Lisa duduk di belakang kursi penumpang, memandang ke luar jendela. Semburat senja merah kekuningan mengikuti mobil yang dikendarai Pak Sapri yang melaju di jalan tol. Hari ini sungguh melelahkan. Pikirannya berkecamuk oleh perkataan Sandra saat makan siang. Mereka duduk berhadap-hadapan. Situasi agak canggung di antara mereka berdua jika tak ada Sarita yang duduk di sebelah Sandra. "Aku enggak nyangka kalau pemilik Three times Coffee itu adalah cowok kamu, Lis. Hebatlah selera kamu memilih pacar."Lisa mengerutkan kening. "Jadi, apa kita masih bisa makan bareng seperti sekarang? Sejak kamu pindah divisi, dan tak berhubungan lagi dengan Rio." "Hei, apa tak ada lagi pembicaraan yang lebih bermutu?" Sarita memotong. "Tentu aja ini bermutu. Setidaknya aku bisa memastikan Lisa memiliki hubungan yang bahagia bersama Didit." &
Senja di hari Jumat terasa sejuk setelah panas terik seharian. Lisa melangkah keluar gedung menuju Three Times Coffee seperti janji mereka tadi malam akan bertemu di tempat itu sepulang bekerja. Terasa ada titik di mana kerinduan membuncah, begitu juga kekhawatiran jika ia hanya mengharap sebuah ending yang indah. Memasuki Three Times Coffee, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Hampir semua meja terisi oleh pengunjung sehingga semua kru sibuk, tapi Lisa tak melihat sosok Didit. Debar jantungnya semakin terasa berdetak saat berjalan menuju meja order, namun langkahnya terhenti oleh sepasang tangan yang menghalangi pandangan matanya. Tangan itu menutup kedua mata Lisa. Dengan gerakan refleks Lisa mencoba melepas tangan itu dan membalikkan tubuh. Di sana, Didit tersenyum lebar. Pada titik itu, suasana seakan menjadi tenang, suara-suara menghilang, tak ada orang-orang ngobrol dan suara mesin kopi di dalam ruang it
Lisa mengangkat bahu dengan sedikit ragu, seakan mengisyarakan jika ia tak memperkirakan pertanyaan dari Didit. Matanya memicing, memikirkan jawaban yang tepat. “Kukira kita akan membahas buku.” Lisa menjawab sekenanya. “Terlalu biasa.” “Lalu apa ide kamu?” “Hmm, mungkin nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang, kita makan dulu. Kamu kan terbiasa makan tepat waktu.” Lisa mengangguk, lalu berjalan di sebelah Didit. Tangan kanannya digenggam oleh tangan besar lelaki itu. Mereka berjalan menuju lobi samping dan sepanjang perjalanan, Didit tak melepaskan genggaman tangannya. Gadis itu mencoba menyejajarkan langkahnya dengan langkah Didit yang panjang. Ugh, dia harus hati-hati berjalan saat menggunakan wedges. Sesekali ia melirik ke arah lelaki itu. Tatapan lurus dan air muka segar, sesegar aroma tubuhnya. Jadi terkuak
Sabtu pagi pukul setengah enam, Lisa telah berada di dalam mobil bersama Didit dan Pak Sapri yang mengantar mereka. Mobil meluncur menembus jalan Jakarta. Lisa mengira mereka akan jogging, namun saat mobil memasuki tol Jagorawi, ia merasa heran. "Kita akan ke mana, Dit?" "Nanti kamu akan tahu, dan kuyakinkan kamu pasti menyukainya dan bisa menjadikannya hobi saat weekend." "Aku tak suka kejutan." "Kenapa?" "Terkadang aku tak menyukai perhatian yang belum tentu aku suka." "Kamu pernah mengalaminya?"Gadis itu mengangguk, "Dikerjain saat ulang tahun." "Kan seru. Memang seperti apa dikerjainnya?" "Mereka membuatku harus turun naik tangga, entah menyuruhku membawa buku dari perpustakaan dan ternyata salah buku, lalu berbohong mengatakan jika
