Tubuh semampai seorang gadis berusia 18 tahun menggeliat di atas kasur hotel. Kemeja berwarna putih itu masih melekat di tubuhnya. Tadi malam, Ayuna ke buru tertidur saat seorang pelayan membawakan nya pakaian. Eugene bangun dari ranjang, melirik Sang Istri yang sudah tertidur dengan pose melintang. Kaki Ayuna berada di atas perutnya sedangkan kepalanya hampir jatuh ke bawah. “ Dasar bocah, tidur aja enggak Bener.” Eugene menepis kaki Ayuna dan melempar selimut tebal ke paha Ayuna yang terekspos.
Eugene menguap, melentangkan ke dua tangan untuk merenggangkan ototnya agar lemas. Bangkit dari kasur. Melangkah ke kamar mandi.
Mata Ayuna terbuka saat suara pintu di tutup keras. Dengan tertatih-tatih ia bangkit dari kasur. Menguap lebar dan mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Melihat setiap sudut kamar hotel yang tampak sama. Setelah menyadari tadi malam ia tidur satu ranjang dengan Eugene. Langsung menyilangkan ke dua tangan. “Awas ya! Kalau Om Eugene berani sama Yuna. Bakalan Yuna goreng jadi tempe penyet.”
“Kau sudah bangun?” Suara bariton itu mengagetkan Ayuna, hampir saja ia jatuh ke bawah ranjang.
“Om Eugene kebiasaan gak pakek baju, bikin jantung Yuna olahraga pagi aja.”
Eugene mendekat hanya menggunakan handuk yang di lilitkan di bawah pinggang. Melepas handuk tersebut dan melempar pada wajah Ayuna. “Aa...Om Mau ngapain Yuna?” jerit Ayuna.
“Jangan pikir macam-macam bocah kecil. Tolong letakkan di kamar mandi kembali.” Eugene mengambil seragam polisi yang di antar pelayan tadi malam.
Ayuna menarik handuk basah yang terlempar di wajahnya. Bola mata Ayuna menangkap Eugene menggunakan boxer. Membuat gadis itu bernafas lega.
“Cepat mandi, kau bisa telat nanti!” Gadis itu mengangguk dan berlari menuju kamar mandi sambil menenteng handuk Eugene yang mamel.
30 menit kemudian, Ayuna menghanduki seluruh bagian tubuhnya yang basah. Lalu mengambil seragam sekolah yang di berikan Eugene. Kata Pria itu, Emma datang ke hotel untuk menyerahkan seragam Ayuna lalu pulang kembali.
Kaki Ayuna melangkah pelan menuju ranjang. Di sudut kamar, ada seorang lelaki yang memakan sarapan. Lengkap dengan kopi dan koran. “Sana makan! Keburu dingin.”
“Om, nanti siapa yang nganterin Yuna?”
“Saya kan sudah menjadi suami kamu, jadi saya punya kewajiban buat nganterin kamu ke sekolah.” Mata Eugene tak fokus, pandangannya jatuh di sebuah kancing baju Ayuna yang lepas. Lagi-lagi ia menelan saliva kasar.
“Kenapa Om?” Mata Ayuna mengikuti arah pandangan Eugene. Gadis itu tersentak, saat mengetahui satu kancing seragam nya lepas.
“Astaga, Om mesum banget sih. Nyari kesempatan dalam kesempitan.” Ayuna berbalik badan meninggalkan Eugene masih mematung. Ekor mata Eugene mengikuti gerak Ayuna.
Tangan Ayuna meraba gaun pengantin miliknya, ia ingat betul. Gaun yang ia kenakan saat resepsi ini memiliki peniti atau sebangsanya. Yang terpenting baju Ayuna tak terbuka kembali. Membuat Eugene dengan leluasa mencuri kesempatan.
“Ah ketemu!” cicit Ayuna.
****
Sebuah motor berwarna hitam berhenti di depan sekolah Swasta. Gadis yang berada di belakangnya itu turun, melepas Helm full face. Membenarkan rambut yang berantakan akibat memakai benda bulat dengan lobang tersebut, “Ih Om Eugene nganterin Yuna pakek motor, jadi berantakan kan rambut cantik dan imut Yuna.” Menyerahkan helm pada Eugene.
“Kau harus terbiasa, mulai sekarang aku akan mengantarmu menggunakan motor.”
Pipi cuby Ayuna menggembung. Ia menghentakan kakinya sebal. Lalu pergi tanpa mengucap salam atau pun satu dua patah kata. Melangkah menjauhi Eugene dengan memegang ujung tali tas.
Buk!
Sebuah tangan menepuk bahu, “Hmm! Hmm! ya abis malam pertama ni Nyet?” Goda Toby.
