Tania membantu Rania bangun dari sujudnya setelah melihat Paman Burhan. Wajahnya merah menandakan jika dia sedang marah besar. Mereka yakin, Paman Burhan pasti sudah salah paham terhadap Tania.
Rania menyeka air matanya lalu menghampiri pamannya tersebut. Dia mencium punggung tangan Paman Burhan lalu memeluknya erat. Tania mengambil barang bawaan Paman Burhan dan menaruhnya di dapur.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa bersujud dikaki kakakmu?" tanya Paman Burhan setelah Rania mengajaknya duduk di sofa.
"Paman salah paham. Semua bukan karena kak Tania. Tapi karena …. " Rania menyeka air matanya yang kembali turun.
Tania kembali dari dapur dengan membawa air untuk Paman Burhan. Dia sengaja duduk disamping Rania yang sedang menangis. Paman Burhan melihat wajah bingung begitu tercetak jelas dari raut Tania.
Dia meneguk habis air yang disuguhkan Tania. Setelah merasa emosinya reda, Paman Burhan kembali bertanya pada Tania dan Rania secara bergantian. Kali ini Tania yang menceritakan maksud kedatangan Rania.
"Ya Allah. Malang sekali nasib kamu, Rania," ucap Paman Burhan sendu. "Lalu apa keputusan kamu sekarang, Tania?" Paman Burhan menengok ke arah Tania yang juga terlihat sedih.
"Tania bingung Paman. Bagaimana mungkin Tania menikah dengan adik ipar Tania sendiri? Lagipula Tania yakin, Malik pasti tidak akan setuju dengan ide Rania," jawab Tania.
Kring! Kring!
Ponsel Rania berdering disaat suasana hening. Ternyata Malik menelpon Rania, mencari keberadaannya yang hilang tiba-tiba. Rania menghela napas panjang lalu menjawab telepon Malik.
Terdengar nada cemas dan frustasi Malik dari sebrang telepon. Rania meminta Malik agar segera menyusulnya ke desa sekarang juga. Tania memijit keningnya yang terasa berdenyut pusing. Dia begitu dilema mendengar permintaan adiknya tersebut.
"Jadi Tania harus bagaimana Paman?" tanya Tania meminta masukan dari Paman Burhan.
"Kamu harus menolong Rania! Kamu tahu dia sedang sakit. Paman takut, kondisi Rania semakin drop jika terus memikirkan masalah pernikahan dan mertuanya," saran Paman Burhan.
"Lalu bagaimana jika Malik menolak?" tanya Tania lagi.
"Masalah Malik biar aku yang urus. Asalkan kakak setuju. Itu sudah cukup bagiku." Rania membaringkan kepalanya dipangkuan Tania.
"Aku lelah, Kak. Biarkan aku sejenak tidur dipangkuanmu," pinta Rania.
Hati Tania mencelos sakit mendegar ucapan adiknya. Kenapa takdir begitu kejam padanya? Rania memiliki mertua yang kejam dan sekarang Allah juga mengujinya dengan penyakit yang berbahaya.
Rania tertidur diatas paha Tania. Tangan kakaknya yang lembut membuatnya begitu merasa aman dan nyaman. Rania pun tertidur dipangkuan kakak kembarnya. Setelah Satu jam lebih menunggu, akhirnya Malik datang dengan wajah cemas dan panik.
"Mas Malik!" panggil Rania pelan saat melihat Malik sudah berada didepan matanya.
Malik langsung merengkuh Rania Kedalam pelukannya. "Kenapa kamu pergi meninggalkan rumah sakit begitu saja? Kamu tahu, Mas begitu panik saat melihat ruangan kosong dan ceceran darah di lantai."
"Maaf Mas, sudah membuat kamu cemas," jawab Rania. "Mas ada hal yang ingin aku minta padamu."
"Sebaiknya aku pergi ke belakang dulu." Pamit Tania. Tidak ingin mengganggu pasangan suami istri itu bicara serius. Meskipun dalam hatinya, Tania juga penasaran dengan keputusan Malik nanti.
"Apa itu sayang?" tanya Malik dengan nada bicara yang begitu lembut begitu Tania sudah meninggalkan mereka.
"Mas mau 'kan menikah dengan Kak Tania? Aku tidak rela Mas menikah dengan wanita lain," ujar Rania. Membuat Malik langsung syok.
"Kenapa kamu tiba-tiba meminta hal yang tidak masuk akal itu?" Malik balik bertanya dengan nada sedikit geram.
Rania memberitahu Malik, jika Bu Fatma meminta Rania pergi meninggalkanya. Dia sudah mencarikan wanita lain sebagai pengganti dirinya. Malik semakin terkejut mendengar semua ucapan Rania. Tubuhnya seketika merosot ke belakang sofa sambil mengusap kasar wajahnya.
Malik tidak menyangka jika ibunya tega melakukan hal tersebut padanya. Ditambah lagi kondisi Rania yang tengah sakit dan harus menjalani operasi secepat mungkin. Malik terduduk di sofa dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
"Kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak mungkin menikah dengan wanita lain. Aku sangat mencintai kamu, sayang," ucap Malik.
"Aku tahu Mas. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk mempertahankan rumah tangga kita. Wajah kak Tania sangat mirip denganku. Aku yakin, mama tidak akan mencurigainya," terang Rania berusaha meyakinkan suaminya.
"Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Tania? Bertemu saja kami baru dua kali," tolak Malik.
"Mas, aku tahu hidupku tidak akan lama lagi. Walaupun demikian, aku tidak rela jika kamu menikah dengan wanita lain. Aku yakin, Kak Tania adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrimu. Dia wanita sehat dan bisa memberimu keturunan."
Rania bersujud dibawah kaki Malik, meminta sang suami untuk mau menerima permintaannya. Mali semakin tertekan dengan keadaan yang diluar dugaannya. Rumah tangga mereka yang selama ini bahagia, harus mengalami hal yang begitu menyedihkan.
Tania dan Paman Burhan ikut meneteskan airmata melihat kesungguhan Rania. Tania baru sadar jika tubuh adiknya begitu kurus. Tangannya mengepal kuat, Tania berjanji dalam hati akan membalas semua perbuatan Bu Fatma.
"Beri aku waktu untuk berpikir." Malik menghela napas, dia pergi keluar untuk menenangkan diri sejenak.
Setengah jam kemudian. MMalik kembali masuk dan menemui Rania yang sedang menunggu keputusannya. Paman Burhan dan Tania juga sudah duduk mendampingi Rania. Malik menatap wajah Rani dan Tania satu persatu. Mereka memang berwajah mirip tapi tetap saja rasanya jauh berbeda.
Jantung Malik bahagia saat melihat wajah Rania. Namun, dia merasa biasa saja saat melihat wajah Tania. Paman Burhan menepuk bahu Malik yang begitu tegang.
"Bagaimana Malik? Apa sudah kamu pikirkan baik-baik? Kamu tahu kan apa syaratnya sebelum pernikahan terjadi? Kamu harus menalak Rania lebih dulu," jelas Paman Burhan.
"Sudah Paman. Saya menerima permintaan Rania untuk menikah dengan Tania. Tapi dengan catatan, kami akan bercerai setelah Tania berhasil hamil dan Rani sembuh," tawar Malik memberi sarat. Rania dan Tania sama-sama melongo mendengar sarat yang Malik ajukan.
"Aku setuju dengan saratnya," jawab Tania tegas. Dia hanya ingin menyelamatkan pernikahan adiknya.
"Tapi Kak …." Rania jelas keberatan. Bukan itu yang ada dalam pikirannya. Dia tidak ingin ada yang terluka suatu hari nanti.
"Kakak yakin kamu pasti sembuh. Kakak akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
"Baiklah jika kalian sudah sepakat. Tapi kamu tahu kan Malik. Syarat yang harus kamu lakukan sebelum pernikahan itu bisa di laksanakan. Kamu harus memberi talak Rania," jelas Paman Burhna.
"Rania Binti Larasati binti almarhum Zulvikar hari ini kamu saya talak satu," ucap Malik dengan nada suara berat dan mata berkaca-kaca. Rania menangis dipelukan Tania.
Setelah berunding cukup lama. Akhirnya mereka sepakat melangsungkan pernikahan sore itu juga. Rania membantu Tania bersiap dengan sedikit memberi riasan. Sementara Paman Burhan menghubungi salah satu anggota keluarga mereka yang berprofesi sebagai penghulu.
Rania mendandani Tania dengan sangat cantik. Sebisa mungkin menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Sedangkan Tania terus menghela napas panjang dan berat. Pengorbanannya tidak seberapa dibanding beban yang Rania pikul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Tania Mahewari binti almarhum Zulvikar dengan mas kawin tersebut tunai." Malik membaca kabul dengan sekali helaan napas.
"Bagaimana saksi sah?" tanya Penghulu kepada saksi.
"Sah," jawab para saksi kompak.
Rania melepaskan cincin nikah dari jarinya lalu menyerahkannya pada Malik. Tanpa bicara Malik bisa menebak isi pikiran istrinya itu. Tania menahan tangisnya agar tidak turun. Dia sangat yakin, jika hati Rania pasti sedang menangis pilu.
Malik meminta Tania mengulurkan tangan. Tangan Tania gemetar saat menerima cincin pernikahan milik adiknya. Matanya menatap sendu Rania, Rania menganggukkan kepala seraya mengulas senyum padanya.
"Tania, kamu boleh mencium tangan pria yang sudah sah menjadi suami kamu," pinta pak penghulu.
Tania mengangkat tangan Malik dengan ragu-ragu kemudian menciummya. Bola mata Malik terus melihat kearah Rania penuh permohonan. Rania tersenyum pada Malik menandakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sungguh pemandangan dramatis bagi Paman Burhan. Dia harus menjadi wali nikah kedua kalinya untuk kedua keponakannya namun dengan lelaki yang sama. Setelah acara pernikahan selesai mereka mengadakan acara syukuran.
"Kak, mulai hari ini aku titipkan Malik padamu," pinta Rania.
"Maksudnya?"
"Aku akan tinggal bersama paman disini. Kakak harus pulang bersama Malik agar ibu mertuaku tidak curiga. Suasana desa sangat cocok untukku menenangkan diri."
"Tapi kamu harus menjalani operasi," potong Malik mengingatkan.
"Beri aku waktu untuk berpikir Mas. Aku ingin menenangkan hati dan pikiranku dulu," tawar Rania.
Ketiganya duduk dengan wajah muram dan sedih. Mereka larut dalam perasaan dan pikiran yang berkecamuk. Sebagai seorang wanita normal, hati Rania tetap saja tergores melihat suaminya menikah lagi walaupun semua atas permintaannya.
Malamnya Malik dan Tania sudah bersiap untuk kembali ke kota. Tania terus memeluk erat Rania. Keduanya saling terisak dibalik tubuh yang mereka peluk. Paman Burhan memberi sedikit wejangan pada Malik agar bisa memperlakukan Tania sebagaimana mestinya. Malik merengkuh Rania kedalam pelukannya sebelum pergi.
"Aku tunggu di mobil," ucap Tania. Paham jika Malik dan Rania butuh waktu berdua sebentar.
"Jaga diri kamu baik! Telepon Mas setiap hari," ucap Malik pada Rania.
"Iya Mas, aku tahu," jawab Rania. Suaranya berat dan bergetar.
Malik melambaikan tangan sebelum masuk kedalam mobil. Rania dan Paman Burhan melambaikan tangan pada Malik. Tubuh Rania merosot kebelakang setelah mobil melaju pergi.
"Ya Allah, Rania." Paman Burhan berteriak panik karena tubuh Rania jatuh ke tanah
Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman. Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya. "Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik." "Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu. Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!" "Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania." Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan ha
Setiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis. Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir. "Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk. "Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …." "Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah
Saking syoknya, Bu Fatma sampai mundur kebelakang beberapa langkah. Darmi serta Bi Asih saling berpandangan satu sama lain. Mereka merasa bingung dengan ekspresi Bu Fatma. Wajahnya bukan menunjukan bahagia mendengar menantunya hamil. Akan tetapi, malah terlihat seperti orang yang bingung. Darmi segera mengambil sapu serta serokannya. Dia menyapukan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Kalian bercanda 'kan?" tanya Bu Fatma pada Bi Asih dan Darmi. "Kok bercanda, Bu. Ini seriusan. Mas Malik lagi bawa Non Rania ke dokter kandungan hari ini untuk periksa," ungkap Darmi. Bu Fatma meninggalkan dapur mencari ponselnya yang masih ada di dalam tasnya. Dia mengambil ponsel lalu menelpon Malik. Demi memastikan apa yang didengarnya dari kedua asisten rumah tangganya. Drttt! Drtt! Ponsel Malik bergetar dari saku celananya. Dia mengabaikannya. Mata dan fokusnya tertuju pada layar monitor USG. Tania meneteskan air mata haru melihat calon janin yang akan tumbuh di perutnya.
Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely. Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing. "Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah. "Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair. "Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania. Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ad
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang