Sepasang suami istri berjalan beriringan di sebuah pasar yang riuh ramai dengan orang-orang yang sibuk menawarkan dagangan atau sedang mencari barang. Sang suami yang berusia kisaran empat puluh tahunan itu dengan sigap menuntun dan melindungi istri yang jauh lebih muda, bahkan separuh dari umurnya, kisaran dua puluh lima tahunan, agar tak tersenggol orang yang berseliweran di pasar. Wanita itu sedang hamil empat bulanan, perutnya terlihat mulai membuncit. Wanita yang jadi istri saudagar kaya itu makin terlihat menarik saat hamil. Wajahnya makin berseri dan tubuhnya makin padat berisi, membuat suaminya makin sayang, terlebih sudah lama sekali dia menantikan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka.
“Kang Mas…. itu penjual dawetnya!” wanita bernama Anjani itu menunjuk ke arah wanita paruh baya yang duduk di depan dawet dagangannya.
“Baik Diajeng, biar pengawal saja yang membeli, kita cari tempat berteduh dulu,” ajak Juragan Karta mencari-cari tempat berteduh untuk istrinya.
“Parjo, Timan!” Juragan Karta memanggil dua kacungnya yang dari tadi mengikuti di belakang tak jauh darinya.
Dua kacung itu dengan tergesa menghadap juragan mereka.
“Iya, Gan!”
“Tolong belikan Ndoro putri dawet di sana, ini uangnya,” kata Juragan Karta sambil menunjuk penjual dawet dan menyerahkan kantong yang berisi uang pada kacungnya.
Setelah menerima kantong berisi uang, Parjo dan Timan bergegas pergi. Juragan Karta menuntun Anjani untuk berteduh di salah satu sudut pasar, hawa panas di pasar membuat Anjani dan Juragan Karta kepanasan. Berkali-kali Anjani mengusap peluhnya. Hingga tiba-tiba muncul seorang Resi tua meminta sedekah pada mereka.
“Sudilah kiranya, Ndoro berdua memberi sedekah,” pinta Resi tua itu menyodorkan piring besi pada kedua suami istri itu.
Juragan Karta dan Anjani yang tadinya duduk, langsung berdiri memberi hormat pada Resi yang tiba-tiba meminta sedekah.
“Oh, Resi…. Kiranya Resi berkenan menunggu sebentar, kantong uangku sedang dibawa oleh kedua kacungku, sebentar lagi dia kembali!” juragan Karta dengan ramah meminta Resi untuk bersabar. Saudagar kaya itu memang terkenal dermawan dan baik hati.
“Hmm sepertinya Ndoro Putri sedang mengandung?”
“Benar Resi, mohon berkatnya agar bayi kami sehat dan bernasib baik!” ucap Anjani memohon berkat.
Sang Resi tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya memberikan berkat.
“Semoga dewa melindungi jabang bayi dan ibunya.”
Juragan Karta dan Anjani menunduk mengaminkan doa sang Resi.
“Melihat raut wajah sang ibu yang bercahaya, aku meramalkan bayimu akan terlahir kuat dan sehat.”
Anjani dan Juragan Karta tersenyum lebar mendengar ucapan sang Resi. Sang Resi mengamati lebih dalam, terlihat menghitung sesuatu dengan jari-jarinya.
“Dia akan tumbuh sehat cantik dan menarik. Tapi sayang, dia bernasib buruk!” sang Resi melanjutkan ucapannya.
“Hah!”
Anjani dan Juragan Karta langsung mendongakkan kepala kaget, mendengar penuturan sang Resi. Saudagar yang tadinya begitu hormat pada seorang yang berkasta brahmana itu jadi naik pitam, mendengar calon anaknya diramalkan bernasib buruk.
“Jangan ngawur, kau!” sungutnya kesal.
“Kakang!” Anjani memegang lengan sang suami yang terbakar emosi agar tetap berlaku sopan pada seorang Resi.
“Wahai Resi, tolong berkati bayi ini agar terhindar dari nasib buruk!” mohon Anjani lemas mendengar ucapan sang Resi. Secara spontan dia melepaskan kalung emasnya dan meletakkannya di piring sang Resi sebagai sedekah.
“Kalung emas ini untuk Resi, tolong berkati bayiku!” pinta Anjani takut apa yang dikatakan sang Resi benar-benar terjadi.
“Kau sudah termakan omongannya, Diajeng!” teriak Juragan Karta kesal hendak mengambil kembali kalung emas dari piring besi sang Resi, tapi Anjani terus menghalangi suaminya itu.
“Jangan, Kangmas! Mohon maafkan suamiku Resi, tolong berkati bayiku, agar terhindar nasib buruk!” Pinta Anjani makin panik.
“Ha ha …. Perbuatan suamimulah yang nanti membuat anakmu bernasib buruk!”
“Kurang ajar Kau!” sahut Juragan Karta makin emosi. Matanya sudah melotot hendak keluar andaikan tak terus dihalangi oleh Anjani, mungkin juragan Karta sudah menghajar sang Resi.
“Jangan Kangmas, kumohon!” cegah Anjani memegangi tangan suaminya.
Sang Resi mengambil kalung yang tadi diletakkan Anjani di piring besinya, mengembalikan kalung emas itu pada Anjani.
“Semua sudah ditakdirkan. Asal suamimu sanggup tirakat, tidak bersebadan selama kau hamil, mungkin nasib buruk jabang bayi itu bisa dihindari,” ucap sang Resi sambil berlalu pergi. ***
Ucapan sang Resi terus terngiang-ngiang di benak Anjani, dia benar-benar takut ramalan itu akan terjadi. Juragan Karta sudah menasehati istrinya agar tak termakan omongan sang Resi, tapi hal itu sia-sia, Anjani terus saja gelisah. Juragan Karta juga sudah mengutus dan membayar banyak orang untuk mencari keberadaan sang Resi, tapi Resi itu seolah hilang ditelan bumi, sama sekali tak ada yang tahu kabarnya, jangankan kabar, melihatnya pun tak ada.
“Jangan terlalu dipikirkan Diajeng, itu hanya omong kosong belaka. Bagaimana mungkin putra dari Karta akan bernasib buruk, hartaku takkan habis walau dimakan tujuh keturunan.”
Juragan Karta berusaha menghibur istrinya yang termenung, duduk di samping ranjang. Dia mengelus-elus pundak sang istri lembut. Gairah Juragan Karta seketika meningkat, kala menyentuh kulit halus Anjani. Tubuh padat berisi istrinya yang sedang hamil itu makin membuat darah Juragan Karta makin mengalir deras. Tangannya mulai merambat ke bagian-bagian lain, tubuh Anjani. Saat hasratnya sudah di ubun-ubun, tangannya justru ditepis oleh Anjani.
“Jangan kang, bersabarlah. Apa kau tak ingat kata-kata Resi beberapa hari yang lalu, anak kita akan bernasib buruk bila kita bersebadan!” tolak Anjani yang seperti paham maksud sentuhan suaminya itu. wanita yang sedang resah memikirkan ramalan sang Resi itu naik ke atas ranjang, merebahkan diri di pembaringan memunggungi suaminya.
Sikap Anjani membuat Juragan Karta langsung emosi, dia langsung marah-marah pada Anjani yang begitu percaya pada ramalan seorang Resi yang tak jelas asal usulnya itu.
“Diajeng! Kenapa kau begitu termakan omongan resi sialan itu!” bentak Juragan Karta berdiri dengan mata yang melotot. Hasrat yang tak terlampiaskan membuatnya jadi uring uringan.
Anjani bangkit dari tempat tidur, menatap suaminya yang sedang terbakar emosi. Dia berdiri menjawab dengan lantang bentakan suaminya.
“Ini demi anak kita Kang! Apa kau mau anak kita bernasib malang!”
“Persetan dengan ramalan sialan itu!”
Juragan Karta yang sudah gelap mata menubruk istrinya, merebahkannya di pembaringan. Dia mulai mencumbu, dan menjamah Anjani. Dia tak peduli dengan segala ramalan. Malam ini, hasrat yang lama dia tahan harus terpuaskan.
“Ah, Kang, jangan Kang!”
Anjani berusaha melawan, tapi semakin dia melawan, Juragan Karta makin ganas memcumbunya. Wanita yang sebenarnya ingin menjaga diri agar ramalan yang dia yakini itu akhirnya tak kuasa melawan saat perlahan Juragan Karta mulai berhasil melucuti pakaiannya satu persatu.
“Kakang sudah tak tahan lagi, maaf bila harus melakukannya dengan kasar! Percayalah, ramalan itu takkan terjadi!”
“Hiks…. Jangan Kang…. Kumohon!” rengek Anjani yang sudah tak berdaya itu, menangis dan mengiba agar suaminya tak mengumpulinya.
Tangisan itu ternyata membuat hasrat Juragan Karta yang sudah di ubun-ubun, dan tinggal sedikit lagi terlampiaskan, buyar seketika. Juragan Karta berteriak kesal sambil berdiri mengenakan pakaian dan pergi keluar kamar.
“Huaaaahh!”
Anjani yang tadinya sudah pasrah, hampir dirudapaksa oleh suaminya sendiri itu, menyaut kain untuk menutupi tubuh bagian atasnya yang tersingkap memperlihatkan dadanya yang polos dan ranum. Dia beringsut ke pojokan memeluk lututnya sambil terus menangis. Dia sama sekali tak mengira kalau suaminya yang biasanya lembut akan berlaku begitu kasar padanya.
“Puja para Dewa!” ucapnya bersyukur tak sampai bersebadan dengan suaminya.
Kejadian malam itu membuat Anjani jadi takut pada suaminya sendiri, dia khawatir kalau-kalau suaminya akan kembali lepas kendali dan merudakpaksanya. Begitu juga dengan Juragan Karta, penolakan dari Anjani membuatnya kesal. Dia jadi jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan mulai jarang pulang. Juragan Karta yang biasanya bersikap manis pun mulai dingin pada Anjani, membuat wanita yang sedang hamil empat bulan itu jadi merasa bingung dan serba salah, dia sadar perbuatannya itu menyakiti suaminya, tapi dia juga takut ramalan itu terjadi. Tak mau terus berlarut-larut, Anjani berusaha melawan rasa takutnya, memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Dia akan mencari cara untuk memuaskan suaminya tanpa harus bersebadan.“Kakang …. Aku sudah menyiapkan lodeh nangka muda, kesukaan Kakang!” Anjani tersenyum lebar menyambut suaminya sudah beberapa hari tak pulang itu.Pria bertubuh sedikit tambun, dengan kumis melingkar itu melengos mendengar sapaan Anjan
“Hiks…. Hamba hanya orang kecil, kenapa Juragan tega melakukan ini!”Sulastri duduk memeluk lutut di atas tumpukan jerami mengusap air mata, sambil menutupi bagian tubuhnya yang tersingkap, dan menyembul keluar. Pakaiannya sudah sobek sana sini, dikoyak dengan buas oleh Juaragan Karta. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tak mampu melawan hingga harus pasrah digagahi oleh Juragan Karta. Dia sadar kalau dia seorang Janda, yang harus merantau ke kota demi menghidupi anak perempuannya di desa, juga demi menghindari niat jahat lelaki hidung belang di desa. Tapi, nyatanya meski sudah merantau ke kota, di tetap saja di mangsa oleh lelaki hidung belang.“Lastri…. Jangan menagis lagi. Maafkan aku, aku benar-benar Khilaf, tadi!” hibur Juragan Karta yang rebah di samping Sulastri. Lelaki bertubuh tambun itu masih bertelanjang dada, dengan peluh yang masih menetes. Dia juga tak percaya sudah melakukan hal yang tercela pada Sulastri.“Hiks…. H
Bab 7. Percakapan Tentang NasibDengan jari telunjuk yang menempel di kening, dan jari-jari lain terlipat ke bawah, Raja Akhirat terus berkonsentarsi mengeluarkan energi agar cermin kehidupan yang menampilkan bayangan kejadian di alam dunia tetap bisa terlihat.“Hiap!” Raja Akhirat melepaskan jari-jari dari kening, menghentikan aliran energi, yang membuat bayangan kejadian di alam dunia menghilang. Dia mengatur nafasnya, dan berjalan mendekati roh Panglima Tiang Feng yang masih terlihat kebingungan.“ Wahai roh Panglima Tiang Feng, Aku sudah bicara dengan Dewa Pengatur nasib tentang kehidupanmu selanjutnya….”“Tak ada yang berbeda, aku akan tetap mati mengenaskan oleh derita cinta,” potong roh Panglima Tiang Feng ketus.“Kauu!” Raja Akhirat menuding roh Panglima Tiang Feng geram. Dia sudah mengambil resiko dan berupaya mengurangi penderitaan Panglima Tiang Feng, tapi malah mendapat sikap ketus seperti ini. “Ah, sudahlah!” Raja Akhirat menghempaskan tangannya ke udara dan berbalik.Ro
“Huek, Huek!” Lastri mengeluarkan semua isi perutnya. Wajahnya pucat, tubuhnya jadi panas dingin. Belakangan indra penciumannya juga jadi lebih sensitif, mencium bau-bauan tertentu, perutnya langsung mual-mual.Mbok Darmi rekan sesama pembatu di rumah juragan Karta, memijit-mijit tengkuk Lastri. Wanita paruh baya itu membantu Lastri agar lebih enakan. Sebagai orang tua yang berpengalaman, dia mulai menduga-duga kalau Lastri sedang hamil muda, ciri-cirinya jelas. Tapi yang membuat Mbok Darmi bingung adalah, bagaimana mungkin Lastri bisa hamil kalau dia adalah seorang janda. Mbok Darmi memberanikan diri bertanya pada Lastri tentang kemungkinan itu, barangkali saja Lastri punya hubungan khusus dengan lelaki dan akhirnya keblabasan. Mungkin dengan Parjo dan Timan, mengingat kedua lelaki itu sering menggoda dan dekat dengan Lastri. Wanita yang sebulan terakhir terjerat hubungan terlarang dengan Juragan Karta itu, membantah. Dia bilang kalau masih rutin garap sari. Mbok Darmi pun membuang
