Share

Pantaskah?

"Nikmati saja, Cantik! Berteriak pun percuma. Tidak akan ada seorangpun yang akan menolong mu!"

Suara tawa para ba--jingan itu menggelegar ke seluruh ruangan. Aku mencoba meronta, namun tak bisa. Kedua tangan dan kakiku terikat erat. Mereka juga bahkan menyumpal mulutku agar tidak bisa berteriak. Dan ketika satu-persatu mereka mulai menja--mah tubuh ini, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Mengutuk para ba--jingan yang tega melakukan semua ini.

Tolong aku, Tuhan! Aku kotor! Aku kotor!

...

"Dek ... Dek!"

Aku tersentak bangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Kurasakan keringat dingin membasahi pelipis dan sekujur tubuuh, napasku memburu. Ternyata lagi-lagi mimpi dari masa lalu. Hampir setiap malam aku seperti ini, hal yang membuatku begitu tersiksa hingga berulang kali mencoba bu--nuh diri.

"Adek mimpi buruk lagi?" Mas Lana menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.

Pria bermata teduh itu mengambilkanku segelas air putih, memintaku untuk minum. Aku meneguknya dengan bibir gemetar. Entah kapan aku bisa sembuh dari trauma yang begitu mendalam ini.

"Maaf ya, Mas terpaksa memegang Adek tadi, karena Adek tidak berhenti berteriak," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah.

Aku menatap ke arah pria yang sebenarnya sudah sah menjadi suamiku itu. Setelah menikah, kami memang belum pernah bersentuhan sedikitpun. Dia bahkan rela tidur di bawah beralaskan tikar hanya karena ingin aku merasa aman dan nyaman. Jujur aku sempat berpikiran begitu buruk tentangnya. Aku mengira Mas Lana mau menikahiku hanya demi harta saja. Namun sampai saat ini, dia bahkan tetap mempertahankan posisinya sebagai supir Papa, tanpa menginginkan jabatan apapun.

"Aku yang seharusnya minta maaf, Mas," jawabku, dengan perasaan yang sungkan.

Ya, aku belum bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri, dikarenakan trauma dari masa lalu. Mungkin jika dia jahat, bisa saja dia meminta haknya dengan paksa. Tapi dia tidak melakukannya. Dia selalu memperlakukanku dengan sabar.

"Rumah ini pasti tidak nyaman untuk Adek, ya? Maaf belum bisa memberikan tempat tinggal yang layak untuk Adek." Lagi-lagi Mas Lana meminta maaf.

Belum sempat aku menjawab ucapannya, terdengar suara ketukan dari pintu kayu kamar kami.

"Nduk, Nduk Dara. Kamu baik-baik saja, Nduk?" Terdengar suara Ibu dari luar.

Mas Lana seketika berjalan ke arah pintu, dan membukanya. Rupanya benar, ibu mertuaku itu sudah berdiri di sana, menatapku dengan pandangan cemas.

"Ibu pikir kamu gak ada bersama Nduk Dara, Lana. Dua hari ini Nduk Dara berteriak setiap malam," ucapnya kemudian sambil berjalan mendekat ke arahku.

"Aku selalu seperti ini, Buk. Maaf jika mengganggu tidur Ibu," jawabku.

"Ya Allah, Nduk. Ibu khawatir kamu ada apa-apa. Bagaimana Ibu bakal bilang ke orang tuamu nanti kalau terjadi sesuatu sama kamu?" Ibu memegang kedua tanganku.

"Ya Allah, ini kenapa, Nduk?" Terlihat wajah kaget Ibu saat melihat pergelangan tangan kiriku yang tersingkap.

"Bukan apa-apa, Bu." Aku cepat-cepat menutupinya dengan lengan panjang pakaianku.

Ibu dan Mas Lana terlihat saling bertatapan, wajah mereka berubah sendu, sama seperti wajah Mama dan Papa setiap kali melihatku.

"Ya sudah, kamu tidur lagi, ya, Nduk?" Ibu menarik selimut, dan memintaku berbaring kembali.

"Lana, jaga istrimu baik-baik. Ibu mau tahajud dulu," ucap Ibu lagi sebelum berjalan meninggalkan kamar kami.

Mas Lana terlihat menatap ke arahku sebentar, lalu berkata. "Mas pamit ambil air wudhu dulu ya, Dek? Sebentar saja. Adek mau ikut salat?"

Aku hanya menjawab dengan anggukan, lalu gelengan pelan. Suamiku itu akhirnya meninggalkanku untuk beberapa lama, dan kembali dengan setelan salatnya. Setelah itu dia sudah tenggelam dalam kekhusyukan, bersujud pada Rabb-nya.

