BAGIAN 5
“Aku durhaka? Aku?” Aku makin meringsek maju. Kedua tinjuku bahkan terkepal sempurna. Terus aku maju sampai-sampai tubuh adikku ikut termudur dan bersandar mentok ke dinding. Wajahnya tentu saja terlihat sangat ketakutan.
“Kamu yang durhaka! Kamu manusia tidak tahu diri! Hidup pengeretan! Makan masih minta. Uang kuliah dari hasil keringatku saja, kelakuanmu sudah sok-sokan seperti aku yang mengemis hidup!” Kucengkeram dengan keras bahu Iren. Membuat tubuhnya luar biasa gemetar.
Seketika, timbul sebuah ide gilaku. Beginilah seekor macan. Jangan coba-coba ganggu dia saat tengah tertidur pulas, jika masih menginginkan nyawa. Namun, jika memang ingin mengadu nyali, akan kulayani juga.
Kulepaskan tubuh Iren saat itu juga. Berbalik arah diriku, melangkah ke kamar milik Iren yang berada di sebelah kamar Mama. Sangat kebetulan, tidak dikunci. Membuatku bisa leluasa masuk ke sini.
Mataku langsung tertuju pada lemari pakaian. Segera kubuka lemari tiga pintu berbahan PVC yang juga dibeli dari hasil keringatku tersebut. Tak kutemukan sesuatu yang kucari di dalam sana. Hanya ada baju-baju yang melimpah ruah, bahkan jumlahnya lebih banyak dari pakaian yang kupunya.
“Apa yang kamu cari, Mbak? Keluar dari kamarku!” Iren tiba-tiba masuk dan menarik tanganku agar keluar dari kamar tidurnya yang dicat warna merah muda tersebut. Namun, dengan kasar tubuh kurusnya yang hanya 41 kilogram tersebut kudorong sampai terpental ke lantai.
“Di mana ijazahmu? Cepat, katakan di mana!” Aku berteriak nyaring. Iren malah menanggapinya dengan teriakan keras, memanggil-manggi nama Mama. Tentu aku tak menyerah. Segera aku beralih ke meja belajar yang berada di sisi kanan ranjang miliknya. Di bawah meja kayu bercat cokelat muda itu, kutemukan sebuah kotak besar penyimpanan plastik berwarna serba hitam. Pasti di sini!
Saat kubuka, benar saja. Dalam satu folder map berwarna kuning, lengkap sekali dokumen pentig milik Iren. Dari ijazah SD sampai diploma tiganya ada di sana.
“Berikan padaku! Jangan ambil itu!” Iren datang lagi sambil menangis sambil berusaha meraih map folder yang kupegang dengan tangan kanan. Kuacungkan sejauh mungkin agar perempuan itu tak sanggup menggapainya. Sementara itu, tangan kiriku mendorong dadanya agar dia jatuh tersungkur lagi.
“Sisi! Kamu kenapa sebenarnya? Setan mana yang sudah membuatmu berubah seperti ini, Si?” Mama pun tiba-tiba ikut masuk dan berteriak sekencang-kencangnya. Perempuan tua itu tergopoh-gopoh mendatangi kami berdua, kemudian menarik anak bungsunya dan mendekap erat-erat gadis berambut tebal lurus sebahu tersebut.
“Mama, tolong ambilkan ijazahku! Mbak Sisi ingin merebutnya!” Sambil didekap erat sang Mama, Iren merengek-rengek minta diambilkan map foldernya dariku. Aku yang cepat sekali menghindar dan melompat ke ranjangnya, kemudian turun lagi, lekas menjauhkan diri dan hendak keluar dari kamar meninggalkan mereka berdua.
“Ijazah ini milikku! Aku yang membayarnya dengan tetes keringatku!” Sambil berdiri di ambang pintu, aku mengacungkan map folder warna kuning yang cukup tebal itu ke udara. Tersenyum diriku ke arah Iren dengan penuh perasaan menang. Sudah cukup kalian injak aku. Silakan sekarang bergantung kepada Andika! Siapa tahu lelaki tak tahu malu itu bisa membahagiakan kedua perempuan kejam di depan sana.
“Sisi, kamu sangat jahat! Mama tidak akan ridho sampai kapan pun dengan kelakuanmu hari ini!” Mama berteriak pilu. Meneteskan air mata dengan wajah yang penuh amarah. Aku memang merasa tak tega, tapi kegeramanku terhadap Iren sudah cukup memuncak dan memang sudah saatnya untuk diledakkan.
“Aku juga tidak ridho diperlakukan seperti ini oleh Iren dan Mama! Sampai kapan pun, aku tak akan ikhlas jika ternyata kalian berdua hanya menjadikanku sebagai sapi perah untuk memenuhi hasrat duniawi!”
Aku pun langsung beralir ke seberang kamar Iren. Masuk ke kamarku sendiri, kemudian mengunci pintunya dengan rapat-rapat. Secepat kilat aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas travel besar warna hitam yang biasa kupakai untuk pergi-pergi ke luar kota.
