Aku meremas surat yang baru saja kubaca. Baru sebagian, namun cukup memahami makna dibaliknya. Oke, ini bukan surat cinta biasa, bukan. Sama sekali jauh dari itu semua. Karena tidak ada pujian ataupun sanjungan di sana. Karena ini adalah surat ... PHK.
Tadi ketika membaca surat tersebut, mataku berhenti pada satu kalimat, 'Pemutusan Hubungan Kerja'. Kalimat yang sempat membuatku terpekur sesaat, memikirkan nominal di rekening apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa-masa tak berpenghasilan.
Ini salahku.
Aku izin tidak masuk kerja di waktu yang tak tepat. Ketika kantor sedang dalam keadaan darurat karena salah seorang klien besar mendadak mendaftarkan asuransi anaknya yang baru lahir. Bayi tersebut mengalami masalah sehingga harus menjalani operasi. Aku yang bertanggung jawab atas proses pendaftaran asuransinya, namun aku memilih tidak masuk kerja dan sulit dihubungi.
Aku juga salah karena terlalu berharap pada teman satu teamku yang lainnya. Seharusnya ia memang masuk setengah hari setelah mengurus ayahnya yang sakit. Namun naas, takdir berkata lain. Temanku tak bisa masuk kerja karena ayahnya ternyata meninggal dunia.
Satu team tak ada yang bisa dihubungi ketika keadaan kantor sedang mendesak. Kesalahan paling fatal jelas berada di pundakku karena sudah berbohong dan hampir saja mengorbankan nyawa seorang bayi tak berdosa.
Dan karena hal itulah, apapun keputusan yang kantor berikan aku akan terima. Tak sedikitpun menolak ataupun meminta pengertian. Sekali lagi, ini kesalahanku. Jadi sudah sepatutnya aku menerima resiko yang diberikan. Bisa dibilang, aku masih beruntung karena klien tersebut tak meminta ganti rugi.
Keesokan paginya, Kevan menawarkan diri untuk mengantarkan ke kantor. Dia ingin menjelaskan segala sesuatunya. Namun kutolak tawarannya. Aku ingin menyelesaikan masalah ini sendiri. Ini adalah tanggung jawabku. Kantor tidak akan menerima alasan yang tidak masuk akal seperti ini. Menemani sahabat. Alasan macam apa itu? Sungguh lucu. Aku tertawa geli.
Setibanya di kantor, security langsung menghadang. Tak mengizinkanku masuk ke dalam ruangan dan mengawal dengan ketat, membawaku ke ruang tamu. Aku seperti orang asing, bukan bagian dari perusahaan. Merasa ada sesuatu yang janggal, maka kuminta Kevan untuk datang menemani. Dukungan darinya sangat kuperlukan saat ini.
Dan hidupku di kantor benar-benar selesai, tidak ada kesempatan lagi, ketika bagian HRD menemuiku, membuat segala praduga yang sempat terlintas menjadi nyata.
"Ay, kenapa harus sampe kayak gini? Lo tau seberat apa tugas gue?" Avisa, sahabatku yang merupakan bagian dari Human Resources Departement berusaha menahan perasaannya di depanku.
Namun aku dapat merasakan perubahan dari sikapnya siang ini. Dia terlihat sendu dari awal aku memasuki ruangan ini. Jauh berbeda dari Avisa yang kukenal.
Ia adalah sahabat terbaikku, sejak aku diterima bekerja di tempat ini, empat tahun yang lalu. Berawal dari ketidaksukaannya padaku, karena menurutnya ketika pertama kali masuk, semua perhatian staff laki-laki langsung terfokus padaku. Entahlah, padahal aku merasa biasa saja.
Dari segi fashion, menurutku Avisa jauh lebih unggul. Semua barang yang dikenakannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala adalah merek ternama. Gucci, Hermes, dan Christian Louboutin adalah sebagian dari koleksinya. Wajar saja, Avisa ini anak pengusaha terkenal. Bukan hal yang sulit baginya untuk bisa mendapatkan itu semua.
