Waktu yang ditunggu-tunggu Anna akhirnya tiba. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan bertepatan juga Anna telah selesai mempercantik dirinya. Anna menatap dirinya sekali lagi di depan cermin sebelum kakinya melangkah meninggalkan ruang pribadi yang sengaja dibuat di dalam ruang kerjanya.
"Bagaimana penampilanku?" tanya Anna.
Mijung tergelak kagum. "Demi Tuhan, Anna Smith, kau lebih terlihat pemilik perusahaan fashion." Mijung melayangkan tangannya ke udara seraya memutar bola mata. Ekspresinya sangat dramatis.
"Permisi." Seseorang mengetuk dari luar dan tampaknya itu Glory, sekretaris Anna. "Tamu dari The Glitch sudah tiba. Mereka menunggu di ruang rapat," ucap Glory.
"Baiklah, Glory. Anna akan kesana," ucap Mijung.
Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan mengusung tema dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya ;)
[-MARVINPOV-]_______________ Aku sungguh tidak mengerti. Betapapun kerasnya aku mencoba untuk berpikir, tetap saja ini di luar kendaliku. Aku tidak menyangka jika karyaku akan dilirik di mancanegara. Kegemaranku untuk melukis di atas kanvas membuatku tertarik untuk bergabung menjadi Iluslator di dunia digital. Awalnya, aku dikenalkan oleh Luna, istriku. Katanya ada sebuah aplikasi yang memungkinkan pelukis amatiran seperti aku dikenal oleh banyak orang. Aku dan Luna akhirnya membuat sebuah komik online. Sayangnya penjualan komik online kami tidak berjalan baik. Kemudian dua tahun lalu aku mendapat email. Katanya dia seorang editor dar sebuah perusahaan bernama The Glitch yang memproduksi web komik terbesar di Amerika.
Iluslator akan menerima 200.000,00$ sebagai upah awal tanda tangan kontrak. "Ap- apa ...." Marvin tidak bisa menahan rasa kagetnya. Dia terkejut membaca nominal yang tertera pada bagian terakhir, paling bawah dari kontrak yang menurutnya konyol itu. Dua ratus ribu dolar bukan angka yang sedikit. Itu setara dengan gajinya selama setahun di The Giltch, tetapi yang tertulis di sana adalah upah awal. Dalam artian ini bonus penandatanganan. Wow! Marvin menarik napas. Mulutnya menganga sedari tadi hingga dia perlu membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya. "Mi ... Ms. Anna." Marvin menggagap. Matanya masih tidak mau lepas dari angka-angka fantastis dalam kertas yang ada di tangannya.
ANNA:_________ Aku terbangun di depan sebuah gedung tiga tingkat dengan halaman luas dan sebuah lapangan basket. Beberapa orang pria memakai pakaian putih abu-abu tengah asik berlarian mengejar bola basket. Salah satu dari mereka berhasil menangkap bola itu lalu memasukkannya ke dalam ring. Mataku mengecil ketika melihat seorang pria tengah duduk menyendiri lalu aku mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Dia sendirian di bawah pohon besar. Kepalanya tertunduk pada sebuah kertas sambil tangannya sibuk menari-nari di atas kertas berwarna putih. Matanya begitu fokus. Terjebak dengan dunianya sendiri. Aku ke sana dan menghampirinya. Aku duduk di depannya, tapi dia sama sekali tidak bergeming. "Hai, Vin ..."
"Tidak!" Anna menjerit dan secara naluriah tubuhnya terduduk di atas ranjang. Dia membawa satu tangannya, meremas dada yang berdebar hebat oleh karena mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Hampir di setiap malam. Seolah menjadi lagu tidur menyeramkan yang tiada habisnya. "Ah ...." Anna mendesah. Dia membawa kedua tangan ke wajah. Mengubur wajahnya di sana lalu mengusapnya dengan kasar. Keringat dingin bercucuran dari wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Ia lemas. Anna kembali menghela napas panjang lalu membuangnya dengan cepat. Dia butuh sesuatu untuk bisa menemaninya sampai malam berakhir. Anna pun mulai menggerakkan kakinya menghindari selimut lalu turun dari ranjang. Duduk selama beberapa detik di tepi ranjang sekadar mengumpulkan kesadaran. Setelah beberapa detik berlalu, Ann pun memutuskan untuk berdiri.
