Kata orang hujan Kota Malang itu romantis. Namun, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Hujan di kota ini juga tragis. Membuat penghakiman seorang Alana makin menyedihkan hingga membuatku menangis. Sesekali aku mematut wajahku yang katanya mirip Indah Kusuma di meja kaca. Wajahku terlihat menyedihkan seperti pesakitan yang akan kena hukuman cambuk.
Sesampainya di rumah, bukannya disuruh mandi, aku malah didudukkan di teras depan. Dengan ayah yang masih berseragam lengkap dengan wajah merah padam menyala menahan amarah. Lengkap dengan bunda yang berwajah kalem, tapi menusuk pandangan. Beserta Bang Ranu yang masih berseragam polisi dan Om Paupau yang berbaju safari hitam sebagai saksi. Dan aku yang lengkap dengan baju kuliah basah kuyup siap menerima hukuman berat.“Beraninya kamu matikan HP sampai setengah jam, Lana!” teriak bunda dengan tanda seru semua. Hiks, tembakan pertamaku.
“Gimana kalau kamu diculik sama cowok tengil itu. Terus dibawa ke kebon, diperkosa. Iya kalau beneran cinta, ditanggung malumu. Kalau kamu dibunuh! Pikir dong, apa kamu rela bunda kehilangan anak!” lanjut bunda penuh amarah. Sudah kubilang kan, bunda sosok yang garang dibalik kelembutan wajahnya.
Aku memberanikan diri bersuara walau lirih, “Dika nggak sebejat itu, Bunda.”
“Nggak bejat apa? Dia mau aja nuruti perbuatan salahmu!” lanjut Bang Ranu tak kalah galak. Iya sih, mereka sebelas dua belas.
Lain halnya dengan ayah yang malah merendahkan suaranya, “sikap protektif kami karena sayang padamu, Savannah. Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki seperti itu? Nggak punya prinsip.”
“Tapi Yah, dia hobinya sama seperti ayah. Suka naik gunung juga,” aku berusaha membujuk ayah dengan cara yang aneh.
Alana gaje.
Ayah menyentuh pundakku yang basah, “Savannah, tapi dia beda dengan ayah. Ayah bertanggungjawab pada diri sendiri. Ayah suka naik gunung tapi sukses dalam karier dan pendidikan. Sedangkan dia, hobi naik gunung tapi skripsi nggak kelar. Apa yang mau kamu contoh darinya? Pokoknya ayah nggak suka sama dia, titik! Mau wajahnya sama dengan ayah kek, ayah tetap nggak suka!” Analogi yang cukup aneh, Ayah.
“Ah, ayah ini terlalu lembek,” potong bunda keras, “pokoknya kalau kamu masih berani hubungan sama bocah tengil itu, bunda akan ambil langkah serius. Bunda nggak segan-segan kirim kamu ke Jakarta lagi. Biar sekalian kamu diurus Oma Dian!” aku bergidik, tentu saja karena membayangkan betapa mengerikannya Oma Dian. Seribu kali lebih parah dari ayah dan bunda.
“Tapi Alana sayang sama dia, Bunda!” tolakku sedikit melawan.
“Sayang kok merusak! Sayang itu menjaga, Alana! Sayang kok mau-maunya diajak kabur. Bukannya mengarahkan yang baik. Bukannya menghargai orang tua, dia malah mendukung kegilaanmu. Pokoknya bunda akan ambil langkah serius kalau kamu masih jalan sama dia!” tekan bunda tanpa ampun.
Bunda lantas memandang Bang Ranu, “Bang, amankan adikmu!”
“Beres Bunda,” jawab Bang Ranu tanpa pikir panjang. Dia kan sekutunya Bunda.
“Andaikan saja anak lelakiku punya dasar pengintaian seperti tentara. Pasti kita nggak kecolongan seperti ini, Bun!” celetuk ayah yang membuat wajah Bang Ranu masam. Sindiran di tengah penghakimanku.
Bang Ranu tersenyum sedikit sinis, “polisi juga punya dasar seperti itu kok.”
“Eh, memangnya ayah sedang bahas polisi dan tentara ya? Nggak kok,” ya elah ayah malah ingin membuat masalah baru.
“Lalu apa maksud ayah berbicara seperti itu tadi?” Bang Ranu malah menimpali.
Ini sebenarnya sedang bahas masalah siapa ya? Halooo, Lana is here please!
Akhirnya, bunda menengahi itu dengan menarikku masuk ke dalam rumah, “masuk kamar. Mandi ganti baju, merenung! Awas kalau tidak berubah!” ancam bunda menyeramkan.
Okay, Alana menghilang sekarang. Menghilang tolong. Hiks, kenapa tidak bisa ya? Kenapa sih aku tak bisa sejenak tersisih dari keluarga ini? Aku sudah bosan, sungguh bosan. Aku sesak dan sumpek. Rasanya aku ingin segera lulus kuliah dan terlempar ke kota lain, kalau perlu ke dimensi lain deh. Ingin menemukan kedamaian sendiri, dimana hanya aku dan kesendirianku. Ditambah hujan dan jus mangga boleh deh.---
Kupatut wajahku yang pucat di kaca kamar. Bibirku yang pucat karena tak terpoles gincu apapun. Kulitku yang memang putih bersih seperti kulit bunda terlihat dingin. Aku baru saja mandi dan sekarang sedang mengeringkan rambut panjang lurus bergelombang di bagian ujung dengan handuk. Sambil berkaca, aku merenungi nasibku.Benar, aku menuruti kata bunda yakni merenung. Bukan merenungi kesalahan, tapi merenungi nasib hidupku. Kapan aku bisa hidup bebas seperti burung di hutan? Tanpa harus diburu oleh pemburu kejam layaknya keluargaku? Serius punya orang orang tua super duper overprotektif itu gak enak. Hidup diatur, dikekang, tak bisa bebas. Aku hobi menyanyi tapi malah masuk ke jurusan ekonomi akuntansi. Kuliah ya cuma kuliah, bukannya gaul mencari teman.Aku punya wajah cantik, tapi gak semua cowok tertarik. Sebab tahu latar belakang keluargaku. Mereka sudah keder duluan. Mungkin cuma Dika yang berani, modal nekat sih. Dia menyisihkan semua ketakutannya dan nekat memacariku. Walau harus menahan malu karena pernah diusir bunda dengan lemparan pot, tapi ia tak menyerah. Ia tak pernah sakit hati kendati ayah sering menghina prinsipnya. Bahkan, ia hanya tersenyum ketika Bang Ranu memukulnya. Itu bukan pukulan yang pertama.Maka dari itu aku mencintainya. Walau ia tak sesuai idaman hatiku, tapi ia berani mempertaruhkan apapun demi aku. Demi senyumanku, ia rela berubah. Dari selengekan menjadi sedikit baik dan lembut. Walau kadang ia masih suka menyakitiku secara fisik, misalnya tak sengaja memukulku ketika bercanda. Ya sudahlah, Dika lebih baik daripada ayah dan bunda. Mereka terlihat sayang, tapi memupuskan kebahagiaanku.“Lana, minum ini! Jangan melamun!” Bunda tiba-tiba masuk sambil membawa segelas besar jus wortel, errrr.
“I - iya Bunda.” Seperti biasa, aku hanya menurut karena takut durhaka. “Nggak enak, Bunda.”
“Tapi itu bermanfaat buatmu. Membuatmu matamu jadi jernih dan bisa melihat lebih jelas. Syukur-syukur kalau resolusimu jadi cerah,” sindir bunda menyakitkan, hiks.
“Abiskan!” timpal beliau lagi.
Glek-glek-glek, musnahlah jus terkutuk itu.
“Masa depan Lana tidak sesuram itu Bunda,” alihku membenarkan diri.
Bunda menatapku tajam, “yakin tidak suram? Kalau cerah kenapa masih memandang cowok tengil itu?”
“Bunda, Lana cuma jatuh cinta,” belaku lagi.
Please, hentikan sidang ini!
“Jatuh cinta? Menjatuhkan hati itu ke orang yang tepat. Pilih laki-laki yang bener dong, Lan. Bener kata ayahmu, ke pendidikan saja dia nggak tanggung jawab. Gimana dia bisa membahagiakanmu?” Bunda menarik tanganku kencang, “sampai kapan kamu terus sembunyikan lebam ini, Lana?”
Ups, aku baru ingat lebam karena Dika menghentakkan tanganku hingga terbentur tembok, hanya karena ia emosi kusuruh salat, “Dika nggak sengaja Bunda.”
“Nggak sengaja apa? Masih untung Bunda tidak perkarakan dia ke polisi karena penganiayaan. Orang tua saja tak pernah menyakitimu, enak saja dia melukai anak bunda!” ucap bunda emosi.
Aku memohon dengan menyentuh tangan bunda, “tapi Lana bahagia dengannya, Bunda.”
“Kalau begitu kamu belum tahu arti bahagia, Lana!” putus bunda, “mana ponselmu?”
“Untuk apa, Bund?” tanyaku cepat.
“Bunda rasa nomormu perlu diganti lagi! Mana!” rampas bunda sambil menarik ponselku.
Aku memasang mata melas, “jangan dong Bunda. Ponsel itu dunia Lana.”
