Share

3. Masa Lalu Kelabu

🍁 Tiara 🍁

Aku tengah berjalan menyusuri toko rotiku. Aku lulusan sarjana ilmu gizi dan memilih bekerja dengan membuat usahaku sendiri. Savira Cake and Bakery diambil dari nama mendiang adikku. Dia meninggal saat berusia lima bulan. Aku sangat sedih saat itu. Tujuh tahun kunantikan kehadirannya. Setelah dia lahir ternyata aku hanya diberi kebahagiaan menjadi kakak selama lima bulan. Aku pikir aku akan mempunyai adik lagi ternyata mamahku malah bercerai dengan Papah saat usiaku menginjak delapan tahun.

Benci, marah sekaligus rindu berkecambuk dalam hatiku kala itu. Aku sangat membencinya. Dia bahkan menjadi lebih perhatian pada kedua anak tirinya daripada diriku, hingga saat usiaku sepuluh tahun, aku menangis memintanya datang ke acara ulang tahunku. Saat itu hujan lebat disertai petir. Aku ke sana ditemani Mbok Nem, pengasuhku.

Dia menolak tegas dengan alasan sedang hamil muda, adikku katanya. Masih kuingat dengan jelas binar wajah bahagianya saat mengatakan sedang hamil anak suaminya. Saat itu aku marah. Sangat marah. Entah karena saat itu aku masih kecil, atau karena aku merasa teraniaya.

Ditengah hujan petir yang menggelegar aku mengucap sesuatu yang mungkin menjadi doa dan diijabah oleh Tuhan. Karena selepas aku mengatakannya, kudengar suara petir menyambar sangat keras bahkan aku dan Mbok Nem sampai ketakutan. Mbok Nem dengan penuh kasih memelukku yang ketakutan. Mbok Nem justru yang bertindak seperti ibuku, sedangkan ibuku sendiri mengacuhkanku demi suami barunya dan calon anaknya.

“Hiks ... hiks ....”

“Sudahlah Non Tiara, ‘kan ada papahnya Non sama Mbok Nem. Nanti kita beli balon yang banyak lalu minta papah membeli kue yang besar ya,” hibur Mbok Nem kala itu.

“Hiks ... hiks. Tiara benci sama Mamah, Mbok. Tiara benci. Hiks. Hiks.”

“Sudah Non, ayok ganti baju. Kita masuk ke dalam rumah.”

“Tiara benci Mamah, Mbok. Tiara benci. Tiara gak sudi punya adik lagi. Cukup Savira, Tiara gak akan pernah punya adik dari Mamah gak akan pernah selamanya,” ucapku penuh amarah kala itu.

Jeder! Sesaat setelah aku mengucapkan kalimat itu terdengar petir yang menyambar keras sekali. Aku sampai meringkuk ketakutan, bahkan Mbok Nem juga. Cukup lama kami hanya saling berpelukan.

“Ya Allah Tiara, Nduk.”

Kulihat papahku tengah berlari dari arah mobilnya. Dia langsung memelukku penuh sayang.  Dalam pelukannya aku merasa tenang sekali. Tak ada lagi ketakutan. Tak ada lagi amarah. Sejak saat itu aku sudah berjanji akan selalu bersama Papah dan membahagiakannya. Entah dia mau menikah lagi ataupun tidak, aku tak peduli.

Satu bulan sejak peristiwa itu, aku mendengar kabar mamahku keguguran. Dia terjatuh saat di kamar mandi. Janin yang baru berusia tiga bulanan itu tak bisa diselamatkan bahkan kudengar sejak saat itu Mamah tak pernah hamil lagi hingga sekarang.

Aku tak tahu apa yang terjadi saat itu. Tapi aku merasa kejadian yang dialami oleh Mamah, akibat doaku. Doa anak yang merasa terabaikan. Mbok Nem yang mengetahui jika Mamah keguguran, kini selalu menasehatiku untuk menjaga omongan disaat kita marah. Jangan sampai orang menjadi rugi karena omongan kita. Omongan bisa berarti doa. Takutnya itu akan berbalik pada diri kita.

Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan takdirku. Aku sudah tak pernah berharap lagi akan mendapat kasih sayang Mamah. Kami putus komunikasi hingga sekarang. Bahkan aku tak tahu dimana dia sekarang ini.

***

“Kamu itu aneh,” kata sahabatku Wiwin. Dia seorang ibu rumah tangga dengan dua putra. Satu berusia empat tahun yang satunya setahun.

“Aneh kenapa?”

“Kamu itu baru menikah kemarin. Kok sudah kerja lagi.”

“Memangnya kalau aku sudah nikah kenapa?”

“Ya Allah, Tiar. Aku itu bingung sama kamu. Suamimu itu ganteng loh. Kalau aku jadi kamu tak kekepin dianya. Tak kurung di rumah aja. Gak boleh keluar-keluar,” cerocosnya.

Aku memilih diam tak menanggapi. Lagian aku sedang fokus untuk eksperimen usahaku membuat donut dari ubi ungu.

“Permisi, Mbak.” Lina salah satu pegawaiku datang.

“Iya Lin, ada apa?”

“Ada tamu.”

“Siapa?” tanyaku.

“Gak tahu Mbak. Ibu-ibu paruh baya dengan ... maaf penampilan menyedihkan. Kurus kayak gak terurus,” ucap Lina sambil berbisik.

“Oh, suruh tunggu di ruang penerima tamu ya, Lin!”

“Oke, Mbak.”

Setelah menyelesaikan eksperimenku dan mencuci tangan, aku menemui tamu tersebut.

Deg.

Tiba-tiba amarah yang hampir 20 tahun aku pendam muncul lagi. Tapi aku berusaha meredam emosiku. Aku berjalan dengan anggun melewatinya dan duduk di kursi seberang. Kami terpisahkan oleh meja.

“Tiara Sayang. Apa kabarmu, Nak?” Wanita paruh baya itu bermaksud memelukku tapi aku melengos, enggan menerima pelukannya. Dia tertegun, kemudian memilih duduk kembali. Hening, tak ada satu pun yang bicara.

Kuamati wajahnya yang dulu sangat cantik, yang sebagian besar diturunkan pada wajahku. Kulihat wajahnya seperti memendam banyak penderitaan, entahlah tapi aku tak peduli.

“Kamu masih marah sama mamah, Nduk?”

“Menurut Mamah?”

“Kalau kamu sudah dewasa kamu akan mengerti apa yang mamah lakukan. Mamah hanya mengikuti kata hati.”

“Iyalah Ma, Tiara ngerti kok. Yang membedakan manusia beretika dan tak beretika ‘kan bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah. Termasuk Mamah.”

“Sayang. Mamah mohon jangan hakimi mamah lagi. Cukup kedua eyangmu, keluarga mamah dan papahmu serta keluarga istri pertama Om Irwan. Jangan kamu juga, Sayang. Mamah menderita Nduk,” ucapnya sambil meneteskan air mata.

“Loh kok menderita, Mah. Bukannya seneng nikah sama mantan. Sampai keluarga sendiri ditinggalkan. Lagian Mamah juga sudah punya anak ‘kan dari Om Irwan,” sinisku.

“Sejak mamah keguguran, mamah gak pernah bisa hamil lagi, Nduk. Dan Om Irwan sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena sakit.”

Aku memilih tak menyahuti cerita Mamah.

“Kamu tahu Nduk, pernikahan mamah dan Om Irwan tak pernah bahagia. Keluarga istri pertama Om Irwan membenci mamah dan Om Irwan. Seluruh harta Om Irwan diambil alih oleh mereka dan diserahkan hanya kepada kedua anaknya. Padahal itu hasil usaha Om Irwan juga, tapi alasan mereka karena modal sebagian besar dari almarhum sang istri. Kami harus banting tulang Nduk, untuk membiayai hidup kami. Awalnya kami berharap dengan kehamilan mamah, kami akan lebih bahagia. Tapi ternyata mamah keguguran dan tak pernah hamil lagi.” Mamah menyusut air matanya.

“Eyangmu memarahi mamah, beliau bilang kalau ini karma mamah karena menyia-nyiakan kamu dan papahmu. Semenjak Mas Irwan sakit, mamah banting tulang. Mamah pernah salah dan mamah tak ingin melakukan hal yang sama untuk Mas Irwan. Karena itu, mamah memilih bertahan,” lanjutnya.

“Lalu, sekarang mau Mamah apa? Pengen balikan sama Papah gitu? Maaf, Tiara gak akan pernah setuju. Cukup sekali, Mamah pernah bikin Papah kecewa. Sekarang Tiara sudah besar. Tiara gak akan mengijinkan Mamah menyakiti Papah lagi.”

“Enggak Nduk, mamah malu. Mamah tak berani mengemis-ngemis cinta sama papahmu. Dulu saat kami bertemu 3 tahun yang lalu, mamah tanya kenapa dia tak menikah lagi. Mamah saat itu berfikir kalau papahmu masih mencintai mamah. Sehingga mamah berusaha mendekati papahmu.”

Aku shock mendengarnya. Papah tak pernah menceritakan sudah bertemu Mamah lagi.

“Mamah pikir papahmu masih mencintai mamah sehingga membayar semua utang-utang mamah. Ternyata semua dugaan mamah salah. Dia murni hanya membantu mamah karena mamah yang melahirkan kamu. Saat mamah meminta maaf dan ingin rujuk. Papahmu tidak mau. Ternyata alasannya menduda selama ini, karena Mas Bara tidak ingin memberimu mamah baru jika nanti mamah baru yang dia pilih sama seperti mamah bahkan mungkin lebih buruk lagi,” lirih Mamah.

Aku terkejut dengan pernyataan Mamah. Rasanya aku semakin tak ingin jauh dari Papah, walau surga di telapak kaki ibu, tapi aku tak pernah melihat surga itu. Mamah hanya memberiku sebuah neraka bernama kebencian. Sedang Papah selalu memberiku gambaran akan surga dunia itu melalui kasih sayangnya.

“Mamah tahu mamah salah, mamah hanya ingin punya kesempatan buat menyayangi kamu. Mamah akan pulang ke Semarang. Tolong sering-seringlah mengunjungi mamah. Mamah pergi. Dan selamat atas pernikahanmu, mamah berharap kamu bahagia. Walau mamah tak pernah bisa memberi contoh rumah tangga yang baik untukmu. Tapi mamah selalu mendoakan sebuah keluarga yang terbaik untukmu.”

Setelah Mamah pergi, luruh juga air mataku. Ternyata rasa cinta dan rindu itu masih ada. Hanya rasa itu membaur bersama kebencian.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aini Rizki
tiara sebenernya gadis yg baik tapi karna trauma jadi tambah penasaran aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status