Hanya butuh waktu 20 menit saja, kini aku sudah berada di kosan milik keluarga Retno. Dia menyambut kedatanganku dengan gembira, di kosan inilah untuk pertama kalinya dulu aku tinggal setelah diterima bekerja di garment yang lama sebelum menikah dan pindah kerja ke tempatku bekerja sekarang.
"Zaki. .sini sama Tante!" pekiknya girang menyambut putraku yang sedang lucu-lucunya itu. Beruntung, Zaki adalah tipe bocah yang ilon (tidak takut orang dan mudah diajak siapa saja).Zaki sudah berpindah dalam gendongan gadis cantik seumuranku tapi masih lajang itu. Terdengar gelak tawa serta celotehnya saat Retno mendusel-dusel pipi gembulnya.Selagi Zaki ada sama Retno, aku segera membantu pak supir menurunkan barang-barangku ke teras kos-kosan 3 lantai itu. Usai membayar, mobil itu berlalu meninggalkan aku dan Retno di sini."Kamu nempatin yang di ujung itu, ya, Ndri. Soalnya kamar kamu dulu ada penghuninya." ujar Retno dengan menunjuk satu kamar di ujung dekat tangga. Aku mengangguk setuju, tak masalah bagiku di manapun itu asal aku dan Zaki ada tempat untuk tinggal.Suasana kos sepi, karena akhir pekan seperti ini para penghuninya pada pulang kampung. Rata-rata, penghuninya adalah karyawan pabrik minuman yang terletak di belakang kos-kosan ini. Meski, ada juga mahasiswi dan karyawan di pabrik lain. Daerah ini memang daerah industri dengan beberapa pabrik. Baik garment, minuman, texstil dan ada juga pabrik biskuit yang terletak saling berdekatan. Sehingga, para pemilik lahan luas menjadikannya sebagai kos-kosan untuk para karyawan pabrik. Harganya pun terjangkau bagi kami yang hanya bergaji UMR. Makanya tak heran kawasan ini berjajar berbagai kosan dengan harga yang relatif sama.Dengan segera aku memasukkan barang-barangku ke dalam kamar yang sudah disiapkan oleh Retno. Retno sendiri rumahnya juga di sini, letaknya di samping kiri bangunan berbentuk L dengan lantai 3 ini, hanya terpisah oleh pagar sebatas dada orang dewasa.Kamar 3x3 ini sudah dilengkapi dengan kasur busa tebal lengkap dengan bantal dan ada juga lemari plastik kecil. Yang membuat nyaman adalah kamar mandinya yang terletak di dalam kamar hingga tak harus berebut dengan yang lain."Harganya masih sama, kan, Ret?" tanyaku memastikan. "Masihlah, tapi kalau kamu mau bayar dua kali lipat juga aku terima." gelaknya kembali menciumi pipi gembul Zaki."Nanti, ya, kalau aku dapat kiriman dari langit." jawabku asal."Heleh, banyu langit? Udan kui!" (heleh, air langit? Hujan itu!) cebiknya lantas menurunkan Zaki pada kasur tanpa dipan itu."Nih!" aku menyodorkan 7 lembar uang berwarna biru padanya sebagai bayaran untuk 1 bulan ke depan."Eh, buat apa? Entar aja, aku hitung mulai tanggal 1. Seminggu ini, anggap saja bonus dariku." ucapnya menolak uang itu."Terserah kamu ngitungnya mulai kapan, yang penting terima dulu ini mumpung aku masih ada pegangan." paksaku."Kamu pakai saja dulu, untuk biaya hidupmu seminggu ke depan sampai gajian. Nanti setelah gajian, baru kasih aku untuk bayar sewanya." ujarnya."Aku masih ada kok, Ret.""Beneran?""Iya, udah terima dulu ini, tapi jangan lupa ngitungnya mulai tanggal 1 loh!" Lalu kami tertawa bersama, sejenak aku melupakan masalah yang tengah aku hadapi. Zaki asyik merangkak kesana-kemari, kami memperhatikan polahnya yang menggemaskan. Tak lama, Retno berdiri lalu membuka lemari kecil di samping kasur mengambil sesuatu yang terbungkus plastik hitam."Nih, makanlah dulu. Aku tahu kamu belum makan." ucapnya perhatian sembari menyodorkan bungkusan yang rupanya nasi bungkus itu. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca, alhamdulillah masih banyak orang baik yang berkenan menolongku."Ret, aku-""Udah makan dulu, ceritanya nanti." potongnya cepat sembari tersenyum.Aku mulai menyuapkan nasi rames ke dalam mulutku. Di samping karena hari telah siang, pun cacing dalam perutku sudah berdemo karena sejak pagi belum ada makanan apapun masuk ke sana. Retno masih asyik menggoda Zaki hingga terdengar tawa ngakak dari mulut kecilnya, aku terharu dibuatnya. Sesekali Zaki merecokiku makan namun kalau dikasih selalu tidak mau."Teruslah bahagia seperti itu, Nak." dia tertawa tapi batinku menangis, menangisi nasibnya yang tertolak oleh ayah kandungnya sendiri.***"Lalu, apa rencanamu setelah ini?" tanya Retno setelah aku menceritakan semua secara detail keadaanku. Zaki asyik menekuri aneka mainan karetnya."Masih mau kerja?" lanjutnya saat melihatku hanya diam."Masihlah, kalau aku gak kerja nasib Zaki ke depan gimana?" jawabku dengan pasti. Zaki selama ini aku titipkan ke daycare milik perusahaan, yang memang disediakan khusus untuk anak-anak para karyawannya. Dan itu yang membuatku betah bekerja di sana."Yaudah, kalau memang begitu. Ndri, aku tidak tahu rasanya menjadi kamu, tapi aku percaya kamu wanita kuat. Kamu pasti bisa melewati semua ini." "Terimakasih ya, Ret. Kamu sudah selalu membantuku." "Lalu, nanti kamu kerja naik apa?" "Ada angkot ke sana, Ret. Cuma 2 rb lagi." jawabku sembari tertawa."Iya juga, ya. Kamu gak ada niatan beli motor gitu? Biar gak desak-desakan di angkot, kan, kasihan Zaki." "Nantilah, Ret. Ngumpulin duit dulu. Setelah ini kan, duit gajiku utuh. Gak perlu pusing mikirin beras abis, minyak abis, gak lagi mikir bayar listrik, air dan lain-lain. Gajiku, sepenuhnya untuk biaya hidupku dan Zaki." jawabku dengan mata merebak. Retno menatapku iba, ia mengusap bahuku memberi kekuatan.Betapa selama 5 tahun ini hidupku berlalu sia-sia belaka. Sudah puluhan juta uangku terpakai tanpa sisa, kini saatnya aku menyenangkan diriku dan anakku. Menabung demi masa depan Zaki, tak lagi pusing jika beras dan teman-temannya habis seperti biasanya. Dulu, mana sempat mikir nabung. Yang ada kurang-kurang terus, karena itulah selain aku kerja di garment aku juga melakoni pekerjaan sampingan yang bisa kukerjakan dari rumah. Sekarang banyak pekerjaan berbasis online dan itu yang aku lakukan. Berjualan apa saja aku lakukan asal itu halal. Aku juga menjadi salah satu penulis di aplikasi berbayar. Memang, hasilnya belum sampai jutaan sebulan. Masih setaraf ratusan ribu sebulan karena rupanya menjadi penulis juga tak semudah yang terlihat, tapi alhamdulillah sangat membantu di saat gaji pokokku selalu kurang untuk biaya hidup.Kami lantas banyak mengobrol, karena sudah lama juga kami tak bertemu. Hanya sesekali saling sapa melalui chat saja. Cukup lama hingga kumandang azan ashar terdengar, Retno pamit pulang untuk bersiap karena akan pergi menyusul kedua orang tuanya ke hajatan saudaranya. Sedang aku, bergegas memandikan Zaki karena anak itu akan rewel jika tubunya berkeringat. Di sela dia bermain air, aku sempatkan mencuci baju-baju basah yang dari rumah tadi sekalian aku mandi.Tak lama setelah mandi, Zaki terlelap di atas kasur setelah puas menyusu. Aku turut rebah di sampingnya tapi mata ini enggan terpejam. Akhirnya