Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker?
Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan. Maaf Bang, aku mengecewakanmu! Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?" Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini." "Makanya," cetus Wahyu. "Makanya apa?" "Nggak apa-apa." "Asem! Gue pikir lo mau kasih solusi!" "Lo baru kenal gue? Masalah sendiri aja nggak bisa gue pecahin apalagi masalah lo!" Wahyu tertawa terbahak-bahak. Kepalaku pening didera logika Wahyu. Aku pergi ke pantry untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi dengan perlahan aku memejamkan mata mencuri waktu tidur. Suara pintu dibuka dengan keras membuatku terbangun. Sendok yang kupegang terlontar, mendarat dengan manis di celana Daniel. Aku ternganga melihatnya muncul di pantry. Tumben. "Kamu tidur? Saya potong bonus kamu loh!" sergah Daniel. Dia mengambil sendok kopi dari lantai dan melemparnya ke wastafel. Aku meringis, "Nggak. Eh, iya." "Kamu ke ruangan saya ya. Ada yang mau saya beritahu." "Oke." Daniel bergegas keluar dari pantry. Aku mengikuti jejaknya. Cangkir kopi kuletakkan di mejaku lalu aku beranjak ke ruangan Daniel. "Sini, sini." Daniel memanggilku. "Ada apa?" "Ehm... Ada proyek baru untuk kamu kerjakan. Company profile untuk tiga perusahaan," kata Daniel. "Oke. Saya minta data-datanya ya." "Kukirimkan lewat email karena agak banyak." "Nanti saya cek." "Ini proyek khusus dari Richard. Dia menunjukmu langsung." Wajah Daniel tampak bersimpati. "Wah, aku merasa terhormat dong?" Aku tertawa sinis. "Yang penting kamu kerjakan dengan baik. Jangan tunjukkan celah sedikit pun. Aku tidak dapat menunjuk orang untuk membantu karena instruksi Richard sangat spesifik, hanya untuk Hazel." Aku menganga. Apanya yang tidak membalas? Ini mah praktek hukum Hammurabi, mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Aku mengeluh dalam hati. Pantas saja aku mengalami kesialan bertubi-tubi sejak pagi, rupanya untuk mempersiapkanku menghadapi kesialan utama. Sebenarnya proyek ini tidak sulit, hanya tingkat kerumitannya sangat tinggi. Ditambah lagi aku harus membuat company profile untuk tiga perusahaan sekaligus! Tiga perusahaan ini bernaung di bawah grup perusahaan milik keluarga Richard. "Bro, dapat proyek besar?" Wahyu penasaran melihatku mencetak berlembar-lembar data. "Proyek balas dendam." "Maksud lo?" Aku menceritakan semuanya pada Wahyu, dari awal sampai akhir tidak ada yang ketinggalan. Tawa Wahyu membahana di akhir cerita. Orang yang baru kenal dengan Wahyu akan mengira kalau dia kesurupan. "Aduhhh Hazel, lo apes banget sih??" Wahyu mengusap airmata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Tapi orangnya ganteng kan?" "Biasa aja!" Wahyu tertawa, "Muka lo kayak habis kejebur comberan!" "Sial." "Tenang Bro, jadilah diri lo yang seperti biasa. Cuek, adem, dan bekerja dengan cepat. Gue yakin kalo dinikmati stres lo akan berkurang." "Tumben nasihat lo benar." Aku tertawa. "Wahyu gitu loh! Ngomong-ngomong nanti mau ke mal sebentar nggak?" "Mau ngapain?" "Cuci mata. Udah lama nggak kesana kan?" Aku berpikir sejenak. Mal yang dimaksud Wahyu lokasinya sangat dekat dengan gedung kantor kami. "Naik apa kesana?" tanyaku memastikan. "Gue bawa motor, Bro." Wahyu mengacungkan serenceng kunci. "Pinjam apa ngerampok?" Otakku segera menghitung cepat. Dengan motor jarak tempuh hanya butuh waktu lima menit, "Boleh lah." Jam istirahat tiba. Sumpah. Aku menyesal menyetujui ajakan Wahyu. Slide kehidupanku melintas di depan mata saat motor yang dibawa Wahyu ngesot tajam dan nyaris beradu dengan sebuah truk pembawa sampah. Kenapa harus truk sampah?? Tidak bisakah beradu dengan kendaraan yang lebih bagus semacam Mercedes Benz atau BMW?? Setidaknya aku bisa berkhayal pengemudi Mercedes Benz itu adalah seorang lelaki ganteng. Yah, itu pun kalau masih ada waktu untuk berkhayal. Kakiku lemas saat menjejak tanah. Wahyu merangkulku untuk berjalan lebih cepat. "Aman. Kita sudah tiba dengan selamat," cetus Wahyu dengan gembira. "HAMPIR!" Wahyu tertawa, "Yang penting udah sampai kan?" "Gila! Belajar bawa motor dari siapa lo? Nyawa gue cuma satu Bro, dan gue belum nikah!" Kami menuju food court. Aku dan Wahyu berpisah untuk memesan makanan masing-masing, kemudian bertemu kembali di meja. "Tadi gue sempat browsing tentang Richard. Penasaran," kata Wahyu sambil makan. "Mmmm." Aku hanya menggumam karena mulutku penuh. "Most wanted bachelor, Bro! Udah ganteng, punya banyak perusahaan, belum punya pacar lagi! Lo beruntung bisa sering ketemu sama dia!" Wahyu mencondongkan tubuh ke depan, "Dengar-dengar dia tinggal di lantai duapuluh satu. Gue pingin lihat penthouse-nya kayak apa." Aku mengernyit. Beruntung? Kok aku merasa sebaliknya ya? "Gue mau banget kalo dia kasih proyek." Wahyu cekikikan genit. "Sadar Bro. Banyak lelaki yang jauh lebih baik dari Richard!" cetusku kesal. Mata