Share

Bab V

Lelaki itu berjalan dengan lunglai, dia sedang mabuk. Tadi malam ia menghabiskan waktu untuk meminum alkohol seperti biasa. Tidak ada yang menemaninya untuk menghabiskan beberapa botol alkohol, karena kesibukan temannya masing-masing.

Ia memegang kenop pintu rumahnya, terkunci ternyata. Saat ia ingin mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, satu tangan lebih dahulu membukakan pintu tersebut, ia adalah Arka kembarannya.

Arsa masuk lebih dahulu, ia menerjapkan matanya guna untuk melangkahkan kakinya naik ke tangga untuk menuju kamarnya. Tapi tubuhnya begitu lemah dan pandangannya buram, jadi ia pun beberapa kali tersungkur. Arka dengan sigap membantu Arsa bangun, tapi lelaki itu menepisnya.

"Gua ga butuh bantuan lo," decak Arsa sambil menunjuk ke arah wajah Arka dan ia kembali naik ke atas menuju kamarnya. Arka menatapinya dari bawah berjaga-jaga agar saudaranya itu tidak jatuh lagi.

Arsa memasuki kamarnya dan langsung merebahkan dirinya. Ia memijat keningnya untuk menghilangkan rasa pusing.

TOK TOK

Suara ketukan pintu terdengar. Arsa menggeram dan ia menatap tajam ke arah seseorang yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi kalau bukan Arka. Ia tak senang jika tidurnya diganggu, apalagi Arka adalah orang yang sangat ia benci kedua setelah ayahnya.

Dengan pandangan yang buram, Arsa membuka pintu tersebut, "Ada apa, ga bosen lo ganggu kegiatan gua mulu," desis Arsa dengan tatapan tajam ke Arka.

Arka memberikannya sekaleng susu beruang dan juga air putih, "Buat hilangin mabuk kamu," ucapnya dengan senyuman tulus ke arah adiknya.

Arsa memutar matanya malas dan menutup kembali pintu itu dengan kasar serta kembali merebahkan dirinya ke kasur.

"Saya taruh di pinggir kanan pintu ya, Sa." Setelah itu Arka pergi dari pintu kamar Arsa.

Lelaki itu hanya mendecih mendengarnya dan mulai memejamkan matanya. Baru beberapa menit memejamkan matanya, panggilan masuk dari Satria. Lelaki itu mendengus kesal dan berjanji akan menghajar Satria nanti, dengan kesal Arsa menjawab panggilan tersebut.

"Apa!" ketus Arsa.

"Sa! Lo harus kesini, Gibran dihajar gengster, gue sama Radit on the way kesana."  Arsa tidak mendengar perkataan Satria, karena terlalu bising kendaraan di panggilan telepon itu.

"Apa? Suara lo ga kedengeran," sahut Arsa.

Satria mendecak, "Gibran dihajar orang!"

Arsa yang mendengar perkataan Satria langsung membelalakkan matanya dan dengan terburu-buru langsung bangkit dan mengambil jaketnya yang tergantung.

"Gua kesana, kalian duluan bantuin Gibran," jawabnya. Setelah itu menutup panggilan tersebut.

Ia membuka pintu tersebut dengan terburu-buru, Arsa menoleh ke samping dan melihat air putih dan susu beruang ada disana. Ia mendecak sebal dan merutuki situasinya sekarang, ia masih merasa pusing dan belum seratus persen sadar, tetapi apa boleh buat sekarang ia harus menyingkirkan egonya dan segera meminum susu beruang pemberian Arka.

Arsa langsung meminumnya habis dan membuang botol tersebut. Arka melihat Arsa sedang terburu-buru turun dari tangga.

"Mau kemana, Sa?" tanya Arka sambil mencengkram tangan Arsa. Lelaki itu melihat ke arah Arka, menatap tajam lelaki itu agar melepaskan tangannya. Arka dengan cepat melepaskan tangannya. Arsa pergi, menghiraukan perkataan saudaranya itu dan ia bergegas langsung pergi ke bagasi rumahnya,  menyalakan motornya.

(...)

Satria dan Radit sedang menunggu Arsa di pinggir gang menuju tempat itu. Arsa datang dan membuka kaca helmnya, "Gibran?"

Radit menunjuk ke arah gudang kosong tersebut, "Ck, terus kalian ngapain nunggu disini bego!" serunya.

"Ya nungguin lo lah anjir, kalau gue sama Radit masuk kesana nanti nambah runyam," jawabnya. Arsa hanya menghela napasnya kasar.

Lelaki itu langsung menutup kaca helmnya serta menyalakan motornya dan menancapkan gas menuju gudang kosong yang di tunjuk oleh Radit. Satria dan Radit menyusulnya menggunakan mobil.

Sesampainya di sana, Arsa sudah lebih dulu turun dari motornya dan masuk ke dalam gudang tersebut. Sepi, hanya ada beberapa kayu dan juga banyak debu.

Mata lelaki itu menjelajahi setiap sudut gedung tersebut, ia melangkahkan kakinya menuju tangga dan terlihat Gibran yang terkapar di lantai serta wajahnya yang sudah babak belur. Arsa langsung berlari ke arah Gibran, "Dimana mereka!?" seru Arsa.

Gibran menggeleng lemah, Arsa menjambak rambutnya dengan kasar, "Ah anjing!" teriaknya.

Arsa langsung membopong tubuh Gibran di punggunya dan membawanya keluar dari gudang. Satria dan Radit yang baru mau naik tangga langsung menyuruh Arsa menurunkan tubuh Gibran.

"Kalian bawa Gibran ke rumah sakit."

Radit menautkan alisnya, "Lo mau ke mana, jangan bilang?"

"Ada yang harus gua selesaikan. Titip Gibran," jawabnya. Setelah itu meninggalkan teman-temannya yang menghela napas kasar.

(...)

Arsa mengelilingi daerah sekitar gudang guna mencari pelaku yang membuat temannya babak belur seperti itu, walaupun ia sudah mengelilingi daerah itu sebanyak tiga kali. Tapi saat ia tak sengaja lewat depan warteg yang berada di pinggir jalan ia melihat lima orang sedang asik makan sambil tertawa-tawa, ia mencurigai mereka.

Untuk membuktikan kalau kecurigaannya benar dan mereka lah yang membuat Gibran seperti itu. Arsa memarkirkan motornya di depan warteg tersebut dan berpura-pura memesan kopi sambil mendengarkan percakapan mereka.

"Sumpah lo liat ga wajahnya yang udah ga berbentuk itu, hahaha," kata seseorang yang sedang melahap tempe di tangannya.

Satu orang lagi merespon perkataan lelaki dengan kulit tan tersebut, "Asli, lo sih Ko. Nafsu banget ngehajarnya."

Telinga Arsa sudah panas, lelaki itu menahan amarahnya, menunggu waktu yang tepat untuk menghajar mereka. Satu laki-laki berkulit putih sedang menyesap kopinya yang Arsa curigai adalah ketua geng tersebut, "Gimana ya, salah dia sendiri mau rebut Tamara dari genggaman gua. Satu kampus juga tau kalau gua lagi pdkt sama Tamara, dia dengan seenaknya dekati cewe yang gua suka."

Arsa mendecih dan menyinggungkan senyumnya. Mereka otomatis menatap kearah Arsa, salah satu dari mereka menghampiri Arsa dan mendorong bahu Arsa, "Lo liat apa? Fokus aja minum kopi lo, apa mau gue tambahin gula?" ejeknya sambil mengambil wadah yang berisi garam, setelah itu menumpahkan semua garam masuk ke dalam kopi yang Arsa pesan.

"Ayo minum," ujar lelaki itu, teman-temannya yang lain tertawa terbahak-bahak melihat temannya sedang membuli Arsa.

Lelaki itu mengambil kopi Arsa tadi, "Apa mau gue suapin?" ucapnya, temannya tertawa lagi melihat tingkah lelaki di depan Arsa yang sedang bertingkah seperti menyuapi anak bayi.

Arsa bangkit dari posisinya.

"Wah nantang dia," kata lelaki tersebut kepada teman-temannya.

Arsa menatap tajam lelaki di depannya, setelah itu memelintir tangan lelaki tersebut. Lelaki itu sudah mengerang kesakitan dibuatnya, setelah itu Arsa memberi pukulan sikunya di punggung lelaki itu dan akhirnya ia terkapar menahan sakit.

Arsa merentangkan tangannya, membuat sedikit perenggangan pada ototnya, "Udah lama ga berantem, jadi kangen suasananya," celetuk Arsa. Mereka mengindik ngeri dengan pukulan Arsa yang membuat temannya tumbang.

Arsa berjalan ke arah mereka semua yang langsung mundur keluar dari perkarangan warteg tersebut. Setelah itu, Arsa memberi isyarat dengan jarinya, menyuruh mereka maju. Dengan emosi salah satu mereka maju dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Arsa, dengan cepat Arsa mengelak pukulan tersebut dan membalas dengan meninju wajah lelaki tersebut, ia berakhir tersungkur ke tanah.

Lelaki yang tadi Arsa yakini adalah ketua geng mendorong tubuh anak buahnya untuk menghajar habis Arsa. Lelaki itu dengan senang hati langsung melayangkan tendangan kaki kepada dua orang itu sekaligus. Ia tersenyum bangga karena masih bisa menguasai tendangan tersebut.

Arsa memandangi lelaki yang berada di depannya yang sedang memegang pisau dengan tubuhnya yang gemetar. Arsa memijat pelipisnya, "Ngerepotin aja," gumamnya.

"... G-gue bisa denger ya," sahutnya. Arsa mengangguk.

Ia melangkah maju, begitu pula lelaki yang di depannya dengan cepat melangkah mundur, "Gua gamau basa-basi, lo kan yang ngebuat Gibran babak belur?"

Lelaki itu menatap remeh Arsa dan menyinggungkan senyumnya, "Oh lo dekengannya Gibran. Kenapa? Mau balas dendam apa yang gua perbuat ke teman lo?"

Arsa mengepalkan tangannya, "Ga usah banyak bacot lo anjing," pekiknya. Arsa berlari ke arah lelaki tersebut dengan cepat lelaki itu berjaga-jaga dengan pisaunya. Setelah itu ia menusuk ke arah perut Arsa, tapi ia dengan sigap langsung memegang lengan pria tersebut dan memelintirkan tangannya sehingga pisau yang ia pegang terlepas dari genggamannya.

Arsa merubah posisinya jadi di belakang lelaki itu dan menarik tangan lelaki itu ke belakang. Pria itu berteriak kesakitan dan memohon ke Arsa agar melepaskannya. Bukannya melepaskannya, Arsa malah menekan tangan lelaki itu dan membuatnya menggerang kesakitan.

" ... Sorry, iya gue salah. Tapi Tamara— Argh!" Arsa menekannya dengan keras.

"Minta maaf sama Gibran dan juga jangan ganggu Gibran lagi, kalau lo ga mau terkait masalah sama gua," ucap Arsa dengan nada mengintimidasi, setelah itu ia melepaskan tangannya.

Arsa masuk ke warteg tersebut dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah kepada ibu warteg tersebut, "Maaf sudah memberikan kekacauan di warung, Ibu."

Wanita tua itu tersenyum membalas ucapannya. Arsa melihat lelaki yang membulinya masih terkapar di bawah, dengan sengaja ia menginjak kakinya membuat ia menggerang kesakitan lagi.

(...)

Arsa baru sampai di rumah sakit yang di berikan alamatnya oleh Radit, dengan terburu-buru ia ke ruangan UGD. Di ujung ruangan tersebut terlihat Satria dan Radit sedang bercanda gurau dengan Gibran.

"Baru dateng lo, ketemu sama mereka?" tanya Radit.

Arsa mengangguk, Satria dan Radit menatapnya dengan takjub, "Sorry, Sa. Udah ngerepotin lo," celetuk Gibran.

Lelaki itu menggeleng, "Kita udah temenan dari jaman SMA, udah kayak saudara. Ga usah sungkan sama gua," jawabnya dan di angguki oleh Satria.

Gibran tersenyum tipis, "Tetap aja gue harus berterima kasih sama lo."

Arsa mengangguk, "Iya dah, lo juga harus cepat sembuh ga enak tidur di rumah sakit tuh." Dan Gibran mengangguk sambil tersenyum.

"By the way, gimana tadi? Pada tumbang ga? Terus, kok lo bisa ketemu sama mereka," tanya Radit bertubi-tubi.

Arsa menunjuk dahinya, "Pakai insting."

"Anjay," ucap mereka serempak. Setelah itu Radit menyuruh Arsa menceritakannya bagaimana ia menghajar orang-orang itu habis-habisan.

Mereka semua mengangguk mengerti, "Kalau ada gue pasti habis dah tuh mereka," celetuk Satria dengan bangga, membuat Radit dan Gibran menatapnya aneh.

"Yang ada malah ngeribetin kalau ada lo disana," sahut Radit.

Arsa menggeleng, "Kalau gua ga ada, kalian harus ngelindungin satu sama lain, jangan ngandelin gua."

Mereka semua menatap kearah Arsa, "Maksud lo? Mau pergi kemana coba," balas Gibran.

"Ya kita gatau kalau gua besok mati," jawab Arsa asal dan berakhir bahunya dipukul Radit.

"Sembarangan, omongan itu doa anying," ucap Radit.

Satria mengangguk, "Ya tuhan juga ga bakal ambil nyawa lo cepat-cepat kali, lo harus bayar dosa dulu."

Mereka semua mengangguk setuju. Arsa hanya tersenyum kecut mendengarnya.

to be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status