"Sori Vis, ini salah gue." Aku menunduk. Tak sanggup menatap matanya. Dia adalah orang pertama yang sudah aku kecewakan hari ini.
"Kenapa lo lebih milih pergi sama Kevan dan mengabaikan tanggung jawab lo di sini. Bos marah besar tau nggak?"
Aku mengangkat kepala dan memandang Avisa. Ia menatapku dalam. Sorot matanya menampilkan dua hal, sedih dan kecewa.
"Gue mau bantu lo, Ay. Tapi nggak bisa. Ini di luar batas kemampuan gue," ucapnya lirih.
Ada rasa sakit yang kurasakan melihat raut wajahnya yang seperti ini. Aku tahu, dia berusaha menahan air matanya.
"Lo nggak usah bantu apa-apa, Vis. Jangan korbanin kerjaan lo demi gue."
"Lo segitu cintanya ya sama Kevan?" Tudingnya tanpa aling-aling sembari menatap Kevan yang sedang duduk di luar ruangan, dekat meja resepsionis.
Dari tempatku sekarang -yang merupakan ruangan kaca ini-, dapat terlihat lelaki itu nampak tidak tenang. Sesekali menatap ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja. "Ay, bener kan lo suka sama dia?" ulang Avisa dengan volume yang sedikit dinaikan.
"Hah?" Aku terperangah mendengar tudingan sahabatku ini.
Avisa tidak mengetahui tentang rahasia Kevan. Wajar jika ia berpikiran demikian. Kedekatanku dengan Kevan seringkali menimbulkan anggapan yang berbeda memang. Avisa hanyalah salah satu dari orang-orang itu.
"Iya. Lo segitu cintanya sama dia. Lo nggak pernah bisa nolak semua kemauan Kevan. Bahkan ketika lo sakit aja masih bisa nemenin dia ke Bandung. Sampe akhirnya harus diopname," rentet Avisa mengingatkanku pada kejadian satu bulan yang lalu. Aku memang menemani Kevan untuk urusan bisnisnya dan itu berhasil membuat typus ku kembali menyerang.
"Vis, lo tau kan, Kevan itu sahabat gue. Wajar gue ngelakuin itu."
"Bullshit, Ay, cowok sama cewek sahabatan untuk jangka waktu yang lama tanpa perasaan apa-apa."
Bersahabat dengan seseorang yang berbeda jenis kelamin memang seringkali akan menimbulkan sesuatu yang berbeda, rasa nyaman yang berubah menjadi sayang lalu naik levelnya menjadi suka atau bahkan cinta. Tapi hubunganku dengan Kevan ini jelas berbeda. Karena seperti yang kalian tahu. Dia gay.
Avisa berdiri, menyenderkan pinggulnya pada meja dan bersedekap memandangku. "Lo suka kan sama dia, Ay?" ujarnya kemudian.
Aku mendongak memandang Avisa. Dari sorot matanya ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya lewat pupil mataku.
"Untuk saat ini, hanya sebatas sahabat Vis."
"Nggak menutup kemungkinan untuk lebih?"
Hening.
Waktu terasa berhenti. Kami masih saling bersitatap, sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Avisa dengan tanda tanyanya. Dan aku dengan kebimbanganku untuk menjelaskan bagaimana bentuk hubunganku dengan Kevan.
"Gue nggak tahu," sahutku kemudian.
Terlalu banyak jawaban, maka akan semakin banyak pertanyaan. Jadi, aku memilih untuk diam saja. Itu lebih baik, biarkan orang lain sibuk dengan perkiraannya. Dan biarkan aku tetap konsisten pada janji yang pernah terucap, untuk menjaga rahasia Kevan dari seluruh dunia.
