Tubuh Louisa lemas. Darah perlahan keluar dari punggungnya membasahi bajunya. Wanita itu sekarat dan Dominic masih setia memeluknya. Dia diam saja. Merasakan Louisa yang bergerak gelisah di pelukannya. Wanita itu juga mengerang kesakitan.
"Bagaimana rasanya?" tanya Dominic.
"Cukup sakit." Louisa menelan ludahnya. Napasnya sudah mulai berkurang.
"Apa dadamu terasa sesak?" Dominic menyeringai.
"Tentu saja. Rasanya tulang punggungku retak." Louisa mulai memejamkan matanya.
"Maafkan aku Dominic," ucap Louisa. Wanita itu langsung pingsan. Dia tertembak di bagian yang tidak akan membuatnya mati kalau segera di tangani oleh dokter. Tapi Dominic diam saja.
Sudah empat hari berlalu sejak Samuel ditangkap oleh Franco dan Dominic. Mereka mendapatkan makanan yang layak. Dominic masih setia frustrasi karena beberapa bisnis ilegalnya gagal. Franco semakin kesusahan menangani Dominic. Belum lagi dia juga harus memastikan keadaan Louisa.Dominic mengikuti Franco yang berjalan menuju kamar Louisa. Hari ini dokter memeriksanya lagi. Franco tahu Dominic sudah kesal pada Louisa. Pria itu sudah meneriaki Franco agar Louisa mati saja."Kenapa kau masih berjuang menyelamatkannya? Apa kau kurang pekerjaan?" tanya Dominic. Franco diam saja."Jawab aku! consigliere!" teriak Dominic pada Franco."Dominic! Aku tidak tahu ke mana akal sehatmu, kau terlalu banyak minum-minum." Franco tersenyum pada Dominic."Sepertinya di sini kau yang terlalu banyak minum! Aku sudah mengatakan biarkan saja wanita itu mati! Kau tidak mematuhi perkataanku consigliere!" tegas Dominic. Pria itu mencengkram lenga
Louisa menahan sakit di tangannya. Belum selesai luka di punggungnya tapi Dominic sudah menyiksanya lagi. Louisa benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ada dipikiran Dominic. Pria itu sakit jiwa!"Mafia sialan!" jerit Samuel. Louisa membungkus tangannya dengan bajunya."Berikan kuncinya padaku," pinta Samuel. Louisa menendang kunci sel tahanan itu pada Samuel.Dengan cepat Samuel mengambil kuncinya. Dia mencoba untuk memasukkan kunci itu pada gemboknya. Samuel sudah berusaha untuk memutar kuncinya tapi tidak bisa. Dia semakin geram."Apa kau tidak bisa membuka kuncinya?" tanya Bernard. Pria itu hanya diam saja karena takut pada Dominic."Tutup mulutmu, kalau aku tidak bisa lalu kau juga tidak akan bisa!" geram Samuel. Ia menarik rambutnya."Biar aku yang coba." Louisa menatapi tangannya yang memerah. Tapi dia harus kuat. Perlahan dia mencoba memutar kuncinya. Agak susah karena gemboknya berkarat.
Dominic menatap anak buahnya yang sedang menyeret tubuh Samuel dan Louisa. Wajah Samuel sudah hancur berdarah dan membiru. Begitu pula dengan Louisa, wanita itu juga tidak sadar karena nyeri punggungnya yang hebat. Mereka berdua sudah mendapatkan siksaan yang cukup berat. Tapi itu bukan salah Dominic. Siksaan itu sudah ketentuan dari dulu."Letakkan Samuel kembali ke penjara bawah, berikan perawatan pada Louisa," pinta Dominic."Bagaimana dengan Samuel?" Franco menatap Dominic. Pria itu tidak menjawab. Dia tidak peduli."Kau yakin? Dia bisa mati Dominic!" Franco mencoba untuk bernegosiasi."Sepertinya, kau sangat menyukai Louisa dan adiknya." Dominic menyeringai."Mereka bisa sangat menguntungkan Dominic! Berapa kali aku harus jelaskan padamu!" teriak Franco."Aku tidak bisa menoleransi Samuel dan Louisa lagi, tidak bisa!" teriak Dominic tidak kalah kerasnya.Raulo dan Maria yang melihat Louis
Franco membukakan pintu kamar yang paling mewah di kastil itu. Semuanya sudah diperbarui sesuai keinginan Stella. Tapi sayangnya wanita itu belum puas. Seprai berwarna pink bermotif bunga-bunga itu membuatnya marah."Apa ini Franco? Apa aku memesan seprai bunga-bunga?" tanya Stella."Nona, hanya ini yang paling baru dan bagus." Franco tersenyum."Baiklah, selama ini mahal tidak masalah." Stella masuk ke dalam kamarnya. Ia memicingkan matanya ketika dia melihat debu jendelanya."Franco! Apa pelayan di sini tidak bisa membersihkan kamar? Apa ini?" gerutu Stella. Wanita itu menunjuk pada jendela kamarnya."Akan aku bereskan besok, selamat malam." Franco menutup pintu kamar Stella dan b
