Wendy masih ingat hari itu. Akhir Desember cuaca cukup dingin. Badai salju semalam membuat tumpukan putih memenuhi semua halaman rumah.Dia memilih untuk tidur kembali saat Ivoni memanggilnya dari lantai bawah. Dengan berat hati, dia pun melangkah turun dari kamarnya yang hangat."Ada apa, Bu?" tanyanya setelah dibawah.Kedua orang tua angkatnya sudah duduk di meja makan. Fraud kebetulan ada di rumah untuk merayakan tahun baru."Ayo sarapan dulu," ujar Ivoni."Aku tidak lapar, Bu," ucap Wendy malas sambil leyehan di meja menjadikan kedua tangannya sebagai bantal."Heh, anak gadis tidak boleh begitu. Ayo makan dulu."Dengan setengah malas, Wendy akhirnya ikut makan dengan kedua orang tuanya.Masakannya sederhana. Hanya dua telor di orak-arik kesukaan Wendy dicampur dengan kentang rebus. Walaupun sederhana, kebersamaan ini selalu disukai Wendy."Apa ibu jadi pergi ke tempat paman Frederick?" tanyanya disela makan mereka."Ya, tentu saja. Ak
Seorang pria dengan dengan setelan jas hitam dan kemeja biru, sudah berdiri di pintu masuk. Rambutnya klimis di sisir kebelakang, iris matanya biru dan tersenyum ramah.Pria itu diikuti sepasang pria dan wanita dengan setelan jas hitam dan kemeja putih dibelakangnya. Keduanya masing-masing membawa koper kecil."Apa ini kamar tuan Dario?" tanya pria itu."Benar, tuan," Stefanie yang menjawab."Apa kedatangan saya mengganggu?" tanya pria itu lagi melihat dua wanita di ruangan itu sembab sehabis menangis."Tidak. Tidak apa. Silahkan masuk. Ada yang bisa kami bantu?" kata Stefanie balik bertanya.Ketiga orang itu pun masuk. Mereka memperkenalkan diri. Pria paling depan adalah Detektif Aaron. Sedangkan yang dua lagi adalah Detektif Bordon dan Hailey."Apakah anda nona Wendy?" tanya Aaron."Iya, benar detektif. Namaku Wendy," ucapnya."Aku ditugaskan dalam kasus penculikan anda. Mungkin aku akan sering mengganggu mu nanti. Apakah tidak masalah?""Tidak masalah, tuan Detektif.""Baiklah kalau
Boa Groups mempunyai banyak lini produksi dari berbagai bidang, seperti elektronik, fashion, perhiasan, makanan. ekspor impor bahkan perusahan keamanan pun ada.Proyek terbaru Stefanie berkaitan dengan produk makanan yang baru dikeluarkan oleh perusahaan, yaitu buah kalengan siap makan.Respon pasar cukup bagus. Makanya perusahaan memutuskan membangun pabrik di pinggiran kota dekat dengan perkebunan.Tujuannya tentu saja agar buah yang baru dipanen bisa langsung diproses di pabrik agar tetap segar."Bagaimana perkembangan proyek mu?" tanya Dario saat mereka makan siang bareng di atas atap. Seperti biasa, Stefanie sibuk dengan makanannya."Cukup bagus," jawab perempuan itu setelah menenggak setengah botol minuman. "Pembangunan jalan cukup lancar berkat bantuan mu kemarin itu.""Baguslah. Bagaimana dengan pabriknya?" tanya Dario lagi."Tingkat produksi sudah lumayan, tapi belum bisa memenuhi kuota yang diinginkan perusahaan. Rencananya perusahaan akan menambah pekerja lagi.""Kau bisa l
Image Dario di kantor adalah seorang kutu buku. Memakai kacamata hitam dengan bingkai besar, dia dianggap hanya karyawan titipan.Tidak banyak karyawan divisi Marketing yang mau dekat atau sekedar menjadi temannya.Stefanie yang sering ngobrol dengan Dario hanya di anggap sikap atasan kepada bawahan, tidak lebih.Minggu pertama, karena seringnya interaksi mereka, yang lain melihatnya mereka sudah tidak hanya atasan bawahan.Sering Stefanie kedapatan wajahnya merah dengan senyuman tersungging bila di dekat Dario. Tentu saja yang lain mengira mereka sudah pacaran.Hal itu menimbulkan kecemburuan di antara para pria. Karena Stefanie salah satu kembang di divisi marketing mereka.Ivan adalah yang paling benci dengan Dario. Tentu saja karena dia merasa lebih baik dari anak baru kutu buku itu.Dia sudah jatuh cinta pada Stefanie sejak hari pertama melihatnya. Tapi belum ada seminggu, Stefanie malah terlihat dekat dengan Dario.Dua orang preman melangkah masuk diikuti oleh seorang pemuda kli
