“Maksudmu apa?”“Safeea terluka bukan karena ulahku, tapi karena ulah orang jahat yang ingin memperkos*anya, beruntung dia berhasil kabur dan menghubungiku, kalau tidak, mungkin dirinya tinggal nama saja,” ungkapnya jelas, kulihat matanya berkaca-kaca saat mengatakannya. Apa yang dia katakan benar? Kalau malam itu Safeea hampir menjadi korban pemerkos*an? Kalau benar. Mengapa dia tidak menghubungiku? Dan yang parahnya, aku malah memperkos*anya di rumah. Bodoh kau, Mar!==================================================================Seperti ada batu besar yang menghantam dadaku, rasanya sakit dan juga sesak, membayangkan Safeea ketakutan karena ulah orang jahat yang ingin menodainya, namun, bayangan wajah Safeea menangis dan enggan melihat wajahku saat aku menggaulinya ternyata lebih menyakitkan, aku suaminya, yang seharusnya melindungi justru malah yang paling sering menyakitinya.Adriyan sudah pergi meninggalkanku yang masih tidak berdaya, terduduk lemas di atas kursi kantin rumah
Kufikir selama ini dia yang tidak pantas bersanding denganku, namun nyatanya, akulah yang tidak pantas mendampinginya selama ini. Aku akan mencari Safeea, akan kuperbaiki segela kerusakan yang sudah kuperbuat kepadanya, tidak akan kubiarkan dirinya lepas dariku dalam keadaan terluka. Aku menginginkannya, memeluknya erat seperti malam kemarin, membisikkan permintaan maaf seraya mengecup punggungnya polos.==================================================================“Lebih baik sekarang kamu pulang, Mar! Adelya pasti mencarimu, cukup Safeea yang kau telantarkan perasaannya, jangan buat wanita yang sangat kau cintai itupun menanggung pahitnya diabaikan oleh suaminya sendiri,” tandas Om Farhan menyindirku, aku ingin marah, namun apa yang dia katakan adalah benar. Aku memang terlalu lama menelantarkan dan mengabaikan perasaan Safeea.Tanpa membantah aku pergi meninggalkan kantor om Farhan, membawa kenyataan pahit dan rasa bersalah yang menggebu. Selama ini aku bersalah pada bapak dan
“Enggak sih, tapi agak pusing, eh sebentar!” kataku memotong pembicaraan, karena tiba-tiba ada dorongan kuat dari perutku untuk segera di keluarkan.Seingatku semalam aku tidak salah makan, tapi mengapa pagi ini aku bisa sampai memuntahkan makanan yang ku santap tadi malam? Atau ini efek kecapean? Aku mencuci wajah dan mulutku di wastafel, dari pantulan kaca aku melihat Tiara berdiri di belakangku, memandangku dengan pandangan yang sulit kugambarkan, ada apa sebenarnya dengan dirinya? Seperti melihat hantu saja.==================================================================Aku sudah berada di dalam mobil milik dokter Fadly, yang akan mengantarkan kami ke lokasi acara donor darah yang diadakan dalam rangka reuni akbar alumni Universitas Pelita Cemerlang, di mana tempat dokter Fadly menimba ilmu kedokterannya. Setelah memuntahkan makananku tadi pagi, saat ini kondisiku sudah lebih baik dari sebelumnya, Tiara masih tutup mulut mengenai ekpresinya tadi saat melihatku muntah-muntah.
