Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.
Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya.
"Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.
Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai."
"Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam.
"Hm ... Apa kamu yang memindahkanku semalam?" tanya Nasya, sejak tadi ia begitu penasaran dengan hal ini.
"Hm." Lelaki itu bergumam menjawab pertanyaan Nasya, ia berdiri dari duduknya dan mengambil handuk yang terletak di dekat kamar mandi.
"Apa kamu akan pergi sekolah?" tanya Nasya lagi membuat Galen menghentikan jalannya, ia memandang sebentar ke arah Nasya kemudian kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi.
Nasya bangkit dari ranjang, membersihkannya dan berjalan keluar dari kamar. Ia berniat akan memasakkan sesuatu untuk dirinya dan juga Galen, sembari menunggu lelaki itu mandi. Tangan kecil milik Nasya bekerja dengan cepat, memasukkan minyak dan menggoreng dua telur.
Menu sarapan yang terlintas di pikiran nya sekarang ialah nasi goreng, matanya melirik jam yang menunjukkan pukul 06.30 yang berarti masih ada setengah jam untuk dia bersiap ke sekolah nanti. Suara langkah kaki terdengar begitu jelas dari arah tangga, di sana Galen sudah rapi menggunakan seragamnya.
"Aku sudah memasak untukmu Galen, ayo kita ...."
"Tidak! Aku tidak akan sarapan apapun, kau makan saja sendiri." Potong Galen cepat sebelum Nasya benar-benar menyelesaikan kalimatnya, wanita itu tampak begitu kecewa karena penolong Galen.
Lelaki tersebut memakai sepatu dengan cepat, "Karena aku membantu tadi Pagi, bukan berarti kau juga harus memperhatikan diriku. Jangan bertindak seolah-olah kau adalah istri yang baik, satu hal yang harus kau tahu bahwa dirimu hanya pembawa sial bagiku."
Deg! Tubuh Nasya menegang setelah mendengar kalimat terakhir Galen, ia benar-benar sakit hati sekarang. Perlahan air mata turun membasahi pipi Nasya, ia memandang kepergian Galen yang menutup pintu rumah dengan keras.
"Apa lagi ini Tuhan?" lirih Nasya memandang sendu pada makanan yang sudah ia buat, dengan tangan yang bergetar Nasya memakan sarapan itu sendiri. Sesekali tetap menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Kuatkan Ibu sayang," ujar Nasya mengelus perutnya lembut. Hanya anak yang ada di dalam kandungan ini yang membuat Nasya harus bertahan bersama Galen, dia tidak boleh egois sekarang. Anaknya akan membutuhkan sosok figur seorang Ayah nantinya.
Setelah selesai dengan sarapannya, Nasya beranjak untuk segera mandi. Ia meletakkan makanan tadi ke dalam kotak bekal agar tak sia-sia, ia akan mengajak Ratu makan bersama nanti.
****
Gerbang sekolah sudah ditutup, Nasya menghapus keringat yang memenuhi dahinya. Ia memohon pada satpam agar pagarnya dibuka, akan tetapi satpam tersebut tidak mau karena sudah lewat jam masuk.
"Pak, bukakan pagar ini untuknya. Biar aku yang mengurus gadis itu nanti," ujar seseorang yang membuat Nasya mendongak. Di sana Reyhan, sang ketua OSIS menatap dirinya kasihan.
Pagar tinggi yang terbuat dari besi hitam itu terbuka, membiarkan Nasya masuk ke dalam. Akan tetapi Reyhan seakan memberi kode agar Nasya mengikuti langkah kaki pemuda itu, dia membawa Nasya pada toilet.
"Aku tak menyangka anak beasiswa yang rajin dan disiplin seperti dirimu akan terlambat Nasya," ucap Reyhan membuat Nasya tersenyum canggung, pasalnya ini pertama kali ia berbicara dengan Reyhan walaupun sudah tiga tahun mereka sekelas.
Nasya mendongak menatap Reyhan yang lebih tinggi darinya, "Jadi aku akan membersihkan toilet ini?"
"Ya. Seperti yang kau lihat, lakukan ini sampai jam pelajaran pertama berakhir. Dan untuk absenmu aku akan mengatakan bahwa kau terlambat," ujar Reyhan sambil tersenyum. Ia mengelus rambut Nasya sebelum pergi meninggalkan wanita itu sendirian.
Nasya memegangi kepalanya yang tadi dielus oleh Reyhan, "Ada apa dengan dia?" Tangan mungil Nasya mengacak-acak rambutnya kesal. Dia paling tidak suka jika ada orang lain yang memegang rambutnya tanpa izin, kecuali Ayah dan Ibunya.
"Baiklah Nasya, ayo kita bekerja." Nasya mengangkat kain pelnya tinggi, mulai membersihkan semuanya dengan semangat.
Saat bel pertama sudah terdengar jelas, Nasya meletakan kain pel yang sudah ia bersihkan itu di tempatnya kembali. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika Rihanna dan dua temannya datang, gadis itu menyeringai puas.
"Ternyata pelayan kita sedang menjelma menjadi penjaga toilet," ujar Rihanna membuat kedua temannya tertawa keras. Gadis itu memegang baju seragam Nasya dan menyiram nya menggunakan air pel yang belum sempat Nasya buat tadi.
"Lepaskan tanganmu dariku Rihanna!" pekik Nasya ketika merasakan seragamnya sudah basah semua, bahkan pakaian dalamnya pun terasa basah.
Rihanna tersenyum manis pada Nasya, akan tetapi itu bukan berarti pertanda baik, "Itu baru permulaan sayang. Jangan harap kau bisa lari dari kami. Ayo kita tinggalkan pelayan ini sendirian."
Mereka segera pergi dari sana meninggalkan Nasya yang terdiam, apa yang harus ia lakukan sekarang dengan pakaian basah. Tidak mungkin ia kembali ke kelas dengan pakaian begini, wanita itu masuk ke dalam salah satu bilik toilet berniat membersihkan seragam yang kotor.
"Kenapa aku harus selalu ditindas begini?" tanya wanita berbadan dua itu lirih. Ia menarik pintu toilet akan tetapi di kunci dari luar, "Hei! Jangan main-main, ayo bukakan pintunya!"
Dan suara tawa kembali terdengar jelas di telinga Nasya, "Rihanna buka pintunya! Aku harus mengganti pakaian, ini begitu dingin Rihanna!"
"Aku tak peduli, membusuk saja kau di sana Nasya!" Rihanna pergi meninggalkan Nasya yang masih terkurung di dalam bilik toilet.
Lagi-lagi Nasya menundukkan kepalanya, sudah tiga tahun ia ditindas oleh orang-orang seperti Rihanna. Ia mengambil ponsel yang terletak di dalam saku rok, berharap sekali bahwa benda pipih itu tak tidak kemasukan air akibat siraman Rihanna tadi.
Tangan mungil Nasya terlihat begitu bergetar, ia kenakan nomor Ratu dan mendekatkan benda tersebut ke telinganya, "Ratu ... tolong bukakan pintu toilet untuk Ratu."
Setelah mengirim pesan tersebut, Nasya hanya perlu menunggu kehadiran sahabatnya itu. Ia memeluk tubuhnya yang terasa dingin, tak lama kemudian pintu toilet terbuka lebar membuat Nasya menarik napas lega.
"Terimakasih Ratu, aku tahu kau ...." Nasya tidak jadi melanjutkan ucapannya ketika menyadari bahwa bukan Ratu yang menolong dirinya. Melainkan seorang lelaki yang menatap dirinya khawatir, mata keduanya saling menatap satu sama lain.
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Nasya memuntahkan isi perutnya ke wastafel, tubuhnya terasa lemas sekarang. Setelah mencuci mulut dan wajah wanita itu kembali berjalan menuju ranjang, dan melihat sosok Galen masih tertidur tenang.Nasya menghirup aroma kayu putih yang ia simpan di bawah bantal, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat, belum lagi dengan rasa pusing yang mendera kepalanya.Dia tersentak ketika merasakan pergerakan dari kasur sebelahnya, yang menandakan bahwa Galen sudah bangun. Dengan perlahan Nasya melirik suaminya yang duduk di tepi ranjang, lelaki tampan tersebut mengacak-acak rambutnya kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi.Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian sekolahnya, lelaki itu menatap Nasya sebentar kemudian melenggang pergi."Aku harus pergi sekolah, jika tidak aku akan ketinggalan pelajaran." Nasya bangkit dari ranjang, berjalan sambil berpegangan pada dinding. Tubuhnya terasa b
Wanita berbadan dua itu membuka pintu rumah dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan mata yang fokus pada laptop. Wajahnya terlihat begitu serius membuat Nasya merasakan debaran aneh, ia memegangi dadanya yang berdegup kencang."Sudah puas melihatku?" tanya Galen mengangkat kepala. Matanya terlihat begitu sayu, mungkin ia kelelahan."Maaf, aku tidak bermaksud." Wanita itu menundukkan kepala, ia membalikkan badan dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.Galen menatap istri mungilnya itu tajam, "Apa lagi? Tak bisakah kau pergi dan tidak mengangguk konsentrasi ku lagi?""Ba-baiklah, aku minta maaf." Nasya menaiki tangga dengan terburu-buru, mendengar ucapa Galen barusan membuat ia jatuh kembali. Padahal tadi dirinya begitu bahagia ketika tahu bahwa pemuda itu merangkul tubuhnya erat, b
Pagi ini semua siswa dihebohkan karena berita yang tertulis di mading sekolah, bahkan ada beberapa foto juga di sana sebagai bukti. Nasya baru saja datang dengan buku tebal di tangannya, wanita itu berniat akan mengembalikan buku tersebut ke perpustakaan sekolah.Ujian pertama akan di mulai beberapa menit lagi, akan tetapi ia merasa heran ketika melihat tatapan sinis yang ditujukan padanya."Ada apa dengan mereka?" tanya Nasya tak mengerti, langkah kakinya terhenti ketika melihat sudah banyak orang yang berdiri di depan kelasnya. Dengan rasa percaya diri Nasya berjalan pelan melewati mereka akan tetapi tubuhnya malah terdorong keras ketembok membuat ia meringis kesakitan."Masih bisa bersikap normal, padahal dirinya sedang viral. Benar-benar perempuan tak tahu malu sekali," ujar seorang gadis yang tampaknya adalah ketua dari mereka."Apa maksudmu?" tanya Nasya tidak mengerti. Ia memegang tangan san
Nasya terbangun dari tidurnya, ia menggeliat dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, pikirannya langsung tertuju pada Galen. Setelah kejadian itu Nasya mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak berharap lagi pada Galen.Perutnya berbunyi meminta untuk di isi, bergegas saja Nasya berjalan keluar kamar. Dia memasuki ruang tengah yang langsung menuju dapur, matanya menatap kosong pada ruangan itu."Apa Galen tidak pulang?" tanya wanita tersebut di dalam hati, dengan cepat ia menggelengkan kepala mengusir pemikiran yang masih bersangkutan dengan Galen.Setelah selesai dengan sarapannya, Nasya memutuskan untuk segera pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, hitung-hitung menghemat biaya karena uang bulanan yang sempat di berikan oleh kedua orangtuanya hampir habis. Dia tidak mau meminta uang pada Galen Walaupun itu sudah tanggungjawab lelaki tersebut.Baginya akan lebih baik diberi oleh lelaki itu sendiri daripada haru
Nasya sudah siap dengan seragam sekolahnya, wanita itu tampak begitu segar walaupun raut wajahnya masih sedikit pucat. Setelah dua hari libur atas perintah Dokter dan paksaan dari orang tuanya, sekarang ia memaksakan diri untuk sekolah.Karena dia sudah ketinggalan ujian, jadi ia berniat untuk melakukan susulan. Dia menuruni tangga dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang duduk di atas sofa ruang tengah dengan pandangan yang tertuju pada dirinya.Pria itu langsung berdiri ketika Nasya meliriknya, dia berjalan mendekat dan menarik tangan istrinya, "Pakai ini. Aku tak ingin kau membuat masalah yang menjerumuskan diriku di sana."Ia memberikan sejumlah uang, setelah melakukan hal tersebut langsung saja Galen pergi meninggalkan Nasya yang mematung menatap kepergian suaminya."Apa diriku benar-benar menjadi beban bagi Galen?" lirih nya sendu. Tangannya terulur untuk mengunci pintu, dan berangkat menuju sekola
Perlahan mata Nasya terbuka dan menyipit ketika merasakan sinar matahari yang masuk melalui jendela. Wanita itu mencoba untuk duduk akan tetapi tidak bisa karena kakinya yang sakit, ia memandang sekitar dan menyadari bahwa dirinya sudah di rumah.Kakinya juga sudah di beri obat, bahkan bibir Nasya sudah diberi salep. Pintu kamar terbuka menampakkan sosok Galen yang datang sambil membawa bubur, dia mengernyit keningnya heran. Kenapa dirinya bisa tiba di rumah padahal kemarin Tari hampir saja membunuhnya."Makanlah ini dulu, kau pingsan dari kemarin. Dan belum makan apapun, pikirkan tentang anakmu juga," ucap Galen meletakkan gelas air di dekat ranjang, ia menyendokkan bubur ke mulut istirnya yang masih terkatup.Helaan napas kasar terdengar ketika Nasya tidak membuka mulutnya, "Nanti aku akan menceritakan semuanya, ayo makan."Setelah mendengar ucapan Galen, Nasya menganggukkan kepala paham. Ia membuka mulutnya dan m
Seminggu sudah Nasya berdiam diri di rumah, sesekali Keina dan Stelle mengunjungi dirinya sambil membawa beberapa makanan sehat untuk Ibu hamil. Bahkan tiada hentinya kedua wanita itu memanjakan Nasya yang membuat ia tak enak hati.Di sinilah mereka semua sekarang, menghadiri pengumuman kelulusan Nasya dan Galen. Kedua keluarga itu duduk saling berdampingan, terlihat jelas wajah penuh antusias yang diberikan oleh Keina dan Stelle.Kepala Sekolah berdiri di atas podium dengan wajah sumringah, lelaki paruh baya itu memberikan ucapan sambutan dengan jelas dan singkat, bahkan sesekali mencoba menghibur para undangan dengan ucapannya.Hingga tibalah di puncak acara yang begitu di nanti-nanti oleh para siswa, Nasya menjadi begitu gugup sekarang, dia meremas bajunya kemudian mengatupkan kedua tangan di depan dada. Ratu yang duduk di samping tubuh sahabatnya ikut berdebar, ia memegang tangan Nasya dan mengangguk."Ini