“Tidak untuk sementara waktu, Lana. Gunakan waktumu untuk merenung. Apa definisi bahagia! Nggak usah terpengaruh sama tengil satu itu!” Bunda berhasil merampas kebahagiaanku satu-satunya, yakni ponsel dengan koneksi internet yang cepat. Hiks, nangis gulung-gulung.
Penghakiman seorang Lana hari ini telah usai. Diakhiri dengan hukuman perampasan ponsel seperti biasa. Oh iya, penggantian nomor lagi untuk keseratus kalinya. Membuatku tak hapal dengan nomor HP lagi dan lagi. Tentu saja untuk merampas kebahagiaanku dan Dika. Namun, bunda tak tahu, kalau aku sudah membeli ponsel jadul diam-diam. Okay, hapus ingus dan sedikit tersenyum Lana. Kamu masih bisa telepon Dika, yeaay! Apa itu definisi bahagia? Tauk ah gelap, nggak mau mikir keberatan! Sumpek!
***Bersambung...Di tengah ketidaknormalan, Alana tumbuh menjadi gadis yang tetap ceria, ceplas-ceplos, berusaha selalu tersenyum walau hati menangis, dan gadis yang cerdas. Cerdas dalam artian selalu mencari celah untuk bisa bahagia dengan caraku sendiri. Aku tetap tumbuh menjadi gadis yang cantik dan normal karena bisa merasakan cinta pada lawan jenis. Untung kan aku nggak frustasi amat, sampe berubah orientasi gitu.Kalau Dika menghilangkan suntuk dengan cara naik gunung, hingga mengabaikan skripsinya. Dengan artian dia lebih banyak suntuk daripada enggak. Kalau aku menghilangkan suntuk dengan menepi di balkon rumah. Rumah dinas ini tak punya lantai 2. Namun, ayah membangunnya untuk jemuran baju. Setelah bunda mengomel kalau cucian tak pernah kering.Menepi di lantai 2 sembari menikmati kesendirian. Aku dan kesendirian, ditambah segelas jus mangga dingin yang kubuat dengan diam-diam. Membiarkan paru-paruku menghisap oksigen segar sebebasnya. Seenggaknya dia tak terbelenggu seperti a
Laju motor Dika sampai di sebuah terminal antar kota di pinggiran Kota Malang. Sudah pasti aku akan dibawanya ke luar kota. Tentu saja aku tak mau, big no no! Aku tak mau memantik api makin berkorbar. Aku takut pada masalah yang makin menyala. Ingin kuakhiri saja detik ini. Tak apa, aku sudah memaafkan dia kok. Dika tak perlu melakukan semua ini demi berbaikan denganku.“Dika, ini serius aku mau dibawa ke Bali?” tegasku sekali lagi. Dika hanya diam sambil memandang gelas kopi yang mengepul. Sekedar mengusir hawa dingin di tengah ketidakpastian.Kugugah lengannya, “Dika!” dia menoleh.“Kenapa, Na? harusnya kamu berdebar dong karena sebentar lagi bertemu dengan impian,” ucap Dika santai. Wajahku mencuram.“Mana bisa santai Dika! Ini ngaco, super ngaco. Aku emang gila, tapi nggak separah ini. Dika aku masih waras. Nggak mungkin aku keluar Malang dengan kamu! Itu cari mati namanya,” aku berdiri cepat, “aku
Kurasa saat ini hidup seorang Alana sedang berada di titik yang rendah, tidak rendah sekali sih, rendah biasa saja. Alana sudah biasa berada dalam situasi yang abnormal. Sejak awal kan sudah kubilang kalau keluarga si koplak Alana sedikit tidak normal. Namun ketika sadar, sebenarnya keluargaku itu sangat normal. Mereka sangat normal untuk ukuran orang tua yang melindungi anak perempuan satu-satunya.Ternyata begini ya rasanya menentang proteksi orang tua yang kuanggap aneh selama ini. Benar kata bunda, kini mata batinku sudah terbuka. Kalau sayang nggak bakal nyakitin. Kalau sayang pasti menjaga, menghargai, dan menghormati. Namun, apa yang Dika lakukan padaku? Salah semua! Kurasa dia lebih ke posesif, hii mengerikan.Di sepanjang jalan menuju terminal bis, aku berjalan gontai. Sesekali mematut wajah di kaca toko yang ramai. Mereka mema
Hidupku yang sempat acak kadul sebulan yang lalu mulai tertata sedikit demi sedikit. Perlahan aku mulai menata hidup menjadi lebih normal daripada biasanya. Biasanya dalam artian saat aku masih berhubungan dengan Dika dan sesudah putus. Kuakui, hidupku nggak teratur, acak seperti acar timun di dalam mangkok.Sebulan yang lalu, sesampainya aku di Banyuwangi, para pasukan ayah dan beberapa petugas polisi langsung memeriksa semua bus dan menemukanku. Aku dikawal menuju mobil dengan iringan penjagaan ketat. Kira-kira 3 mobil berisi tentara dan polisi berseragam lengkap dan bebas deh. Tentu saja membuat gaduh.Semua karena apalagi kalau bukan karena permintaan ayah. Ayah menghubungi semua rekannya di wilayah Banyuwangi dan memintaback-up. Jadinya, penemuanku membuat kehebohan bak penemuan sebuah fosil langka. Namun, sekali lag
Saat ini aku bak berada di mimpi indah dan malas bangun. Kenapa, sebab pemandangan di depan mata ini sungguh layak untuk dikenang dan dipertahankan. Entah takdir apa yang mempertemukanku lagi dengan Mas Kecup-able yang ternyata adalah tamu dari ayah tercinta. Tamu kehormatan yang ditunggu kedatangannya sejak pagi tadi akhirnya datang juga.Setelah kedatangannya, tak lama kemudian ayah dan bunda datang secara bersamaan. Kedua orang tuaku itu lantas menyalami dan menepuk-nepuk pundak Mas Kecup-abledengan suka cita. Bak bertemu dengan anak mereka yang telah hilang ratusan tahun. Seriusan, Bang Ranu aja jarang digituin. Makanya dia banyak diam dan cemberut aja. Cemburu ya, Bang?“Ssstt, berisik lu Lan! Gua gaplok, koplak juga lu!” ancamnya tadi.Well
“Alana, kamu jangan berisik! Selama 2 hari Mas Dru bakalan tidur bareng Bang Ranu, sekamar. Jangan ganggu kedamaiannya! Jangan bertindak gila! Yang sopan! Gak boleh celamitan! Gak boleh pake tank top atau celana gemes! Awas ya kalau pake celana gemes, Bunda remes pipimu sampai lecet!”“Savannah, kamu baru boleh bicara sama dia kalau kamu diajak ngobrol. Kalau gak, kamu gak boleh gangguin Mas Dru. Itu bikin dia gak nyaman! Awas ya kalau melanggar larangan Ayah, Ayah hentikan kuota internetmu sebulan!”Apa yang kamu rasakan ketika dapat wejangan sekaligus ancaman dari kedua orang tua saat perutmu kenyang? Pengen muntah, pup, atau apaan? Kalau aku sih gak pengen apa-apa, sebab udah kebal. Iyalah, aku mah sudah biasa diancam model gituan sama ayah dan bunda, sebagai anak yang diproteksi abis-abisan tentu saja. Tapi, baru kali ini ayah dan bunda mengesampingkanku, boneka porselennya, demi anak orang lain. Wauw, ada apakah ini?
Pagi yang ngantuk setelah semalaman aku gondok sendiri. Iyalah gara-gara sibuk menyangkal hati sendiri, aku jadi tidur jam 12 malam. Selain itu, aku sibuk memeluk dinding untuk kepo apa aktivitas Mas Dru. Apa dia ngorok pas bobok? Suka kentut juga gak kayak Bang Ranu? Hasilnya apa? Senyap Pemirsa. Dia sangat tenang seperti vampire. Mungkin suara kentut dan dengkurannya dalam modesilent,who knows?Hahaha.Walau ngantuk, aku tak boleh malas. Iyalah ini kan hari bersejarah dalam hidup Alana, dimana selama 2 hari aku akan menemaninya. Iya, si lelaki peluk-abledengan suara nyes itu. Kami bakalan menjelajah Kota Malang. Aku bakalan bisa memeluknya dari belakang dan memuaskan fantasi liarku, hiii jijay! Cewek genit amat, Lana! Ya gak mungkinlah, aku masih punya malu kali. Kabarnya Mas Dru bakalan bawa motorScoopymilik ayah.
Fyuh, aku melap keringat dingin setelah seorang polisi akhirnya mendatangi mobil Mas Dru yang dipinggirkan. Polisi di kota ini juga tergolong cepat dan cekatan loh, mereka bisa datang secepat kilat kalau kita buat salah.Well, pada akhirnya Mas Dru mengikuti prosedur yang berlaku, menunjukkan identitas, surat kendaraan dan SIM-nya. Dengan tegas, ia menceritakan kronologis kejadian dengan detail hingga pak polisinya cuma angguk-angguk aja, gak pake geleng-geleng.“Baik saya mengerti. Selamat melanjutkan perjalanan dan hati-hati,” simpul pak polisi itu sambil memberikan hormat.Mas Dru juga membalasnya dengan santun dan senyum. Tuh kan, pak polisinya aja juga jatuh cinta sama Mas Dru. Ya gak gitu Alana, itu karena Mas Dru patuh sama prosedur makanya lempeng aja, duh!