Share

Bab 4

Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaan antara aku dan Pak Mahesa. Mobil yang kami tumpangi, sepertinya lebih tepat disebut rumah hantu yang suasananya sepi dan mencekam. Bagaimana tidak? Salah satu dari kami tidak ada yang mau memulai percakapan untuk mencairkan suasana. Sampai akhirnya bunyi ponsel Pak Mahesa memecahkan keheningan di antara kami.

Aku melirik Pak Bos yang mengambil ponsel di saku jasnya, kemudian mengangkat panggilan telepon entah dari siapa.

“Ya, Ma?” Kini aku tau kalau yang menelpon Pak Bos adalah ibunya.

“Lagi di jalan. Kenapa, Ma?”

Aku mencoba untuk tidak peduli. Memilih untuk memperhatikan jalanan lewat kaca jendela mobil, walaupun dalam hati muncul juga sedikit rasa kepo tentang apa yang dibicarakan Pak Bos dan ibunya.

“Ma! Esa, kan, udah bilang kalo Esa gak mau dijodoh-jodohin kayak gitu. Berapa kali, sih, Esa harus bilang ke Mama?”

Sumpah demi apapun! Aku tidak berniat menguping sekalipun! Salah siapa bos harus menelpon di sampingku, mana bisa kupingku ini pura-pura budeg. Telinga, kan, memang di setting untuk mendengar. Jadi, bukan salahku kalau aku secara tidak sengaja mengetahui informasi pribadinya seperti ini.

“Udah dulu, ya, Ma. Esa lagi nyetir. Kita lanjutin obrolan ini nanti.” Pak Bos terlihat mematikan teleponnya secara sepihak. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang panjang dan terdengar lelah.

“Bapak mau dijodohin?” Aku refleks menutup mulut sialanku dengan tangan. SIAL! Kenapa, sih, mulut sialanku ini suka sekali menceplos sembarangan.

“Kamu menguping pembicaraan saya?”

“Bukan saya sengaja menguping. Tapi, Bapak teleponnya di samping saya. Gak mungkin telinga saya gak denger. Telinga saya, kan, gak ada tombol on off-nya, yang bisa disetel hidup-mati sesuka hati.”

“Kamu itu pinter banget ngeles, ya.”

“Eh?” Aku tidak tau itu sindiran atau pujian, tapi memang kuakui kemampuan mengelesku tidak diragukan lagi. Mungkin itu adalah satu-satunya bakat terpendam yang aku miliki.

“Itu urusan pribadi saya. Kamu gak perlu ikut campur,” ucapnya.

“Iya, Pak. Saya, kan, cuma nanya doang.”

“Memangnya kalo iya, kenapa? Kamu mau membuat gosip baru dan membicarakannya dengan teman-teman kamu?”

Aku pura-pura terkejut mendengar tuduhannya. “Astagfirullah, Pak. Gak baik tau nuduh-nuduh orang kayak gitu. Saya itu bukan tipikal cewek yang suka menebar gosip. Memangnya muka saya keliatan kayak admin lambe turah, gitu? Jangan suuzan, Pak. Gak baik.”

Aku melihat sudut bibir Pak Bos tertarik ke atas. Hanya sedikit. Sedikit sekali.

“Sejak kapan kamu jadi secerewet ini? Saya baru tau kamu bisa secerewet ini di luar kantor.”

Memangnya dia kira selama seminggu ini, aku hanya diam-diam saja bekerja di bawah tekanannya? Oh, tentu saja tidak! Asal Bapak tau, selama ini saya selalu mengumpati Bapak! Tetapi hanya berani di dalam hati saja. Yang ada kalau aku mengeluh atau memprotes, pekerjaanku akan ditambah semakin banyak. Jadi aku terpaksa mengalah dan menurut.

“Kamu sudah makan?”

Aku menoleh menatap bosku yang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan. “Belum, Pak.”

“Kalo gitu kita mampir ke drive thru dulu.”

“Eh, gak usah, Pak. Saya gak terlalu lapar, kok.” Aku buru-buru menolak ajakannya. Aku hanya ingin segera sampai dan merebahkan diri ke kasur. Kalau kami mampir makan dulu, akan semakin lama aku mewujudkan keinginanku yang sudah kunantikan sedari kami berada di kantor.

“Memangnya siapa yang nanya kamu lapar atau tidak? Saya yang lapar dan ingin makan. Jadi kita mampir ke drive thru dulu.”

WHAT THE??? Apa katanya tadi? Terus kenapa tadi dia harus menanyakan tentang aku, kalau pada akhirnya dia hanya memikirkan dirinya sendiri! Aku tidak menyangka kalau bosku bisa se-annoying ini. Dan aku lebih tidak menyangka kalau aku bisa bertahan menghadapi sikapnnya.

Mobil Pak Mahesa berbelok di drive thru McD yang buka dua puluh empat jam. Aku hanya bisa mengalah dan membiarkannya untuk mampir ke tempat yang dia mau.

“Kamu mau pesan apa?” Pak Mahesa bertanya padaku ketika dirinya ditanyai oleh karyawan McD.

“Saya gak pesan, Pak. Sudah kenyang.”

Aku bisa melihat pria itu mengernyitkan dahi mendengar jawabanku. “Kamu yakin?” tanyanya memastikan lagi.

“Iya, Pak,” jawabku.

“Ya sudah. Kalo gitu saya pesen menu cepatnya aja, ya, Mas.”

Setelah bertransaksi dengan karyawan McD, Pak Mahesa menepikan mobilnya untuk menunggu pesanannya selesai disiapkan. Seperti biasa, kami hanya diam-diaman sepanjang menunggu pesanannya datang. Hingga beberapa menit kemudian, seorang pramuniaga mengetuk kaca mobil dan menyerahkan pesanannya. Aku menyipit curiga ketika pesanan yang datang terlihat agak banyak untuk porsi satu orang.

