Tepat pukul sebelas, di mana matahari mulai bergerak ke atas, Pak Leo datang tanpa seragam kebesarannya. Ia mengenakan topi baseball, zipper polos, dan celana jins. Pakaiannya tersebut tentu bukan gaya sehari-harinya. Ia langsung menduduki meja paling pojok yang menghadap ke jalan raya.
Teriknya mentari hari ini mampu menembus kaca gelap yang berada di sebelah Pak Leo. Kedatangan Pak Leo disadari oleh pemilik cafe.
“Halo, Kapten.” Max menghampiri dan menyapa Pak Leo dengan wajah sumringah. Max adalah pemilik Barry Cafe. Barry sendiri diambil dari nama belakangnya, Maximus Barry.
“Halo, Max. Tumben cafemu belum ramai.” Pak Leo menyisir seluruh ruangan dan melihat bahwa hanya ada beberapa meja yang digunakan pengunjung, termasuk dirinya.
Max tersenyum. Dari senyumnya itu, ia menduga kalau Pak Leo memang belum mengerti jam ramai dan jam santai di cafenya. “Masih jam 11, Kapten. Mungkin sebentar lagi, cafe ini akan penuh.”
Pak Leo menggangguk. “Ini pertama kalinya saya datang cukup pagi.”
“Kapten mau pesan menu apa? Sesegera mungkin akan saya persiapkan.”
“Sebentar, Max. Saya masih menunggu Andy datang.”
“Oke, baiklah kalau begitu. Saya akan kembali lagi nanti Kapten.” Max undur diri dan kembali ke dapur untuk mempersiapkan menu-menu yang telah dipesan oleh pengunjung lain.
***
Ketika Andy tiba di muka pintu Barry Cafe, Pak Leo melambaikan tangan. Andy segera menghampiri dan duduk tepat di hadapannya.
“Mau pesan menu apa?” tanya Pak Leo semangat. Sebab ia memang sengaja tidak makan sebelum pergi hanya untuk mengajak Andy ke tempat ini.
“Saya tidak ingin makan. Kita langsung ke inti pembicaraan saja.”
“Manusia butuh makan, Ndy. Setelah makan, kita akan bahas semuanya.”
“Sebelum balas dendam, saya tidak bisa makan atau hidup dengan tenang.”
“Balas dendam butuh tenaga. Tenaga didapat dari makanan. Itu artinya, kamu butuh makan.”
Andy tertegun dibuatnya. Ia memandang sepasang tangannya yang kini seperti tulang dibalut kulit tipis. Uratnya terlihat menonjol di mana-mana. Kaos polos yang dikenakannya pun, mulai terlihat kedombrangan.
“Besok, Andini tiba di Indonesia. Dengan bantuan rekan saya sebagai pemilik perusahaan jasa penyediaan bodyguard, saya sudah memasukkan nama dan data pribadi palsu kamu. Kebetulan, rekan saya ini juga menaruh dendam dengan Adimas. Dengan perjuangan yang telah saya lakukan untuk kamu, saya minta kamu makan dengan baik. Berolahragalah mulai sekarang dan bangun kekuatan secara perlahan. Jangan lemah. Saya sudah menyiapkan jalan. Kamu hanya perlu menempuhnya!”
***
Andy tak kuasa menahan tangisnya saat melihat ayam saus mentega telah tersuguh di hadapannya. Makanan itu adalah makanan favoritnya bersama dengan Ando. Makanan itu adalah makanan yang selalu dipesannya jika mereka makan bersama di Barry Cafe.
“Makanlah.” Pak Leo mempersilakan. “Di pertemuan berikutnya, saya tak akan mentraktirmu makan.”
Meski mulutnya tak berselera, Andy meraih sendok dan garpu yang tertetak di piring nasi putihnya. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, nasi di piring berwarna putih itu, sekuat tenaga ia masukkan ke dalam mulutnya. Sambil berusaha mengunyah, sungai di matanya terus mengalir. Meski beberapa kali diusahakannya berhenti, hanya berhasil sebentar, sungai itu tetap mengalir..
Setelah makan, Pak Leo merogoh sesuatu dari tas pinggangnya. Ia menyodorkan ponsel pintar berwarna hitam, identitas palsu yang telah dibuat sedemikian rupa, dan pistol revolver untuk berjaga-jaga.
“Nama kamu sekarang Liam, William. Saya telah memasukkan alat pelacak ke ponsel yang saya berikan ini. Bawa terus ponselnya, agar saya bisa memantau di mana saja kamu berada. Kita harus terjaga pada hal-hal yang tidak diduga. Jangan sampai ponsel tersebut kehabisan baterai. Jika itu terjadi, habislah kamu tanpa kami bisa berbuat apa-apa.”
“Saya tidak takut mati, Kapten. Tujuan saya adalah membunuh Adimas seperti ia membunuh Ando tanpa belas kasihan.”
“Saya tahu, kita semua tahu itu. Tapi ingat, tindakan gegabah bisa menghancurkan segalanya. Jadi, bertindaklah sesuai dengan rencana yang akan saya tetapkan.”
“Jika sesuatu mengancam saya, bolehkah saya membunuhnya langsung tanpa aba-aba dari Kapten?”
“Itu tidak akan terjadi kalau ponselmu tidak kehabisan baterai.”
“Seandainya terjadi, bolehkah saya membunuhnya?” Andy menegaskan pertanyaannya sekali lagi.
“Andy, kesampingkan emosimu, ingatlah banyak hal baik yang bisa kita dapatkan jika mengalahkan Adimas dengan rencana yang sudah ditetapkan.”
“Oke, saya turuti mau Kapten. Akan tetapi, ingat. Di akhir penyamaran ini, nyawa Adimas adalah milik saya sepenuhnya!”
***
Setelah pertemuan siang tadi, Andy mencari informasi tentang Andini Hartanto. Ia mengetikkan nama itu di kolom pencarian G****e. Hasilnya, nihil. Tak ada satu pun nama Andini Hartanto yang memiliki wajah sama pada foto yang diberikan Pak Leo tadi.
Terbesit di benaknya, siapakah sosok informan yang bisa menembus rahasia keluarga Adimas?
Ia mengambil identitas palsu yang diberikan tadi, kemudian memandangnya. Di sana, tertulis namanya sebagai William yang lahir pada tahun 1993. Setelah itu, ia mengecek revolver hitamnya, ruang peluru telah terisi penuh. Aman untuk berjaga-jaga dari serangan beberapa orang.
Yang terakhir, ponsel berwarna hitam yang telah dimasukkan alat pelacak, juga diperiksanya. Ia masih ingat perkataan Pak Leo tadi siang agar tak membiarkan ponsel tersebut kehabisan daya.
Setelah mengecek ketiga benda pemberian Pak Leo, ia mengambil gunting yang ada di laci nakas kemudian bergegas menuju kamar mandi.
Wajahnya kini memantul di cermin. Rambutnya yang tak terurus, dirapikannya pelan-pelan. Ia melihat dirinya sendiri dan berjanji untuk takkan mati sebelum dendamnya terbalaskan.
“Kini, kau adalah William.”
Pukul empat pagi.Andy berkemas. Segala benda keperluannya dimasukkan ke dalam ransel berukuran sedang. Barang-barang yang tak berguna, ditinggalkannya begitu saja. Sebelum benar-benar pergi, Andy menyisir pandangannya ke segala sisi di kamarnya. Kamar ini sudah menjadi rumah baginya selama beberapa tahun terakhir.Ada sesuatu yang tertinggal dalam batinnya saat ia benar-benar sadar bahwa hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Ponsel di sakunya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Pak Leo.“Sudah siap?” tanyanya di seberang sana.“Hmm.”“Kalau gitu, kamu bisa turun sekarang. Saya sudah ada di bawah.”Ia bergegas mengunci pintu kamar dan meletakkannya di bawah serta menuliskan surat kepada pengurus kos.Barang-barang yang ada di dalam, bisa digunakan penyewa selanjutnya. 
Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Orang-orang berlalu lalang serta sibuk mencari apa yang sebenarnya tidak perlu dicari. Dari kacamata Liam, mayoritas mereka yang ada di sini berniat untuk bepergian. Mulutnya tak sengaja berdesis pelan, hidup memang tak adil. Yang punya keluarga justru menjauh, yang tak punya keluarga justru mencari yang telah pergi.Tapi, bukankah memang hidup ini tidak adil? Ada banyak orang yang kehilangan justru tak memiliki siapa-siapa. Sementara itu, mereka yang dikelilingi orang-orang tersayang malah ingin pergi karena merasa perlu punya waktu sendiri.“Ingat, ketika Nona Andini tiba, perketat pengamanan!” kata Sardi, kepala pengawal keluarga Adimas. Ucapan Sardi sontak menyadarkan Liam dari lamunannya.“Baik.” jawab seluruh bawahannya serempak.Bersama dengan enam orang lainnya, Liam menunggu kedatangan Andini beserta rombongan di muka bandara. Mata Liam terus mengamati mereka yang keluar masuk band
Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidu
“Bagaimana hari pertamamu, Liam?” Warna suara yang renyah terdengar di ujung telepon. Tak perlu ditanya pun seharusnya Pak Leo sudah tahu dengan melacak GPS yang terdapat di ponsel Liam.“Cukup menghibur, Kapten.” Liam menjawab sekenanya. Dia belum mau banyak berbicara atau pun menyimpulkan sesuatu untuk seseorang bermata teduh itu.“Cukup jauh juga ya, aksi kejar-kejarannya? Jika saya melihat jarak dari bandara, lebih dari 6 kilometer.”“Kamu di mana sekarang?” Pak Leo mengalihkan percakapannya. Sebab, ia tahu, kalau Liam tak akan bisa bicara lebih jauh lagi mengenai topik tersebut.“Kapten bukannya bisa melacak saya?” Liam bertanya balik.“Max sedang pergi berkencan. Jadi, saya tidak bisa memantaumu saat ini.” Max adalah seorang peretas dan juga sebagai peretas andalan tim dari Pak Leo. Jadi selain makanan Barry Cafe yang rasanya mantap, Pak Leo dan tim memiliki agenda lain t