Jika kamu pernah tersakiti, percayalah karma akan bekerja pada waktunya. Akan ada waktunya mereka menerima apa yang telah mereka lakukan. - Anna Smith -~~~~~~~~~~~~~ Senyum di bibir wanita bernama Anna Smith tidak kunjung pudar. Hari ini benar-benar harinya. Selama sepuluh tahun lebih dia menantikan hari di mana dia bisa membalaskan dendamnya. Anna bahkan pernah berencana untuk kembali ke Indonesia dan membuka perusahaannya di sana kemudian mencari keberadaan Marvin dan Luna. Lagi pula Indonesia terlalu kecil jika hanya untuk mencari dua orang itu. Anna bisa menggunakan uangnya untuk membayar beberapa orang atau bahkan menggunakan alat canggih untuk bisa menemukan mereka. Namun, siapa sangka ternyata takdir malah mengirim Marvin Aditiya Wijaya padanya. "Now, it's time to sha
Roissy – Charles de Gaulie International Airports Paris - 02.33 PM_______________Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga belas jam di dalam pesawat komersil, akhirnya Anna dan Marvin tiba di Paris. Anna membawa serta anak buahnya yaitu Vic. Dia yang saat ini tampak begitu sibuk memasukkan barang bawaan sang bos ke dalam mobil limosin. Sementara Marvin hanya melongo di samping Anna. Pria itu masih dilanda kebingungan. Sebelum berangkat ke Paris, seperti biasa, Marvin terlibat pertengkaran dengan Luna. Awalnya Luna sama sekali tidak mengizinkan suaminya itu untuk pergi bersama sang bos. Namun, lagi-lagi Marvin terpaksa harus berbohong dengan mengatakan jika mereka akan datang bersama tim dari perusahaan dan untuk keperluan riset. Hal terbodoh dari semua itu adalah Marvin kembali membujuk Luna dengan uang. Ia terpaksa memakai check yang diberikan Anna kepadanya. Padahal Marvin sudah berjanji untuk tidak mengambil uang di luar gajinya. Namun, Ma
“Ehem!” Sedari tadi Marvin terus berdehem. Ia tak bisa memegang alat makan dengan benar. Untuk pertama kalinya ia makan di restoran berbintang dengan makanan Prancis yang kurang dia mengerti. Di samping itu … sedari tadi ia tak mengerti dengan tubuhnya dan juga otaknya yang kadang begitu kurang ajar. Ia gelisah dan satu-satu penyebabnya adalah si wanita yang tengah duduk di depannya. “Kenapa?” tanya Anna. Setengah alis Marvin naik, ragu-ragu ia menatap Anna. “Makanannya tidak enak?” tanya Anna. Marvin kembali berdehem. Butuh beberapa kali untuk bisa mengumpulkan suaranya. “Bukan,” kata Marvin. Pria itu kembali membawa tatapannya pada makanan di depannya. “Lalu? Kau terlihat seperti begitu terbebani,” kata Anna sembari menggoyangkan pisau dan garpu di atas piring. Wanita itu mengintip lewat bulu matanya. Marvin tertawa formal. “Bukan itu. Maafkan aku Ms. Anna, hanya saja ini pertama kali bagiku berdua bersama atasanku,” kata Mar
Anna dan Marvin saling menatap tanpa berkedip. Menatap sepasang iris cokelat abu-abu di depannya, membuat Marvin merasa tersesat. Sekuat apa pun ia mencoba, tetap saja ada satu sisi dalam dirinya yang terus mendorong Marvin untuk mengira-ngira … bagaimana bosnya itu. Namun, satu sisi lagi dalam dirinya seperti merantai pria itu agar jangan sampai dia melewati garis yang telah ditandai sebagai bahaya. Atau dia akan makin tersesat. Hingga yang bisa dia lakukan hanyalah mendesah. “Baiklah,” ucap Marvin dengan penuh kepasrahan. Anna menyeringai. Ia begitu semangat. Wanita itu memutar tubuh menghadap meja bar lalu menuangkan wiksi ke dalam seloki. “Here we go,” gumam Anna. Setelah mengisi seloki dengan wiski, ia kembali menatap Marvin. “Kapan kau menikah?” “10 Januari 2010.” Marvin menjawab dengan cepat. Seketika ekspresi wajah Anna berubah. Terlihat rahangnya mengencang dengan tatapan kosong yang memancarkan keheningan yang mematik