“Kamu mau?” Pak Mahesa lagi-lagi menawarkan makanan yang dipesannya. Yang ternyata berisi tiga ayam, dua nasi dan juga dua menu eskrim McD, yaitu, McFlurry.

“Saya kan, sudah bilang, saya gak mau, Pak.” Aku membalas dengan nada sewot pada Pak Mahesa. Mungkin karena efek kelelahan dan rasa ingin merebahkan diri di atas kasur sudah sampai titik puncak, aku jadi agak sensitif. Padahal Pak Bos tidak bertanya aneh-aneh. Tapi, entah kenapa aku merasa kesal.

“Saya kan, cuma nanya. Ya sudah kalau tidak mau.”

“Saya juga udah bilang berkali-kali sama Bapak. Saya tidak lapar. Yang saya pengin sekarang cuma satu. Pulang."

Seperti tidak menghiraukan ungkapan kekesalanku tadi, kini Pak Mahesa justru menyodorkan McFlurry kepadaku.

“Pak, saya, sudah bil….”

“Ssstt …. Udah kamu makan aja. Saya tau kamu capek. Saya juga capek. Marah-marah juga butuh energi. Jadi, mending kamu makan es krim ini aja. Katanya makan es krim bisa menghilangkan mood yang jelek.”

Aku menatap tangan Pak Mahesa yang masih setia mengulurkan McFlurry ke arahku. Antara ragu ingin menerima atau tidak.

“Cepetan ambil! Tangan saya sudah pegal ini!”

“Ish! Ini Bapak yang maksa loh, bukan mau saya.”

"Iya, iya."

Mau tidak mau aku mengambil McFlurry dari tangannya daripada harus mendengarkan mulut bosku mengeluarkan ocehan lagi. Sudah cukup telingaku sabar mendengarkan ocehannya di kantor. Jangan sampai di luar kantor pun, telingaku harus bersabar juga.

Aku mengaduk McFlurry di tanganku. Kemudian menyendokkannya ke mulut, merasakan sensasi dingin es krim vanilla dengan taburan oreo memanjakan lidah. Benar apa kata Pak Mahesa tadi, makan es krim memang bisa membuat mood jadi lebih baik. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan dua McFlurry milik Pak Mahesa yang tadi sengaja diberikan kepadaku karena Pak Mahesa melihatku terlihat menikmati es krimnya.

“Kamu doyan apa lapar? Tadi bilangnya gak mau. Tapi, udah habis dua. Sampai es krim saya juga dihabisin.”

“Bapak gak ikhlas ngasih ke saya? Mau saya muntahin lagi?”

“Sudah habis dua es krim masih saja belum menaikkan mood kamu? Apa perlu saya beli es krim yang ketiga?”

 “Gak usah, Pak. Makasih. Saya cuma mau pulang.”

Pak Mahesa tertawa geli mendengar responku. Memangnya aku sedang melawak?

Setelah menghabiskan dua nasi ukuran medium dan tiga ayam yang dibelinya tadi, Pak Mahesa akhirnya melajukan mobilnya kembali untuk melanjutkan perjalanannya mengantarku.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, sampai aku merasakan tubuhku diguncang dengan paksa. Sayup-sayup kudengar suara Pak Mahesa berusaha membangunkanku.

“Sudah sampai, Pak?” Aku mengucek mataku yang terasa pekat.

“Sudah. Enak sekali kamu tidur. Kamu kira saya supir kamu?”

Aku mengabaikan ocehannya karena harus bersusah payah menahan kantukku. “Ya sudah, saya turun dulu, ya, Pak. Makasih udah mau nganter saya.”

“Eh, tunggu dulu. Kamu kok mau langsung turun gitu aja, sih.”

Aku yang hendak membuka pintu mobil, urung melakukannya karena ditahan oleh bosku. Apalagi, sih? “Lalu saya harus apa? Ngasih ongkos ke Bapak?”

“Kamu kira saya Gocar!” Dia terlihat sewot.

“Ya makanya. Bapak mau apa?”

“Minimal kamu tawarkan saya untuk mampir ke rumah kamu sebagai tanda terima kasih. Saya kan, udah capek-capek nganter kamu ke sini.”

Aku menganga mendengar jawabannya. Siapa yang menyangka kalau Pak Mahesa berpikir, aku akan mengajaknya mampir ke rumah selarut ini? Ayolah, ini sudah malam, lho! Bahkan jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam! Tuan rumah mana yang mengajak seorang tamu mampir di jam dua belas malam! “Pak, ini sudah malam. Gak mungkin saya ngajak Bapak mampir ke rumah saya. Lagian mama sama papa saya juga sudah tidur jam segini. Gak mungkin bakal nerima tamu.”

“Setidaknya kamu bisa basa-basi.”

Aku makin tidak mengerti dengan jalan pikirnya. “Saya basa-basi juga tau waktu, Pak. Masa saya mau basa-basi nawarin Bapak mampir jam segini. Iya, kalau Bapak paham basa-basi, kalau Bapak justru nganggep itu serius. Saya harus gimana?”

Aku bisa melihat Pak Mahesa terdiam mendengarkan ocehanku. Pria itu memilih membuang muka karena tidak bisa membalas perkataanku. Dasar pria!

“Ya sudahlah. Saya mau masuk dulu. Bapak hati-hati nyetirnya. Sekali lagi terima kasih.” Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera keluar dari mobil bosku dan masuk ke rumah.

Akhirnya aku terbebas juga dari jeratan bosku yang annoying itu. Hah, leganya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status