Ayuna menepis tangan Toby, “ Resek banget loe Nyet....”
“Apa sih?” Wanda berlari kearah dua sahabatnya dan mengimbangi langkah mereka.
“Ni loe teman loe, masa ngejek Yuna.”
“Sorry...”
“Inget! Pernikahan ini masih rahasia. Jangan sampek murid lain tahu. Yuna bakalan mati.”
“Siap Nyet!”
Mereka bertiga beriringan berjalan menuju kelas. Semua mata memandang ke arah Ayuna dan ke dua temannya. Sampai di depan kelas, mereka bertiga langsung berhambur ke kursi masing-masing. Ayuna menjatuhkan tas di bangku, lalu Toby mendekat.
“Gue penasaran ni, gimana malam pertama loe? Pasti asyik tu?” ujar suara lirih, agar murid lain tak mendengar. Wanda memukul tengkuk Toby, membuat lelaki itu meringis kesakitan. “ Kunti satu ini nyebelin banget sih,” cerca Toby.
“Loe tu, jangan nanyak begituan deh.”
“Emang kenapa? Yuna enggak keberatan kok. Iya kan Yuna?” Toby mengedipkan mata pada Ayuna, “Apa jangan-jangan loe iri, Hah?”
Ayuna melengos, lalu merogoh laci mejanya. Berniat mengambil buku yang selalu ia tinggal di dalam kelas. Gadis itu terperanjat saat menemukan benda misterius di dalam laci. Buru-buru ia mengeluarkan benda tersebut. Sebuah kota berwarna merah hati dengan pita kupu-kupu berwarna merah muda.
Toby dan Wanda ikut terkejut melihat kado misterius untuk Ayuna. “Apaan tu Yun?”
“Mana gue tahu, kita kan dateng bertiga.”
Toby langsung merampas kota misterius itu, lalu mengakat ke atas. Menunjukkan pada seluruh teman kelas Ayuna, “Hai Guys...ada yang tahu kota ini dari siapa?”
Seisi kelas langsung terdiam. Dan menatap kota tersebut, “Mana gue tahu!”
“Mungkin dari fans klubnya Ayuna!” timpal Pria paling terkenal di kelas mereka.
Toby menurunkan kota tersebut dan menyerahkan pada Sang Pemiliknya kembali.
***
Senja mulai muncul. Langit berwarna kemerah-merahan. Udara dingin perlahan hadir. Lampu jalan satu persatu menyala. Sebuah motor Sport besar berhenti di depan masion.
“Om! Besok pakek mobil ya?”
“Enggak, kita akan tetap menggunakan motor ini.”
“Ih Om KDRT sama istri!”
“Kok bisa? Saya ngapain kamu?”
“Iya, Om biarin panas matahari masuk ke kulit Ayuna.”
Eugene melengos denagn alasan Ayuna yang tak masuk akal dan melangkah meninggalkan gadis yang baru ia nikahi. Di tatap bangunan mansion megah dan mewah. Tempat di mana Eugene di besarkan. Pintu masion terbuka secara otomatis tanpa di dorong Eugene. Ayuna buru-buru berlari menghampiri Sang Suami. Akhirnya dua pasang suami istri itu berjalan beriringan menuju ke dalam bangunan mewah yang berwarna keemasan.
Meja makan itu penuh oleh keluarga Smith. Ayuna mendelik, saat satu monster berkumpul di antar yang lain. Lalu Ia menarik kursi berwarna emas itu dan segera duduk di atasnya. “Maaf Ma kami telat, hari Ada acara di sekolahannya Yuna. jadi kami tidak langsung pulang.”
“Begitulah jika punya istri seorang murid SMA. Masih sibuk dengan sekolahnya, bagaimana kamu bisa mempunyai anak jika tiap hari istrimu selalu di sibuk kan dengan kegiatan sekolah.” Timpal Mama Eugene. Semuanya diam tak berkutik. Ruth Smith tak ada di meja makan, andai ia ada pasti lelaki tua itu langsung membelanya.
“Saya-" Kaki Eugene buru-buru menginjak kaki Ayuna. Membuat ia melirik sekilas.
“Diam lah, jangan cari masalah. Atau kita tidak jadi pindah dari rumah ini." Bisik Eugene membuat gadis itu mengangguk. Ia senang karena ucapan Eugene, ia kira hari-harinya akan ia habiskan ke dalam mansion ini tapi ternyata Sang Suami punya rencana pindah dari rumah.
Satu-satu persatu masakan di letakkan di atas meja. Membuat ludah Ayuna seperti akan menetes. Meneguk saliva kasar dengan mata berbinar-binar.
