“Kandunganmu semakin besar, mulailah mengambil cuti,” pinta Hans saat Eva berjalan ke arahnya dan memakaikan dasi melingkari leher. Seperti pagi-pagi sebelumnya, wanita itu membantu Hans bersiap sebelum sarapan bersama.“Baru tujuh bulan. Masih ada banyak waktu sebelum persalinan. Aku baik-baik saja.”Hans menarik tangan Eva, menghentikan gerakannya.“Bagaimana aku tidak khawatir, kamu terus menolak pergi dan pulang bersama, memilih naik taksi. Itu benar-benar mengganggu pikiranku, Eve.”Eva tersenyum, meloloskan jemarinya dari tangan Hans dan memperbaiki simpul dasi yang masih kurang rapi.“Aku baik-baik saja,” ulang Eva meyakinkan suaminya. “Lagi pula, mobilmu ada di belakang taksi yang kutumpangi. Tidak ada hal buruk yang terjadi selama ini, kan? Kamu terlalu banyak berpikir.”Hans menggeleng dengan tegas, “Mulai hari ini, aku sudah siapkan mobil pribadi untukmu. Kamu bebas pergi ke mana pun tanpa takut orang curiga dengan hubungan kita. Hanya dengan itu aku bisa merasa tenang.”“T
“Eve, kamu ada waktu siang ini?”Tepat saat Eva memasuki lobi Dirgantara Artha Graha, Lily menyambutnya dengan wajah kusutnya. Bukan hanya lingkaran hitam disekitar mata, dia tampak tidak bersemangat sama sekali.“Ada apa?” tanya Eva setelah menyingkirkan isi kepalanya sendiri yang rumit. Sepanjang perjalanan, dia memikirkan perilaku ganjil Hans, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Sekarang, Lily menghadangnya.“Aku baru saja ditinggalkan oleh pacarku.”Langkah Eva terhenti, menoleh ke arah Lily sebelum mengamati jam tangan mungil di pergelangan sebelah kiri. Masih ada waktu lima belas menit sebelum jam kerja dimulai.“Ayo bicarakan di ruanganku. Masih ada sedikit waktu,” ujar Eva sambil menempelkan ibu jarinya di finger print dan menggesek id card di sisi lainnya. Perusahaan ini mengutamakan kedisiplinan, menetapkan standar ganda untuk mengabsen karyawannya.Liliana yang sudah tiba di kantor sejak tiga puluh menit lalu, segera tersadar dan melakukan hal yang sama. Setelahnya, dia menye
“Ada apa denganmu? Apa aku sudah menyinggungmu sebelumnya?”Satu alis Hans naik, tapi tak lantas menjawab pertanyaan Eva. Keningnya berkerut, tampak memikirkan sesuatu.“Kita sudah sepakat sebelumnya untuk saling terbuka dan membicarakan masalah satu sama lain. Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah?”“Tidak ada yang berubah. Aku memang seperti ini.”Hans memasang wajah sebiasa mungkin, tapi Eva melihat ketidakjujuran dari sorot mata pria itu. Jelas saja dia tidak sependapat akan hal itu. Hans pasti menyimpan satu ganjalan di hatinya. Pasti!Eva menggeleng tegas, “Kamu sebelumnya bukan pria yang mudah terbawa emosi. Bukan hanya pagi tadi, tapi sepanjang hari ini kamu memusuhi semua orang. Mereka membicarakanmu usai rapat.”“Siapa yang membicarakanku?”“Bukan itu masalah utamanya,” sela Eva sambil meraih lengan Hans. “Kalau kamu marah padaku, lampiaskan saja padaku. Bukan orang lain.”Hans sudah membuka mulutnya, tapi pintu putih di belakang Eva tiba-tiba terbuka. Seorang perawat tersenyum,
“Tuan, Nyonya, kita sudah sampai.” Suara Bram terdengar jernih, menoleh ke belakang demi menatap Hans dan Eva yang sepanjang perjalanan tidak berbincang sepatah kata pun.Hans mengangguk, menatap papan nama restoran dua lantai yang sering digunakan untuk menjamu tamu penting perusahaan.“Kalian berdua boleh pulang. Berikan kuncinya padaku.”Bram sedikit ragu karena Hans jarang mengendarai mobil sendiri. Namun, dia juga tidak berniat menyangkal perintahnya. Toh, ini memang sudah di luar jam kerja dan waktunya kembali.Hans keluar dari mobil dan membukakan pintu di samping kiri Eva. Dia secara khusus meletakkan tangannya untuk melindungi kepala sang istri agar tidak terbentur.‘Dia masih begitu perhatian padaku,’ gumam Eva dalam batinnya, menyadari bahwa Hans masih tetap lembut seperti sebelumnya.Mereka berjalan bersisian melewati halaman yang cukup luas sebelum menaiki anak tangga pendek di depan pintu. Secara otomatis, Hans mengulurkan tangannya untuk memegangi lengan Eva dan membuat
“Eve, tolong jangan seperti itu. Anak kita membutuhkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. Kalau kau keluar dari rumah—”“Aku tidak keluar dari rumah mewahmu itu dan juga tidak akan menelantarkannya, hanya membagi waktu dengan kehidupanku sendiri. Apa lagi yang kamu inginkan? Kamu hanya ingin mengikatku, bukan?”Hans sudah membuka mulutnya hendak menyangkal, tapi kedatangan pramusaji bersama nampan berisi makanan membuatnya tidak bisa berkata-kata. Dia memilih bungkam, meneguk sisa air mineral sambil menenangkan diri.“Karena makanan sudah datang, ayo kita nikmati dulu. Setelah itu, baru teruskan pembicaraan tadi dan kita buat kesepakatan yang jelas.”“Kesepakatan? Kau benar-benar—”“Hans!” Mata indah Eva terbelalak, sedikit memelotot dan berkata, “Aku sudah memesan makanan kesukaanmu. Makanlah dengan tenang dan jangan bicara lagi.”Setelah mengucapkan kalimat tegas itu, Eva mengambil beberapa potong daging asap asam manis ke mangkuk suaminya. Dia juga memisahkan potongan
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik