Share

Bab 3. Hampir Putus Asa

"Jadi kamu menuduh suamiku gonta ganti pasangan? Halah ... paling kamu itu iri sama aku kan? Makanya cari suami yang bisa dibanggakan jangan kayak suami sampah mu itu." ejek kak Melly dengan begitu percaya dirinya.

 

Padahal kelakuan lelaki yang berstatus abang iparku itu, sangat buruk diluar sana.

"Semoga Kakak gak malu jumpa Naya, jika mengetahui bagaimana mas Andre yang sebenarnya." sindir Naya. Nampaknya perselisihan kakak beradik ini harus segera dihentikan. Aku tidak ingin terjadi konflik diantara mereka berdua.

"Apa maksudmu, Nay!" Kak Melly mendorong tubuh Naya sehingga wanitaku jatuh terjerembab ke tanah. Di luar para tetangga sudah mulai berkumpul untuk melihat perseteruan kakak beradik tersebut.

"Nay ... kamu jangan memfitnah Kakakmu ya! Heran ibu lihat. Maumu apa sih. Biar Melly bernasib buruk seperti kamu juga? Atau jangan-jangan benar kata Melly. Kamu itu iri terhadapanya!" Ibu mertua bukannya menengahi pertikaian anak-anaknya, malah mengompori dan hanya berpihak sebelah saja.

"Dia ketularan suaminya itu, Bu!" Melly menatap sinis kearahku.

"Kalian jangan mau di adu domba sama lelaki parasit itu!" Ibu mertua menunjuk dengan telunjuk kiri ke mataku.

"Udah, Dek. Ayo kita berangkat. Nanti kita kemalaman di jalan. Kita belum nyari rumah kontrakan lagi." Aku melerai pertengkaran mulut Naya dan Melly.

"Hahaha. Kasian banget Adekku, bucin sama makhluk penghisap darah yang katanya ganteng dan setia tetapi miskin." Ejek kak Melly seketika membuat rona merah diwajah Naya.

"Gak usah dilayani, Dek. Biarkan saja." Ujarku sembari merangkul Naya dan berjalan keluar rumah yang seperti neraka bagi kami berdua.

"Mas, maafkan kak Melly sama ibu ya?" mohon Naya dengan wajah sendu. Kulihat ada kristal bening jatuh di pelupuk matanya.

"Gak ada yang perlu di maafkan, Dek. Mas pantas mendapatkan itu semua."

"Kenapa pantas? Apa Mas bukan dari jenis manusia yang punya hati dan perasaan?" Sarkas Naya kesal.

"Biar saja, Dek. Anggap saja itu pecut buat Mas supaya lebih rajin dalam bekerja. Dan Mas bersumpah akan bekerja keras dan tidak mau melihat lagi istriku dihina seperti ini." Ucapku dengan menggebu-gebu.

Aku dan Naya pergi dari rumah itu dengan perasaan tercabik-cabik. Bukan hanya mertua yang selalu menghina dan membuat luka dihati ini. Tetapi Melly sang kakak yang merasa sangat dicintai oleh suaminya tersebut, begitu sombong seakan dialah wanita paling beruntung hidupnya dimuka bumi ini.

"Woi, sampah. Enyah kau dari sini. Aku mau lihat siapa yang mau menerima manusia seperti kalian?" Teriak kak Melly kesenangan.

"Paling tidur dibawah kolong jembatan atau diemperan toko." sindir ibu mertua dengan tersenyum sinis.

"Pagi-pagi disiram air sama yang punya toko." ucap kak Melly disambut tawa mengejek dari mereka berdua. Bisik-bisik tetangga terdengar sangat menyayat hati. 

Saat ini kami sedang dibawah, aku yakin hidup ini pasti akan berputar. Bagaikan roda berputar dan semoga kelak kami merasakan hidup diatas.

"Gak usah dilayani, Dek. Biar mereka berkoar-koar. Suatu saat mereka akan menyesali perbuatannya," nasehatku.

Menyusuri jalan dengan perasaan kacau karena tidak tahu mau kemana tubuh ini akan kami bawa.

Tanpa terasa kami sudah berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh. Mencari rumah kontrakan yang bisa ditempati untuk sebulan karena uang yang aku punyai hanya bisa membayar sebulan saja.

"Mas , itu ada tulisan rumah yang akan di sewa." Ujar Naya sambil menunjuk kearah rumah yang dimaksud.

"Baiklah. Kita kesana sekarang, semoga bisa sewa bulanan," ujarku seraya menarik lembut tangan wanita berkulit putih susu itu.

"Assalamualaikum." Sapa Naya begitu dia melihat ibu-ibu yang sedang duduk di teras rumah bersebelahan dengan rumah yang mau disewakan tersebut.

"Wa alaikum salam." Jawab mereka serentak seakan dikomandoi saja.

"Ada apa, ya?" Tanya si ibu berkerudung biru dengan wajah seperti orang penasaran saja sambil melirik ke arah kami secara bergantian.

"Saya mau nanya, rumah sewa yang disebelah ini. Apa sudah ada yang nyewa atau belum ya, Bu?" Tanya Naya sembari menunjuk rumah yang dimaksus dengan jempol kanannya.

"Belum ada yang nyewa nampaknya,  Neng. Tapi kurang tau juga, sih. Coba tanya aja langsung ke orangnya. Disitu kan ada nomor telponnya. Atau temui aja langsung kerumahnya." Saran ibu berbaju kuning. Mereka menyarankan kami untuk menjumpai langsung pemilik kontrakan.