“Oh iya Eugene, Mama sudah pesankan paket honeymoon untuk kalian berdua. Berlibur lah seminggu atau berapa hari ke depan dan segera beri Mama cucu!”
Alis tipis Ayuna terangkat, “Apa? Honeymoon.”
Gadis berbaju berwarna merah tanpa lengan di padukan dengan celana colot berwarna putih berdiri di samping kolam renang. Mendekap tubuhnya sendiri yang ke dinginan. Mengamati pantulan bulan dalam kolam berwarna biru tua. Suara derup langkah mendekat. Gadis itu membalikkan badan. Melayangkan pandangan pada istri adik iparnya. “Ada apa?”Hanami memperhatikan sekeliling berharap pembicaraan mereka tidak ada yang mendengar. Saat semua benar-benar aman, Hanami mencari kata yang akan di sampaikan pada Ayuna. “Kau tahu, kemarin aku hampir dapat masalah karena Mami. Gara-gara aku tak mau mengandung anak Ken.”“Lalu?”“Apa kau bodoh, nenek lampir itu sangat menginginkan cucu. Dia tidak akan berhenti beroceh jika tidak mendapatkan ahli waris.”“Hah, siapa? Nenek lampir yang mana? Aku tidak tahu di rumah ini ada nenek lam lampir.” Hanami memegang pelipisnya. Gadis yang di depannya sa
Dengan sigap Eugene menangkap tubuh kecil padat Ayuna yang hampir mencium rumput. Cangkir berukir bunga itu jatuh. Isinya pun tumpah tak meninggalkan sisa. Eugene masih merangkul tubuh Sang Istri yang akan jatuh. Manik keduanya saling beradu. Ayuna merasakan debaran pada jantungnya. Manik berwarna amber, hidung besar dan ada luka di pangkal hidung serta keringat yang bercucuran membuat Eugene semakin tampan.“Yuna, Eugene, Kalian sedang apa? Cepat masuk waktunya sarapan. Pacarannya nanti,” teriak Mami Ananta dari jauh.Eugene melepaskan tubuh Ayuna. Pantat Ayuna mencium lantai. “Aw! Sakit tahu Om! Bilang dong kalau mau di Lepasin,” runtuk Ayuna sambil memukuli pantatnya yang kotor, membersihkan noda yang tersisa. Lelaki itu malah pergi meninggalkan Ayuna yang masih terduduk di rumput. Ayuna bangkit dan mengejar Sang Perwira polisi.Seluruh keluarga sudah berkumpul di meja makan. Hanya Hanami yang pergi entah ke mana di
Lelaki memakai kemeja itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Walaupun pandangannya terhalang oleh para pelancong yang berlalu lalang. Tapi ia tak menyerah menemukan Sang Istri. Setelah sekitar 10 menit berkeliling Pasar malam. Tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung bajunya. Dia adalah Ayuna, gadis yang ia cari. “Om beliin itu!” pinta Ayuna mengiba. Pria yang ada di depannya itu menarik nafas lega, akhirnya yang di cari telah kembali. Mengikuti arah Ayuna. Tangan Ayuna memegang pergelangan tangan Eugene. Mereka sampai di penjual arum manis.“Pak! beli lima ribuan dua. di bentuk Ayam ya!”“Baik Neng!” Lelaki itu dengan sigap membuatkan pesanan Ayuna. Gadis itu senang menanti arum manis miliknya.“Kamu dari mana?”“Tadi Yuna liet anak kecil Om ke pisah sama ibunya, Terus Yuna nganterin ke deh.”“Lain kali bilang dulu Kalau kamu mau pergi. gimana kalau tiba-tiba kamu ilang. Mami sama Papa pasti marah sama saya.”“Oke siap Om" Memberi
Seorang Pria dengan rambut cepak. Seragam SMA yang acak-acakan duduk di kursi taman berwarna putih. Perasaannya tak menentu saat menunggu gadis pujaannya. Perasaan cinta itu tumbuh saat kelas sebelas akhir. Namun, sangat sulit mengungkapkan perasaannya. Pria berumur 18 tahun itu berpangku tangan, sedangkan matanya menyapu seluruh sudut taman.Suara derup langkah mendekat, “ Lay! Ternyata kamu yang ngirim Yuna hadiah dari kemarin.” Gadis itu berdiri di samping kursi. Kedua jemarinya saling bertautan satu sama lain.Lay berdiri, detak jantungnya semakin terpompa. Kupu-kupu kecil bertebaran di perut. “A-aku s-se-neng kamu datang!” ujar Lay dengan gugup. Panggilan Ayuna berubah dari ‘Gue Elo’ ke ‘Aku kamu’. Berati sesuatu yang di takutkan Ayuna terjadi.“Kenapa Lay panggil Yuna?” Lelaki itu terdiam, sedangkan alas sepatunya menghentak-hentakkan permukaan bumi. Keringat dingin bercucu
