Aku tersenyum. Ah biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Yang penting aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan.
"Tuh lihat Bu, dia malah tersenyum. Belagak tenang kayak gitu. Terlebih dia gak nyanggah apa yang kita tuduhkan, jadi pasti semua itu benar! Kita harus kasih tahu hal ini pada Haikal, Bu. Enak aja Haikal punya istri murahan seperti dia!" sungut Mbak Indah yang makin kesal.
Ibu hanya melengos, menatap sinis ke arahku.
"Hei Daffa-Daffi, kamu dikasih jajan apa sama ibumu?"
"Banyak budhe, ada es krim, roti--"
"Ish budhe-- budhe, panggil aku aunty, okey. Budhe terlalu tua."
"Sudah Mbak bicaranya? Kalau sudah aku mau masuk dulu. Kasihan anak-anak sudah capek," ucapku santai.
Netra Mbak Indah justru membeliak kaget. "Kamu ngusir kami?"
Aku hanya mengedikkan bahu. "Maaf ya Mbak, Bu, aku gak punya waktu buat meladeni amarah kalian.
"Haikal, kamu kok malah diem aja sih! Kakakmu butuh bantuan tenaga, tapi istrimu gak mau bantu! Ngomong sesuatu kek!" tukas ibu mertuaku kesal"Bu, benar juga lho ucapan Mila. Anak-anak kami siapa yang akan jaga kalau Mila masak di tempat Mbak Indah. Daffa-Daffi mungkin masih bisa main sendiri, tapi Alina masih sangat kecil. Dan Mbak Indah kan orang kaya, sepertinya gak susah tuh kalau cari orang buat masak-masak, tinggal kasih bayaran yang sesuai aja kan beres.""Huh, jadi sekarang kamu sudah kena racun si Mila ya! Belain terus istrimu itu!"Ibu yang merasa kesal akhirnya pergi, apalagi Mas Haikal menanggapi ucapan ibu dengan membelaku. Awalnya dia hanya memandangku dan ibu secara bergantian."Sudah ayo sarapan, Mil. Jangan dengarkan ucapan ibu. Ibu kan sudah biasa seperti itu."Aku tersenyum, akhirnya untuk pertama kali, Mas Haikal membelaku."Makasih, Mas."
Indah menghempaskan tubuhnya diatas sofa dengan kasar."Kenapa Indah, kok mukanya ditekuk gitu?" tanya ibu."Ini semua gara-gara Mila, Bu.""Mila? Kamu ketemu dimana bukannya tadi kamu mau ke butik beliin gamis buat ibu?""Iya, gak jadi. Aku ketemu Mila disana, Bu.""Kok bisa, mau ngapain dia disana.""Ya ketemuan sama selingkuhannya lah, Bu. Ibu tau gak, ternyata laki-laki yang biasa bersama Mila itu pemilik butik langgananku, Bu!""Apa?""Ibu tau gak, bahkan laki-laki itu terang-terangan bilang menyukai Mila. Dia muji-muji Mila, Bu. Bahkan dia maki-maki aku dan mau laporin aku ke polisi. Bayangkan, Bu. Aku yang selama ini beli baju langganan di tempatnya, dia justru mojokin aku. Kupikir pemiliknya itu pria baik-baik, ternyata sama aja! Mata keranjang."Ibu terdiam, ia tampak shock mendengar apa yang terjadi pada anak sul
"Tumben lu anteng sekarang, gak galau lagi," tukas Farhan saat jam makan siang bersama.Aku tersenyum. "Ya, gue udah berdamai dengan istri. Terima kasih atas saran lu selama ini.""Cie ... Cieee ... Yang dah kembali baikan, ehem-ehemmm.""Tapi gue jadi dimusuhi ibu sama kakak gue.""Dimusuhi?""Ya, gara-gara gue belain Mila.""Ckck, keluarga lu aneh ya. Lu belain istri sendiri kok malah dimusuhi."Aku mengedikkan bahu. Entahlah, aku juga merasa selama ini tak adil pada Mila. Aku banyak menuntut tapi tak bisa memberinya lebih. Aku tak mengerti kebutuhan dirinya dan juga anak-anak. Jadi seringkali mereka tersakiti karena sikapku.Drrrttt ... Drrrttt ...Ponselku bergetar, ada yang mengirim pesan ke aplikasi hijauku. Dari nomor asing lagi. Kubuka pesan itu. Keningku mengernyit ketik melihat foto yang dikirimkan padaku.