Pukul lima pagi, alarm di ponsel Liam berdering. Dengan raut setengah mengantuk, ia beranjak dari kasur tanpa aba-aba atau melemaskan tubuhnya. Ia meraih segelas air yang telah dipersiapkan sebelum ia tidur semalam. Tak sampai sepuluh detik, air itu habis diteguknya.Ia bergegas. Tangannya meraih zipper polos berwarna abu yang tergantung di kap stok belakang pintunya. Setelahnya, ia membuat simpul yang cukup kencang pada sepatunya. Pagi ini adalah awal baginya untuk mengumpulkan kekuatan.Napasnya tersengal-sengal, nyawanya seolah berada di ujung. Setelahnya menyelesaikan target hariannya untuk berlari, ia mengitari daerah tempat tinggalnya dengan berjalan santai seraya mengatur napas yang baru saja membuatnya nyaris mati karena sudah lama tak berlari.Ia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Waktu hampir menunjukkan pukul enam. Pendar kota yang tadi pagi ia lihat, perlahan mulai hilang. Mentari mulai muncul di ufuk Timur. Tanda baginya untuk
Di tengah perjalanan, dari spion, Pak Ramlan melihat sekelompok pemotor berusaha mengejar mereka. Seratus meter lagi, para pemotor tersebut akan berhasil menyamakan posisi.“Pak Adimas, sepertinya ada orang yang ingin menghalangi pertemuan hari ini,” sambil berkata, Pak Ramlan terus melirik para pemotor tersebut dari spion yang berada di atas samping kirinya.Adimas melihat ke belakang. Para pemotor tersebut berseragam serba hitam, serta menggunakan helm fullface hitam yang berkaca gelap. “Pak Ramlan, saya minta naikkan kecepatan. Saya ingin bermain-main.”Pak Ramlan mengangguk, sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Adimas meningkatkan kecepatan hingga 120km/jam.“Rencana biasa, Bang?” Lukman memandang Adimas serius.“Tentu saja. Mari kita bersenang-senang.”Di perempatan, empat mobil beriringan itu berpisah. Pak Ramlan membanting stir mobilnya dan langsung berbalik arah. Dari kaca mobi
Dari jendela kamar, Andini melihat Liam sudah berdiri di halaman. Tampilannya nampak biasa bagi Andini. Ya biasa, sebab semua yang bekerja sebagai pengawal di rumahnya selalu berpenampilan serba hitam. Sang ayah, seolah-olah berambisi menjadikan para pengawalnya terlihat sangar seperti film action kebanyakan.Marcedez Bens S-Class telah terpakir di bibir jalan. Sementara itu, di atas, Andini sama sekali belum membersihkan diri. Ia bimbang. Sebab belum setengah jam riasannya itu menempel dan menutupi wajah berminyaknya setelah bangun tidur tadi.“Mandi.. Tidak.. Mandi.. Tidak.. Mandi..” Andini menghitung kancing baju pada kemeja yang dikenakannya saat ini.“Arrrggggh!” Ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi mengamati Liam. Kakinya melangkah menuju kamar mandi dengan langkah enggan.Andini mulai melucuti pakaiannya. Punggungnya nampak lurus, lingkar pinggangnya kecil bak model yang sering berjalan di catwalk s menampilkan design
Dialah Melisa Hartanto. Wanita yang memilih untuk menikah di usia yang masih muda, sembilan belas tahun. Setahun setelah pernikahannya dengan Adimas, mereka dikaruniai Andini Putri Hartanto, bayi mungil bermata segaris nan menggemaskan. Siapa saja yang melihat senyumnya, akan mengundang gelak tawa. Bayi mungil itu memberi kebahagiaan penuh pada Melisa dan Adimas. Kebahagiaan keluarga mereka seolah tak membutuhkan apa-apa lagi. Hadirnya Andini, seolah menurunkan surga ke bumi. Karena itu, mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi. Tangan Andini mengusap nisan sang Ibu. Tubuhnya bergetar, mata teduhnya menuduk menatap makam. Pikirannya sedang merangkai kata untuk memberikan salam kepada sang ibu setelah delapan tahun menghilang. “Bisa tinggalkan saya sendiri?” pinta Andini. Sungai di matanya hampir meluap. Ia malu jika Liam melihatnya menangis. Kesan kuat yang ditampikannya saat di bandara, tak boleh luntur hari ini. Tanpa jawaban,