Matahari tenggelam. Di gantikan oleh rembulan yang menggantung sempurna di langit. Kilauan bintang bertaburan di hamparan malam. Angin malam masuk dari cela-cela jendela kamar Eugene. Gadis itu gelisah sambil meletakkan pakaian Eugene di keranjang kotor terbuat dari jerami. Mata hazel itu menangkap ‘Ulli’ boneka jerapa kesayangannya. Boneka itu terlihat sangat usang.“Ulli...kamu tahu enggak? Barusan Yuna megang bajunya Om Eugene. Terus bajunya berdarah, gimana dong Ulli kalau Om Eugene terluka.” Gadis itu melirik pintu kamar mandi yang tetap tertutup rapat. Jarum panjang menunjukkan angka 11. Padahal tadi Eugene masuk ketika jarum panjang di angka 1. Hampir satu jam lelaki itu di dalam kamar mandi.“Ulli! OM kok enggak keluar, jangan-jangan Om Eugene mati lagi di dalam.” Kaki jenjang Ayuna melangkah menuju pintu kamar mandi. Mengetok dada pintu. Namun, sampai lima kali ketukan. Lelaki itu tak kunjung keluar. Pera
Eugene berdiri meletakkan cangkir kopi yang tadi di seduh. Mengamati setiap huruf di kertas buram. Membaca berita terkini dari sumber terpercaya. Pria parau baya duduk di depannya sambil membawa cangkir. Eugene mendongak, memeriksa siapa yang hadir di depannya. Dia adalah Ruth Smith kepala keluarga di Keluarga Smith.“Pulang kapan?”“Udah, tadi malam.” Lelaki tua itu sibuk dengan berkasnya. Tersenyum mengembang, saat melihat tanda tangan tergores di kertas putih. Ternyata sangat gampang menipu menantunya.Sebuah nada Bib berbunyi dari balik gawai. Setelah menerima pesan dari temannya. Eugene berdiri dan melempar koran di meja. “Pa Aku berangkat dulu!”“Enggak sarapan dulu?”“Enggak Pa, makan di kantor saja. Ada tugas.”“Oh baiklah, hati-hati di jalan.” Entah kenapa perasaan Eugene tak enak. Lelaki itu segera pergi ke kantor polisi. Tanpa kembali ke kamarnya. Lelaki
Rembulan berwarna keemasan menggantung sempurna di atas langit. Bintang-bintang berhamburan, menemani rajanya malam. Malam ini terasa berbeda dari sebelumnya. Seorang polisi harus menghabiskan malam panjang menemani Sang Istri. Lelaki itu sudah menebak apa yang terjadi pada gadis yatim piatu itu. Pasti Mami Ananta yang mengurungnya. Seburuk-buruk tindakan Sang Ibu. Perempuan Paru baya itu pasti punya alasan yang kuat mengurung Ayuna.“Aku di mana?” Pertanyaan itu keluar dari bibir kecil Ayuna. Lelaki yang tertidur di kursi itu langsung terbangun setelah mendengar suara Sang Istri.Gadis itu dia sesaat, “Kenapa Yuna bisa ada di rumah sakit Om? Yuna enggak hamil kan?” Ayuna mengakat pergelangan tangan yang di pasangan Infus. “Orang kata Toby, Tantenya pernah di bawa ke rumah sakit waktu pertama hamil.”Eugene mendorong dahi Sang Istri dengan jari telunjuk, “Enggak semua orang yang di bawa ke
Perkataan Mami Ananta menggema di pikiran Eugene. Lelaki itu tak bisa membayangkan berdua dengan gadis abnormal itu. Pria beralis tebal berjalan menuju kantornya dengan melamun. Tak menyadari ada seorang lelaki berkulit gelap ada di depannya. Dua dada kekar saling terbentur. Lelaki itu memintak maaf pada Eugene dengan memberi hormat. “Pagi Komandan!”“Iya. Dari mana ?”“Kantor Anda.” Eugene bisa menebak apa yang di lakukan Surya. Pasti ia mengizinkan sepupunya untuk masuk ke dalam . Lelaki bermata coklat keemasan itu masuk ke dalam ruangan. Melihat seorang gadis cantik mengenakan mini dress pink pastel. Violet berdiri. Sekarang gadis itu sangat anggun. Beda dengan dulu, yang selalu mengenakan pakaian seksi.“Yang! Aku bawakan makanan.” Gadis itu mengeluarkan sekotak bekal untuk Eugene dari dalam paper back.“Aku sudah makan.” Eugene menyeret kursi miliknya. Mem