aku putuskan untuk menyusun baju-bajuku ke lemari dan baju-baju Zaki ke keranjang yang aku bawa dari rumah lama. Untuk barang lain, aku biarkan tetap di dalam kardus. Toh, tak akan terpakai juga kalau di sini. Apalagi perabot rumah tangga, sudah jelas tak akan terpakai. Karena untuk makan, aku bisa beli di warung depan kosan.Setelah selesai, aku memeriksa hp yang biasa aku jadikan sumber penghasilan selain gaji pokok. Aku sampai melupakan benda penting itu hampir seharian ini. Segera mengeluarkannya dari dalam tas yang biasa aku pakai kerja, rupanya sudah banyak pesan dan panggilan terlewatkan. Fokusku pada pesan lebih dulu, ada beberapa kostumerku yang meminta barang-barang yang aku pasang sebagai status tadi pagi. Ada juga yang pesan aneka kue yang aku jual. Senyumku terbit membaca puluhan pesan tersebut, alhamdulillah di balik cobaan selalu ada jalan. Segera aku membalas satu persatu pesan dari pelangganku, aku tak mau mengecewakan mereka dengan lambatnya respon dariku.Usai merespon berbagai pesan, segera aku menghubungi rekanku di toko dimana di sana aku mengambil semua barang daganganku. Mereka dengan cepat menyediakan barang yang aku minta dan akan mengantarkannya esok hari karena kebanyakan yang memesan barang daganganku adalah rekan-rekan kerjaku. Satu persatu barang pesanan yang sudah ready aku tulis di buku kecil, ada sekitar 25 barang yang laku terjual hari ini. Alhamdulillah, di saat tanggal tua seperti ini ada suntikan dana sebesar 250 ribu yang sudah pasti masuk ke kantongku. Karena aku hanya mengambil keuntungan 5-10 ribu di setiap barang yang harganya di atas 100 rb. Untuk barang di bawah 100 rb, aku tak mematok keuntungan tapi kostumerku selalu pengertian dengan memberi seikhlas mereka. Begitu juga untuk dagangan berupa makanan, aku hanya ambil sebanyak 2-3 ribu saja per jenis. Dan alhamdulillah, selama ini hasil dari semua itu cukup untuk beli susu dan diapers Zaki selama 1 bulan. Rezeki anak sholeh.Masih asyik dengan berbagai pesanan, masuk lagi beberapa pesan beruntun dari nomor kakak iparku. Aku tahu pasti pelakunya adalah suamiku. Sungguh, aku tak tertarik sekedar membacanya apalagi untuk menanggapinya. Aku biarkan saja pesan-pesan itu begitu saja, jika aku buka hanya akan menambah kebencianku padanya. Atau, bisa juga menambah luka di hatiku sebab kalimat-kalimat yang terlontar pastilah bukan kalimat yang baik untukku.Setelah pesanan semua tercatat tanpa terlewatkan, kembali aku raih hp lalu melanjutkan menulis. Ada dua cerita yang sedang on going di aplikasi. Biasanya aku akan menulis di malam hari, tapi sekarang waktuku sedang senggang dan Zaki juga masih tertidur, jadilah aku melanjutkannya saja sekarang. Menulis dan membaca novel adalah hobiku sejak SMP, bahkan dulu sewaktu SMP aku sering mengikuti lomba-lomba menulis. Baik itu cerpen atau puisi. Lalu, sejak SMA, dunia teknologi semakin berkembang. Aku mulai berani memasukkan cerpen yang aku buat ke majalah-majalah Teenlit yang kala itu tengah digandrungi kalangan remaja. Meski tidak pernah menang dalam aneka lomba yang aku ikuti, tapi semua itu membuatku banyak belajar dan lebih percaya diri.Semakin berkembangnya teknologi, sekarang banyak platform-platform online yang menyediakan wadah bagi siapa saja yang ingin menuangkan ide dan gagasan melalui sebuah tulisan. Dan alhamdulillah, aku adalah salah satu yang sangat terbantu dengan adanya platform online tersebut. Terlebih untuk cerita yang berbayar. Alhamdulillah, selain hobi yang memiliki wadah, juga bisa mendapat sedikit tambahan untuk membeli susu.Selama 1 tahun aku menulis di salah satu aplikasi, aku berhasil mengumpulkan tabungan sekitar 5 juta. Meski, jumlah tersebut tidak ada apa-apanya dibanding dengan penulis-penulis yang sudah berpenghasilan jutaan setiap bulannya tetapi aku sangat bersyukur, setidaknya aku bisa menabung sedikit demi sedikit tanpa merecoki gaji pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Kegiatan menulis dan jualan online ini tentu tanpa sepengetahuan Mas Bagus. Bukan aku tak memberitahunya tetapi dia tidak peduli lebih tepatnya. Dia hanya tahu kalau gajiku, 2.500.000 itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari dengan dia yang semakin terlena dengan melupakan kewajibannya padaku.Ah, kembali mengingat suamiku. Mood nulisku ambyar sudah. Betapa bodohnya diriku selama ini, pantas saja setiap aku mengutarakan keinginan untuk berhenti kerja dia selalu menolak dengan segala macam alasan. Sekarang aku sadar bahwa dia bukan menginginkan kesejahteraan untuk keluarga kecil kami, tetapi dia hanya memanfaatkanku saja. Seharusnya dia yang menafkahiku tetapi selama ini justru terbalik, akulah yang menafkahinya.Saat pikiranku berkelana pada penyesalan akan kebodohanku, hp dalam genggamanku bergetar tanda panggilan masuk. Kulihat nomor adikku yang menghubungi, pasti disuruh Bapak atau Emak. Segera aku jawab panggilan dari nomor adikku itu."Assala-""Indri! Anak kurang ajar kamu! Bikin malu orang tua! Sudah menikah bukan diam di rumah, nurut sama suami malah keluyuran tidak jelas. Di mana kamu sekarang? Pulang atau kau bukan anakku lagi!" Lemas sudah seluruh persendianku, air mata ini sudah tak lagi bisa aku bendung mendengar suara cinta pertamaku begitu emosional. Bapak memakiku bahkan belum selesai aku mengucap salam. Ada apa dengan Bapak yang tak pernah memarahiku sebelumnya? Ah, aku yakin suamiku telah mengadu yang tidak-tidak kepada beliau. Ya Allah, apa yang sudah suamiku itu ceritakan pada Bapak? Sehingga bahasa Bapak terdengar kasar memakiku anak perempuan yang selama ini beliau sayangi dengan sepenuh hatinya.🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺"Jawab, Indri! Di mana kamu?" bentak Bapak lagi, aku yakin saat ini beliau tengah murka. Aku memejamkan mata menikmati perihnya luka dalam hati ini. Menarik nafas besar, mencoba tenang menghadapi amarah Bapak. Aku yakin, Bapak hanya termakan hasutan Mas Bagus atau Ibu mertua saja."Assalamualaikum, Bapak. Indri dengar apa yang Bapak ucapkan, kok. Tidak perlu keras-keras juga, takut darah tinggi Bapak kambuh." sahutku pelan, sekuat tenaga menekan suara agar tak semakin keras terisak."Bapak tanya Indri ada di mana, kan? Indri ada di kosan Pak Suradi, tempat yang sama seperti kala dulu setiap Sabtu siang Bapak jemput dan Senin pagi Bapak mengantar Indri. Indri tidak ke mana-mana, Pak." suaraku semakin bergetar tak sanggup lagi untuk tidak menangis mengingat betapa Bapak dulu rela datang jauh-jauh dari Banyu Biru untuk menjemputku kala libur kerja. Tidak naik motor atau mobil, melainkan naik angkutan umum demi memastikan anak perempuannya ini baik-baik saja."Ndri-" suara Bapakpun melun
