Share

Pertengkaran Memanas

"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara.

Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib!

"Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku.

"Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku.

"Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi.

"Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan.

"Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget."

Sengaja kutekankan kata 'tahu', karena semua orang di sini juga tahu kalau Mbak Yana menikah baru lima bulan, Si Dini sudah lahir.

"Tutup mulut kamu, Firda! Kalau nggak karena Bima maksa-maksa Ibu agar nikahin kamu kami ogah beri restu, apalagi dengan wanita kering seperti kamu!" Mbak Yana juga mulai menyulutkan api diantara kami semua.

"Diam kamu Fir! Nggak sopan kamu ngomong begitu ke Mbak Yana?" bentak Mas Bima kepadaku yang tak pernah dilakukannya semenjak kami menikah.

"Terus ... ngomong yang sopaan itu gimana, Mas? Coba kasih contoh dulu!" emosiku tak terkendali lagi.

"Intinya, Bima jelas-jelas tak mandul!" Ibu mertua melotot kepadaku.

"Tapi itu juga tidak menjamin kalau Firda yang bermasalah, Bu. Jika memang Mas Bima tak bermasalah kenapa nggak pernah mau kalau diajak periksa?" balasku lagi tak mau kalah.

"Karena dia memang subur!" tegas mertuaku sambil melotot.

"Baik jika begitu, minggu depan Firda dan Mas Bima periksa ke rumah sakit. Tante, Ibu, Mbak Yana dan kamu Viona bisa ikut untuk melihat langsung hasil pemeriksaan dokter. Gimana?" tantangku pasti.

Mereka semua terdiam, termasuk Mas Bima yang garuk-garuk kepala yang kurasa tak gatal.

Kesempurnaan wanita adalah punya anak, Firda!" Mertuaku lagi-lagi berkata yang menyakitkan.

"Dan kesempurnaan wanita adalah punya akhlak, Bu!" balasku tak mau kalah.

"Kalau sudah lama nggak punya anak, seharusnya kamu berobat sana!" Tante Tika haredang.

"Kalau sudah lama nggak punya akhlak, seharusnya belajar tobat sana!" Lancarnya mulutku men-skakmat keluarga ini.

"Diam! Dengar ocehanmu, lama-lama bisa mati aku." Ibu mertua benar-benar sudah naik pitam.

Suasana seketika menjadi hening. Tak ada yang berbicara. Semua mata menatap tajam ke arahku.

.

.

.

.

"Kumenangiiiisss … membayangkan …" lanjutku tiba-tiba dengan bernyanyi dan keluar dari rumah. Eits … tak lupa tiga bungkus martabak telur kubawa pulang.

"Firdaaaaaa!"

*********

Aku terbangun, kembali alarm tahajjudku berbunyi. Aku lupa men-silent karena masih libur salat. Kuperbaiki letak selimut karena mau lanjut tidur. Tapi mataku tertuju kepada seseorang yang berbaring di sebelah. Viona? Kenapa kami tidur satu ranjang? Kemana Mas Bima? Otakku belum sinkron karena mendadak terjaga. Setelah semalam berdebat panas di rumah Mbak Yana, aku pulang sendiri tanpa Mas Bima. Aku tak tahu, pulang jam berapa suamiku dari rumah kakaknya. Aku tidur cepat karena otak dan tubuh yang lelah.

Aku keluar kamar untuk memastikan Mas Bima. Di sofa ruang tamu tak kutemukan keberadaannya. Kuperiksa kamar sebelah, rupanya Mas Bima tertidur di sana.

Jika Viona mau menginap di rumahku, seharusnya dia yang di kamar tamu. Bukan malah tuan rumah yang digusur. Memang sekilo kurang ini cewek.

Aku kembali ke kamar utama. Karena aku masih marah dengan Mas Bima, tak sudi satu ranjang dengannya malam ini. Pun aku tak bisa tidur jika tak menggunakan AC. Karena hanya kamar utama saja yang kami pasangi AC.

******

Kubuat sarapan untukku dan Mas Bima. Nasi goreng ayam ungkep. Ayam tingal goreng saja karena masih ada sisa ayam ungkep kemarin di freezerku.

"Wangi amat, Mbak Firda." Viona menyapaku ketika keluar dari kamar mandi.

"Heg ehm …" Malas-malasan aku menjawab.

"Mbak, nanti Viona ikut Mas Bima ya, Mbak Sekar naik gojek saja!"

Kulirik gadis dua puluh lima tahun itu. Dia duduk di meja makan sambil memperhatikan aku yang sedang membuat sarapan pagi.

"Boleh kan, Mbak!" Dia bertanya, memastikan jawabanku.

"Mbak mau kerja juga Viona. Kalau kamu ada keperluan, kamu saja yang naik gojek kenapa mesti Mbak?" Aku membalas, tak suka.

"Viona ada urusan Mbak, di kantor Mas Bima."

"Itu urusan kamu, bukan urusan Mbak. Mas … sarapan sudah siap. Mari makan!" teriakku keras, sengaja meluapkan kekesalanku terhadap Viona. Mas Bima keluar dari kamar sudah terlihat rapi dan wangi.

"Mas Bim, Yona ganti baju dulu di rumah Mbak Yana! Semalam bajunya nggak dibawa kemari." Viona segera berlalu, mungkin menuju rumah Mbak Yana. Aku tak perduli. Sementara suamiku hanya mengangguk.

"Tumben Mas, jam segini sudah siapan? Firda aja belum siap," tanyaku heran.

"Dek, nanti kamu naik gojek dulu ya. Mas mau antar Viona. Hari ini dia mau interview di kantor Mas."

"Kok Mas bilangnya tiba-tiba?"

"Semalam Mas mau bilang sama kamu. Tapi kamu keburu tidur." Mas Bima meyeruput teh yang telah kusediakan.

"Dek … jangan nggak sopan gitu lagi dong sama tanteku, Ibu dan Mbak Yana. Mas malu Dek, dikira nggak bisa ngajarin istri sopan santun." Dia melanjutkan perkataannya.

Weleh-weleh. Semakin hari sifat Mas Bima semakin menjengkelkan saja.

"Oh, jadi kelakuan Firda semalam menurut kamu nggak sopan, Mas?"

"Iya dong Dek, masak kamu berlawanan terus sih ama keluargaku."

"Karena keluargamu menghinaku Mas. Dan kamu, sebagai suami seharusnya menjadi pelindung istrinya, ini malah diam saja seperti batu malin kundang yang kenak kutuk." makiku kasar.

"Ya, kamu sabar aja dong, Dek. Namanya orang tua. Harap di maklumi."

"Hahaha … dimaklumi katamu, Mas. Ck, hari ini aku semakin sadar, kebanyakan anak-anak sekarang dipaksa dewasa oleh lingkungan dan teknologi, begitupun sebaliknya, orang-orang tua yang belum juga dewasa, padahal ia sudah melewati masanya.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Agar kemarahanku bisa teredam walau hanya seujung kuku.

"Diam saja tak ada gunanya, Mas. Ketika terus-terusan dihina itu bukan sabar, tetapi tolol yang ditabung." Kembali aku berkata agar Mas Bima paham, betapa sakitnya aku.

"Nah, ini yang Mas nggak suka dari kamu. Akhir-akhir ini kamu taunya ngeyel saja. Dulu kamu nggak seperti ini, Dek. Selalu nurut apa perkataan Mas dan Ibu."

"Nah, karena terlalu menurutnya aku padamu dan ibumu, sehingga kalian memperlakukan aku seperti ini, termasuk Mbak kamu yang tak pernah bisa menghargai aku sebagai iparnya!"

Perdebatan kami sudah tak dapat dihindari. Bertengkar di pagi hari bisa menghambat rezeki, itu kata ibuku. Ah, aku jadi kangen pada Ibu di kampung. Sudah lama aku tak pulang. Terlalu fokus pada keluarga ini membuatku lupa bahagia.

Kuhidangkan sarapan buat kami berdua di atas meja, kusantap sendiri punyaku tanpa memperdulikan Mas Bima. Mas Bima pun seperti diriku, cuek ketika memulai sarapannya.

Ting!

Suara sendok yang beradu dengan piring terasa nyaring tanpa ada candaan pagi seperti biasa.

"Mas Biiiiim, Yona dah siap nih!" Yona nongol disela-sela kekacauan kami pagi ini.

"Mas berangkat, kamu bisa sendiri, kan?!" tanyanya memecah kesunyian.

"Kalau aku bilang nggak bisa gimana, Mas?" tantangku.

"Ih, Mbak Firda. Kenapa sih dari semalam sensi terus bawaannya. Mbak lagi dapet ya?" Viona tiba-tiba memotong pertanyaanku.

"Ya, lagi dapet! Dapet musibah karena kalian!"

"Firda! Kurang ajar …" Tangan Mas Bima naik tetapi berhenti di udara.

Aku terdiam dan menatap sinis lelaki yang ada di depanku ini. Mas Bima pun terkejut dengan apa yang barusan dilakukannya.

"Huh … nggak nyangka ya! Sudah, pergi lah. Kau tidak lupa kan, kalau aku pernah mandiri. Mungkin mulai saat ini, atau bahkan seterusnya." Tak kugunakan lagi kata 'Mas' dan Firda, yang ada 'kau dan aku'.

"Dek maaf, Mas—"

Aku meninggalkan mereka dan menuju ke kamar. Kututup pintu sedikit membanting. Tubuhku bergetar air mataku tak bisa diajak kompromi, tanpa permisi dia mendesak keluar. Aku terluka melihat Mas Bima menaikkan tangannya untuk diriku. Tak pernah dia melakukan seperti itu, hingga pagi ini. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengusap air di ujung mata, berganti baju kantor dan menambah sedikit riasan. Jika tidak bergegas, aku pasti terlambat masuk kantor.

Kucari aplikasi GO-JEK, dan memesannya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimih Minih
tingalin suami tak guna....hidup anak emas tak bertampat ..hidup berpasangan tak perlu keluarga masuk campur...klu semua diminta tampa keiklasan pasangan tiada guna sama juga makan duit curian dan pinjaman..baik tak paya pindah jauh dari kawasan keluarga supaya susah mau temui
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status