Share

Bab 2

"Nggak papa, kenapa turun?" 

Lelaki itu terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Tidak pernah aku pungkiri lelaki itu masih sama. Dia mengusap keringat yang hendak menetes pada kening. 

"Dek, kamu jual dulu ya cincin kamu?" pinta Mas Bambang.

****

"Tapi, Mas. Ini kan cincin terakhir yang aku punya."

"Iya, aku ngerti. Besok aku ganti, Mas janji."

"Bukan masalah ganti atau tidaknya. Tapi ini kan cincin pernikahan kita. Masak iya harus dijual?"

"Lantas bagaimana kita makan, Dek? Aku sudah tidak punya uang lagi."

"Makanya, kerja dong Mas!"

"Kan kamu tahu sendiri aku juga lagi berusaha, jadi untuk saat ini kita jual cincin ini dulu ya!"

"Ya sudah kalau begitu, Ini!" Aku melepas cincin itu dengan terpaksa. Memberikannya pada Mas Bambang yang sedari tadi menatapku. 

Aku terus saja setia mengikuti kemana laki-laki itu membawaku. 

Tidak butuh waktu lama, Mas Bambang melajukan kendaraannya  hingga tiba di salah satu toko emas tempat dimana aku dan juga Mas Bambang dulu membelinya.

"Surat-suratnya mana, Dek?"

"Surat apaan?" Aku berlagak tidak tahu. Meskipun pada kenyataannya surat yang di maksud Mas Bambang adalah surat cincin itu. Bagaimana bisa kita menjual emas tanpa surat-suratnya bisa-bisa harganya tidak seperti yang diperkirakan. Kan sayang. 

"Surat cincin ini?" Lelaki itu kembali bertanya. Aku mengusap perutku yang sudah besar sembari membuang wajah ke sembarang arah. 

"Nggak tahu."

"Kok nggak tahu sih?" tanya lelaki itu. Rahangnya mulai mengeras saat melihatku yang enggan memberi surat cincin tersebut. Lelaki itu tahu bahwa aku sebenarnya tidak rela melepas cincin pemberiannya. 

Dibawanya aku pada kursi tunggu yang terlihat ada beberapa orang tengah duduk. Lelaki itu menggenggam tanganku lalu menatapku lekat. 

"Mas janji akan mengganti semuanya. Tapi untuk saat ini kita butuh uang. Satu-satunya jalan keluar kita harus menjual cincin ini."

Entah mengapa bulir-bulir air mata itu tumpah juga pada akhirnya. Aku tidak bisa menahan tangis. Meskipun dengan sekuat tenaga aku menahannya.

Dibawanya kepalaku ke dalam dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin lelaki itu saat ini juga marah dengan kondisi dan juga keadaan. 

Kami tidak peduli dengan tatapan banyak orang ke arah kami. Memang kenyataannya kami tengah kesulitan.

Aku mengurai pelukan Mas Bambang. Lalu mengusap jejak air mataku dengan ujung jilbab persegi berwarna ungu.

Tanganku merogoh dompet berwarna merah muda. Warnanya yang sudah mulai pudar itu terlihat usang. Aku mengambil selembar kertas berwarna kuning yang aku lipat hingga kecil. 

"Ini, Mas."

"Terima kasih, Dek. Aku janji nanti kalau sudah dapet kerjaan aku ganti semua."

Aku hanya bisa mengangguk. Karena memang begini kondisiku saat ini, miris.

Aku masih setia menunggu lelaki itu yang tengah menjual cincin satu-satunya yang aku miliki. Kupandangi jari jemari yang masih jelas terlihat bekas cincin melingkar.

Tidak berapa lama lelaki itu sudah datang. Dia memasukan uang kedalam saku celananya lalu mengajakku pergi.

"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bambang selama di perjalanan.

"Kita pulang saja, Mas. Sayang uangnya. Kita lagi nggak punya uang."

"Nggak papa, sekali-kali boleh. Coba tanya sama anak kita. Dia mau makan apa hari ini?"

Aku tersenyum, memang selama hamil aku selalu menahan keinginan karena memang tidak punya uang. Daripada membeli makanan keinginanku sendiri lebih baik aku membelanjakan kebutuhan rumah. Meskipun aku dan Mas Bambang masih mengontrak tentunya.

****

Jam menunjukan angka empat tepat. Aku menggeliat, mengusap perutku yang sudah besar. Lalu tersenyum ke arahnya.

"Alhamdulilah, kita masih diberi nafas untuk hari ingin ya sayang ya. Terima kasih ya, kamu sudah bersabar menemani Ibu sampai saat ini. Ibu udah nggak sabar lagi ketemu kamu. Kamu sehat-sehat ya di sini. Kita ketemu dua bulan lagi." Aku berbicara sendiri. Tidak berapa lama suara adzan berkumandang. Aku segera membangunkan Mas Bambang lalu menuruni ranjang menuju kamar mandi.

Dua rakaat sudah ditunaikan. Aku mencium tangan Mas Bambang dengan takzim. Lalu lelaki itu mencium puncak kepalaku.

"Kamu mau masak apa hari ini?" 

"Mas Bambang mau dimasakin apa?" 

"Hem, kita goreng ikan aja ya? Sama sayur buat kamu gimana?" 

"Ikan? Bukannya mahal ya?"

"Nggak papa sekali-sekali."

Aku tersenyum lalu mengangguk.

Mas Bambang selalu menemaniku jalan pagi. Karena nantinya kami akan mampir sekalian di warung tempat jualan sayur. 

Disaat aku tengah memilih ikan segar. Tiba-tiba suara yang aku kenal terdengar nyaring di telinga.

"Lho … katanya nggak punya duit. Kok belanja ikan?" 

Aku menoleh ke sumber suara. Benar saja wanita tua yang begitu aku kenal itu terlihat mencebik. Lalu memutar bola matanya dengan malas tanpa menatap ke arahku.

Beberapa pembeli lainnya terdengar berbisik. Sedangkan Mas Bambang terlihat menggelengkan kepala. 

"Ibu pelankan suaramu itu, malu dilihat orang," bisik Mas Bambang melihat tingkah ibunya itu.

"Malu kamu bilang, Bambang? Yang malu itu seharusnya kamu dan istri kamu ini. Kemarin bilang mau pinjam uang. Sekarang malah beli ikan. Kamu mau nipu Ibu? Ha?" Suara wanita itu semakin lantang tidak bisa di kontrol. Sedangkan Mas Bambang yang mendengarnya hanya bisa memejamkan mata lalu membukanya kembali.

Aku masih diam. Meskipun dalam hati, gemuruh hebat ingin sekali menjawab ucapan menohok mertuaku itu. Namun sayang, ada janin yang harus aku jaga

 Berkali-kali aku istighfar dalam hati agar janin yang tengah aku kandung tidak terjadi apa-apa. Sesekali aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. 

"Bu …."

"Apa? Kamu mau bilang kalau istrimu itu baik hati dan juga tidak sombong?!"

"Astagfirullahaladzim, ini banyak orang lho Bu. Ibu nggak malu?" Bambang menenangkan Ibunya. Namun entah setan apa yang sudah merasuki wanita tua itu. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di warung tempat aku berbelanja. Meskipun jarak antara rumah ibu mertua dengan kontrakanku tidak terlalu jauh. Namun jika Ibu pergi ke warung yang sama denganku. Rasanya terlalu jauh jika hanya sekedar ingin membeli sayur.

"Ibu bicara seperti itu justru memperlihatkan sikap Ibu yang sebenarnya. Iya kan Ibu-ibu?" Akhirnya pertahananku jebol juga pada akhirnya.

"Iya, Ibu ini kalau baik tidak akan berbicara seperti itu."

"Sa-saya itu baik kalau menantu saya juga baik. Kalian bisa menilai sendiri kan, gimana saya bersikap? Berarti memang menantu saya yang tidak baik."

"Mbak Wiranti Itu baik kok orangnya sama tetangga.  Masak iya sama Ibu mertua tidak baik?" tanya salah satu warga.

Ibu mertuaku terlihat mencebik. Lalu menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.

"Kamu mau mempermalukan Ibu?" tanya Ibu dengan nada berbisik.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status