Kami saling tatap begitu mesin kendaraan terdengar padam. Bapak memberi kode dengan anggukan kepala, dengan cepat kami menghapus jejak air mata di wajah kami."Assalamualaikum besan!" rupanya ada Ibu mertua juga yang ikut datang. "Walaikum salam, Bu Yati." sahut Emak yang sudah lebih dulu menyambut kedatangan tamu kami di teras."Ini ada gula sedikit, sekedar untuk bikin teh!" ujar mertuaku sok ramah."Oalah, kok malah repot-repot segala, Bu Yati. Kalau sekedar gula kami juga ada, kok." balas Ibu terdengar datar."Mari masuk!" lanjut Emak lagi.Begitu masuk, kulihat wajah Ibu mertua sedikit terkejut melihatku."Oalah, kamu di sini to, Nduk. Ibu kira ke mana, kami sampai panik loh mencarimu." ucapnya langsung duduk di sebelahku sembari mengusap punggungku. Ratu drama, bermuka dua! Biar begitu, kuraih tangan beliau dan kucium punggung tangannya, karena sampai detik ini beliau masih mertuaku. Aku bangkit berdiri, meraih Zaki dari gendongan Bapak lalu duduk melantai di karpet. Mas Bagus
Cukup lama Ibu mertua pingsan, entah pingsan betulan atau hanya pura-pura pingsan karena malu. Entahlah, hanya beliau yang paham. Lek Erna dan Lek Tri yang tak tahu apa-apa kebingungan dibuatnya. "Opo, sih, Ndri?" bisik Lek Erna saat sudah duduk di sebelahku."Nanti, Lek Na akan tahu sendiri." jawabku juga berbisik."Bu, bangun! Jangan bikin malu!" kudengar Mas Bagus putus asa membangunkan ibunya. Lek Tri duduk di sebelah Bapak, walau masih bingung tapi beliau tidak banyak tanya. Ibu mertua mulai sadar, dengan dibantu Mas Bagus beliau kembali duduk bersandar pada sofa. Mas Bagus dengan cekatan menyodorkan gelas teh yang mulai dingin karena ditinggal berdebat tadi."Sudah sadar, Bu Yati? Tidak lupa bukan, apa yang saya ucapkan sebelum Jenengan pingsan tadi?" tanya Bapak agaknya sudah tak sabar ingin mengakhiri segala drama yang dibuat Ibu mertua."Pa-Pak Yanto tidak sungguh-sungguh, kan?" gagap Ibu mertua menatap Bapak dan Lek Tri dengan wajah pucat."Kenapa tidak? Ini saya perkenalk
Kumandang Azan subuh saling bersahutan dari masjid kampung dan masjid-masjid kampung tetangga, suasana yang dingin menusuk tulang membuat siapa saja enggan untuk meninggalkan peraduan. Sama sepertiku, aku pun enggan meninggalkan hangatnya dekapan selimut tebal semasa aku gadis dulu. Bersamaku ada Emak yang masih terlelap dan juga Zaki di antara kami. Semalam sepulang dari rumah sakit, aku menghabiskan hampir 3 jam untuk bercerita banyak hal dengan Emak. Cerita hidupku yang tragis lebih tepatnya. Emak sampai geleng-geleng kepala, heran denganku yang bisa bertahan hingga 5 tahun lamanya dengan suami parasit seperti Bagus."Pantas saja, kamu sudah tidak ingat pulang, Nduk. Emak pikir karena hidupmu sudah enak di kota sana, sampai lupa pada kami."Begitu keluh Emak, setelah mendengar cerita hidupku. Ah, andai Emak tahu betapa berat perjuangan anak perempuannya ini pasti beliau tidak akan rela aku menikah dengannya.Namun, semua sudah terjadi. Tak perlu disesali apalagi ditangisi, hidup a
Kuhela nafas besar, menetralkan degub jantung yang sedikit lebih cepat, ya sedikit saja lebih cepat. Di depan sana, ada mantan suami yang baru semalam mengucapkan talak padaku, tapi siang ini sudah bermesraan dengan mantan pacarnya dulu.Cemburu? Iya! Aku memang cemburu, karena aku sungguh tulus mencintai laki-laki itu. Namun, bukan karena rasa cemburu itu yang membuatku ingin menangis sekarang. Sampai di sini aku semakin sadar diri, bahwa kehadiranku selama ini memanglah tidak dia anggap sama sekali, itu yang membuatku terluka. Lalu, selama ini aku dia anggap apa? Hingga semudah dan secepat itu dia berpaling?Fisik? Ku akui kalau Linda jauh lebih cantik dariku, meski dempulannya (make up) yang 80% mendominasi wajah. Sexi? Bahkan meski telah memiliki satu anak, berat badanku tetap ideal, 54 kg dengan tinggi 163 cm. Masih cukup sexi, kan? Hanya memang ukuran dadaku tak sebesar miliknya. Namun, seindah apapun fisik seseorang, bukankah ia akan pudar termakan usia? Wajah se-glowing apapu
