"Mas, sini lho. Ini bantuin mbaknya bawain belanjaan. Mbaknya repot, belanjaannya banyak,"
pinta Reina.Kartika tersenyum pada Reina, lalu menoleh ke arahku. Aku menangkap keterkejutan di wajahnya saat melihatku kembali."I-iya dek," jawabku tergagap.Reina tersenyum, istriku itu memang ramah pada setiap orang. Suka membantu. Seminggu sekali biasanya tiap hari Jum'at ia akan mengadakan santunan anak yatim atau berbagi makanan dengan para orang miskin. Entahlah, aku tak mengerti, uang Reina seakan tak ada habisnya."Oh iya mas, Mbak Kartika ini tetangga baru, yang ngontrak di rumah Pak Komar. Baru pindah tadi, tolong kamu bantu bawa belanjaannya ya mas."Aku mengangguk lalu bergegas mengambil motor untuk membawa belanjaan itu. Sedangkan Kartika sudah pulang lebih dulu dengan berjalan kaki.Deg deg deg!Entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Motorku berhenti di halaman rumah, lalu menurunkan belanjaannya itu."Makasih ya mas, sudah bantuin aku," ucapnya sambil tersenyum.Aku mengangguk, rasanya jadi canggung sekali."Itu tadi istrimu ya, Mas?" tanyanya lagi. Memang saat pernikahanku digelar, Kartika tidak datang ke resepsiku.Aku mengangguk lagi."Cantik," ujarnya singkat. "Ayo mas, masuk dulu."Entah kenapa aku menurut saja. Aku masuk ke dalam rumah yang masih kosong belum terisi perabotan apapun."Makasih ya mas, berkat bantuanmu aku bisa sewa rumah disini. Tadi sudah langsung kubersihkan, jadi gak terlihat kotor lagi," tuturnya."Syukurlah, semoga kamu betah tinggal disini ya.""Iya mas, pasti betah kok.""Terus rencanamu ke depannya bagaimana?""Mungkin aku akan balik menyanyi lagi, Mas. Akan kuhubungi teman-temanku yang dulu satu profesi."Aku mengangguk. "Ya sudah, aku pamit pulang dulu ya.""Iya mas, sekali lagi terima kasih banyak ya mas."Aku pulang dengan perasaan yang masih berdebar-debar. Sepertinya tiap hari aku bisa bertemu dengannya lagi. Apakah aku bisa membendung perasaan ini?***Benar saja, hari-hari berikutnya aku selalu bertemu dengan Kartika, meskipun tanpa sengaja.Ia sering datang ke toko untuk belanja atau membeli jajanan. Tapi seiring berjalannya waktu, mungkin ia mulai sibuk dengan pekerjaannya, ia jadi lebih sering memesan bahan belanjaan via WA."Mas, makasih ya udah anterin pesanan aku. Akhir-akhir ini aku sibuk mas, banyak job menyanyi," tuturnya dengan senyuman yang sumringah. Tidak seperti waktu itu.Aku mengangguk. Kuedarkan pandangan, satu persatu perabotan rumah mulai terisi kembali walaupun masih belum lengkap."Aku membelinya satu persatu mas, yah upah dari menyanyi emang gak seberapa tapi lumayanlah bisa buat beli yang kubutuhkan."Aku tersenyum. Andai saja aku bisa menikahinya ...Kartika mengangsurkan segelas teh manis hangat untukku. "Ini diminum dulu mas, terima kasih selama ini sudah banyak membantuku."Kami bertukar nomor handphone. Selain bicara tentang pesanan, ia mulai memberiku sedikit perhatian. Sudah makan belum, tetap semangat bekerja dan perhatian yang lain meskipun sepele namun membuat hati ini berbunga.Tanpa sadar dari hari ke hari kami semakin dekat. Hingga aku bertekad ingin sekali menikahinya. Bukankah seorang lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri? Aku pasti bisa memenuhi kebutuhan Kartika, aku ingin sekali menjadi sandaran hatinya.***Lima bulan berlalu, akhirnya kuberanikan diri untuk melamarnya."Tika, maaf kalau kamu tersinggung. Tapi sepertinya aku harus mengatakan ini sejujurnya," ucapku saat itu. Kali ini aku tak bisa menahan hasratku untuk kembali menyatakan cintaku padanya."Ada apa, Mas?" tanya wanita cantik dihadapanku. Ia sedang memoles wajahnya dengan make-up. Gerakan tangannya seketika terhenti."Aku masih mencintaimu seperti dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan sejenak saja, aku tidak bisa melupakanmu dan tentang cerita cinta kita ...""Tapi mas--""Aku tahu saat ini aku masih menjadi suami orang. Tapi sekarang ini aku gak bisa menahan lagi perasaanku padamu. Aku yakin, kamu juga masih cinta aku bukan?"Ia mengangguk ragu. "Aku juga masih mencintaimu, mas. Tapi--""Yang terpenting aku tahu perasaanmu. Mau gak kau menikah denganku?"Matanya membulat, ia mungkin tak percaya aku mengatakan hal ini padanya. Mengajaknya menikah, padahal aku sendiri sudah punya istri?"Kamu mau kan kita nikah siri?" tanyaku lagi penuh harap.Ia terdiam sejenak. Tapi aku yakin ia akan menerimaku."Aku janji akan memenuhi kebutuhanmu, kita berjuang bersama," lanjutku lagi, mantap."Tapi istrimu ...""Dia tidak akan tahu kalau kita bisa saling menjaga rahasia. Saat ini dia-lah sumber uangku, tapi aku akan menceraikannya kalau sudah dapat pekerjaan yang layak. Kumohon terima aku Kartika, menikah denganmu adalah impian terbesarku."Akhirnya ia mengangguk setuju. Betapa bahagianya aku saat ini.***"Dek, maaf. Mas izin hari ini mau pergi ke rumah teman, kemungkinan sampai sore. Kamu bisa minta bantuan yang lain dulu, gak apa-apa kan?" pamitku, tentu saja berbohong padanya."Oh iya, gak apa-apa mas. Nanti aku minta bantuan Mang Nurdin untuk nganterin pesanan," jawabnya. Mata dan tangannya masih sibuk mendata barang yang datang, hingga ia tak fokus.Ternyata semudah ini membohongimu, maafkan aku Reina, tapi aku benar-benar tak ingin kehilangan Kartika lagi.Pagi menjelang siang aku sudah berada di KUA, pun dengan Kartika. Ia memakai kebaya brokat warna putih dan berbalut kain songket. Cukup sederhana namun menambah anggun pesonanya.Kami menikah di kantor urusan agama beda kecamatan dari tempat tinggalku saat ini. Bahkan aku menyewa beberapa orang untuk menjadi saksi pernikahan kami.Ijab qobul berjalan dengan lancar, tanpa kendala apapun. Akhirnya sekarang aku telah resmi menjadi suami Kartika.Selesai menikah di KUA, aku mengajak Kartika jalan-jalan, memandang erotisnya pemandangan pantai. Semuanya terasa begitu indah, seperti hidupku saat ini.Malamnya kami menginap di hotel, letaknya jauh dari rumahku saat ini, jadi tak mungkin Reina bisa muncul disini. Semua kondisi aman terkendali."Akhirnya, kita resmi juga ya sayang," ujarku sambil terus memandangnya.Kartika sudah berganti pakaian lagi. Sebuah lingerie transparan kini membalut tubuhnya, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang begitu seksi. Tanpa sadar berulang kali menelan saliva, melihat istriku yang begitu cantik. Benar-benar sempurna. Memang berbeda ya antara Reina dan Kartika. Kartika bisa merawat tubuhnya dan wajahnya dengan baik. Sedangkan Reina, penampilannya begitu sederhana, sungguh tak menarik perhatian mata."Iya mas, aku juga seneng banget pada akhirnya kita bisa menikah," sahut Kartika. Ia memeluk tubuhku erat."Maaf ya, mengajakmu menikah diam-diam," ujarku sembari mengelus anak rambut di dahinya.Kartika tersenyum sembari mengangguk pelan. Aku kembali menciumnya saling melepas kerinduan yang begitu dalam.