Embusan angin dingin menerpa wajah Lisa. Dipandangi langit biru berhias burung yang terbang di kejauhan. Sungguh tak ia duga bisa melayang bersama Didit. Lelaki yang ia temui di peron bus way bukan lelaki biasa dengan kehidupan yang tak biasa. Sarita benar, terkadang orang-orang yang kelihatannya hanya pekerja biasa dan menjalani kegiatannya secara monoton, di baliknya sangat menyukai hal-hal ekstrem. Mereka, uptown people, urban person, kebanyakan menghabiskan waktu senggang dengan nongkrong di kafe, club, gym. Tapi Didit punya cara lain. Dan ia mengajak aku, bisiknya. Di tengah kenikmatannya memandang alam nan indah di bawah sana serta langit membiru bersemilir angin sejuk menerpa, di kepala gadis itu hanya terputar lagu Nona Lisa. Beat lagu tersebut cocok dengan detak jantungnya sekarang. "Lisa, kita akan turun, naikkan kakimu. Saat mendarat, aku yang menjejakkan kaki sedang kamu akan terduduk. Kamu siap?" &
Mobil bergerak naik hingga ke puncak lalu turun menuju Cipanas. Lisa menikmati perjalanan ini hingga sempat tertidur. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit hingga mata terpejam tanpa sadar. Hingga di hampir tujuan, Lisa terbangun dan mendapati Didit sedang memainkan hand phone miliknya. "Ah, kamu sudah bangun. Sebentar lagi kita akan tiba. Dan, ini," Ia mengambil topi dari kantong kursi, "Kamu pakai topi karena matahari sudah mulai tinggi." Mobil berhenti pada suatu perkebunan. Lisa memakai topi lalu keluar, disusul Didit. Keduanya memasuki halaman yang penuh dengan bunga berwarna-warni dan beraneka bentuk kemudian keduanya disambut oleh pemilik perkebunan. Dengan ramah, bapak Asep mengantarkan mereka ke kebun miliknya yang ternyata lebih luas dari kelihatannya. Melihat betapa luasnya perkebunan penuh bunga tersebut membuat Lisa kagum hingga mulutnya terbuka. Bunga krisan beraneka warna dan bentuk
Lisa terbangun oleh suara ketukan keras pada pintu kamarnya. Jam lima subuh. Syukurlah, pasti Uni Ami bermaksud membangun dirinya agar tidak terlambat. Dengan lemas ia membuka pintu namun tak ada siapa pun di sana. Ia melongok ke arah samping kiri kamarnya, di kamar Uni Ami, memastikan jika teman sebelah kosnya yang telah mengetuk pintu. Namun pintu temannya tertutup rapat dan tak ada suara apa pun di dalamnya. Seingat Lisa, Uni Ami sedang menginap di rumah tantenya selama akhir pekan. Saat mengalihkan pandangan ke arah kanan bawah, matanya tertuju pada sebuah paket sebesar kotak sepatu. Ada namanya tertera sebagai penerima. Dari Bapak, gumamnya. Segera diambilnya paket tersebut lalu masuk kamar. Biasanya Bapak memberi tahu terlebih dahulu jika akan mengirim sesuatu. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandang paket berbungkus warna hitam dan bermaksud membuka tatkala di saat yang sama sebuah telepon masuk. Didit.
Pantai Ancol di pagi hari masih terlihat sepi. Kebanyakan mereka seperti dirinya dan Didit, pengunjung yang bermaksud olah raga, atau sekedar jalan pagi dan berjemur. Begitu turun dari mobil, Lisa menghirup udara segar pantai dan memandang luasnya air di depan mata. Ia pun melakukan pemanasan dengan melenturkan kaki dan tangan, demikian pula Didit. “Kurasa weekend kamu tak membosankan seperti yang kukira.” Ujar Didit sambil berlari kecil di sisi Lisa. “Hmm, banyak pemandangan indah?” Lisa menunjuk menggunakan dagu ke arah beberapa orang dengan pakaian jogging yang kebanyakan dari mereka mengenakan tank top ketat memperlihatkan belahan dada berikut celana legging ketat warna hitam. Didit tertawa kecil dan menggeleng, “Dari mana kamu berpikir ke arah situ? Harap dicatat, cewek itu dan seperti kebanyakan yang kita lihat sekarang bukanlah tipeku. D