Salah satu preman itu melihat Dario menuruni tangga. Segera yang lain berlari mengejar kearah Dario berada.Puluhan tongkat kayu dan pemukul besi melayang di arah kan ke tubuh Dario. Salah satu preman maju dan melayangkan tongkat yang ia pegang dengan ganas.Dari belakang juga ada yang ikut menyerang. Dario menghindari keduanya sekaligus. Diraihnya tangan pria pertama dan mengarahkan tongkat yang ia pegang ke preman kedua hingga mengenai kepalanya. Satu jatuh.Dia kemudian merampas tongkat yang sudah menjatuhkan pria kedua dan menendang terbang pria pertama.Melihat hal itu, preman yang lain mulai lebih hati-hati. Mereka tidak ingin kena balik pukul oleh tongkat yang mereka pegang."Serang bersamaan!" teriak salah satunya.Puluhan orang yang mengepung Dario menurut. Mereka langsung mengarahkan senjata yang mereka pegang.Bak! Buk! Bak! Buk!Dengan lincah, tongkat yang dipegang Dario mendarat mulus diberbagai bagian tubuh para preman itu.Mereka jatuh satu persatu sambil memegang bagia
Dario seakan merasakan Dejavu. Bagaimana tidak, baru Minggu lalu dia melihat langit-langit dengan warna serba putih.Kali ini pun sama. Yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit itu. Bedanya di luar sudah gelap. Kemerlip lampu kota terlihat dari balik kaca jendela.Dibagian perutnya yang terluka, ada perban tebal yang menempel. Dia masih bisa merasakan nyeri saat dipukuli oleh Delano."Kau bisa kalah juga?"Suara seroang wanita terdengar sinis. Dario tahu pemilik suara ini tanpa perlu melihatnya."Yah, mau bagaimana lagi. Kalah ya kalah." Kata-kata Dario terkesan acuh tak acuh."Payah, baru satu kali kalah saja sudah seperti dunia mau runtuh. Kemana orang kampung optimis yang aku temui malam itu?""Sudahlah, bos. Aku sudah kalah. Kalau kau ingin membuangku, aku akan segera pergi dari hadapanmu."Lili tertawa pelan. Dia menatap Dario yang masih melihat keluar jendela."Aku terlalu berharap tinggi padamu."Lili bangun dari tempat duduknya dan melangkah keluar."Tunggu! Bagaimana
"Lagi ngapain?"Sebuah suara menyela saat Dario sedang mengganti perban di perut. Lukanya sedikit terbuka setelah siang yang 'panas' tadi.Dario menengok kebelakang. Stefanie sedang berjalan ke arahnya dengan memakai kemeja flanel miliknya yang nampak kebesaran.Jujur saja di mata Dario, wanitanya ini terlihat sangat seksi. Apalagi rambut panjangnya diikat cepol ke atas menampakan leher jenjangnya yang putih."Sudah bangun? Enak tidurnya?" tanya Dario sambil meneruskan membersihkan luka dengan alkohol.Muka Stefanie bersemu merah ditanya seperti itu. Badannya pegal-pegal setelah hampir satu jam lebih dikerjai oleh pria dihadapannya ini."Terbuka lagi, ya?" tanya Stefanie lagi melihat dengan sedikit ngeri setelah duduk di samping pemuda itu.Dario mengangguk. Dia ambil salep dari rumah sakit dan mengoleskannya pada luka diperutnya. Setelah itu dia membalutnya dengan kapas dan perban."Tidak balik ke kantor?" ganti Dario yang bertanya."Hhmm, lebih enak disini," jawab Stefanie sambil te
Fiona membawa Dario ke dapur. Dario melihat ada dua pria berpakaian koki menatapnya dengan pandangan berbeda.Yang pertama adalah pria paruh baya yang duduk sambil meringis memegangi kakinya. Ada ruam kebiruan disana. Pria itu nampaknya keseleo.Sedangkan yang satu lagi lebih muda, mungkin seusia Fiona. Dia menatap Dario dengan tidak suka, apalagi tangan Fiona masih memegang tangannya."Ayah, ini Dario yang aku bilang. Dia bisa memasak. Aku sudah minta tolong padanya.""Aku masih bisa Fiona. Tidak perlu merepotkan temanmu," ujar Ayah Fiona.Dia mencoba berdiri, tapi kemudian kembali duduk sambil meringis menahan sakit."Sudah kubilang, aku saja cukup, Fiona. Biarkan paman Haris istirahat."Pria muda itu kini ikut bicara. Dia masih memandang Dario dengan tatapan bermusuhan.Dario hanya mengabaikan pria itu. Dia memandang Haris yang sudah masih meringis."Biarkan aku membantu, paman. Aku tadi lihat menu restoran. Aku bisa beberapa," ujarnya.Anak muda yang jadi pelayan di depan, masuk d