Share

Bab 6. Melati Kecewa

Suara Aisyah saat di telepon terus terngiang di telinga Melati. Dia benar-benar merasa menjadi seorang penjahat. Melati melihat foto yang dikirimkan Reina ke HP-nya. Foto Adam dengan seorang wanita berjilbab, serta bocah perempuan kecil. Mereka tampak seperti keluarga bahagia. Kemudian, Melati mengirimkan pada Adam.

“Mas, lihatlah, kalian seperti keluarga bahagia. Bagaimana perasaan istri pertamamu jika tahu kamu di sini berselingkuh?” Air mata Melati menetes saat mengirimkan pesan itu pada Adam.

Kebetulan Adam belum pulang ke Sidoarjo, dia sekarang masih di kantor cabangnya yang ada di Surabaya. Adam memang sudah berjanji akan menemani Melati sekitar dua bulanan.

Kemudian, ponsel Melati bergetar, sebuah notifikasi pesan dari Adam masuk di ponsel Melati.

“Sayang, kamu ngomong apa, sih? Itu cuma sebuah foto. Foto yang diambil diam-diam oleh sahabatmu. Asal kamu tahu, aku lebih bahagia bersama kamu, Melati. Aku nggak nyaman dengan Aisyah,” balas Adam.

“Sudahlah, Mas, jangan membuatku semakin bersalah. Pastinya sebelum ketemu aku, kamu dan istrimu itu sangat bahagia. Dan kamu sangat nyaman dengannya,” balas Melati lagi.

“Aku pulang sekarang. Aku tahu kamu sedang emosi.” Melati hanya tersenyum kecut saat mendapat pesan tersebut.

Mas, kamu egois, sangat egois dan serakah, batin Melati.

Kemudian, Melati menelepon Reina, dia ingin berbagi kisah dengan Reina.

“Halo, Mel, ada apa? Tumben telepon jam segini? Lagi nggak kerja?” Terdengar suara Reina saat telepon sudah tersambung.

“Aku lagi nggak mood, jadi nggak masuk kerja,” sahut Melati.

“Wah, sahabatku ini kenapa?” Terdengar Reina terkekeh.

“Rei, kamu masih di Surabaya apa sudah balik?” tanya Melati.

“Kebetulan aku masih di Surabaya, Mel. Besok baru balik, ini masih packing. Sebenarnya aku masih pengen di sini, tapi gimana, Dani harus sudah masuk kerja. Dia nggak bisa cuti lama-lama.” Terdengar suara Reina kurang bersemangat.

“Emm, kita bisa ketemu nggak?” tanya Melati.

“Sekarang? Kamu nggak apa-apa, kan, Mel?” tanya Reina balik.

Bukannya menjawab, Melati malah menangis.

“Mel, kamu kenapa? Ok, kita ketemu sekarang. Aku yang ke rumah kamu, apa gimana?” tanya Reina.

“Kita ketemu di tempat biasa saja, Rei. Aku langsung berangkat sekarang, takut Mas Adam keburu balik dari kantor,” sahut Melati.

“Ok.” Setelah itu sambungan telepon pun terputus.

Melati segera pergi sebelum Adam datang. Melati langsung memacu sepeda motornya, meskipun hatinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi Melati masih bisa fokus mengendarai motor.

Tak lama kemudian, sampailah Melati di sebuah kafe tempatnya janjian dengan Reina. Ternyata Reina sudah ada di sana dan sudah memesan minuman serta makanan ringan kesukaan Melati.

“Cepat sekali kamu, Rei, sudah datang dan makanan sudah siap.” Melati tersenyum.

“Ya, kan, lebih dekat rumahku,” sahut Reina sambil tersenyum.

Melati kemudian duduk di hadapan Reina. Dia menghela napas panjang. Melati bingung memulai dari mana untuk bercerita. Reina menatap Melati yang kebingungan.

“Ada apa, Mel? Apa yang kamu pikirkan? Meskipun kamu tersenyum, tapi aku tahu kamu sedang bersedih,” ucap Reina.

Melati menarik napasnya dengan panjang. Lalu, dia mengaduk-aduk minuman di hadapannya dan menyeruputnya. Setelah sedikit tenang, Melati pun mulai bercerita.

“Ternyata benar, Mas Adam sudah menikah, Rei. Foto yang kamu kirim ke aku itu memang sedang bersama keluarganya. Kemarin istrinya telepon saat Mas Adam sedang bersamaku. Awalnya, Mas Adam mengelak, tetapi setelah aku desak, akhirnya dia jujur kalau sudah berkeluarga.” Melati langsung menangis setelah bercerita pada Reina.

“Nah, sudah kuduga dari awal, pasti ada yang nggak beres dengan si Adam itu. Kalau dia memang masih single, nggak mungkin dia cuma ngajak nikah siri. Apalagi sampai keluarganya nggak tahu. Bahkan, kamu belum dikenalkan ke keluarganya, kan?” Reina menatap Melati.

