Bagaimana acaranya tadi Princess?" Tanyaku kepada gadis kecil yang saat ini duduk di sampingku.
"Bagus banget pi, tadi ada yang bernyanyi, menari, baca puisi, pokoknya tadi aku suka banget pi." Ceritanya kepada sosok lelaki yang saat ini berada di samping sang putri dengan senyum yang tak lepas dari kedua sudut bibirnya.
"Princess sendiri tadi dapat bagian apa, sayang?" Masih dengan tatapan yang fokus kepada gadis kecil berbando pink dengan gaun warna putih yang menambah kesan cantik di wajah sang gadis belia tersebut.
"Kelas aku menampilkan drama Pih, jadi tadi aku sama teman-temanku jadi artis. Kalau sudah besar nanti Kania mau jadi artis beneran yah pi, biar terkenal dan membanggakan buat papi. Pokoknya tadi Kania seneng banget, pi." Gadis kecil yang bernama Kania tersebut menjawab pertanyaan ayahnya yang tak lain adalah Alfan seraya mulutnya memakan makanan, sedangkan sang ayah yang melihat bagaimana Kania bercerita ikut tersenyum. Kadang Alfan juga ingin kembali seperti sang putri, seperti anak kecil lagi, dimana dirinya tidak harus memikirkan tentang sekelumit masalah. Tapi dirinya sadar jika waktu tidak bisa di putar kembali, dan yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani kehidupan kita dengan sebaik mungkin, agar kelak tak ada yang namanya penyesalan dalam hidup. Cukup hanya sekali saja dirinya merasa menyesal, tapi bukankah dibalik semua cobaan akan ada hikmah yang diperoleh. Bagaikan pelangi yang hanya akan terlihat setelah adanya hujan.
"Oya, aku juga senang banget tadi tante Dara datang ke sekolah aku." Kania menoleh hingga mata Kania dan Dara menatap pada satu arah pandang yang sama. Dara tersenyum seraya mengelus pipi Kania dengan sayang. Diamatinya gadis kecil yang memiliki mata bulat serta hidung mancung yang dia yakini adalah warisan dari pria yang berada di depan Kania yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara dirinya dan sang anak, pandangan yang terkesan mengintimidasi hingga membuat dirinya seakan dibekukan oleh pandangan matanya.
Dara berdehem sebelum menjawabnya mencoba menghalau rasa gugup yang timbul secara mendadak karena menyadari bagaimana mata Alfan yang memandang tajam kearah dirinya. Dara merasa tak nyaman atas tatapan yang diarahkan kepadanya tersebut."Tante juga senang bisa lihat pertunjukan kamu tadi, sayang." Kataku sambil tersenyum kearah Kania.Ya aku memang menyayangi gadis kecilku itu, gadis yang menurutku sangat menggemaskan apalagi saat dia sedang tertawa yang akan menampakkan kedua lesung pipi nya, dan ditambah dengan gigi yang ompong yang berada ditengah-tengahnya yang semakin membuatku gemas saja. Ingin rasanya kuculik saja dia, lalu kumasukkan ke dalam dompet hingga dapat kubawa kemanapun, setidaknya itu bisa menjadi penghiburku saat mood ku sedang tidak baik. Batinku tertawa dalam hati.
"Tante Dara bisa datang ke sekolah aku, kenapa papi gak bisa?" Tanyanya sambil masih tetap melahap makanan di piringnya.
"Papi kan tadi ada rapat penting sayang, jadi papi gak bisa datang. Ini setelah rapat papi juga langsung nyusulin Kania kan.Tante Dara kebetulan tadi pulang lebih awal dan tante Dara tahu kalau di sekolah Kania ada pertunjukan siswa, makanya tadi tante minta ijin papi buat nemenin Kania." Jawabnya dengan rasa kasih sayang.
"Tadi kan, Kania juga ditemani oma, sayang."
"Iya tapi kan tadi teman-teman Kania pada ditemani mama sama papanya, sedangkan Kania hanya ditemani oma sama tante Dara." Jelas terlihat raut kecewa di wajah ayunya, wajah yang berhasil membuat diriku jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Namun kini di sorot mata tersebut tidak terlihat berbinar seperti yang biasa aku lihat.
"Kania sayang, Kania bisa kok anggap tante Dara juga mamanya Kania". Ucapku coba menenangkannya. Tak tega rasanya jika gadis sekecil Kania harus kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Walaupun aku tahu Alfan bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya ditambah dengan sang anak.
"Memangnya tidak apa - apa? tante Dara gak marah kalau Kania anggap tante Dara mama Kania?" Kulirik papinya berharap mendapat balasan, tapi apa yang kudapat, dia hanya diam sambil menikmati minumannya. Dia bahkan hanya melirik sekilas kearah kami berdua.
" Kenapa tante harus marah? tante kan sayang sama Kania, Kania juga sayang sama tante kan?" Gadis tersebut mengangguk-anggukan kepalanya cepat bahkan terlihat sangat bersemangat. Ya aku tentu tahu bagaimana dirinya merindukan sosok ibu di hidupnya, apalagi di usia yang terbilang sangat belia.
" Kalau begitu Kania mau tidur di temani sama tante Dara, mau di bacakan cerita sebelum Kania tidur, tante Dara mau kan?" Bagaimana bisa aku mewujudkan keinginannya, sementara aku juga tidak mungkin tidur serumah dengannya, kecuali....
ah tidak mungkin. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin efek dari pikiranku yang sedang berkecamuk hingga membuat pikiranku berkeliaran tak jelas."Gak bisa sayang, kan tante Dara tinggal di rumahnya sendiri, sedangkan Kania tinggalnya bareng papi, oma, dan opa". Aku bersyukur karena Alfan sudah menjawab pertanyaan Kania, jadi aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaan Kania. Anak tersebut cemberut karena tak mendapat jawaban memuaskan dari sang ayah. Dalam situasi tersebut Alfan hanya bisa bersabar dalam menghadapi sikap putrinya. Dia sama sekali tak merasa tersinggung dengan keinginan Kania karena dirinya sadar jika dirinya tak bisa sempurna dalam merangkap peran sebagai papi sekaligus mami bagi putrinya. Ada kalanya Alfan merasa lelah dengan kesehariannya, tak ada lagi tempat baginya bersandar. Menangis pun dirinya tak mampu. Telah banyak air mata yang keluar secara diam-diam saat dirinya hanya seorang diri.
"Kenapa gak bisa pi? padahal oma, opa, Kania, sama papi bisa tinggal dalam satu rumah?" Tanyanya lagi dan kali ini kuharap Alfan bisa menjawabnya lagi. Kania sungguh anak yang kritis, dirinya akan terus bertanya jika dirinya mendapat jawaban yang tidak memuaskan."Karena tante Dara bukan mama sebenarnya Kania, bukan saudara kita juga. Kecuali kalau tante Dara mau jadi istri papi, maka tante Dara akan jadi maminya Kania yang benar."
Dan jawaban apa yang diucapkan olehnya itu?, bagaimana mungkin Alfan bisa menjawab dengan enteng dan tanpa canggung."Jadi tante Dara gak bisa tinggal bareng kita pi?" Dia sedikit menundukkan kepalanya, terlihat ekspresi kecewa di raut wajahnya.
"Coba Kania tanya ke tante Dara, mau gak menikah sama papi, menjadi istrinya papi, dan menjadi mami yang sebenarnya buat Kania. Tanya gih sama tante." Detik itu pula, ingin rasanya aku melempar papi dari Kania dengan apapun yang ada di kafe ini.
Aku terpaku mendengar kata-katanya, apakah Alfan secara tidak langsung sedang melamarku?, batinku bertanya dalam hari. Namun tak sengaja pandanganku bersibobrok dengan pandangan seorang wanita yang duduk di pojok ruangan.
Mata ini masih menatap komputer di depan namun pikiranku berkelana entah ke dunia mana. Sedari tadi aku hanya memandangi layar tersebut tanpa melakukan tugas-tugasku. Kubiarkan saja tugas-tugas tersebut tergeletak di atas meja, barangkali nanti mungkin akan ada orang baik hati yang membantu mengerjakan tugas tersebut.Sudah seminggu ini aku tak fokus pada pekerjaan, hingga mengakibatkan diriku yang mendapat teguran langsung dari atasan yang tak lain adalah Alfan, ya dan kalian tahu karena pria itu pula yang membuatku tak fokus pada pekerjaanku akhir-akhir ini.Kupikir dia hanya bercanda saat memintaku menjadi mami Kania, tapi ternyata aku salah. Karena pada malam dia mengantarku pulang Alfan kembali berbicara seperti itu."Aku serius Ra, sama ucapan aku tadi. Dan aku harap kamu bisa mempertimbangkannya. Aku akan menerima apapun keputusan kamu."Ya seperti itulah yang Alfan ucapkan malam itu saat kami berada di dalam mobil dengan Kania ya
Pagi ini aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku."Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana."Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir."Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendin
Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut.Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini.“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti.“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya.“Biasa ngasih orang seperti tadi?” Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau.“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi sep