Stelan kerja, baju tidur, pakaian santai serta pakaian dalam, make up, dan tak lupa dokumen-dokumen berharga milikku langsung masuk ke dalam tas tersebut. Tak perlu ada yang kusesali. Aku akan pergi sejauh mungkin. Uang tujuh juta sangat besar bagiku bila dipakai sendirian. Aku bisa menyewa kamar kost, membeli makananku sendiri, bahkan mulai menabung sekadar untuk investasi masa depan.
Saat aku sudah siap dengan segala bawaanku, pas di depan ambang pintu kamar, Mama tiba-tiba keluar dari kamar Iren. Tahukah kalian apa yang beliau lakukan? Bersimpuh di bawah kakiku. Ya, Mama menangis tersedu-sedu sembari memohon dengan suara yang sangat pilu.
“Sisi, Mama mohon dengan sangat, Nak. Jangan pergi. Jangan tinggalkan kami berdua, apalagi sampai kamu membawa ijazah Iren segala.” Mama memeluk erat lututku. Menahan kedua kaki ini agar tak pergi meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan manis serta pahit.
Aku terdiam. Tetap menjinjing tas besarku dengan tangan kiri yang lama kelamaan terasa begitu pegal tersebut. Hatiku sebenarnya rapuh sekaligus lapuk. Sekali hentak saja, maka akan patah berkeping-keping. Dulu sekali, saat semua orang di rumah ini masih bersikap dengan wajar, aku tak bakal mempermasalahkan bila mereka terus menggerogotiku. Uang sebanyak apa pun tetap kukeluarkan, asal jangan sampai bersikap keterlaluan. Namun, hari ini benar-benar telah membuka mata hatiku. Ternyata, adik yang kuperjuangkan, hanya peduli dengan kekasih yang sungguh membuatku merasa jijik. Iren, taruhan, aku yakin bahwa Andika yang kau agung-agungkan itu persis seperti dugaanku.
“Tidak seperti ini cara menyelesaikan masalah, Si. Yang Mama tahu, Sisi adalah anak yang baik. Anak yang memiliki hati putih. Tidak pernah Sisi sekasar ini kepada Mama, apalagi Iren. Mengapa dalam waktu sekejap kamu bisa berubah sedrastis ini, Nak? Katakan kepada Mama, biar kita sama-sama perbaiki.” Mama mulai berdiri dari bersimpuhnya. Memeluk tubuhku dengan sangat erat. Menumpahkan air matanya di dadaku. Wanita yang memiliki tinggi tubuh hanya 149 sentimeter tersebut, terlihat begitu pantang menyerah dalam membujukku. Dia tahu kelemahanku. Tak cukup tegaan, apalagi bila melihat sosoknya menangis begini.
“Kekurangajaran Iren hari ini sudah cukup menjadi bukti bahwa dia sama sekali tak menghormatiku sebagai kakak, Ma. Sikap Mama yang terlalu membela Iren juga membuatku sangat sakit hati. Katakan sekarang, Ma. Apa keberadaanku sebenarnya hanya sebagai mesin pencari materi untuk kalian berdua?” Aku menjatuhkan tasku. Menatap Mama dengan penuh sungguh-sungguh. Kucari-cari dalam bola mata tuanya. Sama sekali tak kutemukan ketulusan di dalam sana. Aku tidak cukup bodoh untuk membaca perasaan seseorang, apalagi ibuku sendiri yang sejak kecil aku diasuh olehnya. Ya, memang dari dulu selalu saja Iren yang disebut oleh Mama. Iren yang paling cantik, Iren yang paling manis, Iren yang paling cepat berjalan dan berbicara sewaktu kecil. Senakal apa pun Iren, tetap saja Sisi yang harus mengalah dan memaklumi.
Pernah suatu hari, saat aku kelas X SMA dan ingin berkemah di sekolah pada kegiatan Pramuka, Mama tak mengizinkan hanya karena Iren waktu itu tidak mau ditinggal tanpa teman. Padahal aku sangat ingin bergabung dengan teman-teman pada hari Sabtu dan Minggu. Iren yang waktu itu masih kelas dua SD mengatakan dia akan sangat kesepian jika tak ada aku di rumah. Tahukah apa yang kulakukan? Tentu saja mengalah. Rela mendekam di rumah untuk menemani Iren yang nyatanya minta dikerjakan tugas-tugas sekolahnya olehku. Marahkah aku pada adik kecilku yang pada hari Minggu waktu itu malah menuduhku menjatuhkan semangkuk bubur yang baru dibeli Papa, padahal dialah yang melakukannya? Tidak sama sekali. Malah aku yang rela dimarahi oleh Papa sebab tak berhati-hati dan tak masalah saat uang jajanku dipotong pada hari Seninnya. Apakah Iren sudah melupakan rentetan kebaikan-kebaikanku sejak kami kecil dahulu? Sepertinya iya. Dan sepertinya juga, bagi Mama, sejak kami kecil akulah yang harus terus mengalah serta mempertaruhkan nyawa bagi anaknya yang paling cantik tersebut.