Juragan Karta kaget bukan main, mendengar perkataan Lastri. Dia tak menyangka permainan liarnya dengan Lastri menyebabkan janda sintal itu sampai berbadan dua. Sebulan terakhir, mereka memang sering melakukan pergumulan di setiap ada kesempatan. Tak peduli itu siang atau malam, di banyak tempat. Sangat wajar memang, bila dari sekian benih yang ditanamkan di rahim Lastri, salah satunya ada yang tumbuh.Meski kaget, Juragan Karta berusaha berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dan yang paling penting adalah menenangkan Lastri terlebih dahulu, dia tak mau Lastri kembali nekat dan punya niat mengakhiri hidupnya. Dan saat melihat Lastri lengah, Juragan Karta bergerak cepat menangkap tangan Lastri yang memegang sabit, mencengkram janda muda itu, berusaha menjatuhkan sabit di tangan Lastri.Srat! “Lepaskan, lepaskan!” Lastri meronta seperti orang kalap berusaha melepaskan diri, tapi dia kalah kuat hingga sabit itu terlepas dari tangannya. Lastri meronta membuat Juragan Karta kewalahan h
Terdengar langkah kaki menuju dapur, membuat Lastri dan Parjo dengan cepat melirik ke luar secara bersamaan. Dari jauh, terlihat Mbok Darmi datang memondong beberapa kayu bakar kering. Lastri dan Parjo mulai menjaga sikap dan terlihat biasa-biasa saja. Parjo lalu berjalan mendekati Lastri dan berbisik pelan, sambil menepuk-nepuk pundak janda tiga puluhan tahun itu.“Kau pikir-pikir saja, dulu. Jangan coba mengadu pada Juragan Karta, atau aku langsung melapor pada Ndoro Putri!” bisik Parjo penuh ancaman, bergegas pergi meninggalkan dapur.Lastri terdiam tak bisa menjawab, dia meremas-remas ujung jariknya bingung harus bagaimana.“Jo, sebentar lagi sayur lodehnya matang, apa kau tak mau menunggu?” sapa Mbok Darmi saat berpapasan dengan Parjo di pintu keluar.“Nanti saja, Mbok. Saya mau ngarit dulu,” jawab Parjo tersenyum sambil melirik nakal ke arah Lastri yang masih gugup terdiam.“Ha ha, tumben-tumbenan.”Mbok Darmi melangkah masuk ke dapur memondong kayu kering, melemparkannya ke sam
“Kang Mas, kenapa? Aku melihat, Kakang beberapa hari ini sering melamun,”Teguran dari Anjani itu membuat Juragan Karta yang sedang duduk termenung di bale-bale, memikirkan cara menutupi perselingkuhannya itu tergagap, kaget. Tahu-tahu sang istri sudah ada di sampingnya, menepuk pundaknya.“Oh, Diajeng,” jawabnya geragapan. “Kakang ada masalah apa, sebenarnya?” desak Anjani kembali bertanya. Firasatnya sebagai perempuan merasakan ada yang berbeda dari suaminya. Meski sebenarnya masih khawatir dengan ramalan sang Resi, Anjani sudah membuang jauh rasa itu dan kembali melayani suaminya seperti biasa. Tapi hal itu seperti tak banyak mengubah keadaan. Suaminya memang tak lagi uring-uringan, berganti jadi sering melamun sendiri. Suaminya juga tak lagi menjamahnya setelah malam pertama Anjani menyerahkan dirinya.“Kakang hanya capek saja, dan tak sabar menantikan kelahiran jabang bayi ini,” jawab Jurag
“Haaaa!” jerit Lastri melihat tubuh Juragan Karta bersimbah darah di samping mayat Parjo yang sudah terbujur kaku. Lastri sudah punya firasat tidak baik saat Juragan Karta bergegas pergi dengan wajah penuh amarah setelah mendengar ceritanya tentang ancaman Parjo. Lastri pun mengikuti Juragan Karta, dan benar saja, Juragan Karta telah membungkam mulut Parjo untuk selamanya. “Oh Dewa, apa yang telah Kakang lakukan? Ohhh….” Lastri membekam mulutnya menahan haru. Parjo memeng telah menghinakannya dan membuat dia berada dalam situasi yang sulit. Tapi, melihat mayat Parjo yang terbujur kaku, Lastri juga merasa tidak tega. Dia tak menyangka kalau Juragan Karta akan bertindak sejauh ini. Juragan Karta yang masih duduk terpekur menatap mayat Parjo, buru-buru menyarungkan keris pusakanya ke dalam warangka, lalu menyelipkannya ke pinggang sambil berdiri. “Dia pantas mati, Lastri! Mulutnya telah terbungkam selamanya. Lekas bantu aku menguburkan pria tak tau diri ini, sebelum ada yang melihat,