“Peserta atas nama Sinta, Toni, Desta, Adelya, dan Damar silahkan masuk ke ruangan donor!” suara salah satu panitia menginfokan. Aku berjalan beriringan dengan Adelya, memasuki ruangan aula, cukup terkejut karena jumlah tenaga medis yang menurutku kurang banyak, dibandingkan jumlah peserta yang menunggu di luar. Aku menoleh saat tiba-tiba tangan Adelya mencubit kecil lenganku, kemudian berbisik pelan.“Mar, itu Safeea, kan?”==================================================================Ada getar yang tidak bisa kujelaskan, ada rindu yang membuncah untuk segera di salurkan, akhirnya, dewi fortuna datang kepadaku. Berhari-hari aku mencarinya, namun takdir membawanya sendiri kepadaku, Safeea kembali, dia ada tepat di depan mataku sekarang. Menggunakan blazer putih khas seorang dokter yang dipadukan dengan celana bahan sedikit ketat berwarna coklat dan atasan kemeja berwarna senada dengan motif bunga-bunga, Safeea tampil cantik di tengah para peserta donor darah. Rambutnya yang hit
“Maaf, mbak Adelya, sampai kapanpun, saya tidak pernah bermaksud untuk menjadi duri dalam daging di rumah tangga orang lain, jika saat ini akhirnya saya memilih mundur, hal itu bukan karena saya menyerah, tapi lebih kepada akhirnya saya sadar, jika tidak ada yang bisa diharapkan dari pria yang kini sudah resmi menjadi suami mbak Adelya. Tidak ada sedikitpun niat saya untuk mencari perhatian dari mas Damar, jadi mbak Adel dapat bernafas lega sekarang, karena sebentar lagi mas Damar resmi hanya menjadi milikmu, permisi!” tandasku mengakhiri percakapan yang hanya membuang-buang waktu dan energiku saja.==================================================================Aku meninggalkan Adelya sendiri di toilet, kembali ke dalam aula dan melanjutkan tugasku untuk kegiatan donor darah ini. Rasanya aku tidak habis fikir dengan jalan fikiran Adelya, dulu, ku kira dia wanita yang baik, ya walaupun tidak ada wanita baik, yang mau menjadi perusak rumah tangga orang lain, tapi setidaknya dulu kul
Lagu masih mengalun indah, dibawakan dengan penghayatan dalam, yang semakin membuat dadaku sesak, teringat seonggok surat gugatan cerai yang Safeea kirimkan untuk mengakhiri kisah kelam kami. Mungkinkah aku harus rela melepaskannya? Memulai hidup baru hanya dengan Adelya saja? Namun, sungguh, hatiku tidak bisa membiarkan ini selesai begitu saja tanpa ada penjelasan.Aku berniat pergi meninggalkan venue, sebelum hatiku benar-benar merasa rapuh karena lagu yang masih berputar, saat tidak sengaja mataku menatap Safeea bersama Adriyan baru saja memasuki venue bersama salah satu panitia acara. Brengs*k!==================================================================Emosiku mendadak membucah, melihat istriku berjalan akrab dengan pria lain, yang notabene pernah menjalin hubungan spesial dengannya. Tergesa aku berjalan ke arah mereka, ingin memberikan sedikit pelajaran kepada pria tidak tahu malu tersebut, karena masih berani mendekati istriku, Safeea. Namun, kuurungkan, karena tiba-tib
“Permisi, Pak, Bu, ada titipan surat buat bu dokter,” sela seorang panitia acara, menginterupsi candaanku dengan Mas Essa. Memberikan secarik kertas tanpa amplop kepadaku.‘Buktikan kalau kamu serius mau cerai dari Damar!’Degh! Aku tau siapa yang menulis ini.==================================================================Tanpa meliat siapa yang mengirim, aku pastikan tebakanku tidak akan salah, mengenai siapa yang sudah menitipkan surat ini kepada panitia tadi. Aku mengarahkan pandangan ke sekitar venue, berharap dapat menangkap basah si penulis surat tersebut. Namun, sayang, tidak kutemukan jejaknya di sana.Aku menyimpan suratnya ke dalam kantong jas putihku, membiarkan Mas Essa penasaran dibuatnya, sengaja aku tidak membiarkannya mengetahui isi surat tersebut, karena kurasa ini bukanlah urusannya, biarlah, akan kutangani masalah ini bersama pengacaraku saja.Selesai menghabiskan makan siang kami, aku mengajak Mas Essa untuk segera balik ke ruangan di mana donor darah diadakan
Aku terbangun saat mendengar suara ponselku berteriak, menandakan ada panggilan yang masuk. Mengerjap aku berusaha membuka mata, mencari ponsel yang tadi ku letakkan di atas nakas kamar Safeea.“Ya, Bu, ada apa?” tanyaku saat tau jika ibuku yang menelpon.“Mar, bisa ke rumah bude Yunita sekarang?”“Lho, ada apa memangnya, Bu? Tumben banget, sudah sore banget ini,” tanyaku bingung, tidak biasanya ibu memintaku pergi ke sana kalau tidak ada pertemuan keluarga.=================================“Sudah, pokoknya langsung ke sini saja! Ibu tunggu!” pungkas ibuku.Tanpa berganti pakaian aku langsung bergegas ke rumah bude Yunita, jarak yang sebenarnya tidak begitu jauh, hanya sekitar satu jam jika tidak terjebak macet. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa ini aada hubungannya dengan hasil tes kesuburan Arina? Jika memang karena hal tersebut, berarti bude Yunita sudah mengetahui rahasia Arina, tapi, siapa yang sudah memberitahukannya? Apakah Aldo?Aku masih berkendara menuju rumah bude Yunita,