Senja mulai muncul, sudah menjadi rutinitas Fatma di jam seperti ini ia keluar membeli makanan di warung makan atau restoran terdekat.
Lelah memang. Namun, ia tak mengeluh dijalaninya rutinitas baru itu dengan penuh kesabaran. Uangnya telah menipis terbesit rasa bingung di hati, bagaimana makan untuk esok hari?
Akan tetapi keyakinan terhadap Tuhannya begitu kuat, ia yakin Allah Maha Kaya, Maha Pemberi Rizki, takkan mungkin membiarkan hambanya kelaparan, terlebih seorang hamba itu beriman padanya.
Dipandangi dompet berwarna soft pink berukuran kurang lebih satu jengkal itu, tinggal satu lembar warna biru, ia menghela napas lalu melangitkan doa dalam hatinya agar Allah senantiasa memberi kecukupan pada dirinya dan kedua anaknya.
Ingin meminta pada Ahza ia segan, terlebih mengetahui jika keadaannya pun sedang tak memungkinkan, usahanya berada diambang kebangkrutan.
"Kak Fatma." Suara seorang lelaki membuyarkan lamunan, ia menengok ke asal suara, Fatan, sedang apa dia di rumah makan sederhana ini?
"Fatan? kamu lagi ngapain di sini?" Fatma menepi dari kerumunan orang-orang yang tengah mengantri makanan lalu duduk di bangku kayu bersamaan.
"Tadi aku lewat aja, lagi nyari takjil buat buka, eh lihat Kak Fatma di sini."
Ia sangat faham gestur tubuh Fatma walau kakak sepupunya itu bercadar.
"Ohh, apa kabar? Sudah jenguk Ibu?" tanya Fatma, ibu yang dimaksud ialah ibunya Fatma, Fatan menyebutnya ibu karena sejak kecil wanita itulah yang merawat dan membesarkan Fatan hingga sukses seperti sekarang.
"Sudah kok, Kak, alhamdulillah."
"Alhamdulillah, gimana keadaan beliau?"
"Dia sehat kok, oh ya aku ikut prihatin ya atas kejadian yang menimpa Kakak, aku ga nyangka Kak Ahza akan berbuat seperti itu, sudah berpoligami eh sekarang tiba-tiba dicerai, kalau di fikir wanita di luar sana mana ada yang mau dimadu terlebih tinggal satu atap."
Fatma tersenyum dibalik cadarnya hingga matanya nampak menyipit.
"Qodarullah Fatan, ini sudah kehendak Allah yakin saja ini yang terbaik untuk kita." Jawaban Fatma sukses membuat Fatan melongo seketika.
Bagaimana bisa seorang wanita yang rapuh hatinya bisa selegowo itu, bahkan dirinya yang notebene laki-laki saja seperti takkan sanggup bertahan jika berada di posisi Fatma.
"Oh gitu ya, Kakak kok sabar banget sih, sudahlah tinggalkan rumah itu sekarang, daripada makan hati."
"Awalnya aku juga pengen kaya gitu langsung pulang, tapi setelah dipikir-pikir Mas Ahza memang betul, tak sebaiknya perempuan yang menjalani masa Iddah pulang ke rumah orang tuanya sebelum masa itu selesai," Jawab Fatma seraya membetulkan posisi cadarnya.
Fatan nampak diam dan membisu antara kasihan dan juga kagum pada sosok kakak sepupunya.
"Ya sudah terserah Kakak saja, kalau bisa bersabar jalani aja."
"Oh ya emang Kakak ga masak kok beli makanan di sini?"
Fatma menundukkan wajah lalu mendongkak untuk menahan cairan yang hendak menerjang keluar, setegar apapun ia tetap saja air mata akan menetes di pelupuk matanya.
Terlebih pertanyaan Fatan barusan kembali mengingatkan ia ke masa-masa di mana dirinya masih menjadi istri seorang Ahza.
Ia memasak setiap hari untuk suami juga madunya, sering sekali Fatma tak kebagian makanan itu karena sudah lebih dulu dihabiskan oleh mereka.
ART ada pada waktu itu. Namun, tugasnya hanya sekedar bebersih rumah, ia tak mau tugas memasak diambil alih oleh orang lain, dan setelah penghasilan Ahza menurun drastis, pembantu itu tak lagi dipekerjakan, semua tugas dialihkan pada Fatma hingga kini.
"Untuk apa aku masak, Fatan, aku sudah bukan babu mereka lagi."
Fatan menghela napas lalu menatap kakak sepupunya dengan iba.
"Sabar ya, Kak, aku selalu berdoa agar Kakak bahagia setelah ini."
"Insya Allah, aku selalu sabar," jawab Fatma seraya menyeka tetesan bening dengan ujung jari telunjuknya.
Fatan merogoh dompet dari saku celana, lalu mengambil satu buah kartu ATM.
"Ini buat Kakak, jangan ditolak atau aku akan marah." Ia menyodorkan kartu itu ke hadapan Fatma.
Wanita itu terdiam bimbang antara butuh juga segan, karena ia takut ini akan membebankan sang keponakan.
Sedangkan Fatan sangat berharap jika Fatma akan menerimanya, ia memahami betul jika kakak sepupunya sangat membutuhkan uang untuk bekal hidupnya ke depan.
"Ayo terima, Kak, jangan kecewakan aku."
"Tapi ... apa kamu ga merasa kerepotan?"
"Ya engga lah, Kak, malah seneng bisa bantu, sudah ambil saja pakai uang ini sepuasnya, belikan dua keponokannku baju-baju dan mainan ya."
Fatma terdiam beberapa saat, lalu tangannya mulai meraih benda itu.
"Iya aku terima insya Allah uang ini akan digunakan seperlunya, terima kasih ya semoga Allah melipat gandakan pahala juga rezekimu."
Ia mengucap hamdallah juga merasa bersyukur, pasalnya baru saja melangitkan doa agar dicukupkan rezeki, ternyata Allah segera kirimkan rezeki itu lewat uluran tangan keponakannya.
Begitulah, tak seharusnya kita sebagai manusia merasa takut kekurangan rezeki atas hari esok, setiap hamba sudah Allah jamin rezekinya, dan seorang manusia itu takkan menemui ajal sebelum ia menghabiskan jatah rezekinya.
"Sama-sama, Kak, oh ya Kakak pesen aja makanan yang banyak biar aku yang bayarkan, aku mau traktir Uwais dan Fatimah, sudah lama ga ngasih jajan sama mereka."
"Apa ga ngerepotin kamu, Tan? Kakak masih ada kok uang cash."
"Ya engga lah, aku tuh mau teraktir Uwais dan Fatimah, masa ga boleh, sudah ya aku mau pesankan makanan terenak buat mereka, jangan bantah!" Tegas Fatan lalu ia bangkit menemui pemilik warung dan memesan makanan paling enak di warung tersebut.
Akhirnya sore ini Fatma dapat pulang dengan perasaan lega, dengan makanan yang begitu banyak juga lezat, terbayang bagaimana reaksi Uwais saat menyantap makanan itu dengan lahapnya
Sampai di rumah Fatma disambut oleh madunya, lebih tepatnya mantan madu, wanita itu menatap Fatma dengan gurat wajah gelisah.
"Mbak, Mas Ahza ...."
Wirda mencegah langkah Fatma, mereka saling berpandangan sedangkan Fatma masih diam membisu, mulutnya seakan malas untuk sekedar bertegur sapa.
Tak dihiraukan lekas Fatma menghindar dan melanjutkan langkahnya.
"Tunggu, Mbak, Mas Ahza muntah-muntah dan mencret kepalanya juga pusing katanya, penyakit lambungnya pasti kambuh lagi."
Mendengar itu langkah kaki Fatma terhenti lalu menoleh kembali ke belakang.
"Terus?"
"Mas Ahza ga mau minum obat ataupun pergi ke dokter, dia maunya ... minum ramuan yang biasa Mbak bikin," ucap Wirda dengan malu-malu.
Tak ada pilihan selain mengemis pada mantan kakak madunya, walau ia tahu perbuatan itu akan merendahkan dirinya sendiri.
"Kamu istri kesayangannya 'kan? buat aja sendiri."
"Tapi, Mbak, a-aku ga bisa buat, tolong Mas Ahza Mbak kali ini saja buatkan ramuan itu kasihan dia muntah terus, BAB juga ga berhenti."
Bimbang, itu yang dirasa Fatma, jauh dalam lubuk hati ia merasa kasihan. Namun, perlakuan Ahza membuat dirinya berpikir ulang untuk menolong.
"Mbak, please tolong Mas Ahza." Wirda mengiba dengan cara menangkupkan kedua telapak tangannya.Fatma masih tak bergeming ia malah melengos dari hadapannya. Namun, Wirda tak putus asa ia membuntuti Fatma hingga ke depan pintu kamar."Tunggu di sini!" tegas Fatma lalu menutup pintu itu sedikit keras.Ada kesal yang menyeruak dalam dadanya. Disaat sakit mereka mencari, lalu dimana mereka ketika saat itu sedang bersenang-senang? ternyata kedua orang itu hanya ingin berbagi duka, gumamnya, lalu Fatma tersenyum getir.Di dalam kamar ia lekas mencari selembar kertas dan pulpen lalu tangannya mulai menulis resep."Ini resep ramuan obat sakit lambungnya suamimu, buat saja sendiri aku malas."Fatma segera menutup pintu rapat-rapat, tanpa memberi kesempatan pada mantan adik madunya untuk bertanya, ia sudah malas jangankan untuk bicara, untuk bertatap muka saja ia risih.*Sementara di luar sana Wirda mencebik lalu mendengkus kesal.Bagaimana ia bisa membuat ramuan yang terbuat dari rempah-rempa
Tak dihiraukan bau tubuh Ahza yang menyengat, lantas Wirda mendekap tubuh suaminya seraya terisak."Mas, kita ke rumah sakit ya," ucapnya di telinga Ahza.Lelaki yang sudah tak berdaya itu hanya mengangguk lemah, lalu Wirda beringsut bangkit."Sebentar ya, Mas."Ia melangkah untuk menemui Fatma di kamarnya.Dua kali pintu diketuk akhirnya muncullah sosok Fatma yang mengenakan mukena, kedua wanita itu saling memandang."Mbak, Mas Ahza makin parah BAB dan muntah terus, bantu aku ya kita bawa dia ke rumah sakit," pinta Wirda memelas, rasa gengsi dan malu sudah terkubur berganti dengan rasa cemas."Sudah dikasih belum ramuannya?"Wirda menggeleng pelan."Kenapa ga dibuatin? takut tanganmu jadi kotor?" Fatma mendecap."A-aku ga tahu, Mbak bahan-bahannya kaya gimana, aku mohon bantu Mas Ahza sekarang ia akan di bawa ke rumah sakit aku sudah pesen taxi online," mohon Wirda memelas.Namun, dalam hatinya ia muak melakukan hal itu."Kalau sudah pesen taxi online ya sudah pergi saja, dia itu sua
Fatma merasa geram mendengar permohonan mantan madunya."Aku ga bisa bantu, maaf!" tegasnya yang membuat Wirda semakin dilanda rasa bimbang.Bagaimana tak panik seorang perawat menyuruhnya untuk membayar biaya administrasi secepatnya, karena Ahza harus segera di pindahkan ke ruang rawat inap dengan segera.Sementara dirinya tak membawa uang lebih, bisa saja menjual kalung atau perhiasan lainnya. Namun, ia enggan lakukan itu, sayang jika perhiasan itu harus terjual."Mbak ini kenapa sih sekarang berubah? inget! Mas Ahza itu masih ada hak terhadap Mbak, kalian masih masa Iddah belum bercerai resmi, Mbak mau berdosa karena ga mau ngurus suami sendiri?!"Wirda pun mulai meluapkan emosi, lebih tepatnya ia tak ingin menghadapi kesulitan ini seorang diri, Fatma juga harus ikut andil dalam mengurus Ahza. Fikiranya.Fatma terkekeh, ia faham betul apa yang di maksud Wirda, sebenarnya ia tak ingin melalui kesulitan ini seorang diri.Curang!Licik!Disaat sulit mereka mencari sedangkan disaat sen
"Gimana, Ahza? apapun akan Mbak lakukan agar kamu dan Fatma bisa bersama lagi, Mbak yakin dia itu jodoh terbaik yang akan menemani masa tuamu kelak."Ahza dan Wirda terdiam, jika Wirda sedang dalam puncak emosi berbeda dengan Ahza, pria itu nampak menghela napas lalu menatap sang kakak dan menunduk lagi.Pilihan konyol!Untuk kedua kalinya ia terjebak dalam pilihan itu, tak dapat dipungkiri Ahza pun teramat menyayangi Wirda. Namun, ternyata berpisah dengan Fatma adalah sebuah musibah besar.Jika bisa ia ingin bersama dengan keduanya, tanpa harus ada yang ditinggalkan.Wirda menepuk pelan paha suaminya, sebagai tanda jika ia tak nyaman dengan hadirnya Mbak Hafsa, penghalang kebahagiaannya selain Fatma."Ahza, Mbak rela, ridho kalau semua warisan dari ayah di berikan ke kamu, asal kamu dan Fatma kembali, dan duri yang menempel diantara kalian harus enyah dan lenyap."Degh!Ada sesuatu yang menghantam dada Wirda, benarkah dirinya duri di kehidupan Ahza?Keterlaluan kamu, Mbak!.Aku bukan
