Mengabaikan perasaan yang mendadak tidak nyaman akibat pesan singkat dari Dendra, aku memencet nomor kontak ayah untuk mengabarkan kalau aku telah mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta.
Setelah nada sambung ke tiga, terdengar suara lembut bundo menjawab, "Assalamualaikum, Mei. Sudah sampai ya?"
"Iya, Bun. Ayah lagi nyetir, ya?"
"Iya, nih. Nanti kalau udah nyampe rumah aja ayah nelpon balik ya," sahut bundo.
"Siap, Bun. Aku juga mau langsung balik. Dah, Bundo." Kututup sambungan telpon setelah bundo membalas salamku.
Berbagai aroma makanan dan minuman memaksa masuk indera penciumanku ketika keluar melewati beberapa kios penjual makanan dan minuman yang terdapat di area kedatangan. Para penumpang yang baru saja turun bersamaku bergegas mengambil troli untuk memuat bagasi mereka yang akan diturunkan dari pesawat. Sebagian dari mereka telah berjejer mengelilingi conveyor tempat bagasi diturunkan. Aku melenggang keluar dari area kedatangan karena tak membawa bagasi lain selain tas ransel kebangsaanku.
Udara panas dan agak terasa lengket menyambutku ketika keluar dari gedung terminal tiga. Tampak beberapa penumpang yang baru saja turun telah berjejer di area pemberhentian bis Damri. Aku pun berjalan setengah berlari ketika melihat pada kaca salah satu bis besar yang baru datang itu, terdapat tulisan jurusan Lebak Bulus.
Aku berhasil masuk dan mendapatkan tempat duduk sebelum beberapa penumpang lain dengan bagasi yang cukup berat, naik ke bis. Aku paling menyukai bepergian dengan transportasi massal dibanding transportasi pribadi ataupun taksi. Bagiku duduk di antara penumpang lain memberikan kesan tersendiri. Apalagi jika transportasi itu tempat duduknya berhadap-hadapan dengan penumpang lain, aku bisa memperhatikan berbagai ekspresi dari penumpang lain.
"Mbak, di sini kosong, kan?" sapa seorang pria menunjuk tempat duduk di sampingku.
"Oh, iya. Kosong Mas, silahkan," sahutku beringsut ke tempat duduk samping jendela.
Tak lupa memberikan senyum hangat ala pramugari yang biasa aku pamerkan. Kadang tuntutan profesi masih suka terbawa ketika sedang tidak bertugas. Mungkin sudah bawaan dari sananya.
"Pulang dari liburan, ya?" Pria yang di sampingku memulai pembicaraan.
Sesosok pria yang wajahnya menurutku biasa saja, tapi tampilannya rapi dan kulitnya yang bersih serta aroma bergamot lembut dari parfumnya membuat dia tampak sedikit menarik di mataku.
"Iya," sahutku singkat kembali melemparkan seulas senyum.
Sebenarnya aku bukan tipe yang bisa langsung akrab ketika diajak orang lain berbicara. Jadi aku hanya bisa membalas singkat ketika ada yang berasa-basi mengajak mengobrol.
"Dari mana memangnya?" tanyanya kembali.
"Dari Padang," sahutku masih dengan kalimat singkat.
"Orang sana, apa cuma pergi liburan?" suaranya bassnya kembali terdengar setelah jeda beberapa saat.
"Asli sana," sahutku, kali ini dengan sedikit cengiran lebar.
"Wah, dimananya? Saya minggu lalu ke Solok."
"Payakumbuh. Ada acara apa di Solok?" kali ini aku pun ikut mengajukan pertanyaan.
"Nyari biji kopi. Saya buka coffe shop di Kemang, untuk kopinya saya cari sendiri ke beberapa perkebunan kopi," terangnya.
"Oh, memangnya di Solok ada kebun kopi yang bagus?" tanyaku penuh minat. Karena setauku, peminat kopi biasa lebih memilih kopi dari Sidikalang Sumatera Utara atau Gayo Aceh.
"Ada, dong. Justru karena belum terlalu terkenal makanya saya ingin memperkenalkan rasanya pada penikmat kopi di Jakarta. Padahal sebenarnya kopi dari Solok sudah banyak diekspor ke Inggris dan Australia. Orang kita saja yang belum terlalu mengenal kopi hasil alamnya sendiri."
"Iya kah? Aku baru tau," sahutku jujur dan takjub juga.
"Eh, saya Adrian." Pria itu menyodorkan telapak tangannya.
Sudah biasa kalau bepergian sendiri naik transport umum begini, ada saja yang mengajak berkenalan. Tapi kali ini aku cukup tertarik meladeni proses perkenalan dengan Pria yang bernama Adrian ini.
"Meinar," sahutku menyambut uluran tangannya.