***Dari kemarin aku sengaja mematikan handphone agar Reina tak menghubungiku. Aku yakin Reina pasti khawatir dan mencariku, tapi aku tak ingin moment indahku bersama Kartika menjadi terganggu."Hari ini kita pulang ya, Mas? Gak seru ah, masa pengantin baru cuma sehari doang bulan madu!" cebik Kartika menggemaskan. Ia masih bergelayut manja di lenganku."Iya sayang, kita pulang dulu ya.""Tapi aku masih kangen ...""Sebisa mungkin tiap sebulan sekali aku akan mengajakmu keluar jalan-jalan dan tentu saja kita honeymoon lagi, haha," kelakarku sembari mencubit hidungnya yang mancung."Bener ya, janji?""Iya, pasti sayang ...""Terus besok-besok gimana? Kamu sibuk terus dong sama Reina!" cebiknya kesal."Hmmm, aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahmu, okey ... Jangan khawatir ya, kan kita bisa chattingan dulu."Kartika mengangguk, lalu membereskan barangnya bersiap untuk pulang. Bersamaan dengan itu, aku mengkontak teman-teman kerjaku yang dulu, barangkali ada info pekerjaan yang lebih baik untukku, agar bisa menghidupi Kartika lebih layak lagi, meskipun aku yakin dia tidak akan kekurangan.***"Kamu habis dari mana aja, Mas? Dari kemarin teleponmu gak bisa dihubungi. Aku khawatir, takut terjadi apa-apa denganmu," oceh Reina sesaat setelah aku pulang ke rumah.Aku menghela nafas dalam-dalam, setidaknya agar tidak terpancing emosi."Maaf ya dek, kemarin mas nginep di tempat teman. Hp mas lowbet.""Memangnya gak ada charger disana? Kamu kan bisa pinjam ke temanmu untuk mengabariku disini! Jadi aku gak kayak orang stress, khawatir sendirian!""Iya, iya, maafin aku ya sayang, maaaaaf banget. Mas emang salah, kamu boleh hukum apapun itu. Tapi tolong maafin mas ya, dek."Ternyata mudah sekali membohongi Reina, ia langsung percaya saja apa yang kukatakan. Sepertinya jalanku semulus jalan kereta api, tidak ada macet-macetnya.Berganti hari, seperti biasa aku masih membantu Reina, mengantarkan pesanan para pelanggan. Tapi setiap pulang aku selalu mampir ke rumah Kartika, sekedar bertemu melepas rindu.Hingga sebulan sudah pernikahan rahasia kami. Malam itu, Reina yang cuek pada handphone-ku tiba-tiba memeriksanya. Aku tak sengaja melihatnya sedang memegang handphoneku."Dek, gimana apa ada pesanan yang lain lagi?" tanyaku pada Reina--istriku yang kaya dan baik hati itu."Ada nih mas, WA dari Kartika. Tapi kok chatnya mesra begini ya? Memangnya dia pesan apaan sih, Mas?" tanya Reina sambil mengerutkan keningnya.Aku meraih handphoneku lalu membaca pesan dari Kartika.[Mas, jangan lupa pesananku nanti malam ya, Love you. Mmuuaaacch]Deg! Jantungku mulai berpacu cepat. Aku pun lupa memberi tahu Kartika agar tidak menghubungiku dulu ketika di rumah. Ya waja
"Dek, harusnya kamu hati-hati. Kalau butuh sesuatu panggil mas," ucapku penuh penekanan. Ekspresinya hanya datar saja. Reina dengar tidak ya?"Aku tadi dah manggil kamu, mas. Tapi sepertinya kamu gak dengar.""Memangnya kamu butuh apa? Tadi mas lagi ngobrol sama ibu.""Mas, bisa tidak besok bantuin aku?""Bantuin apa?""Ini mas, ada banyak pesanan masuk, sedangkan kakiku kan lagi begini--""Duh gimana ya dek, sepertinya mas tidak bisa. Besok kan mas mau ke kantornya Rusdy.""Oh. Berarti aku harus cari orang lagi.""Maaf ya, kalau senggang pasti mas bantuin kamu."Reina mengangguk."Nak, ibu mau pulang dulu ya. Kasihan Freya," pamit ibu."Oh iya Freya kenapa, Bu? Katanya Freya sakit?" tanya Reina."Tidak apa-apa nak, biasa masalah anak muda."Reina mengangguk. Tampaknya dia benar-benar tidak tahu. Syukurlah.***Ting[Mas, malam ini bisa gak ke rumah? Aku dah kangen lagi sama kamu]Sebuah pesan yang dikirim oleh Kartika. Aku tersenyum. Heran sama perempuan ini, tadi siang udah seharian
