Zie, Sean malah merasa semakin tidak tenang. Tak pernah dia bayangkan gadis yang dulu selalu bersikap manis padanya sekarang sangat keras kepala, dan bahkan seperti membencinya. Sean mengemudikan mobil pelan, hingga saat berada di lampu merah dia malah termenung menyanggah sisi kepala dengan siku bertumpu pada jendela mobil. Sean ingat ucapannya saat menolak pernyataan cinta Zie dulu, agak kejam bahkan sedikit menghina. Namun, hal itu dia lakukan karena sebuah kesalahpahaman yang ternyata baru disadarinya sekarang. "Zie, dia bukan gadis nakal yang bisa disentuh sembarangan oleh pria," gumam Sean. Ia menegakkan badan lalu menginjak pedal gas untuk kembali melajukan mobilnya pulang. "Marsha, ini semua gara-gara dia. Aku jelas ingat mendengar pembicaraan mereka, dia ingin mengadukan padaku kalau Zie sudah tidak perawan," sesal Sean. "Sial!" umpatnya mengingat noda darah di sprei kamar hotel tempatnya merenggut mahkota Zie.Sean berdecak lalu mencengkeram erat kemudi. S