“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, bahkan kepalanya menempel sempurna di dada bidangku.“Dara kamu....” Lidahku terlalu kelu untuk berbicara, bahkan mataku pun yakin sudah melotot sempurna.“Aku mencintaimu, suamiku.” Ucapnya lagi dengan tersenyum. Bahkan genggaman tangannya terasa hangat menyentuh kulitku. Dara memperpendek jarak antara kita, matanya lekat menatap ke arahku hingga dapat kurasakan embusan nafasnya yang hangat. Mata kami saling pandang pada satu garis lurus yang sama hingga tanpa kusadari jarak antara kita semakin terkikis. Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, kupejamkan kedua mataku yang juga di ikuti oleh Dara, bibir kami hampir saja bersentuhan jika saja tak kurasakan sebuah tepukan di wajahku.“Papi bangun.” Mataku seketika membeliak setelah mendengar suara Kania. Kutoleh sekitar ruangan dan aku baru menyadari rupanya aku telah tertidur di sofa ruang tamu. Ja
“Ini gulingnya nggak bisa di singkirkan, Ra?, barangkali kali butuh kehangatan dari tubuhku.” Ucap Alfan berbisik di dekat telinga Dara. Tengkuk leher Dara meremang merasakan nafas Alfan yang terasa sangat dekat dengan dengannya, Dara seketika berbalik, keduanya bertatap pada satu garis pandang yang sama. Alfan menyangga kepalanya dengan salah satu tangannya, tersenyum yang menampilkan barisan gigi rapi dan putihnya. Melihat reaksi spontan dari Dara yang melotot ke arahnya semakin memperlebar senyum di wajah Alfan.“Aduh sakit, Ra.” Memang pukulan dari tangan Dara tak begitu keras tapi Alfan hanya ingin menjahili istrinya. Bahkan pukulan tersebut tak ubahnya pukulan manja dari sang istri. Tak puas hanya dengan pukulan, Dara mengambil guling yang berada di tengah- tengah keduanya. Tak puas hanya dengan guling Dara kembali mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Alfan hingga bantal yang menjadi alas kepalanya di bekapkan ke wajah Alfan.
Waktu jam istirahat sudah terlewat beberapa menit yang lalu, tapi Dara sepertinya masih asyik berkutat dengan pekerjaannya. Dara mengalihkan pandangan dari komputer setelah mendengar gawai pintarnya berdering pertanda ada telepon masuk. Nita menjadi nama yang tertera di layar utama.“Hal...”“Kenapa belum turun ke bawah?, sengaja mau di jemput suami?” bahkan Dara belum sempat menyelesaikan ucapannya namun Nita sudah memutus kata – katanya.“Sorry, pekerjaan gue banyak banget. Jadi kayaknya nanti titip mas Arga saja buat bawakan camilan saja.”“Sibuk banget sih sepertinya, Ra. Alfan yang pekerjaannya seabrek saja bisa meluangkan waktunya buat istirahat. Lagian aku nggak kasih ijin Arga buat bawain kamu makanan, enak aja minta di bawakan camilan sama pacar gue.” Cerocos Nita yang membuat makhluk lain yang berada satu meja dengannya geleng – geleng kepala.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan. Seperti itulah siklus waktu hingga tak ku sadari pernikahan yang ku jalani dengan Dara sudah memasuki bulan ketiga. hubungan kami pun semakin hari semakin menunjukkan kemajuan. Kania menjadi satu dari orang terpenting yang membuat hubungan kami semakin dekat. Jika dulu setiap akhir pekan mama selalu datang ke rumah untuk mengajak Kania sekedar jalan – jalan ke taman atau pusat perbelanjaan, kini sudah beberapa minggu rutinitas itu aku dan Dara yang menjalankan. Lebih sering kita bertiga pergi ke taman sekedar mencari udara sejuk atau jalan- jalan seraya bergandeng tangan layaknya keluarga yang sempurna.Seperti pagi ini kami akan mengunjungi sebuah taman yang berada tak jauh dari perumahan dekat rumahku. Kania sibuk bersenda gurau dengan Dara saat kami berjalan menuju taman. “Pagi Kania, duh cantiknya.” Sapa seorang perempuan yang ku ketahui bernama Raisa, dia
Membuka pintu mobil, aku menatap pemandangan sekeliling. Tak banyak yang berubah rupanya, pohon mangga masih berdiri tegak dengan beberapa daun yang mulai menguning jatuh ke tanah.Sambil berjalan, kualihkan pandangan ke arah sebuah rumah yang memiliki pelataran tak begitu luas, namun karena rumah di bangun dengan gaya minimalis hingga menghasilkan kesan yang lebih luas dari aslinya.Anak-anak sibuk berlarian dengan teman yang lainnya. Mereka terlihat bahagia meskipun hanya bermain sepakbola yang bahkan tempat bermainnya hanya di sebuah halaman rumah salah satu orang tua mereka yang kebetulan memiliki luas pekarangan yang lebih luas, sangat berbeda dengan tempat bermukimku selam beberapa tahun belakangan.Mereka sibuk berlarian seraya tertawa bahagia. Sudah berapa lama aku tak melihat pemandangan seperti ini, pemandangan yang sangat langka untuk ku temukan di ibukota.Kualihkan pandang dari sekelompok anak yang asyik bermain, menikmati u