REIN memakan masakannya dengan lahap. Irin hanya tersenyum manis sambil turut makan di sampingnya. "Buset, kayak nggak makan sebulan aja, Bang!"Rein tersedak dan Irin dengan sigap mengambilkan air minum untuknya. "Makannya pelan-pelan aja kenapa? Gue nggak minta banyak-banyak juga. Kalau lo suka, besok bisa gue bikinin lagi kok, tenang aja!"Rein menghapus jejak air mata di pelupuk matanya, karena tersedak saat makan sambal pedas memang sesuatu sekali rasanya. Dia suka pedas, sepertinya Irin tahu masalah itu, karena sambal bikinannya memang nikmat sekali di lidahnya.Namun yang membuatnya tersedak bukan karena ia memakannya secara terburu-buru, melainkan panggilan Irin padanya beberapa saat lalu.Walaupun mereka lahir di tahun yang sama, tapi sebenarnya Irin lebih tua darinya. Rein pernah marah dan ngambek saat dia dipanggil 'dek' oleh Irin, ketika mereka masih bermain bersama dulu. Karena Rein tidak mau lagi bermain bersamanya, Irin pun menghapus panggilan ajaibnya dan tak lagi mema
JIKA mereka memang serius ingin menjalani pernikahan ini untuk selamanya, maka langkah pertama Irin harus memberikan hak Rein sebagai suaminya.Sesuatu yang sejak awal tidak pernah ingin Irin berikan padanya, karena dia takut hubungan mereka akan berubah setelah mereka berpisah.Irin memejamkan mata, menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas secara perlahan sebelum mulai bicara. "Rein!""Apa?" Rein menatapnya waspada. Sepertinya laki-laki takut jika Irin mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan perceraian di antara mereka.Segitu takutnya dia sampai memasang wajah defensif dan siap menyerang balik kapan saja. Irin mengenal Rein dengan baik. Dia sangat yakin itu, karena selama ini mereka tumbuh bersama. Jadi dia bisa memahami apa yang sedang berada di pikiran laki-laki itu, setelah mengatakan semua itu padanya.Irin tersenyum tipis, wajahnya memerah saat dia memutuskan untuk menanyakannya. "Lo masih mau tidur sama gue, nggak?"Rein mengerjap, ekspresi wajahnya yang terlihat po
WALAUPUN dia sangat menginginkannya, tapi Rein tidak mau memaksa. Jadi, dia membiarkan Irin memutuskan sendiri kapan dia mau memberikan hak Rein sebagai suaminya.Rein melepaskan tangan Irin dan ia tersenyum penuh makna. "Sekarang?"Irin tampak menelan ludahnya susah payah. "Lo yakin mau sekarang?" Dia sepertinya masih meragukan keinginan Rein malam ini.Rein mengangguk. Tentu saja dia yakin, karena memang sudah lama sejak terakhir kali dia menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria, bahkan jauh sebelum Irin resmi menjadi istrinya."Oke, tapi pindah tempat dulu," pinta Irin sembari melirik sekitar. Tidak mungkin mereka mau melakukannya di sana, kan?"Kenapa harus pindah tempat? Emangnya lo nggak mau nyoba suasana baru gitu?"Pertanyaan itu dengan sukses membuat Irin memasang wajah dongkol setengah mati. "Lo mau ngelakuin di sini? Serius? Masa gue harus berdiri?"Rein mengerjapkan matanya. Dapur apartemennya memang tidak terlalu besar, tapi itu bukan alasan bila tidak ada tempat menari
SEPERTINYA mereka memang harus bercerai secepatnya. Bukan karena masalah tidak akur, tidak cocok, beda pendapat atau apa pun itu, tapi karena Irin tidak sanggup mengimbangi nafsu Rein yang ternyata sangat luar biasa.Minimal tiga kali, tapi mintanya sampai lima kali. Sumpah! Sudah gila apa gimana dia, sampai bisa melakukannya sebanyak itu?Mana saat itu dia dalam keadaan kelelahan setelah lembur sampai tengah malam. Terus, bagaimana kalau dia dalam keadaan prima? Sepuluh ronde semalam gitu?!Irin bergidik ngeri membayangkan malamnya bersama Rein setelah ini. Sumpah, Irin tidak pernah menyangka Rein punya performa menakjubkan dalam urusan ranjang. Pantas saja dia tidak pernah absen ke kelab malam untuk mencari wanita jalang.Irin mendesis. "Pantes aja, kalau diem di rumah terus beneran bakal karatan kali itu burungnya."Walaupun begitu, Irin akui kalau Rein memang ahli dalam urusan percintaan di atas ranjang. Dia melakukan sesuatu yang luar biasa bersamanya. Dan bukannya takut ataupun
