Karena sudah sore, akhirnya pria itu memutuskan untuk kembali ke tempat peristirahatan.
Iya.
Baginya rumah hanya tempat peristirahatan saja.
Tidak ada yang lebih istimewa daripada itu.
Apalagi setelah tadi, ketika Rumi datang ke sekolah dan mendapati kabar bahwa hari ini libur, dia hanya memutuskan untuk jalan-jalan keliling daerah sana dengan niat menghabiskan bensin.
Karena dia tidak tahu harus pergi kemana lagi.
Mau main ke rumah teman? Tapi teman mana yang mau bermain dengannya?
Mau pulang ke rumah? Tapi apa bisa dirinya tahan satu hari di sana tanpa bepergian?
Tidak. Dia tidak akan tahan.
Mungkin kalau tahan pun, Rumi akan seperti mayat hidup yang terus saja berjalan tanpa napas.
Seperti biasa anak itu selalu pulang beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang.
Dia tidak mau terlalu banyak bicara dengan semua orang yang ada di rumah. Karena bagi dia, semuanya begitu membosankan.
Sekali lagi bagi Rumi, rumah hanyalah tempat peristirahatan atau bisa dikatakan dengan kasar sebagai kandang.
Kandang, yang ketika dia lelah maka dia akan istirahat, dan ketika dia masih kuat maka dia tidak akan pulang ke sana.
"Dek, adek dari mana saja?" seperti biasa kalau dirinya pulang telat, Bi Nia adalah orang pertama yang khawatir dan menanyakan keadaan Rumi.
Dia tersenyum kecil. "Biasa."
"Tapi tadi saya dengar dari pak satpam, sekolah lagi libur hari ini. Adek dari mana aja?"
"Bibi tahu dari mana?"
"Tadi saya telepon Pak satpam buat nanyain keadaan adek."
Pria itu menyimpan sepatunya lantas naik ke atas.
Bi Nia sudah mengerti.
Anak ini sudah tidak betah diam di rumah.
Dia akan pergi mencari tempat yang menurutnya bisa menenangkan emosi. Dan wanita itu juga tahu, kalau bukan dirinya yang perhatian di rumah ini, lalu siapa lagi?
Seperti biasa bi Nia menyiapkan makan malam untuk anak tuannya. Sengaja dia memasak makanan yang sangat enak untuk Rumi karena dia tahu anak itu belum makan dari kemarin.
Rumi adalah tipikal anak yang tidak rumit. Ketika ada orang yang memintanya untuk makan sambil memberikan sepiring nasi, maka dia akan memakannya meskipun dirinya sedang marah.
Tapi jika ada makanan namun tidak ada orang yang menyilakan dirinya untuk makan, maka sampai kapan pun dia tidak akan memakan makanan itu.
Rumi anak yang sederhana dan tidak neko-neko.
Apa yang dihidangkan oleh bi Nia, dia selalu memakainya dan tak pernah meminta lebih.
Bahkan kalau kasarnya dia hanya diberi nasi dan garam saja, dia mau. Karena yang paling Rumi butuhkan adalah sebuah perhatian.
"Nyiapin buat siapa makanan itu?" tanya Letty dengan ketus ketika dirinya ke dapur untuk mengambil air minum.
"Buat dek Rumi, nyonya."
"Ngapain kamu ngasih makan dia bagus-bagus kayak gitu? Emang ada yang nyuruh?"
"M-maaf nyonya." Bi Nia menundukkan kepalanya. "Tapi saya kasihan karena dek Rumi dari kemarin belum makan."
"Dia yang engga makan kenapa kamu yang kasihan?" teriakan ibunya itu terdengar sampai kamar Rumi yang terletak di lantai dua.
Pria itu hanya diam. Tatapannya kosong sambil melihat pemandangan luar.
"Kalau dia nggak mau makan ya udah jangan dipaksa. Nggak akan ada yang muji juga." Letty merebut daging ayam yang sudah di masak semur oleh Bi Nia.
"Dagingnya mau dibawa kemana nyonya?" tanya wanita setengah baya itu agak gemetaran.
"Saya mending kasih daging ini ke anjing." dengan ketusnya, Letty pergi sambil menghentakkan langkahnya seperti benar-benar marah.
Dan benar saja.
Apa yang dikatakan oleh wanita itu tidak pernah salah.
Bi Nia melihat Letty membuang daging ayam masakannya untuk Rumi pada anjing-anjing di jalanan.