Kevan bukan hanya sahabat bagiku. Tapi lebih dari itu, dia menempati ruang spesial dalam hati, bukan sebagai pacar, tapi lebih dari itu, aku sulit mendeskripsikannya. Tapi kira-kira seperti ini, ia adalah seseorang yang ketika terluka, maka akulah orang pertama yang akan ikut merasakan lukanya. Sesayang itu? Iya sesayang itu aku pada Kevan.
Avisa sedikit maju, menunduk dan memelukku dengan sangat dalam. "Ay, jangan benci gue karena hal ini, gue terpaksa. Maafin gue."
Setelah pelukan itu berakhir, ia memberikanku surat sialan itu. Surat yang pada akhirnya membuatku resmi menjadi seorang pengangguran.
❤️
Setibanya di rumah, aku langsung menghitung kembali segala tagihan yang kumiliki. Mencocokkannya dengan nominal uang yang ada di rekening. Memastikan sampai kapan uang di tabungan dapat menjamin hidupku hingga ke depan.
Kepalaku berdenyut. Hanya cukup untuk tiga bulan. Mencari pekerjaan sedang sulit sekarang, apakah aku bisa berlomba dengan waktu yang ada?
"Gimana, Ay, tabungan lo cukup buat kapan?" Sahabatku itu mendaratkan pantatnya di sofa setelah tadi dia pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Dia melihat-lihat rincian tagihan yang sudah kusalin. Matanya fokus membaca satu persatu catatan beserta angka yang tercetak di sana. Cicilan mobil, tagihan kartu kredit, tagihan wifi beserta tv cable, bahkan pulsa untuk satu bulan juga tak luput dari hitunganku.
"Tiga bulan aja, nih. Gue harus gercep, Kev."
"Pinjem uang gue dulu aja, Ay. Ini kan salah gue sampe lo dipecat gini."
"Heh, pelan-in suara lo. Ntar emak gue denger," bisikku memberikan kode padanya.
Lelaki itu menutup mulut dengan sebelah tangan. Dia juga tak ingin Mama tahu kalau aku sudah tak bekerja lagi sekarang. Mungkin sama sepertiku, merasa takut Mama akan memarahinya apabila aku dianggap tak becus bekerja karena menemani dirinya kemarin.
"Eh iya, maaf-maaf."
"Ay, Mama ke rumah Budhe sebentar ya sama Bik Onah. Hari ini kamu nggak kemana-mana tho, Nduk?" Suara Mama terdengar.
Aku menoleh dan mendapati Mama yang nampak sibuk memasukkan makanan dari tupperware ke dalam dua kantung plastik ukuran besar. Seperti biasa, Mama dan Budhe seringkali saling mengirimi makanan apabila ada waktu untuk berkunjung.
"Aku di rumah aja kok Ma sama Kevan."
"Oh ya udah, Mama jalan dulu ya. Itu Mama udah masak kesukaan kamu. Ajak Kevan makan ya." Mama terlihat terburu-buru hendak berjalan keluar rumah dengan dua kantung plastik berisi makanan di tangan.
"Dia mah nggak usah diajak juga biasanya ngambil sendiri." Kevan memajukan bibirnya ketika aku mengucapkan hal tersebut.
"Ya nggak apa-apa. Kevan kan udah seperti anak Mama sendiri." Seringkali seperti itu, Kevan selalu saja mudah mengambil hati semua orang termasuk orang tuaku dan orang tua Lintang. Karena di mata mereka, sahabatku itu terkenal lucu dan pintar dalam menghidupkan suasana.
"Tuh, dengerin! Anak sendiri."
Aku mencebik. Merasa tidak terima Mama mengadopsi anak lagi. Cukup aku saja yang menjadi anak semata wayangnya. Jangan ada tambahan lagi, apalagi yang bentuknya seperti Kevan ini, terlalu menyebalkan untuk dijadikan saudara.
Kevan celingak celinguk ke sekitar ruangan. Begitu ia yakin Mama dan Bik Onah sudah pergi, ia kembali bersuara.
