Selesai menuruni wahana, gadis itu lalu duduk tak jauh dari papan perosotan tinggi yang diincar Joy. Dia suka menyaksikan ekspresi kegembiraan di wajah keponakannya setiap kali meluncur turun dari wahana yang menjadi favorit sebagian besar anak kecil itu.
“Miran…da? Ya Tuhan, ini benar kamu Miranda?”
Gadis itu menengadah. Dia tercengang. Sontak gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan mengenakan seragam penjaga arena permainan.
Pemuda itu orang yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Pemuda yang menempati posisi penting dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Pemuda itu Lukas, ayah kandung Joy!
Orang itu berteriak kegirangan, “Ternyata kamu memang Miranda. Syukurlah akhirnya aku menemukanmu! Sudah bertahun-tahun aku….”
Miranda diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Gadis itu merasa dirinya sedang dipermainkan oleh nasib. Kenapa Lukas bisa muncul tiba-tiba di tempat ini?
Apa tujuanmu yang sebenarnya, Tuhan? tanyanya dalam hati menuntut jawaban. Aku dan Joy sudah hidup tenteram dan tak membutuhkan kehadiran siapapun!
“Tante Miraaa…! Lihat, Joy mau meluncur, nih!”
Gadis itu mendongak ke arah puncak wahana. Dilihatnya sang keponakan sudah duduk dalam posisi siap meluncur ke bawah. Sontak dia mengacungkan kedua jempol tangannya tinggi-tinggi agar anak itu dapat melihatnya dari atas.
Lukas mengikuti pandangan mantan kekasihnya. Dia ternganga melihat anak laki-laki yang memanggil Miranda dengan sebutan tante itu. Apakah dia anak kandungku? batin pria itu penuh tanda tanya.
Diperhatikannya Joy meluncur cepat sambil berteriak kegirangan. Reaksi yang sudah menjadi pemandangan Lukas sehari-hari selama bekerja di arena permainan anak-anak.
“Tante Mira, asyik sekali meluncur begini! Joy mau naik lagi, ah. Tante tunggu di sini, ya. Nanti Joy mau meluncur di papan perosotan sebelahnya. Kan ada tiga. Joy mau merasakannya satu per satu,” cerocos anak laki-laki berumur lima tahun itu tak henti-hentinya.
Miranda langsung mengeluarkan sebotol air mineral berukuran tanggung dari dalam tas ranselnya. “Minum dulu, Nak. Kamu pasti haus. Setelah itu baru naik lagi. Tapi hati-hati, ya,” pesan gadis itu panjang-lebar layaknya seorang ibu. Dia memang sudah menganggap keponakannya itu bagaikan anak kandungnya sendiri.
Joy meminum air mineral itu sedikit.
“Joy mau pipis dulu sebelum naik?” tanya tantenya perhatian. Anak kecil itu menggeleng. “Nggak terasa mau pipis, kok,” jawabnya singkat.
Lalu dia berpaling kepada Lukas. “Oh, Tante sudah siap-siap menunggu sama Bapak Penjaga, ya? Supaya bisa menolong Joy sewaktu-waktu kalau butuh bantuan. Hehehe…, terima kasih, Tante. I love you.”
“I love you too, Joy,” sahut Miranda sambil mengecup dahi anak tampan itu. Tak dihiraukannya Lukas yang memperhatikan mereka sejak tadi.
Seandainya bisa, gadis itu sebenarnya ingin membawa Joy pergi saat itu juga. Dia tak mau berurusan lagi dengan laki-laki yang dulu tega meninggalkan adiknya yang tengah hamil besar. Sudah terlambat kalau Lukas mau mengeklaim Joy sebagai anak kandungnya. Dia ada di mana waktu istrinya dulu bergelut dengan maut demi melahirkan putra mereka? Di mana?!
“Halo, Joy,” sapa Lukas tiba-tiba. Miranda terkejut sekali mendengarnya. Dilihatnya laki-laki berseragam warna biru tua kombinasi oranye itu membungkuk hingga badannya setinggi Joy.
“Kenalkan,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya pada bocah di hadapannya. “Namaku Lukas. Teman Tante Miranda. Kebetulan Om baru satu bulan bekerja di sini. Sebelumnya Om ditempatkan di cabang-cabang lain.”
Joy tersenyum senang. Dia suka sekali kalau ada orang yang mengajaknya berkenalan dan bersikap ramah. Kepribadiannya memang ekstrovert. Berbeda dengan tantenya yang agak selektif dalam bergaul. Diterimanya uluran tangan orang asing di depannya.