"Lalu, kamu di Jakarta kerja?" Pertanyaannya kembali tertuju padaku.
"Iyap."
"Kerja di mana? Eh sorry, tidak perlu dijawab kalau merasa tidak nyaman," ucapnya sambil mengangkat telapak tangannya di depan dada.
"Ha-ha, enggak apa-apa. Aku kerja di penerbangan," sahutku tanpa menyebutkan secara terperinci di bagian mana aku bekerja.
Karena setauku, banyak pria yang jadi tertarik untuk mendekati ketika aku mengatakan kalau aku berprofesi sebagai pramugari. Mereka kadang menganggap bisa mengencaniku dengan mudah karena anggapan stereotip negatif terhadap profesiku ini. Padahal masih banyak pramugari yang bekerja lurus tanpa melakukan pekerjaan sampingan yang merusak citra profesi yang satu ini.
Untungnya Adrian tak menanyakan detail pekerjaanku di bagian mana. Sehingga membuatku sedikit lebih nyaman mengobrol dengannya di sepanjang perjalanan. Tak terasa bis mulai merapat ke dalam terminal. Aku baru tersadar, seharusnya aku bisa turun di pintu masuk terminal, tapi karena terlalu asyik mengobrol, aku terpaksa turun pada pemberhentian bis terakhir.
"Oh, iya ... Mei, ini kartu nama saya. Jika ada waktu luang, silahkan mampir ke coffee shop," ujarnya menyerahkan selembar kartu kecil berwarna hitam berpadu coklat ke tanganku.
"Baik, nanti kapan-kapan aku mampir," sahutku mengambil kartu nama dari tangan Adrian.
"Sampai ketemu lagi," pamitnya ketika akan turun.
Tak seperti kebanyakan pria yang biasa mengajakku berkenalan, Adrian tak meminta nomor kontakku. Dia berlalu begitu saja keluar dari bis. Tanpa banyak basa-basi. Pria yang unik, cukup mampu membuatku jadi penasaran. Kulirik kembali kartu nama yang diserahkan Adrian ke tangan ku.
Tertulis disana "Adriano Riyoga" dengan nomor telponnya tertera disana. Sebaiknya kusimpan saja kartu namanya, siapa tau nanti bisa berkunjung ke coffee shop-nya.
Suara nyaring alarm dari ponsel memaksaku terjaga dari tidur. Semalam aku malah bermimpi tentang Dendra. Mungkin karena efek pesan yang dia kirimkan kemarin. Seolah membuka kembali kotak kenanganku ketika bersamanya.Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari baaring, mengumpulkan seluruh kesadaran. Mengenyahkan bayangan wajah Dendra dari pikiran. Dendra adalah masalalu yang telah kukubur dalam. Tak seharusnya ia kembali meminta tempat yang pernah ditinggalkannya dulu.Ngapain juga mikirin laki orang, kayak enggak ada laki-laki lain saja, Mei. Rutukku dalam hati.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat, aku harus bersiap karena ada jadwal penerbangan pagi ini. Tak mau terlambat, bergegas kuseret langkah ke kamar mandi.Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mandi dan bersiap. Seorang pramugari memang dilatih untuk bergerak cepat. Mulai dari dandan, sampai mengerjakan hal-hal lain. Karena pekerjaan kami juga dituntut untuk melakuk
"Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku."Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini."Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di
"Pagi Mba," sapa salah seorang pegawai coffe shop ramah. "Mau pesan apa, Mba?" lanjutnya masih dengan senyum terkembang, tak peduli dengan tampilanku yang masih muka bantal, memakai piyama, rambut diikat asal, dan mata masih agak sembab."Breakfast Sausage dan Kolasi Toraja, ya," sahutku menyebutkan pesanan.Setelah membayar, aku mencari tempat yang agak pojok untuk menikmati sarapan. Terpaksa kuurungkan niat untuk ke minimarket gara-gara pertemuan tak terduga dengan Dendra. Emosi, membuat perutku protes minta diisi.Ternyata Dendra cukup tebal muka, setelah apa yang kukatakan tadi padanya, dia masih saja mengikutiku ke coffee shop ini. Setelah memesan, dia dengan wajah tak berdosa, duduk di hadapanku. Aku tak ingin terlihat begitu kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja."Kenapa harus menghindar seperti itu, Mei? Apakah kamu masih marah padaku?" tanyanya menghenyakkan tubuh jangkungnya di kursi kosong di depanku.Ingin kuteriakkan k
