Di bawa lampu remang-remang pasangan itu menjalin cinta yang sempat berjatak. Tak ada oagi cambukan, luka sayatan, atau tangis kesakitan. Semua berjalan sesuai keinginan.Lenguhan nikmat keluar dari bibir mungil Arini, ketika miliknya tersentuh jemari nakal milik Nathan. Pria itu benar-benar memanjakan dan ingin memuaskan dirinya. Bahkan saat menyamar menjadi Monica, ia tak merasakan hal senikmat ini sebelumnya.Jari itu bergerak cepat, mengorek keluar masuk miliknya, membuat netra hitamnya menghilang penuh kenikmatan. Suara seksi yang dikeluarkan Nathan juga tak kalah menggoda.Cukup lama jari kekarnya bermain di sana, sementara Arini hanya bisa meremas kasur untuk menahan agar desahannya tak terlalu keras."Mendesahlah sayang! Aku suka mendengarnya."Akhirnya desahan itu tak lagi ia tahan, sesuatu rasanya ingin keluar dari bawah sana, membuatnya memohon agar Nathan berhenti. Tapi pria itu lebih tahu apa yang harus ia lakukan tentunya. "Sayang, rasanya aku ingin buang air kecil."Na
"Hentikan kebohonganmu atau kau akan mati di sini!" Maira terkejut dengan reaksi yang diberikan Nathan, pria yang biasanya dengan mudah ia rayu kini mendorongnya dengan kuat. Arini yang melihat itu tertawa mengejek, kemudian menggamit lengan suaminya dengan mesra. "Kita akan terlambat jika terus meladeni dia," ujar Arini. Nathan menatap dengan kemarahan oada Maira, jelas sekali wanita itu berbohong, ia ingat saat itu dirinya bahkan tak mengeluarkan apa pun ke miliknya. "Bawa dia dan pastikan dia tak lagi mengusik keluargaku!" titah Nathan tegas. "Nathan, dengarkan aku! Kau akan menyesal karena sudah bersikap sekejam ini padaku. Nathan, Nathan!" Arini dan Nathan menghilang bersama mobilnya. Sepanjang jalan Nathan terus berusaha menjaga kestabilan emosi istrinya. Wanita itu baru saja sembuh, ia sama sekali tak ingin membuat kesalahan yang akan memperparah kondisi istrinya lagi. Sudah cukup, karena untuk mencari pengganti Arini pun sulit, saat sebelumnya Monica memutuskan p
"Jadi, saudari kembar ku ada bersama Yuan?"Budi melebarkan pupil, bagaimana bisa putrinya mengenal Yuan, sementara ia belum menceritakan semuanya."Dia wanita yang baik, saat ayah punya pemikiran untuk membuang kalian, dia datang sebagai sahabat ibumu untuk mengurus saudarimu sampai saat ini," terang Budi membuat putrinya mengerti."Baik apanya? Dia hampir membuat Arini mati. Aku yakin perempuan itu pasti punya dendam pribadi sampai mengadopsi Arini." "Berhenti menyebutnya baik! Dia wanita jahat yang selalu membuat Arini menderita. Asal ayah tahu, Saudariku koma bertahun-tahun karena ulahnya, dia dan anak-anaknya itu penjahat yang tak bisa diampuni. Jika tahu begini, sudah lama aku patahkan saja kaki Yuan."Budi semakin tak mengerti maksud putrinya. Ia menatap Monica yang sedang dikuasai amarah. Pantas saja Monica seperti merasa tidak asing ketika bersama Arini, juga bisa merasakan kesakitan yang dirasakan Arini, ternyata semua sudah terjawab."Sebentar! Ayah tidak memahami apa maks
"Selamat datang, Nyonya besar. Selamat datang nona muda."Para pelayan di kediaman Nathan berbaris memberi hormat, dua perempuan jahat itu masuk dengan wajah angkuh, niat balas dendam sudah tak bisa dibendung lagi.Mengambil kesempatan ketika Nathan tak berada di rumah adalah pilihan satu-satunya, karena saat ini menaklukkan anak lelakinya saja ia sudah tak mampu. Arini yang sedang menikmati sarapan paginya sendiri berusaha abai, meski sebenarnya ia. sudah merasa sedikit takut. Tetap saja keberaniannya tak seperti Monica, ia tetap Arini yang lemah dan berusaha kuat. Kali ini ia harus melawan mereka.Bayangan kekejaman dua manusia itu terus berputar silih berganti, sebaik mungkin ia memasang wajah setenang air. Melihat Arini tak menyambutnya, membuat Yuan murka."Kau mulai bersikap angkuh ya, Arini. Bahkan kedatanganku dan putriku saja tak kau sambut layaknya melihat semut."Arini berpura-pura tuli, ia hanya tak ingin fokus makan nya terganggu. Para pelayan yang tahu bagaimana Arini h
"Nyonya Monica?"Semua terkejut melihat siapa yang datang. Perempuan yang kemarin menghilang secara misterius kini kembali. Pelayan itu hanya berdiam diri dengan wajah takut. Sementara Monica yang panik kini berlari menghampiri Arini, wanita itu perlahan berusaha membuka mata, satu tangan ia gunakan untuk menggenggam jemari Monica, yang kini berada di pipinya."Kau kembali?"Monica tak kuasa menahan tangisnya. Lebam, darah, dan kini ada darah yang merembes di kakinya. "Apa yang sudah terjadi padamu, Arini? Katakan siapa yang melakukan ini?"Arini terbatuk, lagi dan lagi darah keluar dari mulutnya. Wajah cantiknya mendadak pucat, sepertinya ia memang kehilangan banyak darah."Mereka, datang lagi.""Siapa?"Tiba-tiba kesadaran Arini menghilang. Monica menyesali keterlambatannya, andai datang lebih awal, pasti ia bisa mencegah hal ini terjadi. Matanya menyisir sekeliling, ia temukan kamera pengawas yang mengarah ke ruangan ini, kemudian menatap berang ke arah semua pelayan."Aku bahkan
Jujur saja jauh di dalam lubuk hati Monica, sebenarnya ia mulai sedikit merasa nyaman dengan perhatian kecil dari Nathan. Tapi jika mengingat bagaimana dulu dia memperlakukan Arini, membuat Monica membuang jauh pikiran nyamannya.Monica berdiam diri di depan meja rias, sebenarnya tidak masalah jika ia memang harus melayani Nathan, tapi rasanya sedikit janggal dengan niatnya kembali ke rumah serupa neraka ini.Piyama tidur berwarna merah hati sudah melekat di badan, rambut yang dibiarkan tergerai, juga aroma tubuh yang khas membuat Monica nyaman. Ia mematut dirinya di depan kaca, setelah memakai serangkaian perawatan malam, Monica bergegas tidur di pembaringan. Tak terasa satu tangan mengusap bahunya dari belakang, disusul deru napas yang menyentuh leher, membuatnya sedikit merinding. Monica terperanjat dan bangun."Sayang, ada apa?" tanya Nathan heran."Aku, sedang tidak enak badan." Monica jelas berdusta, raut kekecewaan terlihat jelas di mata Nathan, tapi ia juga tak bisa memaksa i
"Kau salah karena mencari masalah denganku, Maira. Kau mau memulai permainan dari mana, Hem?" Maira terus meronta, berusaha menepis tangan Monica yang mencekik dirinya semakin kuat. Wajah Arini terus terbayang, raungannya, tawa puas Yuan, Ambar, dan Maira, penderitaan Arini, semua membuat kepalanya pusing, hatinya memanas, hasrat membunuhnya sudah semakin kuat. Akhirnya dengan kuat ia mendorong Maira, membuat wanita itu terbentur ke dinding. Sebenarnya bayi Maira tidak bersalah, tapi karena nyawa harus dibayar nyawa, Monica akan melakukan apa yang sudah Maira lakukan pada Arini. "Kau ingin bermain denganku, Maira?" Maira menggeleng, ia berusaha menghindar dan meraih gagang pintu. Berulang kali membuka tapi gagal, ia masih saja terkunci. Melihat itu Monica lantas bahagia, ia tertawa serupa tawa licik Maira. "Kau siapa? Kau pasti bukan Arini!" teriaknya membuat tawa Monica terhenti. Ia menatap lekat wajah Maira yang ketakutan, satu tangannya menampar keras Maira hingga wanita itu k