“Halo, Om Lukas. Nama lengkapku Joy Abraham. Nama lengkap Om siapa?” tanya bocah lugu itu spontan.
Laki-laki di hadapannya terpaku bagaikan keseterum aliran listrik. Akhirnya aku bertemu anak kandungku! jeritnya dalam hati. Oh Tuhan, setelah bertahun-tahun Kau akhirnya menaruh belas kasihan padaku dan mempertemukan kami di tempat ini.
“Joy,” potong Miranda seketika. “Katanya mau naik perosotan lagi. Buruan main sana. Nanti keburu sore, macet di jalan. Om Lukas juga nggak bisa bicara lama-lama. Dia masih harus bekerja lagi.”
Bocah itu mengangguk. Dengan ceria dia berpamitan pada Miranda dan orang yang baru dikenalnya itu. Sepeninggal anak kandungnya, Lukas berpaling pada gadis yang dulu pernah menjadi kekasihnya itu.
“Apa kabar Miranda? Kita sudah lama sekali nggak ketemu, ya,” kata laki-laki itu memulai obrolan. Sikapnya agak canggung karena Miranda kelihatan menghindarinya sejak tadi.
“Nggak perlu basa-basi, Lukas. Percuma. Sudah terlambat!” sentak gadis itu penuh amarah.
Lukas menghela napas panjang. Dia memaklumi sikap ketus lawan bicaranya.
“Aku memang bersalah, Mira. Sudah meninggalkan Astrid sendirian tanpa berita. Aku…aku sangat menyesalinya. Sungguh…,” ucapnya setulus hati. Raut wajahnya tampak sedih sekali.
“Percuma kamu menyesal sekarang,” potong lawan bicaranya sewot. “Astrid sudah nggak ada. Semuanya sudah terlambat!”
Tatapan Lukas tampak memelas. “Izinkan aku menjelaskan semuanya, Mira. Setelah itu kamu boleh memutuskan bagaimana akan menghukumku. Tapi kumohon biarkan aku dekat dengan Joy. Bagaimanapun juga dia adalah darah dagingku sendiri. Bukankah dia masih menyandang nama belakang kelurgaku, Abraham?”
Miranda terpaku. Hatinya iba juga melihat sorot mata Lukas yang begitu memohon. Kemudian dari bibirnya yang tipis keluar kata-kata yang mulai melunak, “Itu adalah amanah Astrid sebelum meninggal dunia. Dia tidak membencimu. Dia sangat bahagia sudah menjadi wanita seutuhnya dengan menjadi istrimu dan melahirkan anak bagimu. Astrid sendiri yang memohon padaku agar menaruh nama keluargamu di belakang nama Joy….”
Air mata gadis itu mengalir deras. Dia tak mampu menahan kerinduannya pada almarhumah saudara kandung satu-satunya itu.
“Maafkan aku sudah membuatmu menangis, Mira,” ucap Lukas lembut. “Bukan maksudku mengingatkanmu pada masa lalu yang menyedihkan. Ayo kita duduk. Sambil menunggu Joy, akan kuceritakan kenapa aku pergi tanpa kabar berita.”
“Kamu kan bekerja di sini, Kas. Mana bisa duduk-duduk dan berbicara dengan customer? Nggak takut ditegur atasan?” cetus Miranda mengingatkan.
Dikeluarkannya sebungkus kecil tisu dari dalam tas. Diambilnya sehelas untuk menghapus air matanya. Memalukan sekali rasanya menangis di tempat umum seperti ini, pikirnya kesal. Nanti dikira orang-orang aku diapa-apakan sama Lukas..
Pria itu tersenyum. Dia teringat dulu pernah beberapa kali menghapus air mata Miranda kalau menangis. Seandainya aku dapat melakukannya lagi sekarang…, batinnya sendu.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya si gadis sewot. “Sudah. Bekerjalah sana. Daripada nanti ditegur atasan karena terlalu lama berbincang-bincang dengan customer!”
Laki-laki itu tak mengindahkan diusir Miranda. Dia malah terkekeh geli.
“Kamu nggak berubah, Mira. Mudah panik kalau menangis di depan umum,” komentarnya jahil. Tapi mulutnya menutup otomatis begitu melihat mata gadis di hadapannya melotot tanda tidak senang.“Sori, sori,” katanya meminta maaf. “Bukan maksudku membuatmu kesal. Jangan kuatir. Nggak ada orang yang berani menegurku di sini. Karena aku adalah pemilik tempat ini.”Miranda terbelalak tak percaya. Mulutnya sampai ternganga saking terkejutnya. Lukas tersenyum sambil mengangguk. “Nggak pantes, ya? Aku jadi bos di tempat ini,” ucapnya tenang.Mantan kekasihnya itu menjadi kikuk. Gila, batin Miranda masih shock. Bukan satu-dua kali aku mengajak Joy bermain di sini. Tapi kenapa baru sekarang kami bertemu dengan Lukas?“Apa kamu dan Joy sering datang kemari, Mira?” tanya pria itu seolah-olah dapat membaca isi hatinya.Perlahan gadis itu mengangguk. “Tempat ini merupakan arena permainan favorit Joy di mal ini. Kadang kami pergi ke mal-mal lain untuk ganti suasana. Tapi setidaknya empat bulan sekali aku
Miranda terharu. Dia dapat merasakan pria ini masih menyimpan cinta terhadap dirinya. Sorot mata dan kata-kata yang dilontarkan Lukas menunjukkan hal itu.Dia masih ingat kata-kata-kata yang kuucapkan dulu saat kami masih bersama, keluh gadis itu dalam hati. Ah, masa-masa itu memang indah. Tapi sudah berlalu. Aku rela berkorban demi kebahagiaan Astrid, adikku tercinta….“Lalu gimana ceritanya kamu sampai bisa menjadi pemilik arena permainan ini?” tanya Miranda ingin tahu.Lukas mendesah sejenak. Dia lalu menjawab, “Papa-mamaku meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat terbang, Mira. Mereka ternyata mempunyai asuransi jiwa yang uang pertanggungannya sangat besar. Tentu saja ahli warisnya adalah aku sebagai anak tunggal. Di samping itu juga ada kompensasi yang tidak sedikit dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Sejumlah dana itu kupakai buat membeli arena ini enam bulan yang lalu. Pemiliknya menjual tempat ini karena mau beralih pada bidang usaha lain….”“Kamu sudah kaya sekara
Miranda mendesah. Dia teringat betapa bahagianya Astrid di hari pernikahannya dengan Lukas. Senyuman penuh sukacita tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang cantik. Sang kakak berusaha bersikap sama meskipun hatinya terluka. Demikian pula dengan Lukas. Beberapa kali Miranda memergoki mantan kekasihnya itu curi-curi pandang ke arahnya.Oleh karena itulah Miranda selalu berusaha selalu menjenguk adiknya di rumah pada hari dan jam kerja. Di saat Lukas sedang tidak berada di rumah. Meskipun sesekali tak sengaja mereka berpapasan juga, namun Miranda selalu menekan perasaannya dan berusaha bersikap biasa saja.Lukas pun demikian. Dia menyadari statusnya telah berubah. Astridlah istrinya yang sah. Dia berkewajiban menjaga perasaan perempuan itu dan membuatnya bahagia. Namun rupanya hal itu justru membuat batin Lukas tertekan. Lelah rasanya menanggung beban seberat itu di usianya yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun. Hati kecil pria itu menjerit setiap kali Astrid keceplosan me
“Joy sudah memaafkanmu, Kas,” ucap Miranda tenang. “Mulai sekarang kalau kamu ingin bertemu dengannya, silakan menghubungiku terlebih dahulu. Nanti akan kuatur jadwal yang tidak mengganggu kegiatan Joy maupun pekerjaanku. Percayalah. Aku takkan menghalang-halangi upayamu mendekatkan diri dengan anak kandungmu.”“Terima kasih banyak, Mira,” sahut Lukas seraya melepaskan pelukannya terhadap Joy. Dihapusnya air matanya dengan tisu yang disodorkan oleh gadis itu.“Sudahlah, biar bagaimanapun juga kita kan masih keluarga. Kamu suami almarhumah Astrid. Jadi merupakan adik iparku,” cetus Miranda seolah-olah mengingatkan mantan kekasihnya itu agar kelak tidak menyimpan harapan terhadap dirinya.Gadis itu melakukannya demi kebaikan mereka bersama. Dia dulu telah merelakan pria ini untuk menjadi pendamping hidup adiknya tercinta. Dan hal itu akan tetap dipertahankannya sampai kapanpun. Meskipun Astrid sendiri telah tiada.Lukas mengangguk mengiyakan. Dirangkulnya bahu Joy dengan penuh kasih say
“Salah seorang klienmu kemarin menelepon ke kantor, Miranda. Dia komplain pada resepsionis. Katanya kamu tidak profesional dalam bekerja,” tegur Rosita, perempuan setengah baya yang merupakan pemilik kantor pemasaran properti tempat Miranda bekerja.Gadis itu mengernyitkan dahi. Seumur-umur berprofesi sebagai broker properti, baru kali ini ada klien yang mengadukan kinerjanya di kantor.“Maaf, Bu Rosita,” ucap Miranda sopan.Gadis itu lalu duduk persis di depan bosnya tersebut. “Klien saya yang mana, ya? Kenapa dia tidak menelepon saya saja kalau mau komplain? Sampe repot-repot menelepon ke kantor,” komentarnya tenang.Rosita menatap anak buahnya itu dengan sorot mata tidak suka. “Justru itu yang mau kutanyakan padamu, Mir. Kenapa kamu memblokir nomor HP orang itu sehingga dia kesulitan menghubungimu?”Lawan bicaranya terbelalak. “Mem…memblokir?” cetus gadis itu kaget. Tiba-tiba ingatannya terbersit pada sosok pemuda tampan ala Korea yang merupakan pewaris tunggal perusahaan bakery te
Terdengar desahan lega lawan bicaranya. Gadis itu jadi merasa geli sendiri. Baru kali ini ada klien yang panik karena brokernya tak terdengar lagi suaranya di telepon.“Well, kalau begitu saya tutup teleponnya sekarang, Miranda,” ucap Carlos selanjutnya. “Supaya kamu bisa segera mengirim nomor rekening kantormu pada saya melalui WA.”“Siap, Pak Carlos. Terima kasih,” jawab si broker lugas.Pembicaraan mereka berdua itu pun berakhir. Miranda menghela napas lega. Lumayan, komisi dari penjualan ruko ini cukup besar. Bisa menopang hidupku hingga empat-lima bulan ke depan. Karena biaya Joy sekarang sudah ditanggung oleh papanya. Aku sekarang jadi bisa lebih santai menikmati hidup atau….Tiba-tiba mata gadis itu menjadi berbinar-binar. Hei! Inilah saatnya aku mulai menabung buat membeli properti! serunya girang dalam hati. Selama ini aku bekerja mati-matian setiap hari. Joy bahkan tak jarang kuajak menemaniku open house ataupun pameran properti di mal saat weekend. Tapi penghasilanku dari
“Saya minta maaf kalau sikap saya tadi tidak berkenan di hati Bu Victoria,” kata Miranda sepenuh hati. “Bukan maksud saya menyinggung perasaan Ibu. Saya justru merasa kagum dengan keanggunan yang terpancar dari diri Ibu dan….”“Sudahlah,” potong Victoria tak sabar. “Tidak usah berbelit-belit. Tolong jelaskan saja, bagaimana kamu bisa membujuk anakku sampai membeli ruko yang harganya di atas harga pasar? Ini sama sekali bertolak-belakang dengan kebiasaan Carlos. Membeli properti tanpa menawar terlebih dahulu. Didikan saya terhadap anak saya selama ini tidak seperti itu!”Lagi-lagi Miranda terkesiap. Perempuan ini luar biasa, komentar gadis itu dalam hati. Dari luar tampak begitu anggun dan berpendidikan. Tapi ternyata lidahnya tajam sekali. Kalau dia memang keberatan anaknya membeli ruko itu dengan harga tinggi, kenapa setuju saja diajak ke kantor notaris ini untuk menyaksikan penandatanganan akta jual-beli?! Dasar nggak waras. Untung pihak penjual sudah pulang. Kalau nggak, mereka bi
Pada suatu hari Miranda menjemput keponakannya lebih awal di daycare. Joy yang digandeng gurunya turun dari lantai dua tampak gembira menyambut kedatangan tantenya tersebut.“Akhirnya Tante Mira bisa juga menjemput Joy lebih awal. Hehehe…,” komentar anak cerdas itu sambil tersenyum lucu.Miranda tergelak mendengar gurauan keponakan kesayangannya itu. Gadis itu membungkukkan badannya lalu mencium kedua pipi bulat si bocah. Joy meringis kegelian.“Pekerjaan Tante hari ini udah selesai. Jadi langsung ke sini jemput kamu, Sayang,” ujar gadis itu menjelaskan.Digamitnya lengan sang keponakan. Dia lalu berpamitan pada guru yang mengantar Joy. Demikian pula anak laki-laki itu dengan riang mengucapkan sampai jumpa besok pada perempuan dewasa berkuncir ekor kuda tersebut.Begitu duduk di dalam mobil, Joy langsung bertanya, “Kita mau pergi ke mana dulu, Tante? Masa langsung pulang ke rumah?”Dahi Miranda mengernyit. “Kalau nggak pulang ke rumah, terus mau ke mana, Nak? Besok kamu kan masih haru