Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.
Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang Alena gunakan. Karena biasanya, setelah keramas ia akan membiarkan rambut basah itu mengering dengan sendirinya.
Dalam hati kecil gadis itu, timbul sedikit kekhawatiran akan kejadian tadi siang di sekolah. Kini penduduk SMA Sevit sudah tahu latar belakangnya, ia yakin hal ini akan menimbulkan keributan yang sama sekali tidak Alena harapkan. Sejak awal dia benci menjadi pusat perhatian namun sikap pendiam dan cueknga yang berlebihan justru menarik perhatian banyak orang. Terlebih setelah gelar "Super Trouble Maker" dikukuhkan padanya sejak dua tahun lalu, orang-orang jadi begitu penasaran pada kehidupan pribadi Alena dan banyak yang penasaran tentang seperti apa kesehariannya sang pembuat onar.
Alena berbaring menyamping, mengingat dengan baik bagaimana tingkah arogan kakaknya ketika ia mengunjungi sekolah tadi. Seingat Alena, itu adalah kunjungan pertama Allendra ke SMA Sevit. Selama ini, segala sesuatu tentang pendidikan Alena selalu ditanggung dan ditangani oleh orang suruhan Allendra. Baik itu rapat, pembayaran, maupun hal-hal lain tidak pernah menjadi urusan Allendra.
Ketika Alena berbaring menyamping menghadap ke arah pintu bercat putih, pintu itu tiba-tiba terbuka. Sepatu kulit warna hitam menghentak ubin, membawa langkah seseorang memasuki area kamar Alena lebih dalam. Gadis itu menaikkan pandangannya dan mendapati sang kakak ada di sana. Ya, Allendra akhirnya kembali memasuki kamar itu setelah sekian lama. Kalau tidak salah kunjungan terakhir Allendra ke kamar gadis itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Itu pun tidak lama, dan Allendra hanya memperingatkan adiknya untuk datang ke acara ulang tahun perusahaan keluarga mereka.
Kala itu, Allendra sudah menyuruh orang suruhannya untuk memanggil Alena namun tak kunjung digubris. Dihubungi belasan kali, tetap diabaikan, malah yang terakhir panggilan Allendra ditolak dan setelah itu ponsel Alena tidak aktif. Karena alasan mendesak itu, mau tidak mau Allendra mendatangi kamar adiknya langsung. Mereka terlibat perang dingin dulu namun pada akhirnya Allendra yang memenangkan perdebatan dan berakhir dengan Alena yang setuju untuk ikut ke acara perusahaan itu.
"Jika ingin berlaga sok jagoan, bertindaklah demikian. Lakukan yang benar dan jangan berakhir menjadi pecundang."
Allendra berkata sambil kedua tangannya bersembunyi apik di saku celana. Alena berbalik memunggungi kakaknya, harusnya tadi dia kunci pintu dulu sebelum berbaring.
"Bagaimana lukau, sudah menemui dokter Dito?"
Alena memejam, mengabaikan semua pertanyaan dan rasa penasaran Allendra.
"Alena jawab!"
Gadis itu mendengus lantas memasang posisi duduk dan balas menatap nyalang kakaknya.
"Berpura-pura baik di depanku tidak cocok untukmu. Tetaplah jadi iblis seperti biasanya dan jangan menunjukkan sisi munafik seolah-olah kau peduli padaku. Itu memuakkan!"
"Aku mendatangimu bukan untuk bertengkar denganmu. Kau tahu, sisi lemahmu tadi sudah mempermalukan nama baik keluarga kita. Kau membiarkan bedebah-bedebah itu menginjak-injak nama besar Spancer dan kau hanya diam seperti orang bodoh."
"Fuck off dengan nama besar keluargamu. Bukankah kita sudah menegaskannya sejak awal, tidak ada yang boleh melewati batas teritorial. Lakukan apa yang kau mau dan aku pun akan melakukan apa yang kumau. Mari hidup berdampingan tanpa saling bersinggungan. Kau sudah beberapa kali melanggarnya dan aku sudah cukup sabar."
"Aku tidak akan melewati batas jika kau tidak mengusikku lebih dulu. Jadi di sini, siapa yang melanggar kesepakatan sejak awal, hm? Kalau kau memang ingin jadi brengsek maka lakukan tanpa melibatkanku."
"Aku benar-benar membencimu, Allendra!"
