Share

Chapter 3 : Proyek Dari Bos

    Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker?

    Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan.

    Maaf Bang, aku mengecewakanmu!

    Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. 

    "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?"

    Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini."

    "Makanya," cetus Wahyu.

    "Makanya apa?"

    "Nggak apa-apa."

    "Asem! Gue pikir lo mau kasih solusi!"

    "Lo baru kenal gue? Masalah sendiri aja nggak bisa gue pecahin apalagi masalah lo!" Wahyu tertawa terbahak-bahak.

    Kepalaku pening didera logika Wahyu. Aku pergi ke pantry untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi dengan perlahan aku memejamkan mata mencuri waktu tidur. 

    Suara pintu dibuka dengan keras membuatku terbangun. Sendok yang kupegang terlontar, mendarat dengan manis di celana Daniel. Aku ternganga melihatnya muncul di pantry. Tumben.

    "Kamu tidur? Saya potong bonus kamu loh!" sergah Daniel. Dia mengambil sendok kopi dari lantai dan melemparnya ke wastafel.

    Aku meringis, "Nggak. Eh, iya."

    "Kamu ke ruangan saya ya. Ada yang mau saya beritahu."

    "Oke."

    Daniel bergegas keluar dari pantry. Aku mengikuti jejaknya. Cangkir kopi kuletakkan di mejaku lalu aku beranjak ke ruangan Daniel.

    "Sini, sini." Daniel memanggilku.

    "Ada apa?"

    "Ehm... Ada proyek baru untuk kamu kerjakan. Company profile untuk tiga perusahaan," kata Daniel.

    "Oke. Saya minta data-datanya ya."

    "Kukirimkan lewat email karena agak banyak."

    "Nanti saya cek."

    "Ini proyek khusus dari Richard. Dia menunjukmu langsung." Wajah Daniel tampak bersimpati.

    "Wah, aku merasa terhormat dong?" Aku tertawa sinis.

    "Yang penting kamu kerjakan dengan baik. Jangan tunjukkan celah sedikit pun. Aku tidak dapat menunjuk orang untuk membantu karena instruksi Richard sangat spesifik, hanya untuk Hazel."

    Aku menganga. Apanya yang tidak membalas? Ini mah praktek hukum Hammurabi, mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Aku mengeluh dalam hati. Pantas saja aku mengalami kesialan bertubi-tubi sejak pagi, rupanya untuk mempersiapkanku menghadapi kesialan utama.

    Sebenarnya proyek ini tidak sulit, hanya tingkat kerumitannya sangat tinggi. Ditambah lagi aku harus membuat company profile untuk tiga perusahaan sekaligus! Tiga perusahaan ini bernaung di bawah grup perusahaan milik keluarga Richard.

    "Bro, dapat proyek besar?" Wahyu penasaran melihatku mencetak berlembar-lembar data.

    "Proyek balas dendam."

    "Maksud lo?"

    Aku menceritakan semuanya pada Wahyu, dari awal sampai akhir tidak ada yang ketinggalan. Tawa Wahyu membahana di akhir cerita. Orang yang baru kenal dengan Wahyu akan mengira kalau dia kesurupan.

    "Aduhhh Hazel, lo apes banget sih??" Wahyu mengusap airmata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Tapi orangnya ganteng kan?"

    "Biasa aja!"

    Wahyu tertawa, "Muka lo kayak habis kejebur comberan!"

    "Sial."

    "Tenang Bro, jadilah diri lo yang seperti biasa. Cuek, adem, dan bekerja dengan cepat. Gue yakin kalo dinikmati stres lo akan berkurang."

    "Tumben nasihat lo benar." Aku tertawa.

    "Wahyu gitu loh! Ngomong-ngomong nanti mau ke mal sebentar nggak?"

    "Mau ngapain?"

    "Cuci mata. Udah lama nggak kesana kan?"

    Aku berpikir sejenak. Mal yang dimaksud Wahyu lokasinya sangat dekat dengan gedung kantor kami. 

    "Naik apa kesana?" tanyaku memastikan.

    "Gue bawa motor, Bro." Wahyu mengacungkan serenceng kunci.

    "Pinjam apa ngerampok?" Otakku segera menghitung cepat. Dengan motor jarak tempuh hanya butuh waktu lima menit, "Boleh lah."

    Jam istirahat tiba.

    Sumpah. Aku menyesal menyetujui ajakan Wahyu. Slide kehidupanku melintas di depan mata saat motor yang dibawa Wahyu ngesot tajam dan nyaris beradu dengan sebuah truk pembawa sampah. 

    Kenapa harus truk sampah?? Tidak bisakah beradu dengan kendaraan yang lebih bagus semacam Mercedes Benz atau BMW?? Setidaknya aku bisa berkhayal pengemudi Mercedes Benz itu adalah seorang lelaki ganteng. Yah, itu pun kalau masih ada waktu untuk berkhayal.

    Kakiku lemas saat menjejak tanah. Wahyu merangkulku untuk berjalan lebih cepat.

    "Aman. Kita sudah tiba dengan selamat," cetus Wahyu dengan gembira.

    "HAMPIR!"

    Wahyu tertawa, "Yang penting udah sampai kan?"

    "Gila! Belajar bawa motor dari siapa lo? Nyawa gue cuma satu Bro, dan gue belum nikah!"

    Kami menuju food court. Aku dan Wahyu berpisah untuk memesan makanan masing-masing, kemudian bertemu kembali di meja.

    "Tadi gue sempat browsing tentang Richard. Penasaran," kata Wahyu sambil makan.

    "Mmmm." Aku hanya menggumam karena mulutku penuh.

    "Most wanted bachelor, Bro! Udah ganteng, punya banyak perusahaan, belum punya pacar lagi! Lo beruntung bisa sering ketemu sama dia!" Wahyu mencondongkan tubuh ke depan, "Dengar-dengar dia tinggal di lantai duapuluh satu. Gue pingin lihat penthouse-nya kayak apa."

    Aku mengernyit. Beruntung? Kok aku merasa sebaliknya ya?

    "Gue mau banget kalo dia kasih proyek." Wahyu cekikikan genit.

    "Sadar Bro. Banyak lelaki yang jauh lebih baik dari Richard!" cetusku kesal.

    Mata Wahyu melebar. Dia melirikku lalu melirik ke satu arah di belakangku. Perasaanku sangat buruk.

    "Kalian ngobrol apa?"

    Meskipun sudah menduga tapi tetap saja aku terlompat kaget mendengar suara Richard. Perlahan aku menoleh ke belakang. Lelaki itu terlihat menonjol di tengah keramaian. Sosoknya seperti foto model kelas atas.

    Richard melihat jam tangan, "Jam istirahat sepuluh menit lagi. Apakah cukup waktu bagi kalian untuk kembali ke kantor?"

    Aku dan Wahyu berpandangan dan tertawa.

    Richard mengerutkan alis melihat kelakuan kami. Seandainya dia tahu apa yang terjadi dalam perjalanan kemari.

    "Kami cuma butuh waktu lima menit perjalanan kok," kata Wahyu.

    "Lima menit? Kalian ngebut?" Richard takjub.

    "Ngebut kayak pembalap Formula One!" Aku tertawa.

    "Hati-hatilah di jalan." Usai bicara Richard pun meninggalkan kami.

    Wahyu menendang kakiku, "Wow, aslinya lebih ganteng Bro! Gue mau jadi sekretarisnya bos dooonngg."

    Aku menggerutu tidak senang. Tulang keringku protes jadi sasaran ujung sepatu Wahyu.

    Perjalanan kembali ke kantor sama brutalnya dengan perjalanan pergi. Aku berpegangan erat-erat pada apa pun yang bisa kuraih. Wahyu menunjukkan keahlian maksimalnya sebagai pembalap amatir. Kami tiba dalam waktu empat menit tigapuluh detik.

    Begitu kembali ke meja, Daniel langsung memanggilku ke ruangannya. Ada apa lagi nih? Seolah pekerjaanku belum cukup ribet.

    "Ehm... Richard minta kamu melaporkan progress kerja setiap sore, ke ruangannya di lantai duapuluh," kata Daniel.

    "Apa?? Mulai kapan??"

    "Hari ini." 

    Mulutku ternganga. Itu berarti setiap hari aku harus bertemu dengan Richard. Ya Tuhan. Ini adalah kesialan maksimal.

    Rohku melayang. Aku kembali ke mejaku seperti zombie. Mataku menatap layar laptop tapi pikiranku berkeliaran. Sore ini aku harus naik ke lantai duapuluh. Aku tidak mempermasalahkan lembur, karena di biro iklan ini hampir semua orang lembur. Masalahnya adalah aku akan bertemu dengan Richard setiap hari.

    Aku tidak takut lelaki itu berbuat macam-macam.  Aku hanya takut diriku tidak tahan godaan.

    Tunggu dulu!!! Kenapa aku berpikir seperti itu?? Apakah itu berarti aku mau tergoda? Membuka kemungkinan bahwa aku akan tergoda?

    Aku melepas kacamata. Tanganku menggosok mata kuat-kuat. Sadar Hazel!! Richard adalah orang yang tidak boleh kamu sentuh!!

    ****

    Jam dinding membuatku gelisah. Jarumnya telah menunjukkan pukul lima sore. Aku tahu seharusnya aku sudah berada di lantai duapuluh, tapi kenapa tubuh ini sulit diajak kompromi.

    Daniel berjalan cepat ke mejaku.

    "Hazel?? Sudah jam berapa ini?? Kenapa kamu masih disini??" tukas Daniel tidak sabar.

    "Sabar, aku kumpulkan tenaga dulu," kataku.

    "Cepat! Saya nggak mau diteror Richard!" Daniel kembali ke ruangannya.

    Aku menghela nafas berkali-kali. Hari ini belum banyak yang bisa dilaporkan karena aku masih butuh waktu untuk mengenal ketiga perusahaan yang jadi proyekku. Aku memutuskan untuk tidak membawa apa-apa. Daripada menunggu lift aku memilih untuk naik tangga.

    "Selamat sore, sudah ada janji dengan Pak Richard?" tanya resepsionis.

    "Emm...aku cuma disuruh melapor."

    "Mari ikut."

    Aku membuntuti resepsionis menuju ruangan Richard. Dia segera merespon begitu pintu diketuk. Resepsionis membukakan pintu untukku. Aku masuk. Sepatu kets yang kupakai membuat langkah kakiku seringan kucing. Richard memperhatikanku dengan geli.

    "Silakan duduk," kata Richard.

    "Hari ini belum ada laporan. Aku masih pengenalan."

    "Tidak apa. Aku mengerti. Ada kesulitan untuk mengerjakannya?"

    "Nggak sih."

    "Besok kamu langsung saja ke ruanganku. Aku akan memberitahu Bernard supaya dia nggak kaget. Anggap saja kantor sendiri."

    Aku tertawa gelisah, "Baiklah." Rupanya nama si resepsionis adalah Bernard.

    "Kenapa kemarin kabur?" tanya Richard. Matanya menatapku tajam.

    "Refleks." jawabku singkat.

    Richard tersenyum seolah berkata bahwa aku tidak akan bisa kabur lagi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status