Wanita itu seketika mengelus dadanya. Buliran bening yang jatuh, dengan segera ia hapus kemudian kembali masuk ke dapur untuk membawa nasi.
Setelah dirasa majikannya tdak ada, dia lantas naik untuk menemui Rumi yang sedang berada di kamarnya.
"Dek?" sapa Bi Nia ketika melihat pintunya sedikit terbuka. "Apa bibi boleh masuk?"
"Boleh." jawabnya singkat.
Seperti biasa ketika wanita itu masuk, dia selalu mendapati kamar Rumi berantakan seperti kapal pecah.
Tapi Bi Nia tak pernah merasa kesal ataupun marah ketika melihat semua itu. Justru dia memaklumi karena tak ada yang bisa Rumi lakukan ketika dirinya marah selain melampiaskan semua marahnya itu kepada barang-barang yang ada di sekitar.
Rumi memang jarang berdebat dengan keluarganya sendiri. Dia lebih memilih melampiaskan semuanya tanpa orang lain tahu.
"Makan dulu ya dek."
"Bibi enggak usah repot-repot." Rumi masih membelakanginya.
"Kenapa?" Bi Nia menghampirinya. "Adek belum makan dari kemarin malam. Nanti kalau enggak makan, adek malah sakit. Ayo sini. Temenin bibi juga. Kita makan bareng."
Rumi melirik sebentar ke arah Bi Nia.
"Tapi saya engga lapar."
"Sini." dengan lembut, Bi Nia menarik tangan Rumi untuk membuatnya duduk. Pria itu tak banyak melakukan apa-apa selain mengiyakan apa yang diinginkan oleh pembantunya ini.
"Sekarang adek lihat tangan adek sendiri." ujarnya sambil menunjuk tangan Rumi yang seperti tulang berbungkus kulit. "Adek udah kurus banget. Kalau jalan kelihatan lemes. Adek juga ganteng lho. Tapi kenapa adek nggak mau sayang sama diri sendiri?"
"Buat apa harus sayang sama diri sendiri sementara orang lain engga ngarepin keberadaan Rumi sama sekali?"
"Kamu engga boleh gitu." serunya. "Masih banyak orang yang sayang sama kamu, dek. Termasuk bibi. Bibi engga mau lihat kamu sakit." dia mengambil nampan dan dua piring nasi beserta air minumnya.
"Tadi Bibi udah masakin semur buat kamu. Nih." Bi Nia memberikan daging ayam kepada Rumi. "Semur kan kesukaan kamu. Sengaja Bibi buatkan itu."
Rumi tersenyum. "Bibi engga usah repot-repot. Rumi tahu daging ini bukan punya Rumi."
"Engga. Ini punya adek."
"Punyaku lebih baik di kasih sama anjing, Bi. Aku tahu."
Wanita itu tertegun ketika mendengar ucapan sang anak yang dengan tegarnya mengatakan hal itu.
"A-adek?"
"Iya. Aku tahu dan dengar semuanya tadi." Buliran bening dari air mata anak itu, tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.
Bibirnya yang pucat, cukup membuat hati Bi Nia benar-benar terenyuh.
Dia mengelap air mata Rumi.
"Kenapa mama setega itu?" lirihnya yang cukup membuat hati Bi Nia hancur berkeping-keping. Dia tak bisa lagi menahan air matanya ketika Rumi berbicara suatu hal yang baginya terasa langka.
Iya.
Setelah sekian lama dia tak pernah mendengar anak itu bercerita. Dia juga seorang ibu yang memiliki dua anak di kampung sana.
Sedikitnya dia paham bagaimana kesakitan seorang anak ketika diperlakukan tak baik seperti itu oleh keluarganya sendiri.
Banyak orang-orang yang berpikir bahwa keluarga adalah salah satu tempat nyata bagi mereka untuk mencurahkan segala permasalahan yang ada.
Tapi nyatanya tidak semua orang menyetujui hal itu.
Rumah bagaikan neraka bagi Rumi. Keluarga, bagaikan malaikat penyiksa yang tak pernah bisa memberi kesempatan sedikit saja bagi dirinya untuk tertawa ataupun merasakan indahnya keluarga.
Lagi-lagi Bi Nia sudah terlarut oleh keadaan. Dia tak mau lagi melihat Rumi seperti ini.
Dengan tangan gemetar, dia ambil sesuap nasi kemudian menyuapkannya kepada Rumi.
"Biarkan engga ada orang yang nganggap adek. Tapi bibi, akan selalu nganggap bahwa adek adalah orang yang kuat dan hebat."
...
"Dasar tolol! Bisa-bisanya dia nyimpen sepatu di sini. Kurang ajar banget tuh anak."Baru saja Rumi akan terlelap dari tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh hingga membuat matanya kembali terjaga.Iya.Suara itu tak lain dan tak bukan, milik dari seorang wanita penguasa di rumah ini.Dia terdiam di tempat tidurnya sambil terus memasang telinganya dengan jeli.Apa saja yang akan ibunya katakan di bawah sana.Lagipula apa masalahnya? Rumi hanya menyimpan sepatu di rak sepatu yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan alas kaki.Entah itu sandal ataupun sepatu.Apa hanya karena rak sepatu itu dipenuhi oleh sepatu mahal milik ibunya sehingga sepatu miliknya tidak boleh mengisi tempat kosong itu?Apakah sampai seketat itu peraturan di rumah ini?Dengan berani Rumi membuka pintunya lalu turun ke bawah.Dia mengambil sepatu sekolahnya yang sudah berantakan di mana-mana. Untung saja ada bi Nia di sana yang me
Kamu akan kembali pada Sang Pencipta ketika sudah waktunya.Percayalah.Kamu harus tetap menjadi dirimu yang kuat.Kamu boleh menangis.Tapi jangan sampai kamu menyerah....Setelah selesai meluapkan seluruh kekesalan dan kesesakan yang ada di dalam hati, Rumi menutup buku diary-nya dan memutuskan untuk kembali beristirahat di atas kasur.Perlu digarisbawahi.Keluarga Rumi adalah keluarga kaya yang hartanya melimpah karena dulu, ayahnya bekerja di pertambangan dan sudah menduduki jabatan tertinggi di sana.Kehidupan istri dan anaknya pun pasti terjamin.Namun siapa sangka dibalik kemelimpahan harta itu, ada seorang anak yang terabaikan bahkan selalu terpojokan.Rumi tak pernah mendapat kebahagiaan.Bahkan untuk kasur tidurnya saja, sudah tidak bisa kita katakan lagi sebagai kasur yang layak.Anak itu tak pernah meminta. Lagipula dia tidak peduli mau tidur tanpa alas atau di lantai sekalipun.Dia hany
"Gua udah cape liat wajah lu tau engga?" bentak Letty sambil mendorong sang anak hingga jatuh ke belakang.Untung saja Bi Nia datang, lantas membangunkan Rumi dari sana."Lu memang anak pembawa sial! Nggak pernah sekali aja lu bikin hidup gua tenang. Kehadiran lu merubah segala suasana. Lu seharusnya mikir jadi manusia! Ngotak dikit! Jangan pernah sok pengen kelihatan baik. Lu sama sekali nggak ada tandingannya sama siapapun! Lu cuma sampah!"Letty benar-benar jahat.Dia sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya sang anak ketika dibicarakan seperti itu.Letty memang bukan seorang ibu.Hati dia terlalu batu dan tidak mau menerima keadaan yang menimpanya.Tak hanya keluarga besarnya dia yang tidak menyukai Letty.Justru terkadang, tetangganya pun merasa kasihan mendengar Rumi yang terus saja dimarahi hanya karena hal sepele.Pernah waktu itu ketika hari Minggu, tetangga samping rumahnya sedang menyiram tanaman di depan r
Sepertinya, hanya orang-orang langka yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua kesalahan yang menimpanya.Berbeda dari seorang Rumi yang mungkin hidupnya tengah berada diambang hidup atau pun mati.Dia tidak menyalahkan dirinya sendiri saat ini. Mungkin kalau bisa kita teori kan, justru dia yang selalu disalahkan untuk semua permasalahan padahal dirinya tidak melakukan apa-apa ataupun berbuat sesuatu, tapi hanya hal sepele saja.Pernyataan tadi tidak berlaku bagi Rumi.Justru yang benar, adalah manusia langka karena benar-benar diperlakukan tidak buruk di dunia ini.Bukan oleh orang jahat ataupun orang lain.Justru yang paling menyakitkan, kesakitan itu berasal dari keluarganya sendiri.Bahkan tak jarang, seorang Rumi selalu mengeluh dan berdoa kepada Tuhan agar bisa mematikan dirinya di suatu tempat.Dia ingin mencapai kedamaian, yang mana dalam kedamaian itu tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggunya lagi. Dia