“Baiklah. Mama minta maaf atas segala kesalahan Iren, Si. Namun, tolong kamu jangan pergi, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Adikmu belum punya pekerjaan. Kepada siapa lagi Mama akan bergantung, selain padamu?”
“Artinya benar, bukan? Keberadaanku hanya sebatas mesin pencari uang di rumah ini.” Aku tersenyum perih. Kuraih kembali tas travel milikku, kemudian berlalu dari tubuh tua Mama yang seharusnya masih segar di usia yang belum 60 tahun tersebut.
“Sisi!” Mama berteriak histeris. Menangis lagi. Saat kutoleh ke belakang, beliau ternyata terduduk di lantai dan tak terlihat tanda-tanda bahwa Iren bakal keluar dari kamar dan menenangkan mama yang selalu membelanya mati-matian tersebut.
Mulai hari ini, akan kulanjutkan kehidupan tanpa berpikir untuk kembali lagi ke rumah peninggalan Papa. Biarlah kubawa pergi rasa kecewa sekaligus luka dalam dada.
Selamat menempuh hidup baru untuk adikku Iren. Semoga pertunangan dan pernikahanmu dengan Andika berjalan dengan lancar. Silakan kau rawat Mama yang selalu ada untukmu di saat kau butuhkan itu. Dialah Mama yang selalu menyebut namamu di setiap detik hidupnya. Sedang namaku, hanya beliau sebut saat periuk nasinya kosong dan butuh diisi baru.
BAGIAN 6 Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa. Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pij
Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m
BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu
BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s
BAGIAN 10 “Baru kutinggalkan beberapa jam, kamu sudah tidak sabaran ya, untuk mencariku? Kenapa, Iren sayang? Kurang uang untuk jajan?” Aku tersenyum sinis. Merasa geram luar biasa dan bila saja ada Iren di depan sini, sudah pasti bakal kutampar lagi seperti tadi di rumah. “Dasar perempuan gila! Kamu itu sudah tidak waras karena lambat menikah! Awas kamu, Mbak. Aku tetap akan mencari ke mana pun kamu berada dan akan kubuat kamu menyesal sebab telah memperlakukanku dengan kasar hari ini!” Iren terus memekik dengan membabi buta. Membuatku agak tersulut dan rasanya ingin membanting ponsel ini. Kutarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, sayang. Emosiku rasanya tetap saja meluap-luap. “Ja
BAGIAN 11PoV Iren “Mama! Pergi ke mana Mbak Sisi? Kenapa Mama nggak cegah dia atau rebut ijazah Iren?” Sambil menahan letupan kemarahan, aku mencengkeram pundak Mama. Penuh geram. Wanita tua lemah itu malah terduduk sambil menangis tak jelas di lantai. Bukannya mencegah kakakku yang sint*ng itu, Mama malah melakukan hal yang tak penting di sini. Mama tak menjawab. Dia hanya semakin tersedu-sedu. Aku yang juga habis menangis langsung menghapus air mata dan menatap ke arah pintu. Terbuka lebar. Mbak Sisi pasti kabur melarikan diri. Berlari aku ke depan sana. Mengecek siapa tahu belum jauh perginya dia. Sampai ke depan jalan perumahan, memang tak ada lagi Mbak Sisi di ujung jalan. Aku mengutuki diri sendiri. Meng
BAGIAN 12 Usai makan siang yang kesorean, aku diantar pulang ke kostan oleh Lintang. Aku awalnya menolak. Inginku dia saja yang kuantar ke minimarket, biar aku meneruskan perjalanan yang hanya 150 meter dengan mengendarai motor sendiri. Namun, Lintang menolak mentah-mentah. “Aku bisa jalan kaki dari kost ke minimarket. Nggak usah kamu pikirin.” “Lho, ngapain jalan kaki, Tang? Kan, bisa kudrop di minimarket.” “Udah, nurut aja denganku.” Begitulah percakapan kami saat di parkiran resto. Ya, sebenarnya aku jelas tidak enak hati
Bagian 13 “Pak, jadi begini,” kataku sembari menarik napas dalam-dalam. Tentu saja sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung plus nervous yang tiba-tiba menggedor-gedor jantung ini. “Aku … harus kembali ke rumah orangtuaku. Bisakah Bapak menemaniku sekarang?” Kutatap mata Pak Candra dengan agak sungkan. Sesungguhnya ini hanya modus untuk mengalihkan pertanyaannya yang sungguh tak terduga barusan. “Ada apa memangnya, Si? Eh, sebentar. Aku bahkan belum tahu cerita lengkap mengapa kamu kabur dari rumah segala.” Syukurlah, Pak Candra terpancing untuk terus menanyakan tentang masalahku. Aku lebih suka kami membahas ini, ketimbang hal-hal seperti tadi. Jujur, aku kaget luar biasa. Bahkan