Selepas kepergian Dendra, aku masih belum mampu meredakan perasaan yang mendadak kacau. Ingin rasanya kembali ke unitku, membenamkan diri di dalam kamar. Perutku yang belum sempat terisi mendadak protes. Masa bodohlah dengan Dendra, yang penting perutku terisi.Kopi yang kupesan sudah mulai dingin dan sedikit pahit, tapi rasa pahit dari kopi yang kuminum masih kalah dari rasa pahit yang kurasakan saat ini. Mengingat percakapan dengan Dendra membuat setitik harap yang pernah ada, muncul kembali.Perdebatan batin mulai hadir. Entah kenapa aku merasa besar kepala ketika Dendra mengatakan bahwa perempuan yang dia cintai hanya aku. Namun, logikaku membantah, jika memang dia mencintaiku, tak mungkin dulu dengan mudahnya dia melepaskanku.Terngiang-ngiang kembali bagaimana dulu dia dengan wajah dingin mengatakan bahwa hubungan kami tak lagi bisa berlanjut karena orangtuanya tak merestui. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Sekarang dengan seenaknya dia hadir dan
Hampir tengah malam ketika aku bersama beberapa rekan pramugari lainnya tiba di hotel yang terletak tak jauh dari bandara. Hotel yang memang biasa dijadikan tempat peristirahatan para kru.Aku kebagian kamar Deluxe twin bersama Serin —gadis cantik berwajah eksotis khas timur tengah. Kami cukup beruntung, kamar yang kami tempati menyuguhkan pemandangan gunung Merapi yang menjulang angkuh dan terkesan dingin. Malam ini pemandangannya tak begitu terlihat indah, aku yakin besok, ketika matahari mulai muncul lukisan alam akan tersaji mempesona pada bingkai jendela kaca ini."Mau mandi duluan enggak, Mei?" tegur Serin. Aku memalingkan wajah dari pemandangan malam di luar jendela ke arah gadis itu."Duluan aja, Ser. Aku mau ngedinginin badan dulu, masih keringetan," sahutku, melepaskan sepatu dan duduk mengunjurkan kaki di sofa yang terletak di samping jendela."Oh, ok." Serin beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang kembali tenggelam dalam la
Berendam membuatku mengantuk, aku segera keluar dari bath-up. Sudah larut juga. Berniat untuk tidur, ketika teringat sehari tadi aku masih belum memeriksa ponselku. Sehari ini aku juga belum mengabari ayah dan bundo.Sambil mengeringkan rambut, kunyalakan ponsel dan menunggu. Seketika beberapa notifikasi pesan chat dan suara muncul di layar saat benda pipih itu telah menyala sepenuhnya. Beberapa pesan suara dari ayah. Laki-laki yang selalu merindukanku, ha-ha.Kubuka satu persatu pesan dari ayah, "Mei, hari ini kenapa tidak ada kabar?" pesan pertama pada jam 17.00. Pada saat itu aku sedang briefing dan ponsel telah kumatikan."Sudah malam begini ponselmu masih belum aktif. Kamu kemana? Ayah khawatir," pesan kedua pada jam 20.00, ketika aku on board. Tentu saja aku masih belum mengaktifkan ponselku."Mei, telpon ayah jam berapapun. Ayah tunggu.
Dua minggu dengan jadwal penuh, mengitari berbagai kota di Nusantara. Jadwal yang padat, membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sehingga aku mampu mengalihkan pikiran dari segala kerumitan hubunganku dengan Dendra.Dalam dua minggu ini pun aku menjadi lebih dekat dengan Adrian. Hampir setiap hari pria itu mengirimiku pesan dan berlanjut pada percakapan lewat telpon. Dari percakapan itu aku mengenal Adrian sebagai sosok pria yang cukup gila kerja."Kita hampir sama, gila kerja," ujar Adrian ketika aku meledeknya dengan sebutan "Si gila kerja""Kalau aku, kan emang tuntutan perusahaan, Dri. Jadwal terbangku mereka yang nentuin. Aslinya aku lebih senang bermalas-malasan," tampikku tidak mau dikatakan seorang yang gila kerja."Sama saja, kalau orang malas sudah dari dulu minta resign karena tidak sanggup mengikuti ritme kerja yang seperti itu. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup
Hari sudah hampir siang ketika aku selesai membereskan unitku. Dua minggu ditinggal, membuat debu dengan betahnya menempati setiap senti di dalam ruangan. Aku bukan tipikal orang yang nyaman meminta jasa cleaning untuk membersihkan tempat pribadiku. Lagipula, unit apartemen ini hanya tipe studio, tidak memakan waktu terlalu lama untuk membersihkannya.Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas, ketika ponselku berdering. Nomor yang tidak terdaftar dalam kontak. Menimbang-nimbang sebentar, panggilan itu akhirnya kuterima, "Halo, selamat siang.""Siang, Mei. Ini aku, Keanu," sahut penelpon bersuara berat di seberang sambungan."Eh, Kean ... Sudah di Jakarta?" sambutku canggung. Rentang waktu sekian tahun membuatku sedikit gugup mendengar suara Keanu yang terdengar agak asing.