REIN nyaris tertawa saat menemukan Irin sedang menatapnya waspada. Dia baru saja pulang kerja, bahkan dia masih menenteng tasnya. Dia juga masih bau keringat, belum sempat mandi apalagi sampai ganti pakaian.Namun, Irin menyambut kedatangannya dengan tatapan waspada laksana seorang mangsa yang sedang mengawasi predator yang akan memburunya.Rein tersenyum simpul. Dia mendekati istrinya yang langsung mengambil langkah mundur. "Lo kenapa sih, Rin?" tanyanya seperti biasa, seperti yang Irin minta sebagai syarat sebelum mereka bercinta.Irin mendelik. "Masih bisa nanya lagi!" sewotnya."Jangan bilang lo takut gue minta lagi yang semalam, ya?" Rein menahan tawa yang ingin menyembur itu dengan sekuat tenaga. Apalagi saat dia melihat Irin hanya diam saja dengan wajah memerah luar biasa. "Tenang aja kali, gue nggak akan minta jatah sekarang, kok."Irin menyipitkan mata dan langsung memandanginya dengan tatapan tidak percaya. "Serius?"Rein mengangguk, lalu tersenyum lebar. Dia tidak bisa meny
IRIN menggoyang-goyang bahu Rein yang sedang menyendok makan malamnya. Alhasil, Rein harus makan dengan susah payah, karena dia perlu menjaga keseimbangan sendoknya agar makanannya tidak jatuh ke meja."Maksud omongan lo tadi gimana sih, Rein? Gue nggak paham." Irin masih mencoba untuk mengejar.Walaupun Rein sudah mengabaikannya sejak tadi, tapi ternyata dia keras kepala sekali. Irin terus memaksa Rein menjawab maksud dari kata-katanya sebelum ini."Omongan gue yang mana?" Rein balik bertanya, sembari menaruh sendok di atas piring dan menghentikan acara makan malamnya sejenak."Yang lo bilang, gue lawan main yang menyenangkan itu ... maksudnya gimana, sih?" Irin memperjelas maksudnya.Wajahnya menunjukkan jika dia sedang penasaran tingkat dewa, bahkan kepolosan tatapan matanya itu membuat Rein ingin jadi ingin menodainya."Masa masih perlu dijelasin?" Rein lagi-lagi balik bertanya, kali ini dengan muka polos yang disengaja."Iyalah! Gue nggak paham, beneran!" desak Irin sembari menja
REIN terpaksa membuka mata, karena merasa pegal di sekitar lehernya. Dia melirik sekitarnya dan ternyata dia masih berada di ruang utama, lengkap dengan televisi yang masih menyala.Dalam hati Rein mulai menggerutu. Kenapa Irin tidak mau membangunkannya? Kalaupun tidak bisa dibangunkan, minimal diberikan selimut kan bisa? Kenapa Rein malah ditinggal begitu saja dengan AC dan televisi yang masih menyala?Rein berdecak kesal, bangkit dari posisi rebahan, dan berniat pergi menuju kamar saat dia merasakan sesuatu sedang menahan sebelah tangannya. Rein mengerjapkan mata, mematung sebentar, sebelum mengucek sebelah matanya menggunakan tangan yang lainnya.Irin ternyata ada di sana. Dia sedang tidur pulas di atas lantai dengan menggunakan sebelah tangan Rein sebagai bantal. Sebelah tangan yang kini terasa kebas, hingga membuat Rein tidak bisa menyadari keberadaan Irin sebelumnya."Dia ketiduran?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri karena tak ada orang lain lagi di sana selain mereka berd
KALAU boleh jujur, Irin lebih ingin tidur daripada pergi meninggalkan kasur. Setelah apa yang mereka lakukan sejak tadi, bahkan sampai berulang kali, dia merasa lemas dan tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Sayangnya dia belum sarapan pagi dan perutnya kini minta untuk diisi. Sepertinya Rein pun merasakan hal yang sama, karena detik berikutnya dia bicara, "Mau makan di luar, nggak?"Irin mengerang malas, dia menarik selimut untuk menutupi kepalanya saat membalas, "Nggak bisa pesan aja gitu? Gue males keluar, Rein. Mau tidur lagi aja!""Masih lemes ya lo?" Rein tersenyum manis. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang tak kunjung meninggalkan bantal setelah mereka selesai bercinta. "Kalau lo terus-terusan di sini dan kayak gini, gue jamin bakal minta lagi, Rin!"Irin membuka selimut yang menutupi kepalanya dengan cepat dan membalas tatapan suaminya. "Jorok banget otak lo, Rein! Masih kurang apa dua kali di kamar mandi, satu kali di meja, masih nambah dua kali di ranjang? Gila,