Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku.
"Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya.Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya."Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Sejak dulu Nyonya, sudah lama, tapi jelasnya sih sepertinya sejak tuan dan Nyonya Niami sering bertengkar di rumah.""Waktu itu Bibik pergoki non Yara mengendap-ngendap masuk ke rumah di jam 1 malam, Bibik tanya Non Yara habis dari mana? Tapi Non Yara malah mengancam Bibik, makin kesini Non Yara makin sering pulang malam bahkan pagi seperti sekarang, jadilah Bibik tidak heran lagi dan mulai terbiasa," imbuh Bibik, menjelaskan.Aku kembali tertegun, berkali-kali kuusap dada ini. Kata ibuku, anak perempuan tidak boleh pulang malam apalagi pagi buta, lebih baik jadi perawan tua karena tidak punya pergaulan daripada pergi bergaul hingga larut malam."Jangan bilang-bilang ya, Nyonya," ucap bibik lagi. Aku mengangguk saja.Kami kembali melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai memasak dan menatanya di meja makan, aku segera menuju ke atas untuk membangunkan semua anggota keluarga. Saat tiba di lantai atas, entah mengapa pikiranku langsung tertuju pada kamar Ayyara. Meski gadis itu belum bisa bersikap ramah padaku tapi aku ingin tetap mencoba dan berusaha, toh entah sekarang ataupun nanti aku tetap harus berusaha mengambil hatinya bukan?Tok tok tok.Kuketuk pintu kamar Ayyara pelan, agak lama Ayyara dengan wajah dingin membuka pintu."Apa sih? Ganggu aja," ketusnya seraya memegangi sebelah kepalanya yang terlihat sakit. Tentu saja kepala gadis itu sakit, dia baru pulang sepagi ini."Yara mau puasa 'kan? Sahur dulu yuk," ajakku lembut."Jangan harap," sengitnya, Ayyara lalu membanting kencang pintu kamarnya hingga aku terperanjat di tempatku.Aku tak bisa lagi memaksa, gadis itu mungkin memang belum mau menerimaku.Aku melanjutkan langkah, mengetuk pintu demi pintu untuk membangunkan semua anggota keluarga di rumah ini.Cukup lelah rasanya, apalagi rumah ini sangat besar membuatku terasa berjalan sangat jauh meski hanya dari satu pintu kamar ke pintu kamar lainnya.Tok tok tok."Mas, sahur."Menunggu agak lama, pintu Mas Nata juga tak kunjung terbuka, entahlah, aku bingung, akhirnya kuputuskan turun saja setelah semua pintu kamar kuketuk.-Menunggu sekitar 10 menit di meja makan, akhirnya calon ibu mertua dan Mas Nata turun."Anak-anak kemana, Mas?" tanyaku cepat."Sudah tak perlu memikirkan mereka," jawabnya pendek seraya mengambil nasi ke dalam piringnya."Adira tidak mau sahur katanya karena gusinya bengkak." Ibu mertua ikut menyahut.Aku manggut-manggut, "oh begitu."Kulihat Mas Nata sudah berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana kerjanya, aku hampir tak percaya kalau Mas Nata akan berangkat kerja sepagi ini, tapi kata bibik, Mas Nata memang biasa berangkat pagi-pagi sekali apalagi di bulan ramadhan ini, entah apa yang biasa Mas Nata kerjakan, bukankah di bulan Ramadhan ini restoran harusnya tutup ya? Aih sotoynya aku, ya tentu enggak, yang puasa itu 'kan hanya umat muslim, kalau restoran tutup mereka yang enggak puasa nyari makan di mana? Ah dasar Elia ... Elia ...."Masakanmu ini enak semua loh, El.""Terimakasih, Bu.""Gak salah Ibu pilih kamu jadi mantu."Aku senyam-senyum saja. Sepanjang ada di meja makan, calon ibu mertua tak hentinya memuji masakanku, jujur aku malu, tapi hal itu juga membuatku makin bersemangat untuk tetap ada di rumah ini."Nanti agak siangan tukang urutnya datang, kamu tetap di sini ya." Ibu mertua bicara lagi. Aku mengangguk.Setelah makan sahur Mas Nata berpamitan untuk berangkat bekerja, sementara calon ibu mertua kembali masuk ke kamarnya."Bi, coba panggil Alvin barangkali dia mau makan sahur kalau Bibik yang ajak," titahku di tengah pekerjaan kami membereskan piring bekas makan sahur.Bibik mengangguk, beliau segera pergi ke kamar