"Cyiin, lo pinjem uang gue dulu aja ya. Gue tanggung jawab, Cyiiinn sama hidup lo selama belom dapet kerjaan." Suara kemayu itu datang lagi setelah menyadari kondisi mulai aman.
Begitulah Kevan, dia akan menjadi dirinya sendiri hanya ketika sedang bersamaku dan Lintang. Di luar itu, ia akan menutupi jati dirinya dengan gestur laki-laki dan suara beratnya.
Sahabatku ini mengeluarkan dompet dari dalam kantong celananya. Lalu memilih salah satu kartu ATMnya. Dia mengulurkan kartu ajaib itu padaku.
"Nih! Pake ya," ucapnya dengan senyum tulus.
Aku mendorong tangannya, menolak dengan halus. "Nggak lah, gue mau usaha dulu aja cari-cari kerjaan. Tenang, Kev, gue masih bisa cari jalan lain kok nanti. Lagipula gue kan dapet uang pesangon. Cukuplah itu dipake sementara. Mungkin gue akan buka usaha kecil-kecilan kalo dua bulan masih aja belum dapet kerjaan."
Bukannya menolak niat baik yang Kevan berikan. Namun selama aku masih bisa berusaha sendiri. Itu jauh lebih baik kan? Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah, itu prinsipku.
"Oke, deh. Tapi kalo beneran lo butuh sesuatu, jangan segan untuk bilang ya, Cyiin. Gue bertanggung jawab atas hidup lo sekarang. Karena ini salah eyke kan, Neik." Dia tersenyum ketika kuanggukan kepala menanggapi niat baiknya.
Semoga saja aku secepatnya mendapatkan pekerjaan. Karena membuat kedua orang tua bersedih merupakan salah satu hal yang paling aku hindari dan aku tak tahu bisa bertahan berapa lama hidup dalam kebohongan seperti ini.
Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang.Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya.Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran.Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya.
Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan. Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.Aku tersenyum.Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke
Aku menengadah. Menatap proses alam yang begitu indah ketika matahari kembali ke peraduan, senja mencoba menaburkan rona jingga.Aku benci kehilangan. Muak dengan segala macam perpisahan. Tapi tidak kepada perpisahan yang terjadi antara surya dan cakrawala sore ini. Kalau boleh aku berharap agar waktu bisa terhenti sebentar, untuk dapat menikmati proses ini lebih lama lagi.Kuambil ponsel dan mencoba mengabadikan moment ini hingga berkali-kali."Cyiinn, sedih amat sih fotonya sendirian. Itu banyak bule nganggur. Samperin gih, ajak foto bareng. Kali aja jodoh. Kasian ih gue sama status jomblo tiga tahun lu itu, nggak pengen diperbaharui apa?" ujar Kevan tiba-tiba datang, ikut duduk di sebelahku pada kursi berpayung di pinggir pantai.Duh, Kevan
"Loh, Mbak Aya udah pulang? Katanya satu minggu di Bali," tanya bik Onah ketika melihatku masuk ke dalam rumah dengan menarik koper."Iya, Bik. Tiba-tiba saya ada urusan," jawabku berbohong dan merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Lelah. Aku tidak tidur sejak semalam.Tadi pagi aku memutuskan untuk pulang dengan penerbangan paling pagi. Aku tak sudi melihat wajah Mario lagi setelah apa yang dia lakukan. Si Brengsek itu juga sudah membuat hubunganku dengan Kevan menjadi memburuk sejak semalam.Bahkan tadi pun aku tidak berpamitan pada Kevan ketika keluar dari villa untuk pulang ke Jakarta. Kevan sendiri juga tidak berusaha menghubungiku.Ketika cinta mengalahkan segalanya maka persahabatan yang sudah dibangun sejak Arya Saloka belum merajelala pun seakan sia-sia.Aku menghirup nafas pelan dan menghembuskannya perlahan. Sebuta itukah sahabatku sekarang?Aku jadi ingat kej
"Terima kasih teman-teman atas kedatangannya di pembukaan Vitamin Sea Resto, usaha baru gue bareng Aya, sahabat gue. Mohon doanya ya semua," ucap Kevan mengakhiri sambutannya.Para tamu bergantian menyalami Kevan dan memberikan ucapan selamat untuknya. Seulas senyum bahagia tercetak pada bibirnya yang tipis, setiap kali mendengar doa dan dukungan yang telah diberikan.Dua bulan yang lalu, setelah gagal membuka bisnis bersama Mario; karena tragedi pelecehan yang kualami, serta ketidaksengajaan Kevan menemukan fotoku pada ponsel mantan mesumnya itu. Kevan memutuskan untuk mengakhiri hubungan diantara keduanya.Selain mengubah status secara sepihak, sahabatku itu juga pada akhirnya turut membatalkan bisnis butiknya dengan pria yang berprofesi sebagai desainer itu dan lebih memilih aku untuk dijadikan rekan bisnis barunya.Bisnis yang aku dan Kevan pilih bergerak di bidang kuliner, khusus seafood. Ala
"Sori Kev, gue telat. Biasalah, macet," ucapku setibanya di Pepper Lunch Mall Kota Kasablanka, tempat aku dan Kevan janjian. Kevan yang tengah menikmati teriyaki double salmonnya ini mengangguk santai menerima ucapan maafku.Tadi siang ketika sedang mengecek stock bahan baku restoran, sahabatku ini tiba-tiba memaksa untuk bertemu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan."Bentar ya, Cyinn, eh Ay, gue makan dulu. Biar ada tenaga buat ngomong," ucapnya, membuat dahiku berkerut. "Lo udah pesen?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk.Tidak berapa lama pesananku datang. Sembari mengaduk beef & hamburg curry rice-ku, sesekali kupandangi Kevan, bawah matanya terlihat menghitam. Dia sudah dua hari ini menjaga ayahnya di rumah sakit, wajar jika tubuhnya kurang istirahat."Om Darwin gimana kabarnya, Kev?" tanyaku setelah sekian lama diam.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Lintang, penjelasan psikiater tadi terngiang-ngiang di telinga, merasuk ke otak dan secara tak sadar aku melakukan reply terus menerus. Kevan kemungkinan sembuh. Dan semua bergantung pada keinginan, semangat, dan tentu dukungan orang terdekat. Orang terdekat?Karena gay dianggap tabu, dan seringkali dipandang sebelah mata ataupun ditolak keberadaannya. Sehingga untuk bisa sembuh mereka membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Orang yang sabar untuk mengingatkan dan memberikan semangat, bukan malah menghina dan menjauhi.Ini tak mudah, awalnya ada pertentangan dalam hatiku untuk menerima atau menolak lamaran Kevan; menjadi sosok yang lebih dekat lagi dalam hidupnya.Dan ini bukan hanya untuk sementara tapi selamanya, seumur hidupku. Apalagi pernikahan ini akan disahkan di hadapan Tuhan. Tanggung jawabnya
Aku mengerjap, merasakan tenggorokan yang tiba-tiba meringkai. Mataku mencalang ke setiap sudut kamar. Aroma bunga mawar yang sengaja dihias untuk memperindah kamar pengantin ini, mengisi rongga-rongga indera penciuman. Kulirik sebelah tempat tidur. Tak ada Kevan di sana. Pelan, napasku terembus. Kemana lelaki itu? Kusibak selimut yang menutupi sebagian tubuh. Hawa dingin menyambut ketika kaki ini menyentuh permukaan lantai untuk pertama kali. Kutarik gagang pintu kamar hingga terbuka setengah, netraku terpaku pada sosok yang sedang duduk di balkon apartemen. Dia mengisap rokoknya dan membuat kepulan asap di udara. Posisi Kevan agak menyamping sehingga dapat terlihat ekspresi wajahnya. Dia menerawang, rambutnya berantakan. Aku tahu dia kecewa pada dirinya sendiri saat ini. Kuuru