Wahyu melebar. Dia melirikku lalu melirik ke satu arah di belakangku. Perasaanku sangat buruk. "Kalian ngobrol apa?" Meskipun sudah menduga tapi tetap saja aku terlompat kaget mendengar suara Richard. Perlahan aku menoleh ke belakang. Lelaki itu terlihat menonjol di tengah keramaian. Sosoknya seperti foto model kelas atas. Richard melihat jam tangan, "Jam istirahat sepuluh menit lagi. Apakah cukup waktu bagi kalian untuk kembali ke kantor?" Aku dan Wahyu berpandangan dan tertawa. Richard mengerutkan alis melihat kelakuan kami. Seandainya dia tahu apa yang terjadi dalam perjalanan kemari. "Kami cuma butuh waktu lima menit perjalanan kok," kata Wahyu. "Lima menit? Kalian ngebut?" Richard takjub. "Ngebut kayak pembalap Formula One!" Aku tertawa. "Hati-hatilah di jalan." Usai bicara Richard pun meninggalkan kami. Wahyu menendang kakiku, "Wow, aslinya lebih ganteng Bro! Gue mau jadi sekretarisnya bos dooonngg." Aku menggerutu tidak senang. Tulang keringku protes jadi sasaran ujung sepatu Wahyu. Perjalanan kembali ke kantor sama brutalnya dengan perjalanan pergi. Aku berpegangan erat-erat pada apa pun yang bisa kuraih. Wahyu menunjukkan keahlian maksimalnya sebagai pembalap amatir. Kami tiba dalam waktu empat menit tigapuluh detik. Begitu kembali ke meja, Daniel langsung memanggilku ke ruangannya. Ada apa lagi nih? Seolah pekerjaanku belum cukup ribet. "Ehm... Richard minta kamu melaporkan progress kerja setiap sore, ke ruangannya di lantai duapuluh," kata Daniel. "Apa?? Mulai kapan??" "Hari ini." Mulutku ternganga. Itu berarti setiap hari aku harus bertemu dengan Richard. Ya Tuhan. Ini adalah kesialan maksimal. Rohku melayang. Aku kembali ke mejaku seperti zombie. Mataku menatap layar laptop tapi pikiranku berkeliaran. Sore ini aku harus naik ke lantai duapuluh. Aku tidak mempermasalahkan lembur, karena di biro iklan ini hampir semua orang lembur. Masalahnya adalah aku akan bertemu dengan Richard setiap hari. Aku tidak takut lelaki itu berbuat macam-macam. Aku hanya takut diriku tidak tahan godaan. Tunggu dulu!!! Kenapa aku berpikir seperti itu?? Apakah itu berarti aku mau tergoda? Membuka kemungkinan bahwa aku akan tergoda? Aku melepas kacamata. Tanganku menggosok mata kuat-kuat. Sadar Hazel!! Richard adalah orang yang tidak boleh kamu sentuh!! **** Jam dinding membuatku gelisah. Jarumnya telah menunjukkan pukul lima sore. Aku tahu seharusnya aku sudah berada di lantai duapuluh, tapi kenapa tubuh ini sulit diajak kompromi. Daniel berjalan cepat ke mejaku. "Hazel?? Sudah jam berapa ini?? Kenapa kamu masih disini??" tukas Daniel tidak sabar. "Sabar, aku kumpulkan tenaga dulu," kataku. "Cepat! Saya nggak mau diteror Richard!" Daniel kembali ke ruangannya. Aku menghela nafas berkali-kali. Hari ini belum banyak yang bisa dilaporkan karena aku masih butuh waktu untuk mengenal ketiga perusahaan yang jadi proyekku. Aku memutuskan untuk tidak membawa apa-apa. Daripada menunggu lift aku memilih untuk naik tangga. "Selamat sore, sudah ada janji dengan Pak Richard?" tanya resepsionis. "Emm...aku cuma disuruh melapor." "Mari ikut." Aku membuntuti resepsionis menuju ruangan Richard. Dia segera merespon begitu pintu diketuk. Resepsionis membukakan pintu untukku. Aku masuk. Sepatu kets yang kupakai membuat langkah kakiku seringan kucing. Richard memperhatikanku dengan geli. "Silakan duduk," kata Richard. "Hari ini belum ada laporan. Aku masih pengenalan." "Tidak apa. Aku mengerti. Ada kesulitan untuk mengerjakannya?" "Nggak sih." "Besok kamu langsung saja ke ruanganku. Aku akan memberitahu Bernard supaya dia nggak kaget. Anggap saja kantor sendiri." Aku tertawa gelisah, "Baiklah." Rupanya nama si resepsionis adalah Bernard. "Kenapa kemarin kabur?" tanya Richard. Matanya menatapku tajam. "Refleks." jawabku singkat. Richard tersenyum seolah berkata bahwa aku tidak akan bisa kabur lagi.Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong. Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline. "Woi!" Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial. "Apaan??" bentakku kesal. "Pulang yuk?" ajak Wahyu. "Kerjaan lo udah selesai?" "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang." "Emang jam berapa sih sekarang?
Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger. "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang. "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas. "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti." Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard." Wahyu tersedak. Matanya mendelik. "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?" Wahyu meringis sambil mengangguk samar. Sejuta topan badai! Ak
Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb
Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?
Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat
Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul