Dari ruang tengah ini aku melihat Mas Dewa masuk bersama Liana. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengannya ketika Ibu sedang dirawat di rumah sakit dulu. Saat itu Liana beberapa kali datang menjenguk ibu dengan teman-teman kantor mas Dewa. Wanita itu selalu menjadi pusat perhatian diantara teman-teman kantornya karena penampilannya yang mencolok. Sekretaris Mas Dewa itu selalu berpenampilan seksi dengan riasan wajah yang tebal.
Mataku tertuju pada perutnya yang masih rata. Mas Dewa tidak mengatakan berapa bulan Liana hamil. Wanita dengan rambut berwarna kuning keemasan itu memang suka memakai pakaian terbuka. Seperti saat ini. Dress tanpa lengan dengan panjang di atas lutut jelas menampakkan kulit putih mulus serta lekuk tubuh yang menonjol. Sepertinya dia memang sengaja memancing hasrat setiap pria yang memandangnya.
Sebelum masuk, Liana memandang sekeliling rumah ini dengan tatapan seakan merendahkan. Memang rumah ibu ini besar, tapi jauh dari kata mewah. Rumah bergaya lama yang sama sekali belum tersentuh oleh renovasi apapun. Namun rumah ini termasuk bersih dan rapi. Walau barang-barang di dalamnya sebagian besar masih barang-barang lama milik Ibu semasa Mas Dewa kecil.
"Mas, nggak salah ini rumahmu?" tanya Liana seraya melipat kedua tangannya. Berkali-kali wanita itu menyisir pandangannya ke segala ruangan.
Mas Dewa hanya salah tingkah seraya menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak gatal.
"Iy-iya, Li. Ini rumah ibuku."
Liana tampak lebih mendominasi. Bukankah di kantor Liana itu hanya sekretaris Mas Dewa? Kenapa Mas Dewa sekarang jadi takut pada sekretarisnya itu?
Dasar laki-laki tidak pintar!Aku masuk ke kamar ibu. Sejak tadi ibu menanyakan calon menantu barunya itu.
"Bu ..., sudah tidur?" bisikku, karena ibu tampak sudah memejamkan matanya
"Zahra ..., apa Dewa sudah pulang?"
Ternyata ibu belum tidur.
"Sudah, Bu Mungkin sebentar lagi mereka akan masuk ke sini."
Benar dugaanku, beberapa saat kemudian terdengar bunyi pintu kamar ibu dibuka. Mas Dewa muncul dari balik pintu seraya merengkuh mesra bahu calon istri barunya.
"ini Ibuku, Liana."
Lagi-lagi Liana menyisir tiap ruangan kamar ini dengan tatapan merendahkan. Ibu yang masih berbaring hanya bisa memandang diam dari jauh.
"Ibu, ini Liana, calon menantu ibu." Hatiku terasa diremas ketika Mas Dewa menggandeng tangan Liana dengan mesra menghampiri ibu.
Ibu hanya diam.
Sementara mas Dewa memberi kode dengan gerakan matanya pada Liana, agar selingkuhannya itu mendekati ibu.
Perlahan Liana melangkah mendekati Ibu. Wanita itu sempat melirikku sekilas. Sekuat tenaga aku bersikap tenang seraya duduk tepat di sebelah kanan Ibu.
" Zahra ...., sana!" Mas Dewa memintaku menjauh dengan gerakan kepalanya. Mungkin suamiku itu ingin Liana yang menggantikan tempat dudukku.
Baiklah. Aku turuti dulu kemauanmu, Mas.
Aku bangkit, lalu pindah berdiri bersandar pada dinding kamar. Dari sini aku dapat melihat jelas wajah wanita yang telah merebut suamiku itu. Ternyata tidak terlalu cantik. Bahkan dia terlihat sangat murahan dengan pakaian kurang bahannya itu.
Liana perlahan mendekat, dengan ragu-ragu wanita seksi itu duduk di tempatku tadi. Namun wajahnya tampak seperti terpaksa. Entah kenapa aku melihat duduknya seperti tidak tenang. Sesekali Liana menggeser tubuhnya, lalu beberapa kali seperti hendak berdiri namun tidak jadi. Nggak jelas!
"Bu ..., ini Liana. DI perut Liana ada cucu ibu, loh!" dengan senyum manisnya Liana mencoba menyapa Ibu dengan antusias.
Tiba-tiba ibu memalingkan wajahnya ke arah dinding.
"Bikin dosa kok bangga," gumam ibu, namun sangat jelas terdengar oleh kami.
Wajah Liana berubah pias.
"Ibu .... ini salah aku. Bukan Liana." Mas Dewa berusaha membela selingkuhannya.
Cih! Muak rasanya melihat sepasang manusia itu.
Ibu tak menyahut. Wajahnya masih mengarah ke dinding.
"Sudahlah, Li. Mungkin ibu mengantuk. Ayo aku antar ke kamar!'
Liana mengangguk, kemudian berdiri mendekati Mas Dewa kembali, lalu melangkah keluar dari kamar ibu.
"Mas ..., Aku mulai besok sudah masuk kerja. Titip Ibumu!" ujarku seraya melewati mereka berdua yang sudah berdiri di depan pintu kamar ibu.
"Zahra ...! Aku belum mengizinkan kamu bekerja. Lagian berapa sih gaji kamu? Tiga kali gajimu aku masih mampu menafkahimu!'
"Maaf, kita sudah membicarakan hal ini kemarin," tegasku tanpa menoleh lagi padanya dan terus melangkah menuju kamarku.
Aku tak menghiraukan lagi panggilan Mas Dewa. Biarlah kali ini aku berdosa padanya Pada suami yang terang-terangan berkhianat sampai menghamili wanita lain.
Hatiku pun tak cukup kuat melihat kebersamaan mereka di depan mataku.
Sesampainya di kamar, Aku mulai menyiapkan pakaian untuk bekerja besok. Beruntung pakaian lamaku sewaktu bekerja dulu masih ada. Tak pernah sekalipun aku memakainya sejak menikah.
Selama ini, karena hanya di rumah, Aku hanya memakai homedress sederhana berukuran panjang di bawah lutut dengan riasan wajah seadanya.****
Aku terjaga saat tengah malam. Mas Dewa tak ada di sebelahku. Pikiran-pikiran buruk melintas di kepalaku. Saat ini calon maduku ada di rumah ini. Apakah mereka tidur satu kamar? Sementara mereka belum sah menikah. Namun, bukankah mereka sudah biasa melakukan itu?
"Assalamualaikum., Pak Dewa ..., buka pintunya!"
Aku tersentak saat mendengar panggilan dari luar. Aku melirik jam dinding saat ini pukul satu malam.
Siapa yang datang malam-malam begini?
Gegas aku keluar kamar hendak membuka pintu. Namun aku mendengar suara-suara aneh saat melewati kamar tamu yang letaknya paling depan.
"Waalaikumsalam. Pak Rt?" Mataku melebar melihat Pak Rt dan dua orang keamanan berada di depan pintu. Astaga! Kenapa perasaanku jadi tidak enak. Ada apa sebenarnya bapak-bapak itu ke sini?
"Silakan masuk, bapak-bapak!"
Para pria paruh baya itu melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Sudut mata mereka seakan menelisik isi rumah ini. Dalam hati aku menduga-duga penyebab dari kedatangan mereka.
"Silakan duduk Bapak-bapak!" ujarku.
"Pak Dewa, Ada, Mbak?" tanya Pak RT ketika sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Ada Pak Rt, tapi ..."
Kalimatku terjeda oleh sesuatu yang membuat kami semua menoleh.
"Ada apa sih ribut-ribut? Nggak bisa liat orang seneng!" Tiba-tiba terdengar suara Mas Dewa bersamaan dengan pintu kamar tamu terbuka.
Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan.
Astaga ternyata mereka ....
Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan.Astaga! ternyata mereka ....Jantungku seolah ingin lepas dari tempatnya. Mas Dewa semakin menjadi-jadi. Dianggap apa aku di sini? Sungguh keterlaluan mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar tetesan bening ini tak jadi turun. Karena mereka memang tak pantas ditangisi.Rambut Liana dan Mas Dewa sangat berantakan. Keringat tampak menetes pada wajah mereka, padahal malam ini cukup dingin. Beberapa kancing daster Liana terpasang tidak sempurna. Sementara Mas Dewa memakai kaos terbalik. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan. Entah kemana akal sehat dua manusia di hadapanku ini."Astaghfirullah, Pak Dewa? Ternyata apa yang dikhawatirkan warga benar-benar terjadi."Wajah Pak Rt tampak gusar. Wajahnya memerah. Mungkin saat ini Pak Rt juga sedang menahan amarah.Sontak ketiga tamu pria paruh baya itu berdiri dan
Aku beranjak dari kamar Ibu, dan mengerjakan aktivitas rutin seperti biasanya. Keadaan rumah sepi. Mas Dewa dan selingkuhannya itu tidak ada. Di kamar tamu juga kosong. Kemanakah mereka? Setelah ke kamar Ibu semalam, aku tak lagi keluar kamar hingga tidak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya pada Mas Dewa.Aku beranjak melangkah ke dapur, mengambil beberapa bahan makanan untuk Ibu, segera kuracik dan memasaknya Ya, mulai hari ini aku hanya memasak untuk Ibu. Biar saja Mas Dewa dan Liana memikirkan perut mereka sendiri. Sedangkan aku nanti bisa makan di luar atau pesan online.Setelah makanan khusus untuk Ibu telah siap, aku kembali ke kamar beliau."Ibu mandi dulu, yuk!"Wanita itu mengangguk. Mata ibu agak bengkak. Wajahnya sedikit sembab. Pasti semalaman ibu menangis.Selama aku membantu ibu mandi hingga berpakaian, wanita itu tidak bicara apa-apa. Padahal aku sudah mengajaknya bicara hal lain. Namun Ibu tak menanggapi.
Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu.Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang."Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama."Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. M
"Kamu cari apa, Mas?"Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.Ini pertanda tidak baik untukku.Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku."Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah."Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku."Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku.Mas Dewa hanya menggele
Zahra ..., ayo Aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? "Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. "Kenapa, Mas?" "Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. "Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."Aku pura-pura tidak mendengar. "Kamu ..." Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapa
Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. "Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!" "Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. "Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, k
POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be