🍁 Tiara 🍁
Aku tengah berjalan menyusuri toko rotiku. Aku lulusan sarjana ilmu gizi dan memilih bekerja dengan membuat usahaku sendiri. Savira Cake and Bakery diambil dari nama mendiang adikku. Dia meninggal saat berusia lima bulan. Aku sangat sedih saat itu. Tujuh tahun kunantikan kehadirannya. Setelah dia lahir ternyata aku hanya diberi kebahagiaan menjadi kakak selama lima bulan. Aku pikir aku akan mempunyai adik lagi ternyata mamahku malah bercerai dengan Papah saat usiaku menginjak delapan tahun.
Benci, marah sekaligus rindu berkecambuk dalam hatiku kala itu. Aku sangat membencinya. Dia bahkan menjadi lebih perhatian pada kedua anak tirinya daripada diriku, hingga saat usiaku sepuluh tahun, aku menangis memintanya datang ke acara ulang tahunku. Saat itu hujan lebat disertai petir. Aku ke sana ditemani Mbok Nem, pengasuhku.
Dia menolak tegas dengan alasan sedang hamil muda, adikku katanya. Masih kuingat dengan jelas binar wajah bahagianya saat mengatakan sedang hamil anak suaminya. Saat itu aku marah. Sangat marah. Entah karena saat itu aku masih kecil, atau karena aku merasa teraniaya.
Ditengah hujan petir yang menggelegar aku mengucap sesuatu yang mungkin menjadi doa dan diijabah oleh Tuhan. Karena selepas aku mengatakannya, kudengar suara petir menyambar sangat keras bahkan aku dan Mbok Nem sampai ketakutan. Mbok Nem dengan penuh kasih memelukku yang ketakutan. Mbok Nem justru yang bertindak seperti ibuku, sedangkan ibuku sendiri mengacuhkanku demi suami barunya dan calon anaknya.
“Hiks ... hiks ....”
“Sudahlah Non Tiara, ‘kan ada papahnya Non sama Mbok Nem. Nanti kita beli balon yang banyak lalu minta papah membeli kue yang besar ya,” hibur Mbok Nem kala itu.
“Hiks ... hiks. Tiara benci sama Mamah, Mbok. Tiara benci. Hiks. Hiks.”
“Sudah Non, ayok ganti baju. Kita masuk ke dalam rumah.”
“Tiara benci Mamah, Mbok. Tiara benci. Tiara gak sudi punya adik lagi. Cukup Savira, Tiara gak akan pernah punya adik dari Mamah gak akan pernah selamanya,” ucapku penuh amarah kala itu.
Jeder! Sesaat setelah aku mengucapkan kalimat itu terdengar petir yang menyambar keras sekali. Aku sampai meringkuk ketakutan, bahkan Mbok Nem juga. Cukup lama kami hanya saling berpelukan.
“Ya Allah Tiara, Nduk.”
Kulihat papahku tengah berlari dari arah mobilnya. Dia langsung memelukku penuh sayang. Dalam pelukannya aku merasa tenang sekali. Tak ada lagi ketakutan. Tak ada lagi amarah. Sejak saat itu aku sudah berjanji akan selalu bersama Papah dan membahagiakannya. Entah dia mau menikah lagi ataupun tidak, aku tak peduli.
Satu bulan sejak peristiwa itu, aku mendengar kabar mamahku keguguran. Dia terjatuh saat di kamar mandi. Janin yang baru berusia tiga bulanan itu tak bisa diselamatkan bahkan kudengar sejak saat itu Mamah tak pernah hamil lagi hingga sekarang.
Aku tak tahu apa yang terjadi saat itu. Tapi aku merasa kejadian yang dialami oleh Mamah, akibat doaku. Doa anak yang merasa terabaikan. Mbok Nem yang mengetahui jika Mamah keguguran, kini selalu menasehatiku untuk menjaga omongan disaat kita marah. Jangan sampai orang menjadi rugi karena omongan kita. Omongan bisa berarti doa. Takutnya itu akan berbalik pada diri kita.
Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan takdirku. Aku sudah tak pernah berharap lagi akan mendapat kasih sayang Mamah. Kami putus komunikasi hingga sekarang. Bahkan aku tak tahu dimana dia sekarang ini.
***
“Kamu itu aneh,” kata sahabatku Wiwin. Dia seorang ibu rumah tangga dengan dua putra. Satu berusia empat tahun yang satunya setahun.
“Aneh kenapa?”
“Kamu itu baru menikah kemarin. Kok sudah kerja lagi.”
“Memangnya kalau aku sudah nikah kenapa?”
“Ya Allah, Tiar. Aku itu bingung sama kamu. Suamimu itu ganteng loh. Kalau aku jadi kamu tak kekepin dianya. Tak kurung di rumah aja. Gak boleh keluar-keluar,” cerocosnya.
Aku memilih diam tak menanggapi. Lagian aku sedang fokus untuk eksperimen usahaku membuat donut dari ubi ungu.
“Permisi, Mbak.” Lina salah satu pegawaiku datang.
“Iya Lin, ada apa?”
“Ada tamu.”
“Siapa?” tanyaku.
“Gak tahu Mbak. Ibu-ibu paruh baya dengan ... maaf penampilan menyedihkan. Kurus kayak gak terurus,” ucap Lina sambil berbisik.
“Oh, suruh tunggu di ruang penerima tamu ya, Lin!”
“Oke, Mbak.”
Setelah menyelesaikan eksperimenku dan mencuci tangan, aku menemui tamu tersebut.
Deg.
Tiba-tiba amarah yang hampir 20 tahun aku pendam muncul lagi. Tapi aku berusaha meredam emosiku. Aku berjalan dengan anggun melewatinya dan duduk di kursi seberang. Kami terpisahkan oleh meja.
“Tiara Sayang. Apa kabarmu, Nak?” Wanita paruh baya itu bermaksud memelukku tapi aku melengos, enggan menerima pelukannya. Dia tertegun, kemudian memilih duduk kembali. Hening, tak ada satu pun yang bicara.
Kuamati wajahnya yang dulu sangat cantik, yang sebagian besar diturunkan pada wajahku. Kulihat wajahnya seperti memendam banyak penderitaan, entahlah tapi aku tak peduli.
“Kamu masih marah sama mamah, Nduk?”
“Menurut Mamah?”
“Kalau kamu sudah dewasa kamu akan mengerti apa yang mamah lakukan. Mamah hanya mengikuti kata hati.”
“Iyalah Ma, Tiara ngerti kok. Yang membedakan manusia beretika dan tak beretika ‘kan bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah. Termasuk Mamah.”
“Sayang. Mamah mohon jangan hakimi mamah lagi. Cukup kedua eyangmu, keluarga mamah dan papahmu serta keluarga istri pertama Om Irwan. Jangan kamu juga, Sayang. Mamah menderita Nduk,” ucapnya sambil meneteskan air mata.
“Loh kok menderita, Mah. Bukannya seneng nikah sama mantan. Sampai keluarga sendiri ditinggalkan. Lagian Mamah juga sudah punya anak ‘kan dari Om Irwan,” sinisku.
“Sejak mamah keguguran, mamah gak pernah bisa hamil lagi, Nduk. Dan Om Irwan sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena sakit.”
Aku memilih tak menyahuti cerita Mamah.
“Kamu tahu Nduk, pernikahan mamah dan Om Irwan tak pernah bahagia. Keluarga istri pertama Om Irwan membenci mamah dan Om Irwan. Seluruh harta Om Irwan diambil alih oleh mereka dan diserahkan hanya kepada kedua anaknya. Padahal itu hasil usaha Om Irwan juga, tapi alasan mereka karena modal sebagian besar dari almarhum sang istri. Kami harus banting tulang Nduk, untuk membiayai hidup kami. Awalnya kami berharap dengan kehamilan mamah, kami akan lebih bahagia. Tapi ternyata mamah keguguran dan tak pernah hamil lagi.” Mamah menyusut air matanya.
“Eyangmu memarahi mamah, beliau bilang kalau ini karma mamah karena menyia-nyiakan kamu dan papahmu. Semenjak Mas Irwan sakit, mamah banting tulang. Mamah pernah salah dan mamah tak ingin melakukan hal yang sama untuk Mas Irwan. Karena itu, mamah memilih bertahan,” lanjutnya.
“Lalu, sekarang mau Mamah apa? Pengen balikan sama Papah gitu? Maaf, Tiara gak akan pernah setuju. Cukup sekali, Mamah pernah bikin Papah kecewa. Sekarang Tiara sudah besar. Tiara gak akan mengijinkan Mamah menyakiti Papah lagi.”
“Enggak Nduk, mamah malu. Mamah tak berani mengemis-ngemis cinta sama papahmu. Dulu saat kami bertemu 3 tahun yang lalu, mamah tanya kenapa dia tak menikah lagi. Mamah saat itu berfikir kalau papahmu masih mencintai mamah. Sehingga mamah berusaha mendekati papahmu.”
Aku shock mendengarnya. Papah tak pernah menceritakan sudah bertemu Mamah lagi.
“Mamah pikir papahmu masih mencintai mamah sehingga membayar semua utang-utang mamah. Ternyata semua dugaan mamah salah. Dia murni hanya membantu mamah karena mamah yang melahirkan kamu. Saat mamah meminta maaf dan ingin rujuk. Papahmu tidak mau. Ternyata alasannya menduda selama ini, karena Mas Bara tidak ingin memberimu mamah baru jika nanti mamah baru yang dia pilih sama seperti mamah bahkan mungkin lebih buruk lagi,” lirih Mamah.
Aku terkejut dengan pernyataan Mamah. Rasanya aku semakin tak ingin jauh dari Papah, walau surga di telapak kaki ibu, tapi aku tak pernah melihat surga itu. Mamah hanya memberiku sebuah neraka bernama kebencian. Sedang Papah selalu memberiku gambaran akan surga dunia itu melalui kasih sayangnya.
“Mamah tahu mamah salah, mamah hanya ingin punya kesempatan buat menyayangi kamu. Mamah akan pulang ke Semarang. Tolong sering-seringlah mengunjungi mamah. Mamah pergi. Dan selamat atas pernikahanmu, mamah berharap kamu bahagia. Walau mamah tak pernah bisa memberi contoh rumah tangga yang baik untukmu. Tapi mamah selalu mendoakan sebuah keluarga yang terbaik untukmu.”
Setelah Mamah pergi, luruh juga air mataku. Ternyata rasa cinta dan rindu itu masih ada. Hanya rasa itu membaur bersama kebencian.
*****
Genap tiga bulan pernikahanku dengan Gilang. Namun, hubungan kami masih dingin. Lebih tepatnya akulah yang menjarak. Gilang selalu berusaha mencairkan kecanggungan kami. Tapi aku memilih menutup mata, telinga dan hati. Masa bodoh, kalau dia lelah pasti dia akan menceraikanku. Apalagi aku tahu jika Amanda sudah kembali dan bekerja di kantor yang sama dengannya.Dan aku pun tahu, Amanda tengah berupaya merebut Gilang dariku. Baguslah, biarkan si pelakor beraksi. Sebentar lagi buaya cap badak bakalan terpikat. Dan aku akan melenggang bebas, sendiri seperti dulu.Beberapa kali Mamah memintaku mengunjunginya, namun tak pernah kugubris. Aku selalu berpikir aku tak butuh ibu seperti dia, lagian aku masih mempunyai ayah yang menyayangiku setulus hati. Suami? Halah, sebentar lagi paling juga lari ke pelukan mantannya.“Tiara?”“Mamah. Kapan datang?” ternyata Mamah mertua yang datang.“Baru saja. Wah, toko roti kamu semakin rame
🍁 Gilang 🍁Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, m
🍁 Tiara 🍁Semenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya &lsqu
🍁 Gilang 🍁Aku senang sekali Tiara membelikanku kemeja batik. Bahkan malam harinya langsung aku pakai.“Kamu mau kemana, Lang?” tanya Budhe Narti.“Gak kemana-mana, Budhe.”“Kok pake batik?”“Gak papa kepingin aja.”“Ya ampun Mas, itu belum dicuci juga,” gerutu Hana.“Biarin.”“Mambu Mas.”“Ya gak usah cium-ciumlah. Gitu aja repot.”“Astaga! Mbak Tiara yang sabar ya sama kelakuan nyeleneh masku.”Kulihat Tiara hanya tersenyum kikuk. Ya Allah, kapan es batu dalam hati istriku mencair? Sungguh aku tersiksa.***“Baru pulang kerja, Lang?”“Iya Pah. Tiara mana?”“Tadi di depan, kayaknya beli sesuatu di warung Pak Ulin.”“Oh.”Aku tengah mencopot sepatuku ketikaPapah mengajakku bicara serius.&
🍁 Tiara 🍁Aku tersipu malu. Astaga apa yang baru kulakukan? Kenapa aku membalas ciumannya? Bodoh! Daripada memikirkan kejadian tadi aku lebih memilih mengangkat teleponku.“Ya Halo?”“Mbak Tiara?”“Kenapa Asih. Tumben nelepon?”“Budhe, Mbak Tiara. Budhe sakit. Sekarang ada di rumah sakit.”Aku kaget untuk beberapa saat kemudian menarik napasku pelan.“Ya sudah, aku akan ke sana.”“Baik, Mbak.”Aku berbalik dan kaget karena hampir saja menabrak Gilang. Ngapain tuh cowok di belakangku.“Kenapa?” tanya Gilang penasaran.“Mamahku sakit, aku harus ke Semarang malam ini juga.”“Ya udah ayuk.”“Ayuk kemana?” Aku mengernyit bingung.“Ke Semarang lah tapi sebelumnya kita pulang dulu.” Akumasih bingung. Maksudnya apa?“Tiar, ini mau dibereskan ap
Aku tengah merenung di dekat kandang ayam milik Paklik Widodo, ayahnya Asih. Aku meratapi nasibku yang sudah dibuka segelnya. Astaga! Kenapa aku diam saja? Kenapa juga aku sangat menikmatinya. Ya Tuhan Tiara, kamu kenapa?Hampir satu jam aku duduk di atas dingklik atau jengkok (kursi kecil). Setelah mengurus Mamah dan menyuapinya aku langsung bersembunyi di sini. Aku sangat malu jika harus bertemu dengan Gilang pun dengan anggota keluarga yang lain. Aku bahkan sengaja memakai sweater dengan bagian leher yang tertutup karena leherku penuh dengan tanda merah buatan Gilang.“Di sini rupanya! Aku cari-cari dari tadi loh.”Aku kaget, lalu menoleh ke sumber suara. Gilang berjongkok di depanku, kemudian menatapku dengan tatapan menghujam namun lembut. Aku gugup dan segera memalingkan muka.“Hahaha.”Gilang tertawa tapi aku memilih tetap memalingkan muka.“Terima kasih ya, beneran acara buka segel yang luar biasa. Kamu
🍁 Gilang 🍁Aku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara di sampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah. Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan salat subuh.***“Iya Lang?”“Papah sehat?”“Alhamdulillah. Tiara bagaimana?”
🍁 Tiara 🍁Hampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.“Tiar.”“Pah.”Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d