Setelah kembali ke kediaman Halton, Laura menjalani hari seperti biasanya. Melihat pakaian kotor menumpuk, dengan segera tangannya tergerak untuk mencuci.Setelah semua selesai, Laura senam kecil terlebih dahulu sebelum membawa wadah besar berisi pakaian yang hendak ia jemur.Laura pun menguatkan kedua lengan untuk membawa wadah tersebut ke halaman belakang. Kebetulan di sebelah taman memang ada tempat khusus untuk menjemur.Mengibaskan pakaian basah itu dengan sangat indah, seolah-olah sedang berada di sebuah istana."Huh! Akhirnya selesai juga," ucap seorang Laura sembari mengusap dahi dengan pelan.Di saat yang bersamaan, tak sengaja dirinya melihat seorang pria tampan yang tengah duduk santai di kursi taman, tidak jauh dari posisinya saat ini.Diam-diam dipenuhi rasa penasaran, Laura terus mengintip. Ia penasaran siapa pria yang tengah membaca buku beserta headset yang menutupi telinganya.Berharap Laura dapat mengenal dia secara langsung, Laura pun mulai mencari perhatian. Dia ta
Laura dan Leon tengah berbelanja sayuran beserta kebutuhan mingguan di sebuah pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah Leon.Sudah lama Laura tidak menginjakkan kaki di tempat yang biasanya ia datangi setiap hari.Leon sengaja menyuruh Angel untuk menyerahkan tugasnya kali ini kepada dirinya agar ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama Laura.Bahkan Leon sampai rela tak memakai mobil dan datang ke sana dengan berjalan kaki. Semua ini ia lakukan hanya demi waktu berharga yang baginya sangat tidak boleh dilewatkan.Laura terus memilih beberapa sayuran yang menurutnya terbaik. Mulai dari warnanya yang terlihat sudah matang, teksturnya, hingga ukurannya pun Laura perhatikan dengan sangat detail."Ini, Pak," ucap Laura seraya memberikan belanjaannya kepada si penjual."Totalnya enam ratus lima puluh ribu rupiah, Nona," jawab sang penjual setelah selesai menghitung keseluruhan."Kenapa mahal sekali? Biasanya aku berbelanja dengan bahan yang sama tidak sampai semahal ini," banta
Laura dan Felix tengah berada di sebuah pedesaan, tempat di mana Laura dilahirkan 23 tahun yang lalu.Sudah lama Laura tak mengunjungi tempat tersebut. Seingat dia, terakhir kali dirinya ke sana saat usianya masih sekitar 6 atau 7 tahun. Tentu sudah banyak jalan maupun tempat yang dilupakan seiring berjalannya waktu.Felix dan Laura terus bertanya-tanya mengenai jalan menuju lokasi yang hendak mereka datangi. Namun, belum ada satu pun jawaban yang dapat mereka jadikan acuan.Ya, lokasi yang dimaksud adalah rumah dari seorang bidan yang dulu membantu ibunya Laura dalam melahirkan dirinya. Ia ingin memastikan secara langsung apakah dia memang memiliki kembaran atau hanya sekedar dugaan saja.Karena sejak kecil, Laura masih sering bertemu bidan tersebut. Terutama karena hubungan orang tua Laura dengannya lumayan erat.Tapi dia sedikit kecewa karena tidak pernah diberitahu tentang Launa sedikit pun. Ia akhirnya memutuskan untuk datang ke tempat yang pernah menjadi saksi kisah masa kecilny
Laura dan Felix disambut baik oleh wanita yang sejak tadi mereka cari.Penampilan dan wajah Bu Laras tidaklah berubah sama sekali. Tetap cantik seperti terakhir kali Laura melihatnya."Silakan duduk," ucap Bu Laras."Mau dibuatkan apa? Teh, sirup, atau apa?" tanya nya dengan sangat amat ramah."Dari dulu Bu Laras tidak berubah," gumam batin Laura seraya menatapinya."Kak," Felix menyenggol pundak Laura, membuatnya terbangun dari lamunan."Te---terserah Ibu saja," balas Laura gugup.Bu Laras meninggalkan mereka sejenak dan kembali dengan dua gelas cangkir berisi teh hangat yang dia buat sepenuh hati."Awalnya saya kira siapa, ternyata kamu, Laura. Sudah besar sekali dirimu. Tumbuh menjadi wanita cantik dan sukses," puji Bu Laras.Laura yang sedang menyantap teh hangat tersebut pun tersedak."Ada apa?" Laura merespon pertanyaan Bu Laras dengan gelengan kepalanya. "Tidak ada apa-apa kok, Bu.""Serius?"Laura mengangguk pelan. "Bu Laras menganggap penampilanku sekarang adalah simbol kesu
Laura tengah fokus memasukkan sehelai benang tipis ke bolongan jarum kecil yang ia pegang."Berhasil," katanya senang.Saat sedang merapikan baju ke dalam lemari, tak sengaja ia menyadari salah satu rok mini miliknya ada sedikit sobekan. Karena sayang jika tidak bisa dipakai, akhirnya Laura memutuskan untuk menjahitnya sendiri."Meski tidak rapi, asal bisa digunakan kembali," ujarnya pelan.Tak lama kemudian, sebuah lantunan musik yang indah terdengar di telinga Laura hingga fokusnya teralihkan dan malah lupa dengan apa yang sedang dia kerjakan sekarang."Siapa yang memainkannya?" tanya Laura keheranan.Penasaran, Laura malah meninggalkan pekerjaan tersebut dan mengikuti alunan instrumen klasik yang masih samar-samar.Hingga dia tiba di depan sebuah ruangan yang pintu tebalnya sedikit terbuka."Ruang musik," Laura membaca tulisan yang ada di papan pintu.Sangat percaya diri, ia masuk ke dalam ruangan tersebut untuk melihat siapa yang ada di dalamnya.Begitu nikmat alunan itu jika di de
Leon mengajak Laura untuk menonton film kesukaannya dengan seri terbaru yang sedang tayang di bioskop."Ka---kamu seriusan?"Leon mengedipkan mata tanpa bicara sepatah kata pun, menandakan dia benar-benar serius dan tidak sedang bercanda."Tapi apakah kamu punya waktu untuk itu? Bukankah kamu sibuk?" tanya Laura yang malah merasa tidak enak."Aku memang tidak punya waktu untuk melakukan banyak hal. Tapi aku akan meluangkan waktuku untuk dihabiskan bersamamu," ucap Leon dengan nada datar.Setelah basa-basi yang cukup panjang, mereka pun telah tiba di bioskop dan segera mencari kursi.Sejak awal film dimulai, Leon terus melirik ke arah Laura. Lirikannya sudah tak bisa dihitung lagi saking banyaknya. Ia tidak bisa memalingkan mata tajamnya itu dari wanita yang ia anggap paling berharga, setelah keluarganya."Seandainya aku mengenalmu dari dulu, mungkin kamu sudah menjadi milikku sekarang. Tidak peduli dari keluarga mana kamu berasal, apa pendidikan terakhirmu, apa pekerjaanmu, aku akan te
Beberapa hari berlalu, kini sudah tiba saat di mana Leon dan Laura akan pergi menuju tempat liburan mereka.Dengan membawa koper masing-masing dan beberapa tas lain berisi keperluan kecil yang tidak bisa disebutkan satu per satu."Apa semua barang bawaan sudah siap?" tanya Leon yang ingin memastikan."Sepertinya sudah," jawab Laura meski sedikit ragu."Baiklah kalau begitu. Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Leon.Saat itu juga mereka pergi meninggalkan rumah diantar oleh seorang supir pribadi menuju bandara terdekat.Detik demi detik terus berjalan begitu cepat. Tak terasa sekarang mereka sudah sampai di tempat impian Laura, yaitu Bali."Sudah lama sekali aku merindukan suasana ini," jelas Leon bernada kecil. Ia terlihat sangat menikmati udara di sana. Meski badannya sedang kelelahan dan terasa sakit karena terlalu lama di perjalanan, tapi setidaknya semua pengorbanan tersebut telah terbayarkan dengan indahnya pemandangan yang tengah ia lihat."Apa kamu sudah pernah ke sini sebelum
Keesokan hari, Laura bangun lebih pagi dari biasanya."Jam berapa ini?" tanya Laura yang masih terbaring di atas ranjang seraya melihat ke arah jam beker."Ternyata masih jam 4. Ya ampun ... Bukankah ini terlalu pagi," lanjutnya berkeluh kesah.Tak ingin tidur lagi, Laura memilih untuk keluar kamar saja dan mencari kegiatan yang bisa dia kerjakan.Tanpa dipungkiri ternyata dirinya malah melihat Leon yang baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk."Selamat pagi, Laura," sapa Leon penuh kelembutan."Se---selamat pagi juga," balas Laura gugup."Ternyata dia bangun lebih cepat dariku. Apakah aku yang terlalu malas, atau dia yang kerajinan?" tanyanya pada diri sendiri.Saat itu juga Leon pergi ke dapur untuk membuatkan Laura sepotong roti lapis keju yang akan ia jadikan sebagai menu sarapan."Bolehkah aku membantumu?" tanya Laura yang tak ingin Leon kerepotan sendirian.Leon berkata bahwa dia bisa mengerjakan hal sepele itu tanpa bantuan Laura. Dia malah men