Share

BAB 4

Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah.

            Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan rasa kecewa. Entahlah, apa yang terjadi pada dirinya. Ia pun tak mengerti. Dalam hatinya ada setitik berharap ia dapat bertemu dengan gadis itu. Gadis itu biasa saja menurut Alvis tidak cantik tapi manis dan imut. Sepertinya rasa penasaran akan tatapan yang diberikan gadis itu kepadanyalah yang membuatnya penasaran agar bisa dipertemukan kembali. Ia penasaran apa maksud dari tatapan dan gesture tubuh itu. Hari ini semesta mengabulkan permohonan kecilnya.

            Tampak di hadapannya gadis yang beberapa minggu ini membuatnya penasaran. Si Gadis Danau, begitu panggilannya untuk gadis itu. Gadis itu berdiri menyamping di selasar gedung PKM pas di depan anak tangga. Tanpa sadar Alvis berdiri di samping gadis itu yang entah apa yang sedang dilakukannya. Alvis mengerutkan dahinya menatap gadis itu. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan. Gadis itu mengatupkan matanya sembari komat-kamit tak jelas.

            “Ngapain merem sambil komat kamit begitu?”, karena kaget gadis itu tersentak ke ke samping dan tak sengaja gadis itu terjegal oleh kakinya sendiri. Alvis refleks mengulurkan tangannya meraih benda pertama yang dapat dijangkau oleh tangannya. Gadis itu masih menutup matanya karena kaget dan pasrah akan jatuh menyentuh lantai sementara Alvis menahan nafasnya karena gugup. Posisi mereka pastilah sangat terlihat ganjil dan konyol. Lupakan adegan romantis seperti di drama ataupun film. Posisi mereka saat ini dengan Alvis yang menahan ujung jaket gadis itu dn tas ransel yang dikenakannya. Dibandingkan terlihat romantis mereka lebih terlihat seperti grup komedian yang sedang tampil.

            Keduanya tersadar hampir bersamaan dan merubah posisi kembali normal. Suasana tampak canggung. Sementara wajah gadis itu menampakkan raut kaget dan bingung. Alvis mengamati gadis yang kini berdiri di hadapannya yang terlihat mencolok dengan berbagai macam atribut ospek. Dilihatnya warna pita yang melingkar di lengan sebelah kiri gadis itu. Warna Merah dan Kuning, itu berarti gadis ini adalah mahasiswa di Fakultas Design. Jika gadis ini berteduh lama di gedung ini, Alvis yakin gadis ini akan menjadi santapan empuk senior iseng yang sanagt suka mengerjai mahasiswa baru. Gadis di hadapannya mengucapkan terima kasih dan maaf dengan terbata-bata dan sedikit linglung. Alvis mengambil kesimpulan bahwa gadis ini sepertinya lupa kalau mereka pernah bertemu. Tiba-tiba Alvis merasa sedikit kesal karena ternyata hanya dia yang mengingat kejadian itu. Baru saja Alvis akan menanyakan nama gadis itu, tiba-tiba saja seorang gadis bersuara cempreng menginterupsi. Menjelaskan panjang lebar perihal dirinya yang membuat gadis danau itu menunggu lama dan…

            “Siapa dia?” tanya si gadis cempereng yang wajahnya mengarah pada Alvis. Si gadis danau yang tampaknya kebingungan harus menjawab apa dengan segera menarik temannya untuk pergi dari tempat itu. Sekali lagi mengucapkan terima kasih dan maaf pada Alvis dengan terburu-buru. Ada sedikit rasa kecewa yang terselip karena Alvis ingin sedikit lebih lama mengobrol dengan gadis itu. Lagipula ia bahkan belum mengetahui nama gadis itu. Ah, mungkin lain kali batin Alvis. Karena kali ini ia sangat yakin akan bertemu kembali dengan gadis itu tak lama lagi.

            “Sampai ketemu lagi gadis danau.” ucap Alvis setengah berteriak. Ia yakin gadis itu mendengar teriakannya dan berharap gadis itu mengingatnya jika mereka bertemu kembali. Dirinya masih berdiri di selasar gedung PKM melihat punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik gedung laboratorium Fakultas MIPA. Saat hendak berbalik untuk masuk ke gedung PKM langkah Alvis terhenti. Ia ingat kalau sahabatnya berkuliah di Fakultas yang sama dengan gadis itu. Alvis melanjutkan langkahnya dengan riang. Senyum tersungging di bibirnya. Langkahnya terasa lebih ringan. Sejenak otaknya melupakan sejenak beberapa artikel yang sedang disusunnya. Baginya kali ini menyusun strategi di ddalam kepalanya untuk bisa bertemu gadis itu lagi lebih penting dibandingkan artikelnya yang tinggal sedikit lagi akan rampung. Ah, artikel masih bisa menunggu pikir Alvis. Lagipula deadlinenya masih sebulan lagi. Rasa penasarannya harus segera dituntaskan.

Alvis memasuki gedung PKM dan segera menuju klub menulis kampus yang telah menjadi seperti rumah kedua baginya setelah ruang sekretariat BEM Fakultas. Bagi Alvis tempat yang ia tinggali bersama orang tuanya bukanlah rumah. Tempat itu seperti gua baginya, dingin dan sepi.

            “Eh, Ra. dari mana aja lo?” si Lila nyariin lo dari tadi.” ujar Bima, si ketua klub

Alvis mengerutkan keningnya, bingung. Untuk apa Lila mencarinya? memang Alvis sengaja menghindari gadis itu karena tak ingin memberi harapan lebih. Belum selesai otaknya berpikir dan mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan sebuah suara yang ia kenali dan paling ia hindari beberapa hari terakhir ini terdengar dari arah pintu masuk ruang secretariat. Tampak oleh mereka, Pricilla Anindya. Gadis idaman hampir seluruh mahasiswa laki-laki di kampus ini. Seorang gadis cerdas, wajah kampus, suka menulis, dan juga belum lama ini memenangkan ajang pemilihan Putri Pariwisata di kotanya. Ia seperti paket komplit nasi kucing. Sudah menjadi rahasia umum di gedung PKM ini kalau Lila menaruh hati pada Alvis kecuali Alvis. Hingga suatu hari Lila mengakui perasaannya pada Alvis. Sejak saat itu Alvis mulai membatasi interaksinya dengan Lila.

            “Hai, Lila,” sapa Alvis canggung. Tampak Lila berdiri berkacak pinggang menahan kesal sementara Alvis hanya bisa tersenyum merasa tak enak.

            “Kamu kenapa menghindar?” tanya Lila to the point tak menghiraukan tatapan dari seluruh penghuni yang ada di ruangan itu. Ruangan seketika senyap dan seluruh tatapan mata mengarah pada Alvis menanti jawaban.

            “Ituuuu…” Alvis menjawab sambil mengumpulkan kalimat apa yang cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut.

            “Kamu menghindari aku karena pernyataanku beberapa hari yang lalu? Kalau karena itu kamu gak perlu melakukannya karena aku sudah tau jawabanmu tanpa kau beritahu.” Ucap Lila panjang lebar dengan nada kesal.

            Alvis terkejut dengan ucapan blak-blakan yang dilontarkan Lila. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam tak menyangka akan mendapat totonan gratis di sore hari sendu dengan latar belakang suara hujan yang turun semakin deras. Tatapan Alvis mengarah pada ketua klub mereka yang sedang memasang tampang cengiran isengnya sembari menaik turunkan alisnya. Alvis mendengus. Ia tahu dalam beberapa hari ke depan ia akan jadi bahan olok-olok kawan-kawannya.

“Kenapa gak jawab?” tanya Lila

Alvis mengusap tengkuknya canggung karena menjadi tontonan banyak orang sementara Lila tampak seolah tak perduli. “Hah? Hhhhmmm, oke.”jawab Alvis.

“Oke apa?’ Lila bertanya kembali.

“Oke, aku tak akan menghindar lagi. Puas?” jawab Alvis

Senyum sumringah langung menghias wajah Lila mendengar jawaban dari Alvis. Baginya taka pa untuk saat ini Alvis masih belum bisa membalas cintanya yang penting ia masih bisa dekat dan berada di sekita Alvis. Lila lebih memilih berteman dengan Alvis dibandingkan Alvis yang menghindarinya. Baginya itu seperti sebuah kutukan. Lila tak akan kuat.

“Ciiiieeehhh… jadi kesimpulannya apa, nih?” tanya Bima iseng.

“Pikirin aja sendiri,” sewot Lila sembari memelototkan matanya.

“Ah, elah… Matanya biasa aja, Bu.” balas Bima masih dengan cengiran lebarnya.

Alvis hanya bisa gleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Alvis tau Bima menyukai Lila tapi Bima seperti terlihat santai menanggapi kejadian barusan.Alvis beryukur Lila tidak bertingkah hingga menimbulkan drama. Alvis tau Lila butuh waku untuk mengobati hatinya. Ia hanya berharap semua akan baik-baik saja. Tatapan Alvis menerobos jendela klub menatap cucuran hujan yang jatuh seolah engan untuk berhenti. Hujan masih setia dengan nyanyiannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status