Alvin. Terdengar bunyi pintu kamar Alvin diketuk berkali-kali oleh bibik. Tapi rupanya Alvin memang tidak ingin sahur sampai tidak merespon bibik."Tidak dibuka Nyonya." Bibik kembali dengan wajah kecewa."Ya sudah biarkan saja, Bik."Kami pun kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing di dapur."Bik." Aku kembali membuka percakapan.Bibi yang tengah mencuci piring menoleh, "iya Nyah, kenapa?""Emangnya Mas Nata itu selalu bersikap seperti itu ya pada anak-anaknya? Maksud saya, Mas Nata kok kelihatannya dia terlalu keras pada anak-anak, dia juga sepertinya tidak dekat dengan Ayyara, Adira dan Alvin," tanyaku serius.Bibi mengelap tangannya yang basah, "ya memang begitu Nyonya, Tuan Nata itu karakternya keras banget, apa-apa harus sesuai kehendaknya, jangankan sama anak-anaknya, sama orang lain juga dia mah seenaknya aja, kalau soal deket jelas enggak Nyonya, karena selama Bibik di rumah ini Bibik bahkan belum pernah lihat Tuan Nata gendong atau main sama anak-anak, Tuan Nata itu sibuk, sibuk banget pokoknya, makanya mungkin karena itu sifatnya jadi tempramen," jawab Bibik panjang lebar.Aku manggut-manggut dengan mulut membola."Pokoknya Nyonya harus banyak-banyak sabar ya Nyah, jangan kayak istrinya yang dulu, duh pokoknya ancur, Tuan Nata yang sifatnya keras begitu dipasangkan dengan Nyonya Niami yang punya sifat tak jauh beda, akhirnya apa? Mereka sering adu mulut karena beda pendapat terus," imbuh Bibik.Alisku menaut, rasa penasaran makin membuncah di dadaku."Emangnya apa yang sering mereka perdebatkan Bi? Dan kenapa mereka bisa sampai begitu?""Setahu Bibi sih, salah satu permasalahan mereka itu karena Tuan Nata maunya Nyonya Niami diam di rumah saja mengurus anak-anak dengan baik, jadi ibu rumah tangga, tapi eeeh malah Nyonya Niami nya ogah, dia milih tetap kerja, jadi model fashion muslim, parah banget emang Nyonya Niami tuh, jangankan ngurus anak-anak, ngurus kebutuhan Tuan Nata saja dia tidak mau Nyah, gak sempet katanya," jawab Bibik panjang lebar.Sementara aku manggut-manggut, "oooh begitu."Pantesan, bener ternyata apa kata ibuku, kalau udah nikah apapun kata suami ya sebisanya dituruti selagi itu baik, supaya gak ada permasalahan yang membuat rumah tangga jadi hancur."Ya begitulah Nyonya, mungkin itulah sebabnya Nyonya Amara memilihkan istri baru seperti Nyonya Elia untuk Tuan Nata, yang bisa membimbing dan mengurus anak-anak dengan baik di rumah," imbuh Bibik lagi.Aku tersenyum sekenanya, membayangkan betapa berat tugas yang akan kuemban setelah aku menikah nanti, mendadak kepalaku seperti berputar-putar.Masalahnya tak satupun dari anak-anak Mas Nata yang mau menerimaku sekarang, belum lagi Mas Nata yang juteknya juga sampe ke ubun-ubun. Ya Tuhan."Aaaa, Omaa sakiiit."Sedang serius kami mengobrol, mendadak terdengar samar-samar suara Adira menangis di atas, kami panik dan bergegas naik menghampirinya."Ada apa ini, Bu?""Sakit gigi Adira kambuh, El. Senut-senut katanya, tadi sebelum tidur Adira makan coklat pemberian Niami," jawab Ibu mertua panik."Ya ampun, Bik cepet ambilkan larutan air garam untuk Adira berkumur, jangan lupa bawa air es juga untuk mengompres pipinya," titahku, Bibik mengangguk dan bergegas turun ke bawah.Sementara aku sibuk membaringkan Adira dalam pangkuanku."Sabar ya Adira Sayang, nanti minum obat ya biar sakit giginya sembuh.""Omaa sakiiit." Adira terus merengek."Apa ada parasetamol, Bu?" tanyaku pada wanita tua yang tengah panik mengelus kaki cucunya itu."Ndak tahu El, mana Ibu tahu seperti apa parasetamol itu, coba kamu lihat di kotak ini saja." Beliau memberikanku sebuah kotak yang berisi berbagai macam jenis obat di dalamnya.Aku membaca dan meneliti semua obat dengan baik, dan mulai melebarkan mata saat kulihat ternyata banyak dari obat-obatan tersebut yang sudah masuk masa kadaluarsanya, bahkan beberapa obat juga sudah rusak kemasannya.Kasihan sekali calon ibu mertuaku ini, sudah tua tidak ada yang merawatnya, malah sekarang harus sibuk menjaga Adira di usianya sekarang."Ibu minum obat ini saat Ibu sakit?""Iya, itu obat-obatan Ayyara yang beli, dulu sekali tidak tahu kapan."Aku mengembuskan napas berat dan menaruh kembali semua obat pada tempatnya."Bu, obat-obatan ini sudah kadaluarsa, mulai besok dibuang saja sama Bibik, ya.""Hah? Yang betul El? Ibu baru tahu kalau obat-obatan ini ternyata sudah tidak layak konsumsi," respon beliau sambil kembali meneliti obat-obatan itu.Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku
Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut. Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'. Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...? Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali,
Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima
"Ibu kirain ada apa, bikin kaget aja sih, ada apa teriak-teriak?" cecar Niami seraya mengucek kedua matanya."Ada apa, ada apa, gak malu kamu masih tidur di sini? Sana pulang ke rumah kamu dan jangan pernah berani lagi tidur di kamar Nata, karena besok kamar ini akan jadi kamar Elia dan yang jelas kamu sudah tidak punya hak lagi, paham?!"Beringsut Niami bangun, "silakan saja, siapa juga yang akan kuat menikah dengan seorang pria dingin dan kaku seperti Mas Nata, ambil tuh kamar," tandasnya, Niami mengambil tas kecilnya lalu bergegas pergi dari hadapan kami."Sudah, ayo antar Ibu ke kamar," ucap calon Ibu mertuaku lagi setelah memastikan Niami pergi menuruni anak tangga.Aku mengangguk pelan dan bergegas mengantar calon ibu mertua ke kamarnya. Adira masih terlelap di kasur beliau rupanya, syukurlah tampaknya pengaruh obat dari dokter masih berreaksi."Bu, Mas Nata biasa pulang jam berapa?" tanyaku setelah calon Ibu mertuaku berbaring di sebelah Adira."Sebentar lagi, biasanya jam 5 a
Aku tersentak, jantungku mendadak melonjak tak karuan, kuremas jari jemari ini sambil kutundukan wajahku, aku tahu setelah ini Ayyara akan berulah."Yara tidak akan pernah menerima dia sebagai ibu tiri Yara," imbuhnya lagi.Gadis itu lantas berlari menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya, disusul Alvin yang sejak tadi diam seribu bahasa tapi wajahnya menusuk sampai ulu hati. "Keterlaluan," desis Mas Nata di sampingku. Ia keratkan gigi-gigi dan mengepalkan telapak tangannya.Tak lama dia juga bangkit dan menyusul anak-anaknya ke atas, entah apa lagi yang akan dilakukan Mas Nata pada anak-anak sekarang, yang kulihat jelas Mas Nata pergi dengan wajah tak biasa."Tidak apa-apa Nak, anak-anak hanya butuh waktu," bisik Ibu mertua sambil mengelus bahuku. Aku mengulum senyum getir. Setelah itu ibu membawaku ke kamar tamu, kamar yang tadi menjadi tempatku dirias. Tampak seorang perias itu menatapku iba saat melihat air mata tumpah di pipi."Tidak apa-apa Mbak, hal ini wajar kok," ucapnya.
Kulihat jam di dinding klinik sudah menunjukan pukul setengah 6 sore, bibik tampak sudah resah menunggu hujan reda, beliau pasti memikirkan soal kudapan takjil di rumah. "Tenang Bik, biar untuk takjil kita beli saja," ucapku. Seketika wajah bibik berubah tenang."Kalian masih di sini?" Aku menoleh, Dokter Fauzan ternyata sudah berdiri di samping kami."Eh iya Dokter, belum sempat kami pergi hujan sudah turun sangat deras.""Mau bareng saya? Tenang saya antar sampai depan pintu.""Tidak Dokter, terimakasih, kami akan tunggu sampai hujan reda," tolakku sungkan."Ini sudah hampir masuk waktu buka puasa loh," ucapnya lagi sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.Aku menengok ke arah bibik, bibik mengangguk pelan."Ya sudah Dok, jika Dokter Fauzan tidak keberatan kami akan ikut menumpang pulang," ucapku akhirnya.Syukurlah akhirnya aku dan bibik bisa segera pulang berkat kebaikan Dokter Fauzan, aku tidak tahu kalau kami tidak menumpang di mobilnya mungkin kami tidak akan bisa cep