Dada Wirda naik turun. Namun, ada sedikit kepuasan karena ia bisa memecahkan unek-uneknya, biarlah ia dan kakak iparnya akan menjadi musuh, yang penting Ahza tak lagi berpaling pada masa lalunya.Ia cinta dan sayang Ahza!"Diam kamu! Ahza itu adikku, kita lahir dari rahim yang sama juga diasuh oleh orang yang sama, aku ga akan biarkan dia berada di jalan yang salah," Balas Mbak Hafsa tak kalah sengit.Ruangan rawat inap itu sudah berubah menjadi Medan pertempuran. Wirda mendengkus dan mencebik. Merasa tak menerima dengan penuturan kakak iparnya apakah hanya Fatma wanita shaliha di dunia ini? aku juga mampu, bahkan sanggup menjadi pribadi yang lebih baik dari mantan kakak madunya itu, batinnya."Sudah-sudah, ini rumah sakit ga baik bertengkar di sini, oh ya, Mbak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjengukku.""Aku katakan sebaiknya Mbak ga usah ikut campur tentang masalah rumah tanggaku ya, biarkan aku jalani semua ini sendiri, Fatma sudah sangat membenciku jadi kami tak mungkin
Suasana di sekitar menjadi riuh, orang-orang berbondong-bondong melerai pertikaian dua wanita beda generasi tersebut."Lepaskan! Wanita ini akan kuhajar!" Wirda berusaha berontak dari cekalan beberapa pria yang berusaha melerainya.Sedangkan Mbak Hafsa, ia tertatih untuk bangun, beberapa ibu-ibu berusaha membantunya berdiri."Lihat saja, aku akan laporkan kamu ke polisi, kamu akan mendekam di penjara, sementara itu Ahza dan Fatma akan rujuk kembali."Mbak Hafsa menyeringai puas, tindakan yang Wirda lakukan bisa menjadi senjata untuk menyerang balik dirinya."Mbak, aku minta vidionya, barusan Mbak rekam 'kan?" Walau dalam keadaan diserang. Namun, ia sangat hafal jika wanita yang tak dikenalinya itu merekam kejadian barusan."Iya, Mbak boleh." Mbak Hafsa tersenyum puas."Bapak-Bapak, bisa bantu saya untuk menjauhkan orang ini?""Baik, Mbak," ucap seorang pria yang sedang memegangi tangan Wirda, lantas mereka menyeret Wirda menjauh.Sekarang Vidio beberapa detik itu sudah terkirim, Vidi
Satu Minggu sudah Ahza berada di rumah sakit, kini waktunya ia pulang ke rumah, tak ada Wirda ataupun Fatma di sampingnya.Hanya Mbak Hafsa yang setia menemani dan membantunya selama di rumah sakit."Ayo Ahza kita pulang sekarang barang-barangmu sudah siap."Mereka berdua beranjak, di luar sana sebuah taxi yang dipesan melalui aplikasi sudah terparkir menunggunya."Uwais pasti seneng lihat kamu pulang," ucap Mbak Hafsa.Wanita itu terus berbicara walau Ahza tak menanggapi, sengaja Ahza mendiamkan kakaknya sebagai hukuman karena Mbak Hafsa tak juga mencabut tuntutannya terhadap Wirda.Ahza sudah kehilangan Fatma, dan sekarang dia juga tak ingin kehilangan Wirda, ia tak sanggup jika hari-harinya akan dijalani dengan sunyi tanpa hadirnya seorang istri."Ahza, kita mau beli apa buat oleh-oleh kedua anakmu?"Kesekian kalinya Ahza diam, pandangannya sibuk melihat mobil-mobil dan pepohonan di luar sana, ia tak ingin berbicara sebelum sang kakak mencabut tuntutannya pada Wirda."Ahza! Sampai
Suara Uwais dan Fatimah yang sedang bermain di ruang keluarga, Ahza melangkah mendekati kedua anaknya, dengan harap mereka akan menyambut kedatangannya seperti yang biasa mereka lakukan.Namun, prasangka itu salah, baik Uwais ataupun Fatimah keduanya tak ada yang berhambur memeluk dan menyambutnya seperti hari-hari yang lalu.Perih, bagai tersayat hati Ahza mendapati kedua anaknya begitu acuh, seolah dia orang lain."Uwais, mainnya sudah ya, Nak, sekarang mandi sebentar lagi 'kan mau belajar bahasa arab sama Pak ustaz."Terdengar suara Fatma yang mulai mendekat, Uwais lari menuju kamar menghampiri ibunya, tak lama sosok Fatma muncul tanpa mengenakan hijab.Wanita itu terperanjat hingga kalimat istighfar keluar dari mulutnya, ia cepat-cepat menggendong Fatimah dan berlari menuju kamar karena menyadari jika auratnya terlihat oleh Ahza yang kini bukan lagi mahromnya.Ahza melangkah lalu duduk di sofa, merenungi diri Yang diselimuti rasa sepi, ia berada di rumahnya sendiri. Namun, semua p