Warna Fajar semakin terlihat terang.Aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, dengan kondisi tubuh yang benar-benar pegal seperti remuk.Apalagi jika aku memegang area wajah, rasa sakitnya terasa sekali.Seperti biasa aku selalu membuka jendela kamar agar bisa menghirup udara sejuk di sini.Aku terdiam sesaat sambil memperhatikan warna indahnya matahari yang akan terbit.Angin sejuk menyelinap masuk ke dalam tulangku yang hampir tak berdaging.Sebelum memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah, aku selalu terdiam beberapa menit di sini.Menetralkan seluruh pikiran buruk dan melupakan kejadian tadi malam yang begitu menyakitkan.Pernah sekali saja aku bisa tenang diam di rumah.Atas segala kejadian yang terjadi, aku kemudian memutuskan untuk diam dan tak banyak bicara daripada membuat Ibu lebih murka.Walau memang sejatinya hatiku meronta dan ingin memberontak, tapi percuma saja.Dia tidak akan
Setelah berputar-putar mengelilingi jalanan depan rumah, akhirnya Rumi menemukan satu penjual nasi goreng di seberang posisinya saat ini.Dia kurang tahu penjual itu karena belum pernah membelinya.Karena tukang nasi goreng yang biasa dia beli tutup, akhirnya Rumi memutuskan untuk membeli nasi gorengnya di sana saja.Lagi pula dia berpikir, semua nasi goreng itu sama. Jadi dia yakin ibunya pasti tidak curiga karena dia membeli nasi gorengnya di tempat yang berbeda.Sedikit tenang.Rumi menghampiri penjual itu kemudian memberikan uang lima belas ribu.Porsi lima belas ribu, adalah porsi yang cukup spesial untuk sekedar nasi goreng di sini."Dibungkus atau dimakan di sini dek?" tanya sang penjual."Dibungkus aja pak."Penjual itu melirik sedikit ke arah orang yang membeli dagangannya saat ini. Dia sedikit keheranan dan kaget tatkala melihat pergelangan tangan Rumi yang benar-benar kecil dan kurus sekali.Muncul rasa
Sebuah pagi yang begitu menyeramkan dari pagi-pagi di hari sebelumnya.Awan yang mendung dan langit yang menghitam, seperti cukup memberi isyarat kepada orang-orang bahwa salah satu rumah dari banyaknya rumah yang indah di sana tengah terjadi kehebohan yang luar biasa.Tak akan ada orang yang mampu memahami selain tetangganya sendiri.Lagipula mana ada orang yang mau menikmati luka yang justru dia terima dari keluarganya?Sudah terlalu muak bagi seorang Rumi mendengar kata sakit, semangat, patah, hancur dan kata-kata menyebalkan lainnya.Dia tidak membutuhkan kata itu.Bahkan untuk sekadar menginterpretasikan rasa sakitnya, dia tidak tahu harus dengan apa karena rasa sakitnya itu benar-benar terasa sakit.Andai dia bisa pergi ke suatu bukit yang tinggi kemudian berteriak sehingga orang-orang dunia mendengarnya.Dia akan bertanya,"Akankah ada orang-orang yang lebih malang daripada aku? Akankah ada orang yang hidupnya di
Hiruk pikuk keadaan pasar begitu menggegarkan suasana.Orang-orang tampak sibuk membeli kebutuhan hidupnya masing-masing.Ada yang membeli ikan, beras, telur, daging, sayuran bahkan buah-buahan.Hampir semua dari mereka berkumpul di tempat-tempat yang ingin mereka beli dagangannya.Ketika sampai, Rumi hanya bisa ternganga melihat keindahan yang baginya terasa langka.Meskipun tanah yang ia pijak begitu becek dan kotor, bahkan kalau kita mau berjalan ke belakang untuk membuang sampah, selalu ada banyak belatung yang berserakan di atas tanah itu.Menjijikkan sekali memang.Namun justru yang membuat perhatian anak itu teralih, bukan karena kotor dan kumuhnya tempat itu.Justru karena dia sedikit senang bisa melihat orang-orang bisa mengekspresikan dirinya di sini.Pasar sebagai tempat bebas bagi mereka untuk mengobrol, saling tawar-menawar antara penjual dengan pembeli, bahkan kita juga bisa menemukan orang yang diajak meng