Kondisi Arini sedikit membaik, hanya saja ia belum sepenuhnya pulih, membutuhkan cukup waktu sampai ia benar-benar kembali mendapatkan kesehatannya. Rumah sakit dengan perawatan ekstra tentunya akan membuat Arini nyaman. Sepasang kaki itu melewati koridor rumah sakit, langkahnya menuju ruangan Arini untuk melihat kondisi kembarannya yang sudah mulai membaik. Kacamata hitam menutupi matanya, dengan langkah anggun juga berani ia berhasil menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung pasien di sana. Monica tak ambil pusing dan segera masuk ke ruangan Arini. "Kau masih betah tidur, ya? Sudah terbiasa koma selama bertahun-tahun, membuatmu kerasan untuk berbaring di ranjang pesakitan yang membosankan itu," celetuk Monica sembari menggigit buah apel. Perlahan jemari Arini bergerak, netranya juga mulai terbuka. Monica tahu Arini sadar, tapi ia bersikap seperti tidak peduli, sampai tatapan Arini kini beralih padanya. "Monica, sejak kapan kau di sini?" Wajah pucatnya mendadak panik,
"Jadi, kau sudah memiliki teman di sana? Tidak. adil! Di kampus kita aku benar-benar sendirian." Yura memasang wajah cemberut, ketika mendengar jika Evelyn mengajaknya ke gunung esok pagi bersama dua teman lelakinya. "Jangan khawatir! Kau tetap sahabat terbaikku, Yura. Oh iya, persiapkan apa saja malam ini, besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke gunung bersama Dean dan Yudi, mereka juga yang menyuruhku untuk mengajakmu," timpal Evelyn. "Ini terlalu buru-buru, aku tidak akan sempat mempersiapkan apa pun, Evelyn." Evelyn meletakkan telunjuknya di bibir, meraih benda pipih dan menghubungi asisten rumah tangga Yura. Ia berbicara panjang lebar yang berisi perintah. Setelahnya Evelyn tersenyum lega. "Wah! Evelyn. Aku bahkan tidak berpikir ke situ," ucap Yura kagum. "Bukankah sejak dulu dirimu memang lelet dalam berpikir?" "Ih, tapi, kan, ..." "Sudahlah jangan protes! Sebenarnya banyak yang ingin ku ceritakan, tapi perutku lapar. Makan dulu, yuk!" Evelyn langsung menarik p
[Evelyn, mungkin setelah membaca surat ini, aku sudah tidak ada di rumah. Maaf, aku banyak merahasiakan semuanya padamu, aku juga tidak bermaksud untuk menjadi orang yang tertutup. Aku tahu kau sahabat terbaikku sejak kecil, tapi aku yang terlalu kesulitan untuk membuka diri lebih dalam denganmu.Sejak kau pindah kampus, aku kesepian, lalu memutuskan untuk pindah ke luar negeri dan tinggal bersama keluarga papa di sana. Semoga kamu mendapatkan teman yang lebih baik dari aku! Salam dari sahabatmu, Yura.]Netra Evelyn basah.Ia tidak menyangka jika Yura setega ini. Pergi tanpa mengabari, padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Jika hanya perihal kepindahan, bukankah Yura juga tahu alasan Evelyn pindah kampus, kalau mau ikut pindah juga, kan tidak ada salahnya pindah dan bergabung bersama Evelyn di kampus yang sama lagi, bukan seperti ini caranya."Yura kok jahat banget, Te. Bahkan nomornya juga ngga aktif, dia ngga sayang lagi sama aku."Evelyn sesenggukan. Edgard berusaha menghibur
"Sudah siap?" Evelyn mengangguk singkat. Harusnya ia senang karena tinggal bersama kakaknya, tapi karena tak ada kabar apa pun dari dua orang yang sedang kasmaran di luar negeri, membuat semangatnya sedikit memudar, padahal ia sangat merindukan Monica. Evelyn meraih tasnya, kemudian mengekori langkah lebar Edward. Memang, di kampusnya yang sekarang tidak ada masalah apa pun, hampir semua mahasiswa hanya fokus pada tujuan kuliah, tak ada yang mengusik dirinya, dan bahkan lebih banyak yang memasang wajah ramah. Tak ada kesombongan, culas, merasa diri lebih dari yang lain, semuanya rata. Tak ada penindasan, penghinaan, pemanfaatan kuasa, semuanya berjalan netral sesuai keinginan. Para dosen juga bersikap normal, tak condong pada beberapa mahasiswa atau merasa takut pada anak didik mereka, semua diperlakukan seadil-adilnya. Dan memang, itu yang diinginkan Evelyn. Hanya saja, ia masih merasa kesepian. Andai saja, ... "Kita sudah sampai. 5 menit lagi gerbangnya tutup, kau mas
"Benar dugaanku. Ternyata kita memang ditakdirkan untuk bertemu kembali, Nathan."Maira tersenyum sinis, ia akhirnya mendapatkan satu kesempatan lagi untuk menghancurkan mereka. Entah, sepertinya ia tak pernah memiliki cinta dengan Nathan, wanita gila ini hanya terobsesi untuk mendapatkan pria tampan yang kaya raya sejak dulu, bahkan menghalalkan segala cara.Tidak sia-sia punya anak seperti Maria. Gadis bodoh itu selalu siap menjadi kacungnya kapan pun ia mau. Maira mengantongi semua informasi tentang Evelyn, yang ternyata adalah putri dari Nathan dan Monica."Sialan! Wanita itu benar-benar tamak. Ia menggeser posisi Arini demi mendapatkan Nathan. Tapi, kita lihat saja nanti, tidak akan ada yang berani berpaling dari pesona Maira, termasuk Nathan. Pria itu bagaimana pun juga pernah memuja muja diriku, bertekuk lutut di bawah pesonaku."Maira sudah merasa berbangga diri. Padahal dulu saja ia hampir mati di tangan Monica, tapi yang namanya obsesi pasti tak akan pernah pantang mundur.
"Aku tahu harus apa sekarang," ujarnya dengan seringai licik. Jonathan sudah berangkat ke kantor sejak pagi, sekali pun ia menuntut istri dan anaknya berhemat, ia tetap memiliki pekerjaan tetap, usahanya bukan hanya di kampus tempat anaknya berkuliah. Ia juga seorang pemilik perusahaan kecil, yang bergerak di bidang makanan ringan. Maria buru-buru ke bawah, tanpa sarapan atau sapaan selamat pagi sudah biasa, hubungannya dengan Maira memang sedingin itu sejak dulu, padahal mereka adalah ibu dan anak. Maria meraih kunci mobil hadiah ulang tahun dari Jonathan tahun lalu, ia harus buru-buru ke kampus sekarang. "Jajanmu berapa?" tanya Maira menghentikan langkah Maria. "Setengah dari biasanya," jawab Maria lanjut menuju garasi. Ternyata Jonathan tidak main-main, ia benar-benar memaksa mereka berdua untuk berhemat, bahkan Maria yang selama ini ia manja pun terkena dampaknya. Tapi baru saja Maria akan masuk ke mobil, ia kembali mencegat anak perempuannya dan berdiri di balik pintu
"Aku ngga terima kalau Jonathan bangkrut. Sialan! Jika suamiku bangkrut, lalu bagaimana nasib kami berdua?"Maira mondar-mandir di kamar, berpikir keras mencari solusi tapi seperti menemukan jalan buntu. Maira memijat pelipisnya.Jonathan memang memiliki usaha lain, tapi penghasilannya tak sebanyak yang ia dapatkan dari universitas tersebut. Jika penanam saham terbanyak mencabut kerja samanya, bagaimana kampus itu akan bertahan lama. Mengandalkan biaya kampus tiap semester per orang pun tidak cukup."Ah, sialan! Lagi pula siapa bocah ingusan itu? Sok berkuasa. Lihat saja, akan aku balas mereka."Maira turun ke lantai bawah, langkahnya seketika terhenti di tengah tangga, ia melihat Jonathan sedikit kusut, pria itu bersandar pada kursi, dengan tatapan kosong ke langit-langit rumah. Seperti ada beban besar yang dipikul saat ini. Jonathan masih bungkam, tak mengeluarkan maki dan sumpah serapah. Maira memang bernasib baik, dalam hidupnya selalu menikahi lelaki yang penyayang, ia juga tak
"Sayang, terima kasih karena telah sabar mendampingiku." Nathan membelai lembut pipi Monica.Semilir angin di pesisir pantai membuat keduanya tenang, suasana romantis terasa, seolah mereka berdua adalah pasangan pengantin baru yang tengah di mabuk asmara.Setelah berhasil menitipkan Evelyn pada kedua anak lelakinya, Nathan yang memang sudah mempersiapkan tiket keberangkatan mereka jauh-jauh hari juga tak ingin membuang waktu.Sebenarnya sebelum Monica meminta, ia sudah ingin menyampaikan niatnya tersebut. Tapi, rupanya suami istri itu memiliki ikatan batin yang teramat sangat. Monica tersipu malu, tempat romantis yang dirancang oleh Nathan, tentu saja adalah yang terbaik. Tak terasa sudut matanya malah menitikkan air mata."Sayang, ada apa?" tangan kekar itu mengusap air mata Monica dengan lembut. Sebelah tangan Monica langsung menyambut punggung tangan Nathan yang masih ada di wajahnya. Netra beningnya menatap lelaki yang telah memberinya tiga buah hati. Andai saat itu ia tak menye
"Sayang, sepagi ini kau sudah rapi. Mau ke mana?" tanya Nathan saat putrinya duduk di meja makan. "Kuliah, Dad. Ini juga sepuluh menit lagi gerbangnya tutup," balas Evelyn mengunyah roti isinya. "Kakakmu belum memberitahumu, ya. Kau baru saja dipindahkan ke kampus lain. Fasilitasnya juga tak kalah lengkap, dan pastinya tak ada orang toxic di sana." Evelyn merengut. Mengapa mendadak sekali? Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang ini. Apa pendapatnya tidak lagi dibutuhkan, pikir Evelyn galau. "Jadi, hari ini kau hanya perlu beristirahat di rumah. Setelah perpindahanmu selesai nanti, besok kau sudah mulai berkuliah di kampus baru." "Dad, tapi aku berhak memilih kampus mana yang ku suka, 'kan?" Nathan diam saja dan memilih untuk membiarkan Monica yang berbicara. "Sayang, Momy tahu keputusan ada di tanganmu, tapi untuk saat ini, kedua kakakmu lah yang lebih berhak menentukan mana yang terbaik untuk adiknya. Buktinya kampus yang kau pilih kemarin, justru tidak menyenangkan dan sangat
"Dasar anak bodoh! Memalukan! Bisa-bisanya kau mencari masalah hanya karena lelaki. Ngga tahu diri banget, ya! Udah disekolahin tinggi-tinggi, malah mikirin laki-laki. Bahkan lebih memalukan lagi, kau bisa kalah telak sama bocah baru kemarin. Ingat umurmu berapa? Kau tiga tahun di atasnya, Maria!" Maria menunduk takut. "Kamu mikir ngga sih, harusnya bisa memanfaatkan kebaikan ayahmu yang sudah mau menerima dirimu si anak haram. Bukan malah seperti wanita murahan, bukannya belajar dengan baik." Maira, ibu kandung Maria. Jika membaca cerita dari awal, pasti tahu siapa Maira dan apa keterkaitannya dengan keluarga Nathan. Maira ingin rasanya menghukum Maria, membuatnya malu sejak masih dalam kandungan. Ia terkatung-katung dengan perut besar di jalanan, sempat menjadi gembel setelah ditendang dari keluarga William, mendekati Nathan mustahil, sampai akhirnya ia bertemu salah satu pria kaya yang sebenarnya sudah memiliki istri. Maira dibawa dan dinikahi oleh pria kaya itu, bahkan