"Tunggu disini dulu sebentar mas. Aku mau mandi. Aku takut sendirian di rumah. Kumohon sebentar saja mas, setelah aku selesai kamu boleh pulang. Please mas.""Ya, baiklah. Cepat sana."Riska tersenyum, kemudian gadis itu berjingkat ke belakang seraya berlari-lari kecil. Aku hanya menggeleng pelan, melihat tingkah gadis itu, dah seperti Nessa aja yang manja.Seketika rasa kantuk menyergapku. Aku beranjak ke teras sekadar menghirup udara malam serta membasuh mukaku agar rasa kantuk ini mereda. Kembali duduk di dalam sofa, tapi nyatanya rasa kantuk ini begitu menggelayuti mataku.Kenapa aku ini? Apa karena terlalu lelah berolahraga jadi seperti ini? Aku menggeleng pelan, lagi-lagi aku menguap. Kulirik jam di arlojiku, sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Menoleh ke dalam, kenapa bocah itu mandinya lama sekali sih!Kupijat pelipisku, agar tetap menjaga kesadaran. Namun nyatanya rasa
Mendengar pertanyaannya, aku jadi kelimpungan sendiri.Ponsel Mila berdering, ada sebuah pesan masuk ke gawainya. Ah, untuk sementara aku lolos dari pertanyaannya."Pembicaraan kita belum selesai, Mas!" sahutnya kemudian melenggang pergi.Aku meraup wajah dengan kasar. Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Mila? Tiba-tiba rasa getir menusuk ke relung hati. Seketika hatiku menjadi gamang. Takut rumah tangga ini akan hancur, padahal belum lama kami baru saja berbaikan."Haikal! Haikal!"Suara panggilan dari luar rumah. Kulihat Mila sudah membukakan pintu."Mana Haikal?" tanya ibu."Ada apa, Bu? Pagi-pagi kok dah nyariin Mas Haikal?" sahut Mila."Ibu ada perlu. Coba panggilin Haikal, ini penting.""Aku disini, Bu."Keduanya menoleh ke arahku."Ada apa, Bu?" tanyaku kemudian.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Tak seperti biasanya Mas Haikal belum juga pulang ke rumah. Kemana dia pergi? Padahal ia bilang ingin makan malam bersama di rumah. Aku sudah memasak makanan spesial untuknya.Lelah menunggu, akhirnya aku ketiduran di sofa. Sampai pagi, Mas Haikal barulah pulang. Ada yang berbeda darinya, ia tampak gelisah saat aku melihatnya. Dan lagi tanda merah di leher, serta kemejanya tercium aroma parfum perempuan, apakah Mas Haikal selingkuh?Ting! Sebuah pesan dari seseorang mengalihkan perhatianku.Glek! Dadaku bergemuruh panas saat melihat foto Mas Haikal dengan seorang wanita. Mas Haikal yang tengah bertelanjang dada, bagian bawahnya tertutup selimut. Serta seorang gadis tidur di sampingnya. Wajah gadis itu sengaja ditutupi oleh stiker emoticon dengan mata love. Gadis itupun tampak tak berbusana, hanya selimut yang menutupi tubuhnya."Mulai malam ini suamimu adalah milikku.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Hancur sudah pasti. Melihat Mas Haikal yang semakin hari tak respect denganku dan juga anak-anak. Ia sibuk dengan calon istri barunya. Ya, beberapa kali gadis itu datang. Tak segan maupun malu dia bermanja-manja dengan suamiku di depan anak-anak."Bun, memangnya tante itu siapa sih?" tanya Daffa dengan polosnya."Iya Bun, kenapa dia dekat-dekat sama ayah terus?"Sesak sudah pasti. Mendengar pertanyaan polos yang terlontar dari si kembarku. Mereka masih kecil kenapa harus di hadapkan dengan kenyataan seperti ini."Hai ganteng, sini sayang duduk bareng sama tante," sapa Riska pada si kembarku. Daffa dan Daffi melengos, mereka menghampiriku yang berdiri tak jauh darinya."Daffa-Daffi, kalian gak boleh gitu. Sini dulu sebentar, ayah mau kenalin sama calon ibu baru buat kalian," sahut Mas Haikal. Sejenak dia menatapku tapi kemudian beranjak merangkul
Entah sejak kapan aku jadi terpesona dengan gadis itu. Senyuman yang manis dan menggoda membuatku tak bisa berpaling. Apalagi lekuk tubuhnya yang begitu seksi. Pakaiannya modis dan trendy, rambut panjang yang ia kuncir ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Kulit putih mulusnya, makin membuatku terkesima. Aku yang awalnya tak menaruh perhatian apa-apa, serta sebuah malam yang salah membuatku harus menikahinya. Padahal kemarin aku masih ingin mempertahankan Karmila menjadi satu-satunya istriku. Tapi melihatnya menangis karena ulahku jadi tak tega. Apalagi ibu terus saja mendesakku untuk menikahinya.Ijab qobul tadi walaupun sangat sederhana, tapi bisa terlaksana dengan baik. Akhirnya aku resmi memperistri Riska, walaupun kutahu Karmila dan anak-anak keberatan atas keputusanku."Terima kasih, Mas," ucap Riska sembari mengecup pipiku. Gadis ini ternyata agresif juga."Habis ini kalian pulang kemana?" tany