"Aku tahu, benci aku sampai kau mati. Dengar, seberapa keras pun kau berontak dan melawan kenyataan, itu percuma. Selamanya kau akan menjadi adikku. Selamanya ada darah yang sama mengalir dalam tubuh kita. Kebencianmu tidak akan menghapus fakta bahwa kau adalah adik dari seorang pembunuh. Kau bukan siapa-siapa Alena, dunia akan mengusirmu jika kau tidak punya aku. Jadi berhenti membuatku emosi dan bertindak bodoh seperti tadi. Aku juga benci," kata Allendra dingin lantas berbalik--hendak pergi dari sana.
"Kenapa kau membunuh ibuku?"
Langkah Allendra terhenti, cih, pertanyaan itu lagi. Begitu sekiranya refleks hati pria itu menggumam.
"Karena aku mau."
Bugh!
Sebuah bantal menerpa punggung Allendra, lemparan keras disertai pekik amarah yang begitu melengking dari Alena. Prianitu menatap bantal yang baru saja menghantam punggungnya dengan nanar. Kemudian pergi tanpa memedulikan teriakan adiknya yang sedang mengucap sumpah serapah.
Bersambung
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi
Brak!Pintu kamar Allendra terbuka, pria itu menoleh ke samping begitu pun dengan Zeeya. Alena berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, dia melangkah memasuki kamar pria itu dan menusuk mata kakaknya dengan tatapan sinis. Allendra menarik dirinya dari Zeeya, kemudian duduk tegap menyambut adiknya dengan seringaian."Apa yang membawa adik kesayanganku berkunjung ke kamar terlarang ini, hm?"Zeeya melotot kaget mendapati muridnya memberikan tatapan yang sulit ia definisikan. Seperti sorot kecewa dan tak menyangka mungkin. Gadis itu pun duduk dengan benar, menurunkan pandangan karena malu tertangkap basah di posisi yang bisa membuat semua orang salah paham."Bu Zeeya, saya ingin bicara," kata Alena tanpa memedulikan pertanyaan kakaknya."Oh iya, ayo.""Kau tidak bisa mengajaknya tanpa seizinku, anak manis." Allendra bermaksud wanitanya."Tidak masalah, ayo, Len, kita bicara,” ungkap Zeeya lebih memilih mengikuti Alena dibandi
"Green tea segar tanpa bubble, sesuai pesananmu," kata Mark sambil memberikan minuman pada Zeeya."Terima kasih," ucap Zeeya lantas menyeruput minuman itu."Suka?" tanya Mark lagi.Zeeya mengangguk sambil tersenyum."Kau suka dengan filmnya?""Suka."Mereka berjalan berdampingan keluar dari area bioskop yang ada di salah satu mall terbesar pusat kota."Bagian mana yang kau suka?""Mm, saat si pemeran pria mengorbankan dirinya demi gadis yang dia cinta. Aku cukup tersentuh melihat dia yang rela mati dengan membawa segenap kebencian orang-orang. Maksudku, apa mungkin ada orang sebaik itu di dunia nyata? Dia rela dibenci bertahun-tahun oleh wanita yang dia cinta untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Dia tidak mencoba melakukan pembenaran atau sekadar membela diri. Membiarkan dunia mencapnya jahat sampai akhir hayatnya. Bukankah itu tindakan yang bodoh?""Sebagian penonton mungkin menganggapnya demikian. Tapi
Alena ingin muntah melihat drama picisan ini. Sialnya, dia terlibat dan agak sulit melarikan diri karena beberapa ucapan yang relate dengan keadaannya. Gadis itu tahu, semua orang yang mendekatinya itu tidak tulus. Ada banyak motif yang melatarbelakangi, begitu pun dengan Liam dan Sera, mungkin. Dia tidak ingin repot menebak atau mencari tahu alasan itu, tidak ada gunanya juga baginya. Dia sudah berusaha abai tapi anehnya orang-orang selalu memancingnya untuk bertingkah. Sialan sekali memang."Jangan sembarangan, Kak, kalau bicara. Aku dan kak Liam bukan orang seperti itu. Kami tulus berteman dengan kak Alena karena dia orang yang baik. Kakak saja yang tidak mau tahu dan selalu menutup mata dan hati kakak atas kebaikan kak Alena.""Diam, Sera, aku tidak butuh pembelaanmu.""Tapi Kak—""Kubilang diam!""Lihatlah, orang sepertinya yang mati-matian kau bela bahkan tidak menghargaimu sama sekali, Sera. Jadi berhentilah bergaul dengannya."