Melati mengangguk.

“Aku memang bodoh, Rei, langsung percaya begitu saja dengan rayuan Mas Adam. Dia bilang menunggu waktu yang pas untuk mengenalkan pada keluarganya. Tapi, ternyata itu hanya alasan saja. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah dikenalkan ke keluarganya. Dia memang egois, Rei.” Lagi, Melati tersedu-sedu.

“Mel, yang sabar. Sudah jangan menangisi pria brengsek seperti itu. Sekarang kamu maunya gimana?” tanya Reina.

“Aku ingin pergi, Rei. Aku nggak mau dianggap pelakor, aku bukan Pelakor, karena aku nggak tahu kalau Mas Adam sudah beristri. Seandainya tahu kalau Mas Adam sudah berkeluarga, aku nggak mungkin mau menikah dengannya.” Melati menarik napas dalam.

“Aku nggak punya saran untukmu, Mel. Hanya saja aku akan mendukung apa pun keputusan yang kami ambil.” Reina menatap Melati.

“Tapi, jujur, aku bingung, Rei. Aku terlalu mencintai Mas Adam. Sulit bagiku untuk melepasnya, tapi biar bagaimanapun aku harus melepasnya. Aku nggak boleh egois. Sebelum semuanya terlambat dan aku makin sulit lepas dari Mas Adam.” Melati mengusap sudut matanya sambil tersenyum kecut.

“Yang sabar, ya? Semoga masalah kamu segera terselesaikan. Aku nggak bisa bantu apa-apa, hanya dukungan saja yang bisa kuberikan.” Reina menggenggam tangan Melati untuk menenangkan.

“Ibuku juga memintaku untuk pulang, dia mau menjodohkanku. Tapi, aku menolak. Hanya saja aku belum bilang kalau aku sudah menikah siri. Aku nggak tahu gimana perasaan ibuku kalau tahu aku menikah dengan pria beristri,” ucap Melati.

“Kamu turuti aja kemauan ibumu, Mel. Seorang ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.” Reina tersenyum.

Melati hanya diam, dia tIdak tahu harus bagaimana.

Saat mereka sedang asyik, tiba-tiba ponsel Melati berdering. Sebuah panggilan dari Adam. Melati malas menerimanya, dia mengabaikannya. Berkali-kali sampai akhirnya mati sendiri.

“Siapa, Mel? Adam?” tanya Reina.

Melati mengangguk.

“Kenapa nggak kamu terima?” tanya Reina.

“Malas, Rei.”

Reina hanya manggut-manggut. Kemudian, dia melihat ponselnya, dan mengeceknya.

“Mel, maaf, aku harus pulang ini. Dani memintaku untuk pulang, kami harus persiapan untuk besok.” Reina menatap Melati dengan sendu. “Aku jadi nggak tega harus ninggalin kamu dalam keadaan terpuruk begini, Mel,” lanjut Reina.

“Nggak apa-apa, Rei. Aku nggak apa-apa.” Melati mencoba tersenyum.

“Jangan lupa selalu kabari aku kalau ada apa-apa. Kalau kamu butuh teman curhat, kamu telepon saja,” ucap Reina

Melati hanya mengangguk. Kemudian, Reina berpamitan pada Melati.

Sepeninggal Reina, Melati kembali merasa sedih dan kesepian. Dia masih tak habis pikir bisa menjadi istri kedua. Sungguh tak pernah terpikirkan oleh Melati sebelumnya. Padahal Melati sangat membenci seorang pelakor, sedangkan dirinya sekarang menjadi seorang pelakor.

“Melati, kamu di mana? Jangan buat aku khawatir dan bingung. Aku sampai rumah, kamu nggak ada.” Sebuah pesan dari Adam.

Melati hanya membacanya, tanpa berniat membalas.

“Sayang, ayolah jangan ngambek. Balas pesanku, jangan cuma dibaca. Atau angkat telepon aku.”

Kemudian, terdengar ponsel Melati berdering. Adam menelepon Melati. Dengan malas, Melati menerima panggilan dari Adam. Dia tak mau bunyi ponselnya mengganggu pengunjung kafe lainnya.

“Akhirnya, diangkat juga. Kamu di mana Sayang? Biar aku jemput,” ucap Adam.

“Sudahlah, Mas, nggak usah pedulikan aku. Nggak usah nyari aku.” Melati menjawab dengan singkat.

“Sayang, jangan gitu. Aku tahu kalau aku salah, tapi jangan kayak gini. Kita bicarakan baik-baik di rumah, ya? Kalau kamu nggak mau pulang sendiri, aku yang jemput kamu. Kita selesaikan semuanya baik-baik,” ucap Adam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status