Aku masih menatapnya ketika dia mulai melantunkan bacaan tasbih. Hatiku seketika berdesir. Kenapa Papa menjodohkanku dengan pria yang begitu sholeh? Rasanya ... aku yang kotor ini sama sekali tak pantas untuknya ....

.

.

.

"Mas berangkat kerja dulu, Dek." Mas Lana sudah berpakaian rapi pagi-pagi sekali, dan berpamitan padaku dan Ibu.

"Hati-hati di jalan, Mas," jawabku.

"Hari ini Adek dan Ibu jadi ke toko untuk membeli baju?" tanya Mas Lana kemudian.

"Iya, Mas. Sekalian aku mau melihat-lihat pasar kampung. Kan belum pernah," jawabku lagi.

Mas Lana merogoh tas pinggangnya, mengeluarkan sejumlah uang dan mengulurkannya padaku.

"Ini, Dek. Belilah baju untukmu juga. Maaf, ini tidak banyak," ucapnya.

"Nggak usah, Mas. Aku punya uang, kok," jawabku menolak.

"Terima, Nduk." Tiba-tiba Ibu memegang pundakku lembut. "Suamimu ingin memberikan nafkah sebagai tanggung jawab, meskipun tidak banyak. Pasti dia sedih jika kamu menolaknya."

Aku akhirnya menerima uang itu setelah mendengar ucapan Ibu. Mas Lana tersenyum saat aku menerimanya.

"Oh iya, satu lagi, Dek." Mas Lana berjalan masuk ke dalam rumah sebentar, lalu keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Dia kemudian mengulurkannya padaku. Aku mengerutkan kening seraya menerimanya.

"Pakailah ini, Dek. Mas gak mau rambut Adek tergerai dan dilihat banyak orang," ucapnya.

"Gamis dan jilbab, Mas?" Kedua mataku membola, dijawab dengan anggukan Mas Lana.

"Kalau Adek pakai baju seksi ke pasar, Mas tidak akan bisa bekerja dengan tenang karena cemburu."

Aku tersentak mendengar ucapannya. Seketika wajahku memanas, dan saat itu juga menjadi salah tingkah.

"Ya sudah, Mas berangkat dulu." Mas Lana berpamitan sekali lagi, lalu berangkat dengan motor bututnya.

"Sana mandi dulu, Nduk," ucap Ibu kemudian setelah Mas Lana berangkat. "Pasarnya gak jauh, jadi kita bisa pergi jalan kaki. Gak apa-apa, kan?"

"Gak apa-apa, Bu. Justru aku memang pengen jalan keliling kampung," jawabku.

"Ya sudah, Ibu siapkan sarapan dulu."

Aku mengangguk, lalu berjalan menuju arah kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri, aku segera memakai gamis yang diberikan oleh Mas Lana. Agak aneh melihat penampilanku di depan cermin, karena belum terbiasa.

"Masyaa Allah, cantiknya mantu Ibu." Kedua mata Ibu terlihat berbinar saat melihatku keluar dari dalam kamar. Aku hanya tersenyum canggung. Entah bagaimana tanggapan Mas Lana saat melihatku seperti ini.

Akhirnya kami berdua berangkat menuju pasar. Memang tak jauh dari tempat tinggal kami, dan suasananya ternyata cukup ramai. Banyak toko pakaian juga di sana. Dan saat kami berbelok ke salah satunya, ternyata Bu Siti dan Bu Dewi ada di sana.

"Eh, Aisyah. Tumben kamu ke pasar? Lagi punya duit?" celetuk Bu Siti.

Lagi-lagi ucapan merendahkan keluar dari mulut wanita bertubuh tambun itu. Rupanya kejadian hari itu tak bisa membuat mereka berhenti merendahkan Ibu.

"Alhamdulillah, Bu. Saya dan mantu saya sedang ada rejeki, jadi mau beli baju," jawab Ibu, masih saja bisa tersenyum ramah di depan mereka.

"Tapi baju di sini mahal-mahal loh, Aisyah. Mending ke tengah pasar saja, lebih murah, cocok buat kamu," sahut Bu Dewi.

"Betul itu, Aisyah. Bisa ditawar juga di sana. Kalau di sini kan harga pas." Bu Siti menimpali.

Aku seketika mengepalkan tangan, lalu bicara pada Ibu dengan nada suara yang sengaja aku kencangkan.

"Bu, pilih baju yang ibu suka. Yang banyak. Kalau perlu, kita beli sekalian tokonya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status