Tak terasa sudah hampir dua minggu sejak Naya mengusir Hanan, akan tapi Hanan tidak berusaha menemui Naya kembali. Naya berpikir mungkin Hanan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi sekarang.Bukan Naya merindukan Hanan, tapi terkadang ada rasa ingin melihat sang suami, mungkin itu juga pengaruh dari kehamilannya. Naya tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak merindukan Hanan.Pesan masih sering dikirimkan oleh Hanan, tapi tak satu pun Naya membalasnya. Dia tak terlalu memikirkan kenapa sang suami tak kunjung menemuinya, dalam pikirannya entah hati Hanan sudah sepenuhnya dimiliki oleh Melisa atau belum.Cinta bisa datang karena terbiasa bersama, Naya tak mau menyalahkan Hanan jika memang dia sudah mencintai Melisa. Mungkin memang sudah takdir pernikahannya seperti ini.Naya mencoba ikhlas melepaskan beban di hatinya, dia cukup fokus pada kehamilannya saja sekarang.Hari cukup cerah saat Naya menunggu Dinda menjemputnya, karena sekarang Dinda yang selalu menjemput dan mengantarnya p
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan Ibu." Dinda memasuki ruang kerja Naya setelah mengetuk pintu."Siapa, Din?" Naya mengernyitkan kening heran, siapa yang ingin bertemu dengannya."Seorang wanita yang tadi duduk di belakang Ibu," jawab Dinda."Melisa?" gumam Naya heran kenapa Melisa ingin bertemu dengannya. Apa lagi yang Melisa inginkan darinya, Naya benar-benar malas bertemu dengan Melisa lagi. Dari tadi Naya sudah menahan diri mendengar obrolan Melisa dan temannya. Kini Naya tak yakin bisa menahan dirinya jika bertemu dengan Melisa lagi."Bu, bagaimana? Apa Ibu ingin menemuinya atau tidak?" Pertanyaan Dinda menyadarkan Naya dari lamunannya."Bilang saja aku sedang sibuk dan tidak bisa digangu ya, Din. Aku capek ingin istirahat sebentar." Naya pun memutuskan untuk tidak menemui Melisa untuk sekarang."Baik, Bu." Dinda beranjak menuju pintu."Tunggu, Din! Kalau dia tetap ingin bertemu, sampaikan padanya jangan menggangguku." "Baik Bu, saya permisi." Dinda pun berlalu menemui Melisa.
Mentari pagi telah menampakkan diri. Naya pun beranjak bangun dari tempat tidur. Setelah sholat Subuh tadi Naya kembali tertidur, dia sedikit merasa malas untuk bangun karena cuaca sedang dingin sekali.Jika tidak ingat dengan janjinya pada Melisa, tentu Naya lebih memilih bermalas-malasan di rumah. Sebelum memulai aktivitas Naya pun mandi terlebih dahulu. Selesai mandi dia bergegas untuk membuat sarapan, tenaganya harus terisi penuh jika harus bertemu dengan Hanan.Naya juga harus kuat untuk menghadapi Hanan, belum nanti jika ada ibu mertuanya di sana. Dia harus menyiapkan hati dengan ucapan Ratih yang menusuk hati.Selesai sarapan Naya mengambil ponsel, dicarinya kontak Dinda dan menelfonnya. Naya lupa belum memberitahu Dinda jika dia akan pergi untuk menjenguk Hanan."Assalamu'alaikum Bu," sapa Dinda begitu panggilan telfon tersambung."Wa'alaikum salam, Din. Maaf ganggu kamu pagi-pagi begini.""Tidak apa-apa, Bu. Kalau boleh tahu, ada apa Ibu menelfon saya pagi-pagi?" tanya Dind
Setelah membantu Hanan kembali berbaring di ranjang Naya berniat untuk pergi. Naya takut jika terlalu lama di dekat Hanan, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi."Istirahatlah, Mas," ucap Naya pada Hanan yang sedang berbaring."Mas tidak mau, Mas masih ingin melihatmu, sayang. Nanti jika Mas tidur kamu akan pergi dari sisi Mas lagi," rengek Hanan."Jika Mas tidak istirahat bagaimana bisa sembuh?""Apakah jika Mas sudah sembuh, Mas boleh pulang ke rumah kita?" tanya Hanan berharap.Naya terdiam mendengar permintaan Hanan. Berat untuknya mengabulkan permohonan Hanan, luka hatinya masih menganga belum mengering sama sekali."Boleh, Mas," ucap Naya tidak tega melihat kondisi Hanan. Untuk sementara Naya pun mengikuti apa yang Hanan mau agar dia bisa cepat pergi."Terima kasih, sayang. Mas akan segera sembuh agar kita bisa cepat berkumpul kembali," ucap Hanan mulai memejamkan mata.Setelah Hanan tertidur Naya pun beranjak pergi. Dia melangkah menuju pintu, tapi betapa terkejutnya dia
"Maaf Mas, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Aku mohon bangunlah, Mas." Melisa menangis tergugu di samping ranjang Hanan. Dia tidak menyangka sikapnya yang kekanak-kanakan malah membuat Hanan sang suami terbaring di rumah sakit.Melisa menggenggam erat tangan Hanan yang tidak terpasang infus, dikecupnya pelan punggung tangan Hanan."Sudahlah, Mel. Jangan menangis terus menerus, keadaan Hanan pasti akan segera membaik. Dokter sudah memberikan perawatan yang baik pada Hanan." Ratih menepuk pundak Melisa pelan, dia juga sedih melihat sang putra terbaring di rumah sakit. Namun Ratih masih bisa menghibur Melisa."Tapi semua salahku, Bu. Jika saja aku tidak meminta Mas Hanan untuk segera pulang, tentu Mas Hanan tidak akan mengalami, kecelakaan," sahut Melisa dengan air mata yang bercucuran.Ratih terdiam, apa yang diucapkan Melisa memang benar, jika saja menantunya itu tidak menyuruh sang putra pulang, tentu sekarang Hanan masih sehat. Tapi Ratih tidak bisa menyalahkan Melisa sepe
Pov Naya."Jadi saya tidak perlu menjemput Ibu hari ini?" tanya Dinda melalui sambungan telfon."Tidak perlu, Din. Aku ingin di rumah saja hari ini," balasku sembari menyiapkan menu sarapan."Baik Bu, jika perlu apapun silahkan menghubungi saya.""Tentu Din, memang hanya kamu yang selalu mau aku repotkan," candaku."Sudah tugas saya, Bu.""Baiklah, aku tutup dulu telfonnya." Aku pun mengakhiri panggilan telfon dan bergegas menyantap sarapan yang telah kubuat.Entah kenapa rasanya aku sedang ingin bermalas-malasan hari ini, rasanya aku tidak ingin pergi keluar rumah. Mungkin semua karena efek kehamilanku, walau begitu aku sangat bahagia sekali.Aku merasakan ada kehidupan lain di dalam rahimku, sungguh rasanya menakjubkan di kala mendapatkan anugrah terindah yang selalu aku nantikan setelah sekian lama.Tanganku mengelus perut yang masih rata, karena memang usia kandunganku masih berusia sembilan minggu. Walau begitu punggungku terkadang terasa nyeri saat aku kelelahan.Tidak bisa aku
"Terima kasih sudah mau memberikan Mas kesempatan, sayang," ucap Hanan melepaskan pelukannya.Naya masih terdiam membelakangi Hanan, dia mencoba menenangkan hatinya. Naya pun segera menghapus air matanya, dia tidak mau jika Hanan melihatnya menangis untuk Hanan lagi.Naya berbalik menghadap Hanan, dia menatap mata sang suami dalam. Diselaminya pandangan Hanan, masihkah ada cinta untuknya di hati Hanan atau sudah tergantikan dengan cinta Melisa.Naya harus meyakinkan dirinya untuk memberi Hanan kesempatan atau melepaskannya, walau sulit sekali jika dia harus hidup sendiri."Mas, bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu sebelum aku memaafkanmu?" ucap Naya lirih."Boleh, sayang. Kamu boleh meminta apa saja asalkan mau memaafkan Mas," jawab Hanan sembari memegang tangan Naya."Aku hanya minta Mas jangan menyentuhku terlebih dahulu sebelum aku yakin bisa memaafkanmu, Mas."Hanan terdiam mendengar permintaan Naya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Naya. Hanan harus bisa menahan dirinya ag
Setelah pulang dari rumah sakit Naya hanya termenung terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Dia merasakan seakan nyawanya hilang dari tempatnya.Hati wanita mana yang tidak akan sakit jika mengetahui ada wanita lain yang telah mengandung benih dari suaminya. Walaupun Naya mencoba untuk tetap tegar, tetapi hatinya tidak bisa berbohong jika dia sangat tidak terluka akan kehamilan Melisa.Naya tidak bisa membayangkan bagaimana kelak ketika anaknya lahir dan beranjak dewasa dia mengetahui bahwa dia telah memiliki saudara lain dari istri ayahnya yang lain. Apakah dia akan terluka nantinya. Sungguh Naya tidak mau membuat anaknya kecewa dan terluka sama seperti sang ibu.Naya hanya ingin kelak selalu membuat anaknya bahagia tanpa tahu kesedihan sang ibu. Cukup dia saja yang merasakan kecewa dan terluka.Air mata Naya enggan sekali menetes, rasanya sudah mengering karena terlalu sering menangis. Hati Naya kian beku tak dapat tersentuh lagi oleh Hanan. Pintu maaf dan kesempatan untuk sang suami