Sudah seminggu sejak kedatangan Stella. Wanita itu, merengek untuk dinikahi oleh Dominic. Pria itu memang sudah melamar Stella sejak lama tapi Dominic belum yakin untuk menikahi Stella. Seperti biasanya, wanita pirang itu meratapi cincin yang tersemat di jarinya itu dan mulai menatap Dominic yang tidur di sampingnya. Pria itu tertidur sangat lelap. Stella hanya bisa menghela napasnya dan beranjak dari ranjangnya.Dominic sudah terbangun sejak awal. Tapi dia tidak bisa membuka matanya sebelum Stella keluar dari kamar mereka. Pria itu sudah bosan karena Stella akan terus menanyakan kapan Dominic akan menikahinya. Suara shower membuat Dominic yakin kalau wanita itu sedang mandi. Tidak lama kemudian Stella masuk kembali ke kamar."Aku tahu kau sudah bangun." Stella melepaskan handuk yang melilit tubuhnya lalu melempar handuk basah itu pada Dominic. Mau tidak mau Dominic harus bangun dan menatap Stella yang kesal padanya."Kau ingin sarapan apa?" ta
Sudah jam empat pagi dan Louisa belum bisa tidur. Pikirannya masih berputar pada Stella. Dia tidak melihat wanita itu makan tapi kenapa Samuel bisa mengatakan kalau dia keracunan. Wanita pemberani itu turun dari ranjangnya dan mengambil mantel tebalnya. Semakin pagi, udara di Kastil ini semakin dingin dan menusuk tulang. Tapi tidak mengurungkan niat Louisa untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Stella.Wanita itu menuju dapur. Semuanya bersih dan tertata rapi. Mata Louisa melihat setiap sudut ruangan tapi dia tidak menemukan apapun. Dia yakin Maria sudah membereskan dapur. Louisa bisa mendengar derap langkah kaki seseorang menuju dapur. Wanita itu berpura-pura mengambil minum."Louisa?" Maria berdiri di depan pintu dapur dan Louisa hanya bisa tersenyum sambil memegang gelas yang berisi air putih."Apa yang kau lakukan pagi buta di sini? Apa kau lapar?" tanya Maria."Maria, aku tidak bisa tidur. Kastil ini terlalu mengerikan.
Dominic menggendong Stella menuju rumah sakit. Wanita itu tidak sadarkan diri. Perawat yang melihat Dominic langsung memberikannya ranjang untuk meletakkan Stella dan langsung masuk ke ruang UGD. Tangan berotot Dominic merogoh saku celananya dan mendapatkan ponsel. Dia menghubungi Franco. Tidak lama kemudian dia datang."Apa yang terjadi?" tanya Franco."Aku tidak tahu, dia marah lalu ingin kembali ke New York. Mulutnya mengeluarkan busa dan ia tidak menutup matanya. Dia mengerikan Franco." Dominic mengusap wajahnya."Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu, singkirkan Stella. Kau sudah tidak membutuhkan dia lagi. Stella sudah tidak ada gunanya lagi untukmu." Franco menepuk bahu Dominic."Aku juga berusaha untuk menyingkirkannya Franco. Sedang aku lakukan." Dominic menggigit bibir bawahnya."Kau ingin menyingkirkannya? Apa yang kau lakukan?" tanya Franco."Aku berusaha membuatnya tidak nyaman bersamaku da
Mobil hitam Dominic berhenti tepat di depan kastil. Pria itu membawa obat-obatan. Dia harus cepat agar tidak ada seorangpun yang tahu. Pria kekar itu menuju lorong rahasia. Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya kemudian dia dengan leluasa masuk ke lorong dan menyusuri jalan-jalan gelap. Dominic menunggu Daphne.Yah, Daphne. Pria itu membawa obat untuk Daphne. Kenapa? Karena Daphne mempunyai kepribadian ganda. Di satu sisi dia wanita yang pintar dan berani. Disisi lain, dia bisa menjadi sosok yang kejam. Dominic sudah tahu Daphne membunuh banyak wanita tahanan kastil. Tapi mau bagaimana lagi, itu adalah gangguan dari dalam diri Daphne sendiri.Dominic tidak melihat tanda-tanda adanya Daphne. Tapi dia mendengar keributan. Pria itu mendengar barang-barang pecah dan suara-suara teriakan. Ia langsung mengikuti sumber suara itu. Lorong. Yah! Sumber suaranya ada di lorong. Dominic berlari mencari tahu apa yang