Anne menggigit bibirnya sendiri, melihat Austin yang sudah membelakanginya. Meninggalkannya seorang diri saat semua orang menatapnya dengan tatapan hina. Anne tidak kuasa menahan gejolak luka yang bertubi-tubi menghantamnya. Bisakah ia berbesar hati seperti Elena?
Anne memutuskan untuk menghapus buliran cairan bening yang membasahi pipinya. Ia meninggalkan tempat yang sangat melukai hatinya. Posisinya serba salah di mata Austin. Padahal, Anne hanya ingin mendengar kata terima kasih, sayangnya yang Anne dapatkan tidak jauh dari kata kebencian.
Anne merenung sembari duduk di dalam taksi. Menyandarkan kepalanya dan mengukir indah harapan baru di atas luka yang masih menganga. Saat ia ingin menyerah, ia teringat Elena. Anne berpikir ulang, mungkin saja ia bisa melupakan sejenak tentang torehan luka yang Austin tebaskan padanya.
“Nona, kita sudah sampai.”
Anne mengangguk dan membayar biaya taksi. Sepanjang jalan, ia hanya melamun dengan tatapannya yang kosong. Sekuat tenaga, ia menutup lukanya dan akan mengatakan pada Elena kalau Austin memperlakukannya dengan baik.
‘Aku harus terlihat baik-baik saja,’ batin Anne.
Tidak cukup sampai di situ, Anne dikejutkan dengan sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Anne mengerutkan keningnya dan bergegas. Ternyata, Bibi Anh sudah menunggunya tepat di depan pintu utama.
“Bibi Anh, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Anne. Ia juga merasakan atmosfir rumahnya begitu suram.
“Nyonya muda, ada Tuan besar di dalam,” kata Bibir Anh.
Deg!
Anne menelan air liurnya. Tuan besar, tentu saja ayah mertuanya. Apa yang membuat Tuan Harold sampai menemui Anne?
“Aku akan menemui ayah mertua.”
Anne tidak bisa memutuskan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Ia hanya memiliki nyawa, sedangkan raganya bukan haknya lagi. Anne takut untuk bertemu Tuan Harold. Ada beberapa alasan dan yang pasti alasan utamanya karena Tuan Harold tidak merestui pernikahannya dengan Austin.
Anne menemui Tuan Harold dengan ragu. Ternyata, ada Elena yang sudah menemani Tuan Harold berbincang. Anne merasakan deja vu karena situasnya sama seperti kejadian pagi tadi. Suasana hangat yang berubah canggung setelah kehadirannya.
“Anne, kenapa diam di sana?” tanya Elena.
“Ah, iya Kak Elena.”
Lidah Anne semakin kelu. Otaknya tidak bisa berpikir dengan baik. Tidak tahu apa yang harus ia ucapkan, apa yang harus ia lakukan. Elena menarik Anne mendekat tapi ekspresi Tuan Harold lebih kejam dibandingkan Austin.
Tangan Anne yang mengepal sampai berkeringat. Ia hanya bisa menunduk. Statusnya yang buruk, pernikahan yang tidak seharusnya terjadi, latar belakang Anne yang juga tidak cemerlang, membuatnya serba salah meski memberikan senyum menawan.
“Ayah mertua—“ Anne menyodorkan tangannya untuk memberikan salam. Akan tetapi, Tuan Harold menolaknya. Menepis tangan Anne tanpa ragu.
“Aku bahkan tidak mengingat namamu. Bukankah lebih baik kalau kau memanggilku Tuan Harold?” ucapnya.
“Ah, saya—“
Tuan Harold berdiri dan merapikan pakaiannya yang kusut. Ia hanya memandang lembut ke arah Elena. Elena berniat baik tapi setiap kehadirannya menyudutkan Anne meski bukan itu tujuan Elena.
“Elena, jangan lupa nanti malam untuk datang. Cukup kau dan Austin saja,” ucap Tuan Harold dengan tegas.
“Iya, Ayah. Hati-hati di jalan,” balas Elena.
Elena menerima bingkisan berupa kotak indah berwarna biru. Entah apa yang ada di dalamnya. Setelah punggung Tuan Harold tidak lagi bisa dijangkau oleh pandangan mata, suasana yang mencengkam kembali normal.
“Anne, tolong maafkan Ayah dan Austin. Pernikahan kalian mendadak, mungkin saja mereka masih membutuh waktu untuk terbiasa,” ucap Elena. “Terima ini,” sambungnya sembari memberikan kotak hadiah di atas telapak tangan Anne.
“Maaf, Kak Elena. Aku tidak bisa,” tolak Anne. “Ayah mertua memberikan ini untukmu dan sangat mustahil jika untukku,” sambungnya.
“Kau dan aku sama-sama menantunya. Apa bedanya? Anne, kau harus mulai mendekatkan diri dengan Austin dan keluarganya,” ucap Elena.
“Tapi—“
“Anne, di dalam kotak ini ada gaun. Nanti malam, kau harus memakainya. Aku sudah mengirim Austin pesan kalau minta di jemput di halte dekat rumah,” jelas Elena.
“Kak, tapi—“
“Anne, malam ini akan ada acara yang sangat besar. Kesempatan bagus untukmu mendekatkan diri. Jangan disia-siakan.”
Lagi-lagi, Anne tidak diberi waktu untuk mengatakan pendapatnya. Tali kekang hidupnya seperti mencekik tanpa memberikan sedikit kelonggaran. Elena menyerahkan undangan acara yang Tuan Harold berikan padanya. Meminta Anne untuk menggantikannya. Jika Anne datang, apa acara itu benar-benar akan berjalan tanpa gangguan?
“Apakah ada kemungkinan?” pikir Anne.
***
Malam yang ditunggu telah tiba. Anne memakai gaun yang Elena berikan. Gaun itu sangat cocok untuknya. Anne menunggu Austin menjemputnya. Ia duduk di halte seorang diri dengan sangat hati-hati menjaga gaunnya supaya tetap bersih tanpa noda.
Disisi lain, Elene sedang menikmati sebuah drama yang ia tonton di layar ponselnya. Tiba-tiba saja, terdengar pintu rumahnya dibuka oleh seseorang. Anne bergegas untuk melihat sembari membawa buku tebal sebagai senjata.
‘Apa ada maling?’ pikir Elena.
Deg!
Elena mendelik. Ia menjatuhkan bukunya sampai membuat suara yang cukup keras. Austin yang sedang melepaskan sepatu, langsung terperanjat kaget.
“Sayang, apa aku mengejutkanmu?” tanya Austin.
“Kenapa kau pulang?” tanya Elena. Lidahnya kelu untuk memberikan pertanyaan lain yang lebih masuk akal.
“Kenapa? Elena, apa maksudmu? Tentu saja aku pulang untuk menjemputmu,” jawab Austin.
Elena tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya. Austin menyipitkan matanya sembari mendekati Elena. ia menaruh sedikit curiga.
“Elena, kau tidak memakai gaun yang Ayah berikan untukmu? Kau tidak lupa kalau malam ini kita ada acara, bukan?” tanya Austin.
“Aku sudah mengirim pesan. Apa kau tidak membacanya?” tanya Elena.
“Hah!” Austin menghela napasnya. “Aku sangat sibuk sampai tidak membuka pesan darimu. Maafkan aku,” kata Austin.
Elena diam kaku saat Austin memeluknya untuk minta maaf. Elena cemas. Ia ingin mengatakan kalau Anne sedang menunggu, tapi melihat wajah Austin yang lelah, bisa membuat sebuah pertengkaran.
‘Apa yang harus aku lakukan?’ batin Elena.
“Aku tidak bisa pergi, Austin. Bisakah kau pergi dengan Anne?” pinta Elena.
Austin melepaskan pelukannya. Ia tersenyum pahit sembari menjauh. Berusaha menghilangkan bayangan Anne di antara mereka.
“Elena, apa kau sedang sakit? Kita bisa tidak pergi. Ayah pasti mengerti. Aku akan menghubunginya,” ujar Austin.
“Tidak. Ini acara penting. Kau harus hadir.”
“Bagaimana mungkin aku bisa hadir dengan wanita selain dirimu?”
“Anne sudah menunggumu, Austin. Aku akan merasa bersalah kalau sampai—“
“Hst!” Austin menempelkan jarinya di atas bibir Elena. “Aku tidak peduli, Elena. Kalau dia memiliki harga diri, dia tidak akan menungguku. Lagipula, aku tidak sudi bertemu dengannya,” jelas Austin.
“Austin, tapi Anne—“
Austin menatap Elena tajam. Kemudian, ia menunduk menyandarkan keningnya di atas bahu Elena. “Bisakah kau berhenti menyodorkan dia padaku, Elena?”
Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya. Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.“Nona!” Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.“Austin!” pekik Anne.“Apa saya menge
Anne berpegangan pada setiap dinding yang ia lewati. Perasaannya begitu hancur. Kalimat dari Austin yang barus saja terlontar terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Tidak ada lagi airmata yang mengalir pada pipinya. Terasa kering dan kosong seperti hatinya.‘Kau pikir, aku sudi menikahimu?’‘Kalau bukan karena Elena yang memohon padaku sampai aku muak karena setiap hari harus mendengar namamu, aku tidak akan pernah menikahimu! Tidak akan pernah, Anne!’‘Wanita kotor!’‘Wanita licik!’‘Jangankan memiliki perasaan untukmu, aku bahkan merasa jijik saat aku berpapasan denganmu!’ Sumpah serapah yang Austin katakan begitu tegas tanpa adanya keraguan. Perasaan Anne sudah hancur lebur
'Apa kau akan terus menggadaikan suamimu, Elena?' Entah kenapa, kata-kata itu tertanam di dalam benak Anne. Terus saja terngiang-ngiang menghantuinya. Nyonya Jean yang tidak lain adalah Ibu kandung Elena, tiba-tiba saja datang berkunjung. Ia muncul dengan cara yang cukup mengejutkan. "Nyonya Jean pasti mendengar semua yang aku bicarakan dengan Kak Elena. Apa maksudnya dengan menggadaikan, ya?" gumam Anne. Nyonya Jean sama sekali tidak menegur Anne dan juga tidak bersikap terlalu sinis. Ia tahu kalau pernikahan antara Anne dan Austin merupakan keinginan Elena. Nyonya Jean membawa Elena pergi. Elena menuliskan semua jadwal dan apa saja yang diperlukan oleh Austin karena kemungkinan Elena tidak akan pulang untuk beberapa hari. Anne menyiapkan makan malam. Ia menghindari makanan yang tidak Austin sukai. Semua hidangan sudah selesai. Elena mengobati tangannya yang terluka karena beberapa sayatan pisau.
Plak! Entah setan apa yang merasuki Anne. Anne menampar Austin cukup keras sampai membekas merah tapak jari-jarinya di pipi Austin. Austin diam membeku. Ia hanya menyentuh pipinya tanpa mengubah posisi. Kesempatan itu digunakan oleh Anne untuk segera menjauh dari Austin yang sedang kehilangan kewarasannya.'Apa? Kenapa pintunya terkunci? Se--sejak kapan?' batin Anne. Anne sangat terkejut. Austin menyembunyikan kunci kamar tersebut entah di mana. Apakah di saku celananya? Pikir Anne."Setelah menamparku, apa kau sudah merasa hebat?" tanya Austin."Austin, buka pintunya!" pinta Anne."Bagaimana kalau aku tidak mau?" ujar Austin."Austin!" teriak Anne. "Apa belum puas kau merendahkanku, hah? Apa aku memiliki salah padamu?" teriak Anne lagi. Sebuah perjanjian menjerat Anne. Menyeretnya masuk ke dalam suatu hubungan yang terjalin sangat erat. Batasan, perlindungan, seperti menyerang Anne dar
Anne melewati malam yang mencengkam tersebut tanpa bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Elena atau bagaimana ia harus berhadapan dengan Austin. Austin tidak kembali. Mungkin saja ia menginap di tempat lain atau menyusul Elena, pikir Anne. Saat makanan tersaji di atas meja, tidak ada sedikitpun selera untuk menyentuhnya. Bayangan Austin terhadapnya terngiang jelas. Tap ... Tap ... Tap ... Suara langkah kaki mulai mendekat. Anne menoleh dan melihat pada sosok yang semakin membuatnya gemetar. "Anne, kenapa wajahmu pucat? Apa kau sakit?" "Kak Elena, aku tidak apa-apa," kata Anne. Anne mengelak menjawab. Menilik sikap Elena yang tulus dan perhatian padanya, membuat Anne semakin dicekik oleh rasa bersalah. Wajah Elena yang menunjukkan sebuah harapan besar, tidak mungkin akan Anne patahkan."Kak, bisakah ajarkan aku memasak makanan yang disuka
Mattew melihat luka-luka di jari-jari Anne. Ia tidak sampai hati mambiarkan Anne mengobati lukanya sendiri."Nona, maaf!" ucap Mattew.Grep!"Akh!" pekik Anne.Setelah mengucapkan kata maaf, Mattew memegang pergelangan tangan Anne dan menariknya keluar dari kantor. Anne benci jika ia menjadi pusat perhatian orang lain. Cara yang Mattew gunakan, tentu saja akan menimbulkan bisik-bisik kebencian.Wanita penggoda, perebut suami orang lain, tidak tahu diri, sekarang sedang menggoda pria lain, tidak cukup hanya dengan satu pria. Yeah ... Anne mendengar semuanya, tapi Mattew bersikap seperti tidak peduli sama sekali."Tuan, tolong lepaskan tangan saya," pinta Anne."Tutup saja telinga Anda. Anda akan merasa sesak, kalau mendengarkan ucapan orang asing yang tidak berguna," balas Mattew.Apa yang Mattew ucapkan memang benar, tapi Anne tidak bisa menampik semua cemooh buruk yang mengarah padanya.Tidak jauh dari
Saat perjalanan kembali ke rumah, Anne termenung di dalam taksi. Beberapa kendaraan yang lewat, juga suara klakson, tidak membuatnya bergeming. Anne mengingat sedikit kisah pertemuan pertama kali antara dirinya dengan Elena. Pertemuan yang membuat hidup Anne berubah menjadi lebih menyedihkan. Saat itu, Anne bekerja di salah satu hotel ternama. Tidak Anne sangka, kalau malam yang mempertemukannya dengan Elena merupakan awal dari sebuah mimpi buruk."Siapa yang membersihkan kamar ini?" Saat itu Elena sedang bertanya pada manager. Anne tidak mengelak meski ia bisa saja kabur. Tidak tahu apa kesalahannya, Anne maju satu langkah dari jajaran barisan petugas kebersihan di sana."Maaf, Nona. Saya yang membersihkan kamar Nona," ucap Anne."Kalian semua boleh keluar kecuali kau," ujar Elena sembari menunjukkan ke arah Anne. Manager tetap tinggal mendampingi Anne. Di dalam kamar tersebut hanya sisa tiga orang. Mana
Anne mendengar semua pembicaraan itu. Kakinya seperti terpaku di tempat. Anne tidak bergerak. Dia merasa seluruh bagian tubuhnya tidak mampu diatur lagi. "Apa? Ce--cerai? Kak Elena, bagaimana mungkin dia ..." gumam Anne. Berapa lama Anne berdiri di sana? Ia hanya berniat menghampiri Elena untuk mengatakan bahwa usahanya kali ini gagal lagi. Sayangnya, ia harus mendengar sesuatu yang sebaiknya tidak ia ketahui sampai akhir. Mereka yang ada di dalam rumah bercengkrama, tersenyum, tertawa, tanpa ada yang menyadari seseorang yang berdiri dengan penuh luka dalam hatinya. Langit yang cerah sudah berubah gelap. Anne masih terpaku di sana. Sedikitpun, kakinya sama sekali tidak berpindah. Dadanya semakin sesak dengan semua hal yang ia dengar. Tetesan buliran bening terus saja membasahi pipi Anne. Matanya memerah dan mulai bengkak karena menangis terlalu lama. Ia kecewa, ia merasa dirinya bodoh. Kenapa? Kenapa kebaikanny