"Indri, aku, aku. . ."Linda tergagap, bahunya bergetar karena tangis. Aku semakin heran dibuatnya."Ada apa, Lin?" tanyaku karena sejak tadi hanya isaknya yang terdengar sedangkan aku harua segera pulang kalau tidak aku tidak akan dapat angkot untuk ke kosan."Maafkan aku, Ndri." lirihnya di sela isak tangis."Iya, aku maafkan. Maaf, Lin. Aku harus segera pulang, ada Zaki yang menungguku." putusku ingin mengakhiri ini semua. Indri mendongak, menatapku masih dengan mata berair."Aku, aku hamil anak Bagus, Ndri!" Duar! Bagai tersambar petir aku mendengar pengakuannya. "Hah?!" pekikku dengan mata melebar."Maafkan aku, Indri!" isaknya kembali terdengar, wajahnya menunduk dalam.Tunggu! Apa dia bilang tadi? Hamil anak Bagus? Itu artinya mereka? Astaghfirullahhalazim! Aku menelan ludah susah payah, air mata yang tadi entah ke mana, sekarang tiba-tiba mengalir membasahi kedua pipiku. Lemas seluruh persendianku, seolah kedua kakiku tak mampu untuk menopang bobotku sendiri."Jadi, benar se
[Alhamdulillah, Ibu sudah menemukan mantu idaman. Lalu, bagaimana dengan Linda, yang katanya sedang hamil anak Mas Bagus?]Beberapa detik, akhirnya pesanku centang dua dan langsung warna biru karena memang Ibu mertua terlihat tengah online. Lalu, tulisan online itu segera berubah menjadi mengetik. Ah, penasaran aku dibuatnya. Kira-kira apa tanggapan Ibu mertua? Satu pesan masuk dari kontak Ibu, buru-buru aku buka saking penasarannya.[Gak usah nebar fitnah! Hubungan Bagus dengan Linda sudah berakhir lama.][Ririn inilah calon menantuku, menggantikan kamu!][Mereka sudah pacaran 4 bulan ini.][Awas kalau karena fitnahanmu ini, rencana pernikahan mereka gagal.]Pesan beruntun masuk dari kontak yang sama, aku terkejut dengan reaksi dan balasan Ibu mertua. Jadi, mana yang benar? Linda berhubungan dengan Mas Bagus sudah 8 bulan dan sekarang sedang hamil. Sedangkan pengakuan Ibu mertua, hubungan Mas Bagus dengan wanita bernama Ririn ini sudah 4 bulan dan akan segera menikah. Ya Allah, Bag
Sesaat telingaku berdenging dan mataku berkunang, tapi hanya sebentar saja sebab rentetan makian segera terdengar nyaring."Munafik kamu, Ind! Aku pikir kamu benar-benar manusia berhati malaikat, nyatanya hatimu busuk! Kupikir semua ucapanmu kemarin karena kamu memang peduli, nyatanya hanya topeng agar namamu semakin terlihat bersinar. Mulutmu jahat, Ind! Kau ceritakan ke orang-orang kalau aku adalah selingkuhan suamimu, bahkan kamu juga ceritakan kalau kami berciuman. Sadar Indri, sadar! Kamu sudah diceraikan sama Bagus!" makinya lantang dan tangannya menunjuk-nunjuk wajahku, air mata berurai di kedua pipinya. Hal ini sontak membuat semua pasang mata terbelalak mendengar kenyataan bahwa aku dan Mas Bagus sudah bercerai. Kulihat Mbak Nurul pun tak kalah terkejut, ia sampai membekap mulutnya sendiri dengan mata yang masih melebar sempurna."Sialan kamu, Ind! Sekarang semua orang mengecapku sebagai pelakor, puas kamu, hah?!" jeritnya lagi semakin kalap, bahkan dia dengan brutal mendor