Part 10"Mas berangkat ke kantor dulu ya," pamit Mas Hendi pagi itu. Setelah kepergian Mas Hendi, tak lama datang 2 orang pemuda ke toko. Namanya Adit dan Eza, mereka keponakan Mbok Jum yang akan bekerja di tokoku. Jadi aku tak perlu pusing lagi, memikirkan bagaimana cara mengirimkan pesanan ke pelanggan. Apalagi akhir-akhir ini, tambah banyak pesanan yang masuk. Aku tinggal mengawasi mereka bekerja sambil duduk.Kakiku memang masih terasa sakit tapi, sudah mendingan tidak seperti kemarin. Beberapa ibu-ibu datang untuk berbelanja."Mbak Reina, saya mau beli detergent, shampoo sama sabun mandi masing-masing satu. Terus tepung terigunya satu kilo," ucap Bu Lena."Kalau saya, telor setengah kilo, minyak gorengnya satu liter mbak," ujar Bu Wiwi."Saya ini mbak, beras dua kilo, teh satu pak, gula pasir setengah kilo," ucap Bu Sarti.Aku mencatat semua pesanan ibu-ibu lalu memberikan catatan itu pada Eza untuk menyiapkan barang-barangnya."Eh maaf lho Mbak Reina. Sekarang suami mbak Rei u
Part 11[Mbak Rei, suami mbak lagi di rumah janda penggoda itu]Pesan WA dari Bu Wiwi membuatku terperanjat. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Benar, Mas Hendi memang belum pulang ke rumah sejak berangkat kerja tadi pagi.Hah! Kuembuskan nafas kasar. Rupanya dia mampir ke tempatnya Kartika. Ia lebih memilih kesana dari pada pulang ke rumah istrinya? Dasar gila.Dengan segenap hati dan tekad kukirim balasan untuk Bu Wiwi.[Baik, Bu. Terima kasih infonya. Saya boleh minta bantuan ibu?][Boleh mbak, katakan saja. Apa yang bisa saya bantu][Bisa kumpulkan warga sekitar dan juga lapor Pak RT?][Oke, saya siap membantu. Ini maksudnya mau gerebek mereka, Mbak?][Iya Bu, tolong ya][Tapi apa Mbak Reina yakin?][Iya saya yakin. Nanti saya akan datang ditengah-tengah keributan][Wah, saya salut lho sama mbak. Hebat, gak cengeng][Iya Bu, kita harus memergoki apa yang mereka lakukan disana. Kita gak bisa biarin ini terus menerus][Betul, perselingkuha
Part 12"Dek, maaf. Mas bersalah karena tidak mengatakan yang sejujurnya dari awal. Tapi tolong, mulai hari ini terimalah Kartika jadi adik madumu."Mataku membulat mendengar ucapan Mas Hendi. Tega-teganya dia ... Apa dia sudah gak waras?"Apa aku gak salah denger, Mas?""Iya, mas yakin kamu mau menerima Kartika. Kamu adalah wanita yang baik hati, Dek. Kita bisa hidup berdampingan nantinya.""Enak banget kamu ngomong gitu, Mas. Apa kamu gak mikirin perasaan aku 'hah? Ah iya, tentu saja tidak. Karena sudah ada wanita ini di hatimu.""Dek ...""Jadi selama sebulan ini kalian sudah menikah diam-diam? Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita, Mas. Apa salahku?""Dek ...""Kalau iya memang kenapa? Kita sudah menikah dari sebulan lalu karena kami saling mencintai. Mas, bilang saja kalau kita memang sudah menjalin hubungan asmara sedari dulu. Ya! Kita adalah sepasang kekasih, sebelum kau hadir di kehidupan Mas Hendi, bahkan kami hampir menikah, tapi semua kandas gara-gara kehadiranmu. Puasss?
Part 13Pulang dari tempat pengacara, kulihat Adit dan Eza sibuk menyiapkan barang-barang toko dengan jumlah yang banyak."Pesanan siapa sebanyak ini?" tanyaku, rupanya cukup membuat mereka kaget.Adit dan Eza saling berpandangan. Takut dan ragu terpancar jelas di wajah keduanya."Itu Bu, ini ... Permintaan Pak Hendi katanya buat Bu Kartika--" jawab Adit dengan nada ragu."Bayar, gak?"Mereka menunduk sambil menggeleng pelan. Kuhela nafas dalam-dalam. Enak saja, dikira beli barang-barang ini gratis pakai daun, seenak jidatnya sendiri mau memindahkan barang daganganku ke rumah istri sirinya. Dasar benalu."Kalau gak bayar gak usah disiapin. Kembalikan barang-barang ke tempat semula.""Maaf Bu, tadi kata Pak Hendi suruh siapin aja, katanya Bu Reina pasti setuju," sahut Eza."Barang sebanyak ini? Ini sih namanya mau ngrampok toko, segala macam mau dibawa!""Tapi Bu, kalau kami gak nurut, Pak Hendi mengancam mau pecat kami--""Gak usah takut dengan dia. Disini kalian saya yang bayar, kali
Part 14[Sama-sama mbak. Oh iya maaf, kalau hari Minggu ini ada waktu, mau tidak mbak menemani saya membagi-bagikan donasi paket sembako ke warga? Kebetulan asisten saya sedang libur pulang ke kampung. Dan yang saya dengar mbak juga sering jadi donatur seperti ini, jadi mbak pasti lebih berpengalaman. Ah maaf sebelumnya kalau saya lancang. Harusnya saya gak bilang seperti ini ke mbak. Maaf sudah mengganggu waktunya]Aku menghela nafas dalam-dalam. Ajakannya memang baik, untuk melakukan donasi pada warga. Tapi sepertinya tidak etis pergi bersama lelaki lain disaat aku belum resmi bercerai.[Maaf mas, aku tidak bisa. Biar nanti kusuruh karyawanku saja ya yang bantu-bantu mas disana] --balasku.[Maaf merepotkanmu, mbak][Tidak apa-apa. Kira-kira mau berbagi di daerah mana?][Yang dekat-dekat saja, biar gak terlalu jauh yang di daerah Limbangan itu. Tadi siang, saya sudah sempat koordinasi dengan pengurus Masjid][Oke, biar nanti saya bilang ke Adit sama Eza. Sekarang mereka juga lagi nyi
Part 15POV Hendi"Mas, aku hamil," ucap Kartika pagi itu.Aku terhenyak mendengarnya, rasanya tak percaya dengan apa yang ia katakan. Kami baru sebulan menikah, tapi cepat sekali diberi momongan. Tidak seperti pernikahanku dengan Reina. Lima tahun penantian, benih-benih cinta kami tak tumbuh juga."Kok ekspresimu begitu, Mas? Kamu gak suka ya aku hamil?""Eh enggak kok sayang, cuma terkejut aja. Kamu bisa cepet hamil," sahutku.Aku mendekat ke arahnya, lalu memeluknya dari belakang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Ah di perut ini ternyata sudah tumbuh benih cintaku dengan Kartika."Jaga kandungan ini baik-baik sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sudah lama menanti kehadiran anak.""Sama mas, ini juga anak pertamaku, sudah pasti aku menjaganya dengan baik."Segera kukecup bibirnya yang merah delima itu. Kartika memang pintar merebut hatiku. Ia sangat pandai membuat hatiku senang dan berbunga-bunga. Tiap ada masalah dan aku cemburu, ia tahu apa yang harus dilakukan.***"Aaaar