***
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.50 WIB, tapi Mas Arif belum kunjung pulang. Aku tidak tahu apakah dia akan menginap di rumah istri keduanya atau di istana cinta kami. Padahal tadi laki-laki itu sudah berjanji akan tidur bersamaku malam ini.
Aku tidak dapat memejamkan mata karena masih terus menunggu kedatangan suami tercinta. Aku masih tetap berharap bahwa ia akan mengingat janjinya dan berusaha untuk adil antara diriku dan istri kedua.
Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suami yang kutunggu-tunggu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Aku tidak sabar lagi untuk menunggu adanya sebuah kepastian. Aku ingin mendengar langsung dari bibir Mas Arif, kenapa ia tidak berusaha menghubungi istri yang sejak tadi mengharapkannya?
Aku meraih benda bentuk pipih milikku dari atas meja rias, lalu mencari nama suami di layar. Segera kutekan tombol telepon berwarna hijau dan terdengar nada bahwa panggilan yang kulakukan ternyata masuk.
Sungguh, ini tidak pernah terbayangkan bahwa aku mendengarkan suara rintihan-rintihan yang membuat hati ini perih seperti tertusuk duri. Panggilan dariku diterima tapi tidak dengan suara sewajarnya. Suara yang terdengar hanyalah nada insan yang sedang memadu kasih.
“Hallo, Mas Arif. Bisa dengar aku, nggak?”Aku tetap mencoba memanggil suamiku tapi tetap tidak ada respons.
Aku sudah tidak kuat mendengar suara Alexa yang semakin membuat hati terbakar api cemburu. Aku sungguh tidak tahu apa sebenarnya rencana yang ingin ia jalankan. Kenapa panggilan untuk Mas Arif diterima tapi suara rintihan wanita itu yang jelas terdengar?
Hati ini benar-benar sangat terluka, tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera mengakhiri panggilan tersebut. Diriku terdiam membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh pendamping hidupku bersama wanita lain yang juga merupakan istri keduanya.
Rasanya ingin berteriak dan mengatakan pada dunia bahwa saat ini, aku adalah wanita yang sangat menderita karena sikap ketidakadilan Mas Arif. Suami yang kucintai bukan lagi seseorang yang sangat kubanggakan seperti dulu.
Dia tidak berusaha untuk mengerti apa yang kualami saat ini, perhatian dan kasih sayang yang dimilki secara perlahan tapi pasti, telah direbut oleh wanita yang melahirkan putranya. Sungguh diriku merasa menjadi seseorang yang tidak diharapkan lagi.
Aku kembali mengingat bagaimana dulu usaha Mas Arif untuk menjadikanku sebagai seseorang yang akan mendampingi hidupnya. Dia begitu yakin untuk mengutarakan maksud dan niat ingin menikahi diriku.
“Wahai wanita pilihanku, bersediakah kamu untuk menjadi tulang rusukku?” Ungkapan itu terdengar unik tapi membuat hati berdebar.
“Kamu bisa aja, Kak.” Aku memberikan jawaban yang membuat diri ini terharu.
“Aku ingin kamu menjadi ratu di istana cinta kita, dan melahirkan anak-anak yang cantik dan juga tampan untukku.”
Mengingat anak-anak yang pernah ia ucapkan, membuat dada terasa sesak karena kenyatannya aku tidak dapat mewujudkan harapan itu. Suami yang kucintai tidak berhasil mendapatkan keturunan dari ratu istana cintanya. Justru dia meraih keinginan itu dari wanita lain.
Kadang kenyataan tidak seindah harapan, kini aku hanya bisa diam terpaku meratapi nasib yang telah aku terima. Hati ini tidak tahu harus menyalahkan siapa. Jika harus melemparkan kesalahan penuh pada Mas Arif, mungkin itu tidak adil. Dia mengharapkan keturunan dan semua itu dapat diwujudkan oleh Alexa, wanita yang dicintai suamiku.
Aku tidak dapat menghentikan apa yang dirasakan Mas Arif terhadap wanita yang telah melahirkan anaknya. Cinta itu kadang-kadang tidak logika, itu yang dirasakan laki-laki yang mendampingi hidupku. Saat dia sudah memiliki tulang rusuk, dirinya kembali jatuh hati pada perempuan masa lalunya.
Suka atau tidak, aku harus berusaha menerima kenyataan ini. Semua kulakukan demi laki-laki yang sangat aku cintai. Namun, aku tidak tahu sampai kapan akan tetap bertahan. Untuk saat ini masih mencoba kuat untuk menghadapi apa yang terjadi, tapi sungguh tidak tahu akan seperti apa ke depannya.
Keesokan harinya, Mas Arif kembali menunjukkan batang hidungnya di istana cinta kami. Tepatnya pukul 07.11 WIB, dia sudah tiba di rumah. Laki-laki itu langsung menghampiriku yang sedang memikirkan banyak hal di depan teras rumah lalu duduk di sampingku.
“Aku minta maaf, Sayang, karena semalam nggak bisa pulang. Rifa tidak mengizinkan aku pergi.” Dia tetap menjadikan anak sebagai alasan.
“Kenapa selalu anak yang kamu jadikan sebagai alasan, Mas? Apa kamu sudah tidak mengharapkan aku? Jika memang benar, bilang terus terang!” Aku menaikkan suara karena sudah kecewa mendengarkan alasan yang keluar dari bibir laki-laki itu.
“Kenapa kamu ngomong seperti itu?”
“Karena kenyataannya kamu menikmati kebersamaan bersama wanita itu.”
“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Sayang. Ini semata-mata hanya karena Rifa. Dia butuh aku.”
“Lama-lama aku bosan mendengar alasan yang kamu berikan. Untuk sekarang aku masih berusaha untuk kuat, tapi tidak tahu ke depannya.”
“Maksud kamu apa, Sayang? Kenapa berbicara seperti itu?” Dia berusaha meraih tangan ini tapi segera aku tepiskan. Aku masih tidak sanggup membayangkan apa yang ia lakukan tadi malam.
“Aku nggak tahu, Mas.” Aku berdiri lalu beranjak masuk ke dalam rumah.
Ternyata dia mengikuti langkahku, berjalan memasuki rumah. Aku menuju ruang TV dan menghempaskan tubuh di atas sofa lalu duduk. Mas Arif juga mengambil posisi di sampingku. Diri ini tidak tahu kenapa tiba-tiba merasa sangat kesal padanya.
“Aku minta maaf, Sayang.” Dia kembali membuka suara.
“Sudah terlalu banyak kebohongan yang kamu lakukan, Mas. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan semalam! Dengan tega kamu menerima panggilan dariku hanya ingin agar aku mendengarkan apa yang kamu lakukan dengan wanita itu.”
“Apa maksud kamu? Aku tidak menerima panggilan darimu.” Aku tidak terkejut mendengar pengakuan Mas Arif.
“Sudah kuduga, pasti dia yang melakukannya. Dia ingin agar aku mendengar suara rintihannya saat sedang memadu kasih denganmu. Sungguh menjijikkan!”
“Tidak mungkin Alexa melakukan hal seperti itu.”
“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku tahu bahwa di matamu, dia akan tetap terlihat indah.”
Aku merasa kesal dan kecewa karena Mas Arif masih tetap membela wanita yang baru ia nikahi, pria itu sama sekali tidak memikirkan apa yang kurasakan. Dia sudah berubah menjadi laki-laki asing yang hanya mengutamakan kesenangan sepihak.
***
Sebulan telah berlalu semenjak pernikahan Mas Arif dengan wanita masa lalunya. Kelakuan yang ditunjukkan laki-laki itu semakin tidak dapat diterima akal dan pikiran. Dia benar-benar sudah sangat jauh dari kata adil, karena waktunya jauh lebih banyak dipergunakan bersama Alexa.
“Kamu benar-benar nggak adil, Mas!”
“Jadi aku harus gimana?”
“Waktumu sekarang lebih banyak untuk mereka, kamu lupa kalau aku juga butuh kasih sayang.”
“Aku lakukan semua ini demi Rifa, Sayang.”
“Rifa lagi? Lama-lama aku muak mendengar nama itu!”
Tiba-tiba Mas Arif mendaratkan tamparan di pipi kiriku, benar-benar merupakan kejadian yang sangat langka. Ini untuk pertama kalinya, laki-laki yang kucintai dengan sangat tega memberikan sentuhan keras dan kasar di tubuh ini.
“Jangan pernah kamu bicara seperti itu tentang anakku!” Dia dengan tatapan tajam menunjuk ke arahku.
“Hanya karena dia, kamu tega melakukan ini padaku, Mas?” Aku masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan Mas Arif.
“Hanya kamu bilang? Dia sangat berharga untukku, dan kamu tidak akan pernah tahu apa yang kurasakan!”
“Kamu mau bilang kalau aku tidak dapat merasakan kasih sayang terhadap anak?”
“Iya. Kamu tidak akan pernah tahu gimana rasanya menjadi sepertiku.”
“Akhirnya aku mendengarkan apa yang tidak kuinginkan selama ini. Kamu benar-benar sudah berubah. Kamu bukan lagi suami yang dulu sangat kubanggakan.”
“Kamu yang memaksaku menjadi seperti ini. Aku tidak ada niat sama sekali untuk menyakitimu.”
“Semenjak kamu bertemu wanita itu, kamu sudah menyakitiku. Aku berusaha kuat karena besarnya rasa cinta yang kumiliki untukmu. Tapi, hari ini kamu sudah membuktikan bahwak aku benar-benar sudah tidak dibutuhkan lagi. Jika itu yang kamu mau, aku akan pergi.”
Terus terang, aku sungguh tidak kuat untuk mengatakan semua itu. Namun, rasanya sudah terlanjur sakit mengetahui laki-laki yang telah menghalalkanku dengan tega memberikan tamparan yang sangat menyakitkan.
“Aku minta maaf, Sayang, aku khilaf.” Dia tiba-tiba meraih tubuh ini lalu memelukku.
“Lepasin, Mas! Aku akan pergi dari rumah ini. Rumah ini bukan lagi istana cinta yang kamu janjikan untukku.” Aku berusaha melepaskan pelukannya hingga berhasil.
“Jangan pergi, Sayang, aku mohon. Kamu adalah istri yang sangat kudambakan.”
“Aku bukan istri yang kamu harapkan karena tidak mampu mewujudkan harapanmu. Hanya wanita itu yang bisa memenuhi apa yang kamu inginkan.” Bulir bening dari pelupuk mata sendu ini akhirnya jatuh karena tidak tertahankan.
“Aku janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Aku akan berusaha bersikap adil. Aku minta maaf karena telah melakukan kekerasan padamu. Aku benar-benar khilaf, Sayang.”
Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan oleh laki-laki itu, aku segera beranjak meninggalkannya dan berlari ke arah taman belakang rumah. Aku ingin menenangkan diri dan berusaha menjauh dari suami yang telah berani menyakiti tubuh ini.
Suara tangisan ini belum dapat terhentikan mengingat apa yang dilakukan suami yang kudambakan selama ini. Hati masih belum mampu memercayai kekasaran yang telah diperbuat oleh Mas Arif. Ternyata, cinta dan kasih sayang yang dulu aku dapatkan, kini sudah berubah menjadi penderitaan.
Aku berusaha meredakan tangisan lalu meraih ponsel yang sejak tadi berada di dalam saku celana yang kukenakan. Mencari kontak nenek yang sudah lama tidak bertemu. Rasanya ingin mencurahkan semua perasaan pada beliau, tapi diri ini tidak kuasa. Namun, aku tetap akan menghubungi wanita yang telah melahirkan Mama.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara salam dari seberang.
“Wa’alaikumsalam, Nek.”
“Tumben cucu Nenek nelepon.”
“Aliyah kangen dan ingin ketemu Nenek.”
“Nenek juga kangen, kapan kamu ke rumah Nenek? Sekarang di sini sudah makin ramai, tidak seperti dulu lagi. Kampung Nenek sudah semakin hebat, hehe.” Terdengar ketawa kecil wanita tua tersebut yang membuat hati menjadi lebih tenang.
“Hebat, dong, Nek. Besok Aliyah ke rumah Nenek. Tapi Nenek harus janji, Mama dan Papa jangan sampai tahu.” Aku tidak ingin orang tua tahu apa yang kurasakan.
“Iya, Nenek janji. Rasanya tidak percaya, semalam Kakek bilang kangen sama kamu, tiba-tiba kamu nelepon dan bilang ingin ke sini. Kakek pasti sangat senang, beliau sekarang sibuk di kebun.”
“Pokoknya tunggu Aliyah, ya, Nek.” Aku merasa seperti menemukan kebahagiaan baru.
Aku ingin menenangkan diri dan menjauh dari penderitaan yang membuat hati ini sangat terluka dan tersiksa. Kampung orang tua dari Mama adalah tempat yang paling tepat untuk membuang kegundahan yang ada di dalam jiwa. Di sana aku akan melupakan sejenak apa yang telah terjadi dalam rumah tangga yang sudah terbina selama kurang lebih empat tahun terakhir ini.
==================
Apakah Aliyah akan bahagia?
*** Aku kembali mengingat kenangan saat pertama kali berkunjung ke rumah nenek. Saat itu liburan kelulusan Sekolah Dasar (SD). Nenek meminta agar aku melanjutkan sekolah di sana, tapi orang tua tidak memberikan izin karena diriki merupakan anak bungsu. Mama mengatakan bahwa beliau tidak sanggup harus tinggal berjauhan dengan putri bungsunya. Padahal aku sangat suka kalau harus menemani kakek dan nenek di kampung. Mereka hanya tinggal berdua semenjak Mama menikah dengan Papa. Kurang lebih sebulan lamanya aku tinggal di rumah wanita yang telah melahirkan Mama. Banyak kenangan yang kudapatkan di sana. Anak-anak yang rumahnya berada tidak jauh dari rumah nenek menjadi sangat akrab denganku. Tidak terkecuali dengan Arif, salah satu teman yang baru kukenal kala itu. Tempat tinggalnya tidak jauh dari masjid yang ada di desa tersebut. Hampir setiap hari kami bertemu, karena dia melaksanakan salat di masjid. Namanya persis seperti laki-laki yang telah menikahiku. Kakek dan nenek selalu rut
*** Aku beranjak dan meninggalkan taman belakang, sepanjang perjalanan menuju kamar, diriku tidak melihat lagi wujud Mas Arif di ruang TV. Dia benar-benar telah berubah, tidak berusaha mengejar saat aku tadi berlari ke taman belakang. Laki-laki itu tidak tahu bahwa seorang istri dapat luluh apabila suaminya berusaha membujuk dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukan. Kembali kumelangkah dan memasuki kamar dan ternyata Mas Arif juga tidak ada. Aku sudah pasrah. Terserah dirinya akan berbuat apa sekarang. Saat ini tetap fokus dengan rencana yang telah terpikirkan, aku mulai membenahi barang-barang yang akan diperlukan di rumah nenek. Sudah tidak sabar rasanya agar segera tiba di rumah yang penuh dengan kenyamanan. Malam telah larut, tapi Mas Arif tidak kunjung pulang, padahal malam ini adalah waktunya tidur di rumah ini. Namun, aku tidak peduli lagi dengan apa yang ingin ia lakukan. Terserah padanya jika memang tidak ingin kembali. Aku berusaha untuk bersikap tenang, dan memejam
*** Aku berjalan menuju teras dan sejenak menoleh ke arah belakang. Tidak sengaja netra ini melihat sosok seorang laki-laki sedang mengendarai sepeda motor. Dia juga melirik hingga mata kami saling berpandangan. Sepertinya dia tidak asing bagiku, wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Aku berpikir bahwa itu hanya perasaanku saja, aku kembali melangkah lalu mengetuk pintu rumah Nenek yang tertutup. Hatiku sangat tenang setelah menginjakkan kaki di tempat ini, padahal tadi aku masih merasakan kesedihan yang sangat pilu sebelum sampai. “Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam. Tidak menunggu lama, akhirnya terdengar balasan salam dari dalam. Suara itu sudah pasti milik Nenek yang selalu terngiang di telinga. “Wa’alaikumsalam.” Pintu pun terbuka, lalu berdiri sosok wanita yang aku sayangi, beliau adalah perempuan yang telah melahirkan Mama. Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki nenek seperti beliau. Tanpa menunggu lama, aku langsung mencium punggung tangan lalu mem
*** Kadang cinta itu susah untuk dimengerti, tiba-tiba hadir di saat keadaan tidak memungkinkan. Ketika kita sudah terikat dengan hubungan yang sakral, kenapa perasaan yang menggetarkan hati harus muncul kembali? Ini waktu yang tidak tepat menurutku. Apakah ini yang dirasakan oleh Mas Arif pada cinta masa lalu yang sekarang menjadi pendamping hidupnya? Dia pasti sadar bahwa dirinya sudah memiliki seorang istri, tapi setelah bertemu dengan mantan kekasih, laki-laki itu justru jujur mengatakan bahwa ia masih mencintai perempuan tersebut. Apakah aku harus ikhlas dan memaafkan apa yang telah Mas Arif lakukan setelah hati ini merasa sakit dan menderita? Namun, tindakannya sudah melampaui batas, dia tidak hanya berbagi cinta dan sayang, tapi juga sudah berani melakukan kekerasan. Mungkin jika laki-laki itu tidak betindak kasar dan mampu berbuat adil, aku masih berusaha mencoba untuk ikhlas. Ternyata harapan tidak seindah kenyataan, karena yang terjadi sungguh tidak dapat diterima oleh ak
*** “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Pernikahanku baik-baik aja dan aku bahagia hidup bersama suami. Kami saling mencintai.” Aku tetap menutupi apa yang terjadi di depan Arif. “Al, Al … ternyata ketabahanmu lebih dari yang aku kira.” Saat Arif mencoba mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tanggaku, tiba-tiba mobil laki-laki yang telah menikahiku memasuki halaman rumah nenek. Kenapa dia menyusul ke desa? Siapa yang telah memberitahukan keberadaanku padanya? Laki-laki itu memarkirkan kendaraan roda empat miliknya lalu turun. Dia melangkah dan pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang sedang bersamaku saat ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya sekarang. “Ngapain kamu ke sini, Mas?” Aku langsung melontarkan pertanyaan itu. Ternyata aku tiba-tiba lupa kalau Arif ada di antara kami. “Kenapa? Kamu nggak suka aku ke sini, Sayang …karena ada dia?” Suamiku menunjuk ke arah Arif. “Kamu apa-apaan, sih, Mas. Baru datang langsung nuduh gitu.” “Kamu ya
*** “Kakek dan Nenek pasti membelanya, itu sudah pasti.” Mas Arif justru memberikan balasan dari ucapan Kakek. “Dia pantas dibela karena telah disakiti oleh suaminya sendiri.” Aku terharu mendengarkan penuturan Nenek. “Tapi dia istri saya.” “Karena statusnya sebagai istrimu, kau merasa bebas untuk menyakitinya?” Kakek berjalan ke arahku dan Mas Arif. “Hanya karena satu tamparan, Kakek merasa kalau saya menyakitinya?” Aku tidak percaya mendengarkan apa yang disampaikan Mas Arif. Dia tega mengatakan kata hanya atas kekerasan yang ia lakukan. “Kau bilang hanya? Saya sampai detik ini tidak pernah berbuat kasar atau menyakiti istri saya, neneknya Aliyah. Paham! Laki-laki tidak tahu diri!” Kakek tiba-tiba mendaratkan tamparan di pipi kiri Mas Arif. Laki-laki yang telah menikahiku tersebut seketika terdiam sambil memegang pipi kirinya. Aku tidak pernah menyangka sebesar ini pembelaan seorang kakek terhadap cucunya. Ternyata Kakek juga bisa berubah menjadi seseorang yang tegas. Selama i
*** Betapa bahagia rasanya di saat laki-laki masa lalu dan juga merupakan cinta pertama, mengutarakan perasaannya. Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena ternyata apa yang kurasakan sebelum bertemu dengan suami, tidak bertepuk sebelah tangan. Cintaku dan cinta Arif saling bersahut, walaupun kami sama-sama tidak menyadarinya. Saat kami sudah sangat dekat dan aku mengetahui besarnya rasa cinta yang dimiliki, justru rasa bimbang yang muncul. Bagaimana mungkin aku akan menyambut hangat perasaan yang telah diungkapkan oleh laki-laki lain, sedangkan statusku masih menjadi istri dari Mas Arif. Dulu aku pernah meminta berpisah dan lepas dari ikatan sakral dengan suami, saat dirinya akan menghalalkan Alexa. Namun, apa yang kudapatkan, Mas Arif justru tidak bersedia memenuhi permintaanku. Dia tetap bersikeras mempertahankan hubungan pernikahan kami, walaupun sudah menikah dengan sang mantan kekasih. Kala itu aku masih terlalu mencintai laki-laki tersebut hingga tetap bertahan
*** Mungkin ini sudah menjadi jalan hidup yang harus kuhadapi, ternyata setiap orang itu bisa berubah. Mas Arif yang dulunya terlihat sangat peduli dan mencintaiku, sekarang sudah seperti orang lain yamg tidak aku kenal. Perubahan itu begitu cepat terjadi setelah dia bertemu kembali dengan wanita masa lalunya. Sungguh sangat sulit diterima oleh akal dan pikiran, hati terasa sakit jika mengingat semua kenangan dan kebersamaan selama beberapa tahun hidup dengan Mas Arif. Namun, semua kemesraan yang pernah terjadi di antara kami hanya akan menjadi masa lalu semata. Semuanya telah berubah drastis dalam waktu sekejap saja. Sekarang, waktu menunjukkan pukul 14.06 WIB. Setelah melakukan kewajiban sebagai umat Muslim, aku dan Nenek sekarang sedang berjalan menuju sawah milik orang tua tersebut. Aku ingin melihat pemandangan di sekitar tanah yang telah ditumbuhi padi. Walaupun cuaca masih sangat panas, tapi aku menikmati perjalanan bersama Nenek. Banyak tanaman padi yang sudah menguning dan