"Kami gak memiliki ponsel. Kalau boleh tau alamatnya dimana ya?"

"Kalian jalan saja lurus pas diperempatan jalan itu kamu belok kekiri. Disitu ada rumah minimalis dan bercat putih gading. Nah rumah minimalis itu rumah pak Sobri. Atau kalau kurang jelas juga nanti, tanya aja sama orang-orang disitu, dimana rumah pak Sobri pemilik kontrakan gang bougenville mereka tau semua kok."

"Oke. Makasih, Bu. Saya permisi dulu." Ujar Naya sopan dengan tersenyum semanis mungkin.

Setelah berjalan kaki selama kurang lebih setengan jam. Akhirnya kami sampai juga di depan rumah juragan kontrakan. Rumahnya tidak terlalu besar tapi cukup mewah untuk ukuran rumah minimalis.

Tok ... tok ... tok.

Naya terus saja mengetuk pintu dan tidak lama kemudian keluarlah seorang wanita berdaster motif bunga matahari.

"Assalamualaikum." 

"Wa alaikum salam.  Ada apa, ya?" Jawab seorang ibu dengan ramah. 

"Saya mau nanya, Bu. Rumah kontrakan dipinggir jalan itu punya Ibu?"

"Oh iya betul, Nak."

"Bisa nyewa bulanan gak, Bu."

"Maaf, Nak. Minimal setahunlah. Kalau bulanan, uangnya habis gak jelas." Ucap si ibu terkekeh.

"Oalah. Gak bisa bulanan ya? Ya udahlah kalau begitu. Kami permisi, Bu." Ujar wanita ku sendu. Kasian benar dia.

"Iya ... ya. Maafkan Ibu ya, Nak."

"Gak apa, Bu."

Tidak mau berlama-lama karena hari semakin sore dan kami belum mempunyai tempat tinggal, akhirnya kami berdua meninggalkan rumah pemilik kontrakan untuk mencari kontrakan lain. Semoga saja segera mendapatkan rumah sebelum maghrib. Kasihan juga kulihat Naya jika kami harus tidur di mesjid.

Tak terasa bulir air mata jatuh membasahi pipi ini. Tak sanggup lagi rasanya aku menanggung beban hidup yang begitu berat.

"Maafkan Mas ya, Dek. Mas telah gagal menjadi seorang suami. Rumah untuk istri aja gak sanggup Mas sediakan." Aku merasa saat ini sangat hancur dan merasa manusia paling hina karena telah gagal menjadi suami yang bertanggung jawab.

"Entah kesalahan apa yang telah Mas perbuat sehingga cobaan tidak habis-habisnya. Kenapa takdir begitu kejam." Gumamku lirih. Ternyata Naya mendengarkan keluhan suaminya yang sudah putus asa.

"Mas gak boleh ngomong begitu. Kita 'kan gak tau rencana Allah kedepan untuk rumah tangga kita bagaimana. Semoga saja kedepannya kita gak seperti ini lagi. Ayoklah kita jalan lagi mencari kontrakan daripada mengeluh tidak akan membantu kita, malah semakin membuat kita menjadi hancur. Bersyukur aja karena kita masih diberi kesehatan."

 

"Mas malu belum bisa membahagiakan kamu. Mas ini lelaki tidak berguna. Hanya jadi benalu saja dalam keluarga kamu. Memang pantas Mas di hina dan direndahkan sama ipar dan mertua." Buat apa aku hidup jika hanya jadi beban saja. Ingin rasanya ku akhiri saja hidup ini. Kasian Naya menderita karena memilih aku lelaki miskin dan tidak jelas penghasilannya. Walaupun aku selalu berusaha dengan bekerja banting tulang tetapi hasilnya tidak seberapa.

Mungkin jika aku mati Naya bisa mencari lelaki yang lebih kaya dari aku saat ini.

 

Sekilas aku melirik wajah istriku yang kuyu. Kasihan dia selama hidup bersamaku tidak pernah sekalipun dia merasakan bahagia. Tetapi dia rela diusir keluarga demi tetap hidup bersamaku.

"Lelaki miskin. Lelaki benalu. Lelaki sampah." Begitulah kata-kata yanag selalu disematkan untuk pria macam aku.

"Jika Mas menyerah bagaimana dengan nasibku," ujar Naya seakan dia tahu bagaimana isi suaminya saat ini.

"Mas, jangan pernah meninggalkan aku sendiri. Jika Mas tidak ada disini, kemana aku harus pergi. Hanya Mas satu-satunya yang aku punyai saat ini. Keluarga sudah tidak menerima lagi. Adek gak mau mengemis sama mereka. Jadi tolong, Mas. Susah senang kita hadapi berdua. Kita harus saling menguatkan karena hanya kita berdua yang tau masalah kita," ucapnya kemudian.

Degh.

Kata-kata Naya seakan menyadarkan dari keterpurukan ini. Aku pria yang egois. Hanya memikirkan kesenangan sendiri tanpa mau tahu bagaimana terpukulnya Naya. Demi aku, dia rela dicampakkan keluarganya. Jika aku mati bagaimana nasib Naya? Pasti dia tidak diterima keluarganya lagi. Gaji pun sudah diberikan untuk ibunya semua.

Ya Allah. Berilah kekuatan untuk kami.

"Ayo, kita berangkat, Dek." Ku genggam tangan pujaan hatiku mencari tempat hunian baru untuk keluarga kecil kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status