Salut sama Hikam, jadi kakak care banget. Walaupun cowok tapi ngerti perasaan cewek yang diselingkuhi suaminya
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu
Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p
Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa
Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah Ibu, sebenarnya Mas Hikam dan Mbak Salis sudah mengatakan beberapa kali bahwa aku lebih baik tinggal di rumah mereka. Tapi aku tidak enak hati. Walaupun pada nyatanya akses menuju pasar dan toko-toko keperluan rumah tangga sangat jauh dari rumah orangtuaku. Jika berjalan malam hari saja kami harus membawa senter karena jalanan masih banyak yang belum dipasangi listrik.Ketimpangan sosial dan ekonomi di tempat kami masih sangat tinggi. Banyak rumah yang masih menggunakan bahan dasar kayu dan anyaman bambu. Namun beberapa juga banyak yang sudah seperti gedung bertingkat. Di tempat kami masih jarang penduduk yang menyelesaikan pendidikan tinggi, bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP. Aku bersyukur sekali karena kedua orangtuaku berjuang keras agar aku dan Mas Hikam bisa kuliah di kota. Banyak tetangga yang awalnya mencibir orangtuaku, "Anak perawan satu-satunya kok dilepas. Nanti kalau jauh dari rumah dan salah jalan tahu rasa itu orang," "Unt
Mas Rizki meminta video call, ada apa sebenarnya? "Mohon maaf, Mas. Kita sudah bukan suami isteri lagi!" Balasku singkat."Apakah Mas Rizki tidak ingin menjenguk anak sendiri?" Lanjutku mengalihkan perhatian. Kalimat 'anak sendiri' sengaja kutebalkan agar Ia peka, lalu kuletakkan handphone di atas meja tanpa menunggu balasannya. Kuhela nafas dalam-dalam berharap agar setan yang menghinggapiku pergi. Aku hampir selalu marah jika teringat Mas Rizki, aku takut jika rasa marahku tumbuh menjadi dendam. Hanya aku dan Mbak Salis yang tahu ini, Mbak Salis memang selalu mendengarku tapi Ia hanya bisa menyarankanku untuk beristighfar sebanyak mungkin."Maaf, Fat. Kantorku sedang tidak stabil, mungkin satu bulan lagi aku baru ke situ."Akhirnya setelah hampir setengah jam, kubuka kembali handphone-ku."Boleh aku vidcall Ikhda?" Balasnya lagi."Ikhda sedang tidur," balasku dengan cepat. "Silakan, kalau Mas Rizki mau lihat wajah Ikhda," balasku langsung menghidupkan fitur video call.Ayah dari an
Aku melemparkan handphone ke lemari baju yang masih terbuka. Jika kuingat-ingat inilah kemarahanku yang paling besar. Mengapa ada lelaki yang begitu mudahnya mempermainkan perempuan? Aku merasa dihina meski belum mengerti maksud pertanyaan Mas Rizki. Apakah Ia bertanya untuk menghinaku atau benar-benar memintaku kembali padanya. Menyadari Ikhda masih tertidur lelap, aku bergegas mengambil air wudhu. Aku menekadkan diri untuk bertadarus beberapa saat hingga kekacauanku sedikit reda. Rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi pada huruf-huruf al-Quran dan air mataku malah mengalir semakin deras. Aku kembali berwudhu dan melanjutkan tadarusku. Semoga semua ini adalah Kuasa Alloh untuk menguji kesabaranku dan sarana untuk mengangkat derajatku. "Ibu, apa semua perempuan mengalami seperti apa yang kualami, Bu?" Gumamku saat Ibu sedang menyisihkan butiran gabah di beras yang akan ditanak. "Tidak Fat, tapi semua manusia akan diuji dengan cara yang berbeda-beda sesuai batas kemampuannya," jaw
"Saya bersedia menerima tawaran Mas Reza dengan beberapa syarat. Yang pertama, Ikhda hanya boleh dibawa ketika Mas Rizki mengizinkan karena beliaulah Ayah Ikhda. Yang kedua, Ikhda tidak akan ikut bersama Anda sekalian hingga Mbak Putri bisa mengandung, tetapi dalam jangka waktu dua minggu saja. Jika belum genap dua minggu namun terjadi sesuatu pada Ikhda, misalnya sakit mungkin, maka saya akan mengambil anak saya kembali," ucapku panjang lebar. Kedua suami istri di depanku, Mas Hikam, dan Ibu menyimak ucapanku hingga selesai. Mas Reza dan Mbak Putri saling berpandangan, lalu Mbak Putri mengangguk pada suaminya. "Baik," ucap Mas Reza padaku dengan tegas. "Kami setuju," lanjutnya. Mas Reza memintaku untuk menghubungi Mas Rizki hari ini juga, Mas Hikam berbicara pada Ibu dan Bapak di ruang tengah karena kedua orangtua kami sepertinya belum sepenuhnya paham dengan maksudku. "Mengapa tidak telepon saja, Mbak?" Mbak Putri terlihat tidak sabar melihatku mengetikkan sesuatu di layar handpho