Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya.
“Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar.
Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema.
“Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala.
“Kenapa tidak m
"Cak, udah siap semua yang harus kamu bawa nanti?" Tanya pak Daud, direktur utama tempat Cakra ditugaskan. Pak Daud baru saja mengisi kembali cangkir kopinya di dapur umum yang disediakan perusahaan. Berhenti ketika dilihatnya Cakra sedang duduk di balik meja kerjanya.Cakra menoleh dan menganggukkan kepala."Sudah pak. Sudah selesai. Perkiraan saya sampai di kota yang dituju besok sore. Karena paginya saya harus mengantarkan pesanan bude saya di Depok pak."Menyesap kopinya dengan santai, Pak Daud berjalan perlahan mendekati anak buahnya yang sedang fokus menyelesaikan dokumen terakhir."Oke, besok kalau sudah sampai segera hubungi tim lapangan. Eh, kamu kan ke tempat Bayu. Konfirmasi aja deh ke Bayu gimana baiknya. Kalau sudah siap semua, yang lain bisa segera menyusul.""Baik pak, siap." Cakra tersenyum.Pak Daud menatap dalam-dalam pemuda tampan yang usianya siap untuk menikah. Mengawasi setiap hal yang dilakukan pemuda itu dengan pandang kagum.
Semenjak kecil Wulan diasuh kakak semata wayangnya sebagai pengganti ibu. Santi selalu mendahulukan kepentingan Wulan diatas segalanya. Bagi Santi, Wulan sudah seperti anaknya sendiri bukan hanya sekedar adik kandung.Wulan tak pernah kekurangan kasih sayang. Kasih sayanh seorang ibu yang selalu diagung-agungkan semua teman-temannya, tak membuat Wulan berkecil hati. Karena Wulan memiliki Santi.Setelah Wulan beranjak dewasa, dia mulai menggantikan pekerjaan Santi di dalam rumah mereka. Membiarkan Santi menggapai cita-citanya dan tidak pernah membiarkan hal-hal yang merepotkan di dalam rumah mereka menjadi sandungan Santi dalam menimba ilmu.Semua hal, mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan bapaknya bahkan mengirim bekal untuk bapaknya di sawah. Walaupun waktu yang dimilikinya sangat sedikit. Wulan tidak membiarkan itu sebagai beban.Seperti halnya siang ini. Wulan mengantarkan bekal makan siang bapaknya ke sawah. Sepanj
Tak peduli bagaimana baik dan ramahnya Pak Bandi memperlakukan Cakra sebagai seorang tamu, Wulan tetap merasa marah dan kesal melihatnya. Bapaknya adalah orang baik. Tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun yang telah melukai dan menyakiti perasaannya. Sawah itu peninggalan satu-satunya yang diwariskan bapaknya Pak Bandi alias eyangnya Wulan. Wulan masih ingat bagaimana eyangnya berpesan pada bapaknya untuk tidak pernah menjual sawah itu. Karena dari sawah itu mereka bisa hidup. Maka Pak Bandi senantiasa memegang janjinya pada sang bapak. Tapi kini sawah itu sudah berpindah tangan. Wulan tidak bisa membayangkan betapa hancur hati bapaknya. Menatap Cakra dan mendengar suaranya membuat Wulan semakin kesal. "Ehem, pak, Wulan pulang dulu ya. Sudah ditunggu Tyas."Pak Bandi dan Cakra menoleh bersaman ke arah Wulan yang sedang berkemas. "Ah iya, sudah siang ya. Bapak sampai lupa saking enaknya ngobrol sama nak Cakra," Sel
Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin
"Elu di jodohin mas?"Tanya Bayu pagi ini saat dilihatnya Langit sedang menikmati makan pagi sebelum ia berangkat kerja.Ehem!Terdengar deham dari ibunya, Bayu menoleh ke belakang. Terlihat ibunya membulatkan mata menatap Bayu. Bayu mencibir melihatnya. Langit mereguk teh hangat yang sudah disiapkan ibunya, menghapus noda dari bibirnya dengan tisu makan. Menatap adiknya yang asyik mencomot dadar jagung kesukaannya dari piring hidang. Bayu yang asyik mengunyah mengangkat kepala dan menaikkan alisnya beberapa kali ke arah Langit. "Bapak yang cerita?" Bayu mengangguk."Iya. Kenapa? Kamu mau dijodohkan juga?" "Hish! Amit-amit dah.""Kenapa? Gak percaya sama pilihan bapak?" Langit menyunggingkan senyum miring. Menyandarkan punggungnya, Langit menatap adiknya yang terus berbicara. "Gak paham lagi dah gue sama bapak, masih sempet-sempetnya aja nyariin elu jodoh. Kayak gak laku aja
Acara tasyakuran selesai. Do'a puji syukur atas rahmat Sang Kuasa telah dipanjatkan agar kelancaran dalam proyek terbesar Bayu dan timnya berhasil tanpa kendala. Selesai acara keluarga Priyadi mengajak keluarga calon besan duduk di ruang tamu yang ukuran ruangannya lebih besar dibanding ruangan lain.Mereka duduk melingkar di dalam ruang tamu yang telah ditata sedemikian rupa sehingga bisa menampung 10 orang dewasa untuk duduk bersama. Pak Priyadi duduk bersama Pak Bandi.Bu Priyadi duduk bersama Budhe Sri.Santi duduk bertiga bersama Wulan dan Dirga.Sementara yang lain duduk di kursi single. Dari acara ini akhirnya Wulan tahu kalau Bayu dan Cakra adalah teman kerja. Dan proyek besar yang dikatakan oleh bu Priyadi kemarin adalah proyek pembangunan mall. Jika saja Wulan tahu, ia pasti bersikeras tidak akan datang. Bagaimana bisa ia makan senang di atas penderitaan yang dirasakan bapaknya. Tidak. Wulan tidak bisa. Maka
Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan
Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari