Share

4. Luka Baru

                Anne menggigit bibirnya sendiri, melihat Austin yang sudah membelakanginya. Meninggalkannya seorang diri saat semua orang menatapnya dengan tatapan hina. Anne tidak kuasa menahan gejolak luka yang bertubi-tubi menghantamnya. Bisakah ia berbesar hati seperti Elena?

                Anne memutuskan untuk menghapus buliran cairan bening yang membasahi pipinya. Ia meninggalkan tempat yang sangat melukai hatinya. Posisinya serba salah di mata Austin. Padahal, Anne hanya ingin mendengar kata terima kasih, sayangnya yang Anne dapatkan tidak jauh dari kata kebencian.

                Anne merenung sembari duduk di dalam taksi. Menyandarkan kepalanya dan mengukir indah harapan baru di atas luka yang masih menganga. Saat ia ingin menyerah, ia teringat Elena. Anne berpikir ulang, mungkin saja ia bisa melupakan sejenak tentang torehan luka yang Austin tebaskan padanya.

“Nona, kita sudah sampai.”

                Anne mengangguk dan membayar biaya taksi. Sepanjang jalan, ia hanya melamun dengan tatapannya yang kosong. Sekuat tenaga, ia menutup lukanya dan akan mengatakan pada Elena kalau Austin memperlakukannya dengan baik.

‘Aku harus terlihat baik-baik saja,’ batin Anne.

                Tidak cukup sampai di situ, Anne dikejutkan dengan sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Anne mengerutkan keningnya dan bergegas. Ternyata, Bibi Anh sudah menunggunya tepat di depan pintu utama.

“Bibi Anh, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Anne. Ia juga merasakan atmosfir rumahnya begitu suram.

“Nyonya muda, ada Tuan besar di dalam,” kata Bibir Anh.

Deg!

                Anne menelan air liurnya. Tuan besar, tentu saja ayah mertuanya. Apa yang membuat Tuan Harold sampai menemui Anne?

“Aku akan menemui ayah mertua.”

                Anne tidak bisa memutuskan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Ia hanya memiliki nyawa, sedangkan raganya bukan haknya lagi. Anne takut untuk bertemu Tuan Harold. Ada beberapa alasan dan yang pasti alasan utamanya karena Tuan Harold tidak merestui pernikahannya dengan Austin.

                Anne menemui Tuan Harold dengan ragu. Ternyata, ada Elena yang sudah menemani Tuan Harold berbincang. Anne merasakan deja vu karena situasnya sama seperti kejadian pagi tadi. Suasana hangat yang berubah canggung setelah kehadirannya.

“Anne, kenapa diam di sana?” tanya Elena.

“Ah, iya Kak Elena.”

                Lidah Anne semakin kelu. Otaknya tidak bisa berpikir dengan baik. Tidak tahu apa yang harus ia ucapkan, apa yang harus ia lakukan. Elena menarik Anne mendekat tapi ekspresi Tuan Harold lebih kejam dibandingkan Austin.

                Tangan Anne yang mengepal sampai berkeringat. Ia hanya bisa menunduk. Statusnya yang buruk, pernikahan yang tidak seharusnya terjadi, latar belakang Anne yang juga tidak cemerlang, membuatnya serba salah meski memberikan senyum menawan.

“Ayah mertua—“ Anne menyodorkan tangannya untuk memberikan salam. Akan tetapi, Tuan Harold menolaknya. Menepis tangan Anne tanpa ragu.

“Aku bahkan tidak mengingat namamu. Bukankah lebih baik kalau kau memanggilku Tuan Harold?” ucapnya.

“Ah, saya—“

                Tuan Harold berdiri dan merapikan pakaiannya yang kusut. Ia hanya memandang lembut ke arah Elena. Elena berniat baik tapi setiap kehadirannya menyudutkan Anne meski bukan itu tujuan Elena.

“Elena, jangan lupa nanti malam untuk datang. Cukup kau dan Austin saja,” ucap Tuan Harold dengan tegas.

“Iya, Ayah. Hati-hati di jalan,” balas Elena.

                Elena menerima bingkisan berupa kotak indah berwarna biru. Entah apa yang ada di dalamnya. Setelah punggung Tuan Harold tidak lagi bisa dijangkau oleh pandangan mata, suasana yang mencengkam kembali normal.

“Anne, tolong maafkan Ayah dan Austin. Pernikahan kalian mendadak, mungkin saja mereka masih membutuh waktu untuk terbiasa,” ucap Elena.  “Terima ini,” sambungnya sembari memberikan kotak hadiah di atas telapak tangan Anne.

 “Maaf, Kak Elena. Aku tidak bisa,” tolak Anne. “Ayah mertua memberikan ini untukmu dan sangat mustahil jika untukku,” sambungnya.

“Kau dan aku sama-sama menantunya. Apa bedanya? Anne, kau harus mulai mendekatkan diri dengan Austin dan keluarganya,” ucap Elena.

“Tapi—“

“Anne, di dalam kotak ini ada gaun. Nanti malam, kau harus memakainya. Aku sudah mengirim Austin pesan kalau minta di jemput di halte dekat rumah,” jelas Elena.

“Kak, tapi—“

“Anne, malam ini akan ada acara yang sangat besar. Kesempatan bagus untukmu mendekatkan diri. Jangan disia-siakan.”

                Lagi-lagi, Anne tidak diberi waktu untuk mengatakan pendapatnya. Tali kekang hidupnya seperti mencekik tanpa memberikan sedikit kelonggaran. Elena menyerahkan undangan acara yang Tuan Harold berikan padanya. Meminta Anne untuk menggantikannya. Jika Anne datang, apa acara itu benar-benar akan berjalan tanpa gangguan?

“Apakah ada kemungkinan?” pikir Anne.

***

                Malam yang ditunggu telah tiba. Anne memakai gaun yang Elena berikan. Gaun itu sangat cocok untuknya. Anne menunggu Austin menjemputnya. Ia duduk di halte seorang diri dengan sangat hati-hati menjaga gaunnya supaya tetap bersih tanpa noda.

                Disisi lain, Elene sedang menikmati sebuah drama yang ia tonton di layar ponselnya. Tiba-tiba saja, terdengar pintu rumahnya dibuka oleh seseorang. Anne bergegas untuk melihat sembari membawa buku tebal sebagai senjata.

‘Apa ada maling?’ pikir Elena.

Deg!

                Elena mendelik. Ia menjatuhkan bukunya sampai membuat suara yang cukup keras. Austin yang sedang melepaskan sepatu, langsung terperanjat kaget.

“Sayang, apa aku mengejutkanmu?” tanya Austin.

“Kenapa kau pulang?” tanya Elena. Lidahnya kelu untuk memberikan pertanyaan lain yang lebih masuk akal.

“Kenapa? Elena, apa maksudmu? Tentu saja aku pulang untuk menjemputmu,” jawab Austin.

                Elena tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya. Austin menyipitkan matanya sembari mendekati Elena. ia menaruh sedikit curiga.

“Elena, kau tidak memakai gaun yang Ayah berikan untukmu? Kau tidak lupa kalau malam ini kita ada acara, bukan?” tanya Austin.

“Aku sudah mengirim pesan. Apa kau tidak membacanya?” tanya Elena.

“Hah!” Austin menghela napasnya. “Aku sangat sibuk sampai tidak membuka pesan darimu. Maafkan aku,” kata Austin.

                Elena diam kaku saat Austin memeluknya untuk minta maaf. Elena cemas. Ia ingin mengatakan kalau Anne sedang menunggu, tapi melihat wajah Austin yang lelah, bisa membuat sebuah pertengkaran.

‘Apa yang harus aku lakukan?’ batin Elena.

“Aku tidak bisa pergi, Austin. Bisakah kau pergi dengan Anne?” pinta Elena.

                Austin melepaskan pelukannya. Ia tersenyum pahit sembari menjauh. Berusaha menghilangkan bayangan Anne di antara mereka.

“Elena, apa kau sedang sakit? Kita bisa tidak pergi. Ayah pasti mengerti. Aku akan menghubunginya,” ujar Austin.

“Tidak. Ini acara penting. Kau harus hadir.”

“Bagaimana mungkin aku bisa hadir dengan wanita selain dirimu?”

“Anne sudah menunggumu, Austin. Aku akan merasa bersalah kalau sampai—“

“Hst!” Austin menempelkan jarinya di atas bibir Elena. “Aku tidak peduli, Elena. Kalau dia memiliki harga diri, dia tidak akan menungguku. Lagipula, aku tidak sudi bertemu dengannya,” jelas Austin.

“Austin, tapi Anne—“

                Austin menatap Elena tajam. Kemudian, ia menunduk menyandarkan keningnya di atas bahu Elena. “Bisakah kau berhenti menyodorkan dia padaku, Elena?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status